Klaim
Religius di Tengah Kegaduhan Beragama
Oleh
I
Ketut Serawan
Pengamanan
perayaan ibadah di Indonesia seolah-olah menjadi keharusan. Natalan, idul fitri,
dan waisak (misalnya) tidak pernah absen dari pengamanan aparat negara. Pengamanan
ini mengindikasikan bahwa kebebasan beragama masih “tersandera”. Padahal, republik
kita (konon) dihuni oleh masyarakat yang mengaku sangat religius. Klaim yang
pantas digugat di tengah “pluralisme beragama kita” yang kini tak ramah lagi. Setara
Institut mencatat bahwa sepanjang tahun 2017 terjadi 151 peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama/ berkeyakinan dengan 201 bentuk tindakan di 26 provinsi
se-Indonesia.
Di antara
ratusan kasus pelanggaran itu, “perang laporan penistaan agama” bisa jadi
paling menyedot perhatian publik. Pasalnya, kasus penistaan agama tak
tanggung-tanggung menyeret pelakunya hingga ke penjara. Kasus ini dialami oleh
tokoh kontroversi, Ahok (mantan Gubernur DKI). Ahok harus menjadi tumbal dan mendekam
di balik sel setelah melalui persidangan yang diwarnai dengan tekanan oleh
kelompok tertentu.
Pasca Ahok,
perang laporan penistaan agama semakin ramai. Kasus Rizieq, kasus Eggy Sujana,
dan kasus-kasus penistaan agama di medsos mencuat ke permukaan. Namun, minimnya
pendukung mengakibatkan semua kasus tersebut dikaburkan dan tidak ada satu pun
yang berujung ke penjara. Kemudian, banyak orang mempertanyakan ketegasan dan
keadilan hukum Indonesia. Karena kasus penistaan agama seolah-olah menjadi
milik pelapor mayoritas.
Situasi timpang
dan tak toleran ini terus berlanjut dan dibiarkan terbengkalai. Para oknum penunggang
agama berkompetisi memanfaatkan situasi ini untuk mencapai hasratnya. Umat
dibelah, dikotak-kotakan, dan dimatikan naluri tolerannya. Akibatnya, pluralisme
beragama kita terganggu. Umat tumbuh menjadi mudah tersinggung dan kurang
toleran.
Kalau kita
menilik kebelakang, keadaan ini sebetulnya sudah lama tumbuh. Hanya saja, momen
kasus Ahoklah yang memancing pelaku-pelaku tak toleran muncul ke permukaan. Kasus
pembakaran atau pengrusakan tempat ibadah, bom bunuh diri atas nama agama,
intimidasi SARA, dan perang ujaran kebencian di medsos merupakan fakta bahwa
sikap tak toleran itu sudah lama ada.
Lucunya, bangsa
kita tetap jumawa mengklaim diri sebagai bangsa yang religius. Padahal, semua pelaku
pembakaran tempat ibadah, bom bunuh diri, intimidasi SARA, dan lain- lainnya
adalah umat beragama, dengan motif yang sangat lumrah yakni membela agama. Efeknya,
sekarang muncul spesialisasi ormas pembela agama yang siap membela orang se-agama
tanpa melihat kebenaran tindakannya. Jangankan benar, salah pun dibela.
Soal klaim
religius, bangsa kita tidak boleh dipandang remeh. Kita akan mengelak dengan
berbagai alasan jika disebut tak religius. Bahkan, bisa jadi akan melakukan
penggerahan massa untuk menggelar “aksi bela religius” untuk meruntuhkan klaim
tak religius tersebut.
Sikap kukuh
religius kita rupanya didasari oleh tolok ukur kita sendiri, yakni beragama
formalitas (simbol). Ukurannya meliputi, berpakaian santun (menutup aurat),
rajin bersembahyang, bisa membaca kitab suci, hapal ayat-ayat suci, dan menjalankan
ritual-ritual keagamaan. Beragama formalitas inilah yang diagung-agungkan, ditularkan
secara turun temurun dan sering kali dipamerkan lewat media massa. Media cetak
dan terutama media elektronik (seperti televisi) menjadi arena strategis unjuk pamer
formalitas beragama menjelang peringatan/ perayaan ritual keagamaan. Dari
ucapan selamat, liputan peristiwa ritual hingga khotbah-khotbah pemuka agama
yang menekankan pada formalitas juga.
Disadari atau
tidak, masyarakat (orang tua), pemuka agama dan media telah secara otomatis
membentuk nilai religius formalitas pada generasi berikutnya. Nilai ini sudah
mendarah daging. Dari dulu, sekarang, dan ke depan, kita akan tetap menjadi
bangsa yang religius secara formalitas. Kita hanya berkutat di seputaran
permukaan, tetapi mengabaikan esensi (praktik) dari beragama.
Paradigma ini
harus diubah, kalau ingin level religius kita bergerak lebih tinggi ke level
praktis. Level yang sesungguhnya ingin dicapai oleh bangsa religius untuk
merawat rumah pluralisme beragama kita.
Meskipun
tidak mudah, setidak-setidaknya level formalitas itu dapat dijadikan modal
untuk mencapai level praktis. Kita memerlukan proses dan waktu tentunya. Akan
tetapi, jika ada niat dan kesadaran dari umat serta dukungan regulasi dari
pemerintah, kita yakin level praktis dapat dicapai secara signifikan. Oleh
karena itu, hentikan (kurangi) mind set
dan strategi pendidikan agama model tradisional.
Pertama,
kurangi sifat kekanak-kanakan dalam beragama, misalnya pamer sok taat, saleh,
santun, sok rajin bersembahyang, fanatisme sempit, over mengagung-agungkan agama sendiri, dan menjelek-jelekan agama
orang lain. Tindakan dan mind set ini
merupakan penghalang ke level praktis. Pamer mengaku-ngaku diri paling beriman
dan beragama adalah bentuk ketidakpercayaan diri. Kita akan bertempur selamanya
di klaim ngaku-ngaku, lalu lupa
mengimplementasikan esensi beragama. Pengakuan sejati bukan dari diri sendiri,
melainkan dari orang lain. Jauh lebih fair
dan objektif.
Kedua,
kurangi memberhalakan pemuka agama. Pemuka agama juga manusia biasa. Tetapi
nyatanya, seringkali kita menganggap pemuka agama sebagai orang yang luar biasa
(sempurna) sehingga disanjung tanpa cacat. Padahal, pemuka agama pun tidak bisa
lepas dari dualitas, yaitu berintegritas dan tidak berintegritas. Semestinya, umat
lebih cerdas dan memiliki rasional dalam menghadapi pemuka agama. Jangan sampai
umat dijadikan robot massa oleh pemuka agama yang tidak berintegritas. Oleh
karena itu, kritikan terhadap pemuka agama mesti disikapi secara bijak. Tidak
cerdas jika umat langsung membela secara membabi buta apalagi menggunakan
cara-cara yang radikal. Model pembelaan semacam ini merupakan iklim pamer
beragama yang menjauhkan kita dari level praktik.
Ketiga,
kurangi hegemoni tafsir tunggal alkitab. Selama ini, umat lebih percaya dan
menyerahkan seratus persen tentang tafsir ayat suci kepada pemuka agama. Kita
berpandangan bahwa tafsir yang paling benar dan sah adalah tafsir dari para
pemuka agama. Metode ini menyebabkan umat biasa tidak berani (minder) dalam
merumuskan tafsir.
Padahal,
tidak sedikit umat biasa memiliki kemampuan menafsirkan kitab dengan baik.
Namun, umat telanjur menciptakan pengkotak-kotakan untuk nilai legalitas.
Seolah-olah, kitab suci menjadi milik privasi para pemuka agama. Kemudian, para
pemuka agama boleh bermain tafsir dengan modelnya sendiri. Sedangkan, umat
biasa dijadikan orang awam yang harus mengikuti anjuran pemuka agama. Celakanya
ialah ketika pemuka agama yang kurang berkualitas berhadapan dengan pendukung
umat yang rendah intelektualnya. Maka, pemuka agama model ini sangat terbuka
menjerumuskan umatnya.
Jika kita
berpandangan bahwa kitab suci adalah milik umat, tidak ada alasan bagi setiap
umat untuk menafsirkan sendiri. Kemudian, memposisikan pemuka agama sebagai mitra
(guru) dalam menafsirkan dan mengimplementasikan isi kitab suci. Tapi, kita
mesti menyadari bahwa guru yang hebat adalah murid abadi. Artinya, jangan
sampai pemuka agama merasa paling tahu. Sebaliknya, selalu merendahkan diri
untuk mengatakan tidak tahu dan terus belajar, termasuk dengan muridnya sendiri
(baca: umat). Model ini rasanya lebih humanis dan demokratis untuk menghindari
umat dari kegilaan memberhalakan seorang pemuka agama.
Keempat, kurangi
misi yang berorientasi pada kuantitas umat. Walaupun jumlah menjadi kebanggaan,
tetapi target kualitas tidak boleh diabaikan. Justru, kualitas umat sebaiknya
ditempatkan lebih tinggi. Apalah artinya memiliki penganut yang banyak tetapi
minim kualitas. Minoritas yang berkualitas jauh lebih dibutuhkan dalam menjaga
pluralitas beragama. Kualitas umat diukur dari laku atau tindakan sehari-hari
dalam kontak lintas agama. Kita harus ingat, penilaian kualitas ini berasal
dari umat lain yang jujur dan objektif.
Jadi, religius
bangsa kita tidak cukup di ranah klaim bibir atau tulisan. Akan tetapi, pada
ranah perbuatan (laku) sehari-hari yang bernilai universal. Fakta-fakta level
praktik itu mesti dibuktikan di tengah-tengah pluralitas beragama. Indikasinya
sederhana, misalnya umat menjalankan ibadah tanpa pengawalan, tidak ada aksi
bakar tempat ibadah (apa pun alasannya), tidak ada gerakan radikal (teroris
yang mengatasnamakan agama), tidak ada intimidasi sara, tidak ada saling
menistakan agama, minim perang kebencian SARA di medsos, dan sebagainya. Kalau realitas
ini nyata adanya, kita tidak perlu menghabiskan energi untuk mengaku-ngaku
religius. Klaim religius akan datang dari segala penjuru. Penulis adalah guru swasta di Denpasar.
0 komentar:
Posting Komentar