Sabtu, 01 Mei 2021

 

Klaim Religius di Tengah Kegaduhan Beragama

Oleh

I Ketut Serawan

 

Pengamanan perayaan ibadah di Indonesia seolah-olah menjadi keharusan. Natalan, idul fitri, dan waisak (misalnya) tidak pernah absen dari pengamanan aparat negara. Pengamanan ini mengindikasikan bahwa kebebasan beragama masih “tersandera”. Padahal, republik kita (konon) dihuni oleh masyarakat yang mengaku sangat religius. Klaim yang pantas digugat di tengah “pluralisme beragama kita” yang kini tak ramah lagi. Setara Institut mencatat bahwa sepanjang tahun 2017 terjadi 151 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dengan 201 bentuk tindakan di 26 provinsi se-Indonesia.

Di antara ratusan kasus pelanggaran itu, “perang laporan penistaan agama” bisa jadi paling menyedot perhatian publik. Pasalnya, kasus penistaan agama tak tanggung-tanggung menyeret pelakunya hingga ke penjara. Kasus ini dialami oleh tokoh kontroversi, Ahok (mantan Gubernur DKI). Ahok harus menjadi tumbal dan mendekam di balik sel setelah melalui persidangan yang diwarnai dengan tekanan oleh kelompok tertentu.

Pasca Ahok, perang laporan penistaan agama semakin ramai. Kasus Rizieq, kasus Eggy Sujana, dan kasus-kasus penistaan agama di medsos mencuat ke permukaan. Namun, minimnya pendukung mengakibatkan semua kasus tersebut dikaburkan dan tidak ada satu pun yang berujung ke penjara. Kemudian, banyak orang mempertanyakan ketegasan dan keadilan hukum Indonesia. Karena kasus penistaan agama seolah-olah menjadi milik pelapor mayoritas.

Situasi timpang dan tak toleran ini terus berlanjut dan dibiarkan terbengkalai. Para oknum penunggang agama berkompetisi memanfaatkan situasi ini untuk mencapai hasratnya. Umat dibelah, dikotak-kotakan, dan dimatikan naluri tolerannya. Akibatnya, pluralisme beragama kita terganggu. Umat tumbuh menjadi mudah tersinggung dan kurang toleran.

Kalau kita menilik kebelakang, keadaan ini sebetulnya sudah lama tumbuh. Hanya saja, momen kasus Ahoklah yang memancing pelaku-pelaku tak toleran muncul ke permukaan. Kasus pembakaran atau pengrusakan tempat ibadah, bom bunuh diri atas nama agama, intimidasi SARA, dan perang ujaran kebencian di medsos merupakan fakta bahwa sikap tak toleran itu sudah lama ada.

Lucunya, bangsa kita tetap jumawa mengklaim diri sebagai bangsa yang religius. Padahal, semua pelaku pembakaran tempat ibadah, bom bunuh diri, intimidasi SARA, dan lain- lainnya adalah umat beragama, dengan motif yang sangat lumrah yakni membela agama. Efeknya, sekarang muncul spesialisasi ormas pembela agama yang siap membela orang se-agama tanpa melihat kebenaran tindakannya. Jangankan benar, salah pun dibela.

Soal klaim religius, bangsa kita tidak boleh dipandang remeh. Kita akan mengelak dengan berbagai alasan jika disebut tak religius. Bahkan, bisa jadi akan melakukan penggerahan massa untuk menggelar “aksi bela religius” untuk meruntuhkan klaim tak religius tersebut.

Sikap kukuh religius kita rupanya didasari oleh tolok ukur kita sendiri, yakni beragama formalitas (simbol). Ukurannya meliputi, berpakaian santun (menutup aurat), rajin bersembahyang, bisa membaca kitab suci, hapal ayat-ayat suci, dan menjalankan ritual-ritual keagamaan. Beragama formalitas inilah yang diagung-agungkan, ditularkan secara turun temurun dan sering kali dipamerkan lewat media massa. Media cetak dan terutama media elektronik (seperti televisi) menjadi arena strategis unjuk pamer formalitas beragama menjelang peringatan/ perayaan ritual keagamaan. Dari ucapan selamat, liputan peristiwa ritual hingga khotbah-khotbah pemuka agama yang menekankan pada formalitas juga.

Disadari atau tidak, masyarakat (orang tua), pemuka agama dan media telah secara otomatis membentuk nilai religius formalitas pada generasi berikutnya. Nilai ini sudah mendarah daging. Dari dulu, sekarang, dan ke depan, kita akan tetap menjadi bangsa yang religius secara formalitas. Kita hanya berkutat di seputaran permukaan, tetapi mengabaikan esensi (praktik) dari beragama.

Paradigma ini harus diubah, kalau ingin level religius kita bergerak lebih tinggi ke level praktis. Level yang sesungguhnya ingin dicapai oleh bangsa religius untuk merawat rumah pluralisme beragama kita.

Meskipun tidak mudah, setidak-setidaknya level formalitas itu dapat dijadikan modal untuk mencapai level praktis. Kita memerlukan proses dan waktu tentunya. Akan tetapi, jika ada niat dan kesadaran dari umat serta dukungan regulasi dari pemerintah, kita yakin level praktis dapat dicapai secara signifikan. Oleh karena itu, hentikan (kurangi) mind set dan strategi pendidikan agama model tradisional.

Pertama, kurangi sifat kekanak-kanakan dalam beragama, misalnya pamer sok taat, saleh, santun, sok rajin bersembahyang, fanatisme sempit, over mengagung-agungkan agama sendiri, dan menjelek-jelekan agama orang lain. Tindakan dan mind set ini merupakan penghalang ke level praktis. Pamer mengaku-ngaku diri paling beriman dan beragama adalah bentuk ketidakpercayaan diri. Kita akan bertempur selamanya di klaim ngaku-ngaku, lalu lupa mengimplementasikan esensi beragama. Pengakuan sejati bukan dari diri sendiri, melainkan dari orang lain. Jauh lebih fair dan objektif.

Kedua, kurangi memberhalakan pemuka agama. Pemuka agama juga manusia biasa. Tetapi nyatanya, seringkali kita menganggap pemuka agama sebagai orang yang luar biasa (sempurna) sehingga disanjung tanpa cacat. Padahal, pemuka agama pun tidak bisa lepas dari dualitas, yaitu berintegritas dan tidak berintegritas. Semestinya, umat lebih cerdas dan memiliki rasional dalam menghadapi pemuka agama. Jangan sampai umat dijadikan robot massa oleh pemuka agama yang tidak berintegritas. Oleh karena itu, kritikan terhadap pemuka agama mesti disikapi secara bijak. Tidak cerdas jika umat langsung membela secara membabi buta apalagi menggunakan cara-cara yang radikal. Model pembelaan semacam ini merupakan iklim pamer beragama yang menjauhkan kita dari level praktik. 

Ketiga, kurangi hegemoni tafsir tunggal alkitab. Selama ini, umat lebih percaya dan menyerahkan seratus persen tentang tafsir ayat suci kepada pemuka agama. Kita berpandangan bahwa tafsir yang paling benar dan sah adalah tafsir dari para pemuka agama. Metode ini menyebabkan umat biasa tidak berani (minder) dalam merumuskan tafsir.

Padahal, tidak sedikit umat biasa memiliki kemampuan menafsirkan kitab dengan baik. Namun, umat telanjur menciptakan pengkotak-kotakan untuk nilai legalitas. Seolah-olah, kitab suci menjadi milik privasi para pemuka agama. Kemudian, para pemuka agama boleh bermain tafsir dengan modelnya sendiri. Sedangkan, umat biasa dijadikan orang awam yang harus mengikuti anjuran pemuka agama. Celakanya ialah ketika pemuka agama yang kurang berkualitas berhadapan dengan pendukung umat yang rendah intelektualnya. Maka, pemuka agama model ini sangat terbuka menjerumuskan umatnya.

Jika kita berpandangan bahwa kitab suci adalah milik umat, tidak ada alasan bagi setiap umat untuk menafsirkan sendiri. Kemudian, memposisikan pemuka agama sebagai mitra (guru) dalam menafsirkan dan mengimplementasikan isi kitab suci. Tapi, kita mesti menyadari bahwa guru yang hebat adalah murid abadi. Artinya, jangan sampai pemuka agama merasa paling tahu. Sebaliknya, selalu merendahkan diri untuk mengatakan tidak tahu dan terus belajar, termasuk dengan muridnya sendiri (baca: umat). Model ini rasanya lebih humanis dan demokratis untuk menghindari umat dari kegilaan memberhalakan seorang pemuka agama.

Keempat, kurangi misi yang berorientasi pada kuantitas umat. Walaupun jumlah menjadi kebanggaan, tetapi target kualitas tidak boleh diabaikan. Justru, kualitas umat sebaiknya ditempatkan lebih tinggi. Apalah artinya memiliki penganut yang banyak tetapi minim kualitas. Minoritas yang berkualitas jauh lebih dibutuhkan dalam menjaga pluralitas beragama. Kualitas umat diukur dari laku atau tindakan sehari-hari dalam kontak lintas agama. Kita harus ingat, penilaian kualitas ini berasal dari umat lain yang jujur dan objektif.

Jadi, religius bangsa kita tidak cukup di ranah klaim bibir atau tulisan. Akan tetapi, pada ranah perbuatan (laku) sehari-hari yang bernilai universal. Fakta-fakta level praktik itu mesti dibuktikan di tengah-tengah pluralitas beragama. Indikasinya sederhana, misalnya umat menjalankan ibadah tanpa pengawalan, tidak ada aksi bakar tempat ibadah (apa pun alasannya), tidak ada gerakan radikal (teroris yang mengatasnamakan agama), tidak ada intimidasi sara, tidak ada saling menistakan agama, minim perang kebencian SARA di medsos, dan sebagainya. Kalau realitas ini nyata adanya, kita tidak perlu menghabiskan energi untuk mengaku-ngaku religius. Klaim religius akan datang dari segala penjuru. Penulis adalah guru swasta di Denpasar.

0 komentar:

Posting Komentar