Minggu, 26 Juni 2022

 

Ilustrasi Foto (www.balipost.com)

Apa reaksi Anda jika ada peserta didik (siswa) yang kesehariannya biasa-biasa saja, tetapi lulus jalur prestasi dalam seleksi sekolah negeri? Ingat, kemampuan akademiknya di bawah standar, lho. Pun prestasi terkait potensi diri (minat-bakat) tidak ada. Namun, dalam list pengumuman PPDB SMP Negeri kota Denpasar (Bali) kemarin namanya terpampang lolos sebagai salah satu siswa berprestasi. Pasti kaget, heran dan kecewa, bukan?

Perasaan ini paling kuat dirasakan terutama oleh para siswa lain, teman yang masih satu kelas dan satu SD dengan yang bersangkutan. Lalu, jangan tanya reaksi ortu siswa terutama dari kalangan emak-emak atau para ibu di SD tersebut. Pasti hebohlah.

Para emak-emak ini tidak kuasa membendung rasa kecewanya. Maklumlah. Namanya juga emak-emak. Hee..heee. Mereka kukuh tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Sambil menuliskan biodata anaknya di formulir pendaftaran sekolah swasta (tempat penulis bekerja), salah satu emak-emak itu terus “ngedumel”.

Menurutnya, dari 5 siswa yang lolos jalur prestasi (di asal sekolah anaknya), hanya 3 orang yang tidak mendapat penolakan. Pasalnya, tiga orang itu memang dianggap memiliki kemampuan yang layak menduduki singgasana kursi prestasi. Akan tetapi, 2 orang sisanya menjadi sorotan oleh warga sekolah di tempat SD anaknya, karena kemampuannya jauh di bawah ekspektasi.

Second Teacher, Piagam Siluman dan Juri Kepantasan

Penulis juga tidak habis pikir dengan ibu-ibu (ortu siswa) di kota. Mereka seolah-olah menjadi second teacher. Kadang-kadang mereka tidak hanya mengantongi statistik kemampuan harian anaknya. Pun mengetahui kemampuan global anak orang lain.

Karena itulah, ketika sistem PPDB meloloskan siswa justru para ibu yang melontarkan statemen penolakan. Para ibu merasa lebih tahu dibandingkan dengan sistem aplikasi PPDB. “Semua siswa yang lolos jalur prestasi, pasti punya bukti prestasi (piagam) yang dilampirkan, Bu. Sistem tinggal mengkalkulasi poin-poin tersebut apa adanya dan menyatakan lulus,” terangku sedikit mengompori.

Bukan emak namanya kalau perbincangan langsung berhenti begitu saja. Si ibu selalu punya cara untuk bertahan dan membela diri. Ia bertahan dengan jawaban halu. Jawaban yang sifatnya spekulan. Kasarnya, menduga-dugalah. Sang ibu menduga kuat bahwa ada orang dalam (punya jabatan, power, dan otoritas) yang berjasa meloloskan anak yang bersangkutan.

Bagaimana cara “sang penyelamat” (baca: orang dalam) mengelabui atau menundukkan sistem sehingga si anak yang bersangkutan bisa lolos? Kali ini, sang ibu tidak bisa menarasikan secara rinci sepak terjang sang penyelamat yang dimaksud. Apalagi menunjukkan bukti-bukti otentik terkait dengan indikasi keterlibatan “orang dalam” dalam kasus penyelamatan tersebut.

Karena itu, penulis menyebutnya dengan dalil yang halu. Masih miskin dukungan data atau fakta. Sebetulnya, dalil ibu ini sudah sering penulis dengar dari tahun ke tahun dalam pesta PPDB di Kota Denpasar. “Orang dalam” selalu dijadikan kambing hitam jika peserta didik yang lolos dianggap tidak memenuhi ekspektasi publik. Penulis tidak tahu apakah tuduhan ini sebagai bahasa kekalahan atau bahasa korban kecurangan. Entahlah.

Dugaan lain, sang ibu menyebut ada kemungkinan proses pemalsuan piagam prestasi yang dilakukan oleh pihak orang tua siswa (yang lolos). Namun, sang ibu pun tidak bisa menjelaskan secara detail (teknis) indikasi pemalsuan piagam prestasi tersebut. Apakah ada orang tertentu atau sekelompok orang yang piawai memalsukan piagam? Atau jangan-jangan ada sindikat pemalsuan dokumen semacam piagam prestasi? Ah, kok jadinya serem banget, sih. Heh.

Tiba-tiba penulis teringat dengan rumor yang pernah dihembuskan oleh beberapa siswa (alumni) di tempat saya mengajar. Tahun-tahun sebelumnya, muncul rumor ada pihak otoritas (orang dalam) menerbitkan atau mengeluarkan “piagam siluman”. Piagam prestasi yang tidak sesuai dengan kemampuan konkret si siswa. Proses mendapatkannya juga tanpa jerih payah. Konon, hanya butuh relasi dan tentu saja uang pelicin yang memadai.

Apakah benar atau tidak? Hingga sekarang belum ada satu pun yang mengungkapkan kebenaran rumor tersebut. Namun, rumor ini selalu berhembus di kalangan masyarakat tertentu—ketika memasuki musim PPDB di Kota Denpasar. Beberapa kalangan masyarakat mungkin menganggap bahwa kasus “piagam siluman” ini seperti kasus kentut yang sulit dibuktikan secara kasat mata.

Atau jangan-jangan rumor “piagam siluman” itu hanya ungkapan latah dari masyarakat yang anaknya tidak lolos jalur prestasi. Mereka sirik karena putra/ putrinya tidak lulus jalur prestasi, maka “orang dalam” dijadikan kambing hitam. Eits…Tunggu dulu! Tidak semua siswa yang lolos jalur prestasi dituduhkan melibatkan “orang dalam”, lho. Khusus kepada siswa yang dinilai tidak kompeten (tidak berprestasi), tetapi tembus jalur prestasi. Persis seperti dikemukan oleh sang ibu sebelumnya.

Yang persis tahu siswa itu berprestasi atau tidak tentu teman satu sekolah, khususnya teman satu kelas, guru dan orang tua/ wali siswa. Para warga satu sekolah inilah yang menjadi juri awal (juri kepantasan), sebelum diloloskan oleh sistem PPDB. Apa pun yang terjadi dengan si siswa, warga sekolah tetap sebagai “juri kepantasan”, tetapi tidak memiliki otoritas atau kewenangan menganulir keputusan sistem PPDB. Posisi seperti inilah yang justru membuat pesta PPDB menjadi menarik dan mirip drama. Ada drama rasa kecewa, senang, apriori dan tentu saja dagel-dagelan serta rumor.

Pertanyaan selanjutnya, mungkin tidak ada tindak kecurangan dalam PPDB Kota Denpasar tahun ini? Untuk menjawab potensi penyelewengan (kecurangan) tersebut, ada baiknya kita mengetahui data-data penting yang berpeluang menjadi faktor pendorong. Misalnya, Denpasar merupakan kota dengan jumlah pelajar SD tertinggi di Bali. BPS Provinsi Bali mencatat bahwa per tahun 2020, Kota Denpasar mengantongi jumlah pelajar SD sebanyak 87.703 (lebih tinggi dari Kabupaten Buleleng).

Tahun 2021, jumlah siswa tamatan SD mencapai 13.000. Namun, hanya 4.000 siswa yang tertampung di sekolah negeri, yang tersebar di 14 SMP Negeri (https://www.balipost.com/news/2021/08/20/210954/Denpasar-akan-Bangun-Dua-SMP.html). Sisanya, sebanyak 9 ribu ditampung di SMP swasta, yang berjumlah 70 sekolah. Tahun 2022, SMPN 15 Denpasar akan mulai beroperasi dan siap menerima siswa baru.

Jumlah 15 sekolah negeri mungkin masih belum memadai untuk mengatasi padatnya jumlah tamatan pelajar SD di Kota Denpasar. Kondisi ini tentu membuat persaingan perebutan kursi sekolah negeri semakin ketat dan keras. Masyarakat Kota Denpasar berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Apalagi saat ini fondasi ekonomi masyarakat masih dalam kondisi kedodoran setelah dihantam pandemi selama kurang lebih 2 tahun.

Minimnya daya tampung dan anjloknya ekonomi masyarakat akan menyebabkan ambisi masyarakat Kota Denpasar sangat kuat untuk memilih sekolah negeri yang murah. Kondisi inilah yang memunculkan kompetisi yang kian ketat dan keras. Kerasnya kompetisi untuk merebut kursi sekolah negeri berpeluang mendorong sejumlah orang memenuhi ambisinya—walaupun mungkin dengan cara yang curang (ilegal). Perlu diingat bahwa persaingan jalur prestasi tidak hanya melibatkan kompetitor dalam Kota Denpasar, tetapi juga dari kabupaten lainnya di Bali.

Mengingat kompetisi yang begitu ketat dan keras, mungkin saja “piagam prestasi siluman (bodong)” itu ada. Bahkan, jangan-jangan telah membentuk market (black market atau secret market). Eksistensinya rapi dan hanya orang-orang tertentu yang persis tahu. Mirip seperti dugaan sang ibu dan publik pada umumnya.

Jika market piagam siluman ini tetap eksis, penulis yakin drama kecurangan akan tetap mewarnai pesta PPDB di Kota Denpasar ke depannya. Lalu, bagaimana solusinya?

Di samping sebagai pelaku, masyarakat berposisi sebagai kontrol sosial (pengawas). Peran aktif masyarakat sangat diharapkan untuk memurnikan kasus kecurangan PPDB di Kota Denpasar. Apabila ditemukan indikasi kecurangan, masyarakat sepatutnya melaporkan kepada pihak berwenang. Bukankah Disdikpora Bali sudah bekerja sama dengan pihak Ombudsman untuk membuka posko pengaduan terkait kasus PPDB.

Laporan masyarakat menjadi bahan yang sangat berharga bagi pihak Ombudsman untuk meningkatkan kualitas sistem dan teknis PPDB pada masa berikutnya. Sayangnya, kebanyakan masyarakat memilih diam dan aman (alias koh). Mereka justru nyaman membingkai kasus kecurangan tersebut menjadi rumor dan dagel-dagelan.

Jika demikian halnya, risiko drama kecurangan bisa jadi akan terus berlanjut entah sampai kapan. Hal ini akan mencederai rasa keadilan pada publik. Setiap pesta PPDB (jalur prestasi) akan ada drama sakit hati atau kecewa. Sebaliknya, pihak yang mencurangi sistem akan merasa senang—walaupun mereka sebetulnya akan mengikis rasa optimisme (karakter mandiri) sang anak.

Dalam budaya masyarakat yang koh ngomong (enggan bicara), persoalan pemurnian sistem PPDB menjadi dilematis. Di satu sisi, masyarakat menginginkan sistem dan pelaksanaan PPDB berlangsung jujur dan adil, sesuai prosedur. Di sisi lain, masyarakat kurang kooperatif untuk melaporkan indikasi kecurangan di lapangan. Contoh kecil, ya, kasus jalur prestasi yang dikemukakan oleh sang ibu sebelumnya.

Menjembati ini, penting adanya sistem PPDB yang lebih transparan dan bisa dikroscek langsung oleh pihak publik. Misalnya, sistem PPDB menyediakan rincian poin lengkap dengan bukti upload piagam. Data ini bisa dibuka bebas oleh pihak siapa pun.

Kedua, sertifikat atau piagam prestasi yang diupload harus ditambahkan dengan link pihak penyelenggara. Siapa lembaga penyelenggara lomba tersebut, lengkap dengan waktu, tempat, nama juri (bila diperlukan) dan daftar hasil pemenangnya. Jadi, begitu masyarakat mengklik link itu, mereka langsung dihadapkan dengan bukti otentik daftar pemenang.

Jika ada tautan seperti itu, mungkin sistem juga langsung menolak ketika calon pelamar mengupload scan piagam prestasinya. Sebab, namanya tidak terdata dalam daftar pemenang yang tertera.

Ketiga, perlu ruang pembuktian jika diperlukan. Pihak panitia PPDB sebaiknya memiliki tim independen (yang kompeten di bidang tertentu) untuk menguji kemampuan real si anak. Teknisnya, semua calon siswa yang akan lolos jalur prestasi dipanggil terlebih dahulu untuk melakukan kegiatan wawancara dan testing sesuai bidang prestasi masing-masing.

Kegiatan wawancara dan testing ini sifatnya mengkonfirmasi, mengecek ulang dan mensinkronkan hasilnya dengan piagam yang dilampirkan. Untuk meningkatkan keyakinan publik, akan lebih bagus jika hasil wawancara dan testing tersebut direkam dan diunggah sebagai lampiran pendukung.

Semoga dijadikan pertimbangan oleh pihak otoritas perancang dan penyelenggara PPDB di Bali khususnya Kota Denpasar—sehingga ke depan kualitas sistem dan pelaksanaannya semakin jurdil (jujur-adil) serta sesuai dengani ekspektasi publik. (Penulis, Guru SMP Cipta Dharma Denpasar, Bali)