Minggu, 18 Desember 2016

Mengkaji Penistaan Hak Ekonomi Guru 

dalam Kebijakan 24 Jam


Oleh 
I Ketut Serawan

Foto: suara.com
Semenjak sertifikasi guru bergulir, kebijakan “mengajar minimal 24 jam” menjadi harga mati terutama bagi guru yang sudah mengantongi sertifikat pendidik. Jika kurang dari standar minimal, para guru langsung dikenai sanksi praktis yakni aliran dana sertifikasi (TPG) dibekukan secara otomatis.

Kebijakan ini menjadi hakim penentu atas prakara profesional guru. Integritas profesional guru yang diperoleh secara legitimasi melalui portofolio maupun jalur pelatihan (PPG) menjadi “lemah syahwat” dengan kebijakan mengajar minimal 24 jam.

Barometer eksekusi ini memberikan persepsi bahwa pemerintah memandang (mengutamakan) integritas profesional guru dari tingkat intensitas (kuantitatif) mengajar di dalam kelas. Semakin tinggi frekuensi tatap muka, maka semakin melekat citra profesional pada guru.

Cara pandang prematur ini menggoyang sendi-sendi profesional guru. Indikasinya terlihat dari suasana gaduh di kalangan para guru. Mereka saling sikut untuk memperebutkan standar minimal 24 jam mulai dari intern hingga melakukan ekspansi jam ke sekolah lain.

Kegaduhan ini menciptakan spirit (mental) mendidik yang tak sehat. Gong kompetisi yang keras membuat para guru hanya mengejar target administratif untuk keamanan hak-hak ekonominya. Implikasinya, etos kerja guru menjadi kurang baik karena menurunnya fokus, mutu, dan persepsi mengajar. Ditambah dengan kepadatan jam tatap muka (minimal 24 jam), maka guru hendak dijauhkan dari sumbu keprofesionalan.

Kepadatan tatap muka membelenggu dan menjebak guru pada lingkaran seremonial mengajar yang melelahkan. Efeknya, aspek pengembangan dan peningkatan profesionalisme guru terabaikan. Padahal, guru membutuhkan waktu untuk mengupgrade dirinya dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan keguruan (seminar, workshop) dan membangun kreativitas konkret (meneliti, menulis, membuat alat peraga).

Lebih luas, sistem 24 jam ini juga menimbulkan iklim pendidikan yang kurang kondusif, karena mempersempit lahan pekerjaan, mematikan eksistensi sekolah swasta, dan menurunkan kualitas layanan pendidikan. Sempitnya lahan pekerjaan disebabkan oleh hegemoni guru yang tersertifikasi dalam memonopoli jam mengajar sehingga kiprah para guru muda semakin termarginalkan. Lebih parah lagi, kebijakan 24 jam ini menyebabkan sekolah negeri menerima siswa secara overload (hingga kelas siang) sebagai solusi meratakan target jam mengajar sehingga sekolah swasta terancam krisis siswa. Kasus overload ini juga menyebabkan pelayanan pendidikan menjadi rendah karena mengabaikan komposisi ideal antara guru-siswa, fasilitas-jumlah siswa, dan efektivitas PBM di dalam kelas.

Sayangnya, pemerintah tidak memiliki sinyal mengkaji kebijakan tersebut. Belakangan, pemerintah justru hendak mengukuhkan dinasti 24 jam dengan isu full day school. Full day school dirasakan dapat mengakomodir jam mengajar guru dengan lebih leluasa. Solusi ini tentu kurang tepat untuk mengantisipasi kegaduhan guru. Semestinya, standar mengajar diminimalisasikan. Paradigmanya ialah efektivitas mengajar jauh lebih penting daripada frekuensi tatap muka. Apa artinya intensitas tatap muka yang tinggi jika pembelajaran hanya bersifat seremonial (kurang kreatif, kurang bermutu, dan monoton). Lebih baik tatap muka terbatas, tetapi menghasilkan PBM kreatif dan berkualitas. Inilah yang dilakukan oleh negara Finlandia. 

Selanjutnya, pemaksaan pemberlakuan kebijakan 24 jam sesungguhnya bertentangan dengan spirit filosofi guru profesional (UU No. 14  Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen). Keliru jika pemerintah menganulir hak-hak ekonomi guru gara-gara tidak memenuhi standar jam minimal. Bukankah guru bersertifikat pendidik sudah memenuhi integritas guru profesional yaitu memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial? Lain halnya jika guru berkasus dengan wilayah keprofesionalannya, misalnya tidak mengajar, tidak disiplin, sakit, terlibat kasus tertentu, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, sepantasnya pemerintah menggunakan alat ukur yang mengacu pada 4 standar, yaitu  pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Keempat aspek ini dikembangkan dalam bentuk instrumen untuk menakar kelayakan guru profesional dan sekaligus penentuan atas TPG.

Untuk lebih mudahnya, format instrumen penilaian 4 kompetensi dasar guru ini dapat dimunculkan dalam dapodik sekolah. Sekolah (atau setiap guru) dapat menginput data-data yang menjadi acuan penilaian tersebut. Selanjutnya, sistem tinggal membaca dan memberikan skor secara otomatis.

Dapodik sekolah menjadikan guru setiap saat bisa mengupgrade data sesuai keperluan. Upgrade data ini menjadikan guru terus aktif untuk mencapai dinamika standar profesional guru. Untuk pengembangan dan peningkatan mutu profesional, pemerintah cukup membuat halaman portofolio di dapodik. Portofolio ini akan menginput data tentang legitimasi aktivitas guru dalam pengembangan karier (profesi) dan peningkatan mutu guru. Model instrumen ini jauh lebih berintegritas dibandingkan dengan sistem minimal 24 jam yang parsial, kurang berdasar, dan terkesan (sengaja) menistakan hak ekonomi guru.

Minggu, 30 Oktober 2016



Kasus Overload Sekolah Negeri, Salah Siapa?
Oleh 
I Ketut Serawan, S.Pd.

Seremonial penerimaan siswa baru di Denpasar selalu berakhir dengan kemenangan sekolah negeri. Dari 60 lebih SMP yang ada di Denpasar, 12 sekolah negeri selalu berhasil meraup siswa melebihi kuota. Bahkan tak jarang, beberapa sekolah negeri tertentu memperoleh siswa 2 kali dari kuota yang ditetapkan. Sebaliknya, SMP swasta yang menunggu muntah-muntahan siswa, hanya gigit jari menerima kekalahan, karena sulit memenuhi target kuota.

Sejujurnya, dari aspek SDA (kualitas dan kuantitas fasilitas sekolah) dan SDM (kualitas-kuantitas guru) baik negeri maupun swasta di Denpasar hampir sama. Tidak ada perbedaan yang tajam. Buktinya, banyak SMP swasta memperoleh nilai akreditasi A. Salah satunya adalah SMP Cipta Dharma. Artinya, secara standar mutu tidak ada perbedaan yang signifikan.

Faktor Pemicu Overload
Tingginya ambisi masyarakat berebutan kursi sekolah negeri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu mind set ortu yang keliru, unsur pembiaran dari pemerintah, permainan oknum pejabat, makelarisasi, dan ego publik tertentu. Pertama, mind set keliru dari ortu mencakup anggapan sekolah negeri lebih murah dan sukses mencetak SDM berkualitas. Faktanya, tidak sedikit sekolah negeri di Denpasar SPP-nya lebih mahal dari sekolah swsta. Fakta lainnya, sekolah negeri bisa mencetak SDM berkualitas karena memang menerima siswa yang sebelumnya memang berkualitas. Bayangkan, jika sekolah swasta menerima keadaan seperti negeri tentu hasilnya jauh lebih hebat. Menerima sisa dari negeri saja, swasta masih bisa bersaing dengan sekolah negeri.

Kedua, pemerintah sebagai regulator tidak menjalankan perannya secara maksimal. Ketika terjadi penggelembungan kuota, pemerintah tidak menindak tegas sekolah yang bersangkutan. Justru, ada unsur pembiaran secara sengaja. Semua publik pasti mengetahuinya. Jika beredar rumor sekolah negeri  favorit tempat anak-anak pejabat, pantas kita maklumi. Itulah sebabnya, pihak pemerintah (disdikpora) menjadi kikuk.

Ketiga, oknum pejabat juga menjadi biang pelanggaran kuota di sekolah negeri. Dengan taring kekuasaannya, tak jarang mereka tidak lepas dari desakan kelompok masyarakat yang ego untuk menempatkan anaknya di sekolah negeri tertentu. Kelompok masyarakat model ini kongsi dengan pejabat untuk mendapat surat rekomendasi agar anaknya diterima di sekolah yang dituju. Keempat, makelar penerimaan siswa baru berpengaruh menambah jumlah overload (namun sulit dibuktikan). Modusnya, transaksi kursi. Konon, untuk satu kursi SMP negeri favorit di Denpasar harganya bisa mencapai 25 jutaan. Si tukang makelar tentu sudah punya koneksi dengan orang-orang yang punya pengaruh di jajaran pemerintah kota Denpasar.

Lalu, apakah sekolah negeri pantas berbangga hati dengan kasus overload? Jawaban tentu tidak. Sekolah negeri pasti menginginkan jumlah kuota yang normal. Hanya saja, kepala sekolah dan guru-gurunya tidak berdaya dengan ”surat sakti” dari oknum pejabat. Sebagai bawahan, mereka tidak punya opsi lain kecuali menerima meskipun melampaui kuota.

Mengantisipasi Kasus Overload
Dampak dari kelebihan kuota pasti akan merugikan sekolah yang bersangkutan. Pelan tapi pasti, sekolah itu akan mengalami kemorosotan kualitas. Faktanya, salah satu SMPN di Denpasar yang dulunya paling top prestasinya kini menjadi turun karena kasus overload kuota. Rasionalnya, kelebihan kuota akan berpengaruh terhadap hasil status sekolah ketika diakreditasi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya racun overload kuota harus dihilangkan untuk kesehatan kompetisi dan eksistensi mutu sekolah. Siapakah yang pantas melenyapkan hama ini?

Pertama, tentu lembaga pengawas dari pemerintah (disdikpora). Lembaga ini punya otoritas dan wewenang dalam mengawasi penerimaan siswa baru mulai dari sistem, observasi, hingga menindak tegas mafia serta memberikan sanksi tegas kepada sekolah yang melanggar. Namun harus diingat, lembaga ini harus mau bekerja, bernyali, tegas, dan tak pandang bulu. Kedua, lembaga independen ombudsman. Lembaga ini paling diandalkan oleh publik karena berada di luar pemerintahan. Taringnya terbukti disegani dibandingkan dengan lembaga pengawas dari pemerintah. Sayangnya, terlihat pada awal eksistensinya. Belakangan taring ombudsman kelihatan tumpul. Publik tentu ingin tahu, apa faktor di balik tumpulnya ombudsman.

Ketiga, masyarakat tentu punya andil besar dalam mengawasi kasus kelebihan kuota di Denpasar. Jika menemukan indikasi penyelewengan, segera posting lewat medsos yang daya jangkauannya begitu luas dan cepat. Keempat, peran media massa diharapkan tetap konsisten memberitakan hiruk-pikuk indikasi penyelewengan penerimaan siswa baru tanpa takut oleh intimidasi dari pihak siapa pun.

Jika keempat komponen ini kooperatif, publik yakin kasus penyelewengan yang berujung pada kelebihan kuota pada SMP negeri dapat diatasi dengan optimal. Sebaliknya, jika sama-sama egois, takut, dan bahkan ikut menjadi pelaku penyelewengan, maka cerita overload kuota di SMP negeri pasti terus berlanjut, tidak terkendali dan akan menggila.           

Selasa, 25 Oktober 2016



PERLU STRATEGI MENYIKAPI BIAYA PENDIDIKAN YANG MAHAL

Geliat era globalisasi kian memunculkan kebutuhan yang begitu kompleks, penting dan mendesak untuk dipenuhi. Sebut saja kebutuhan pendidikan (sekolah). Kebutuhan ini kian setara dengan kebutuhan primer dalam keluarga. Sayangnya, hingga kini kebutuhan pendidikan dirasakan sangat mahal oleh orang tua.
Mahalnya biaya pendidikan dirasakan keluarga terutama menjelang tahun ajaran baru. Karena pada saat inilah timbul kebutuhan-kebutuhan sekolah yang membludak. Uang gedung yang mencapai jutaan. Uang pakaian dan uang buku yang nilainya masing-masing bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Di tambah pula uang ekstrakurikuler, dua kali uang SPP dan uang lain-lainnya.
Bagi keluarga menengah ke bawah, jumlah kebutuhan tersebut sangat memberatkan. Memenuhi daftar biaya yang terbilang tinggi itu jelas bukan perkara mudah. Apalagi pada zaman susah seperti sekarang ini, mencari pekerjaan sulit--angka pengangguran kian bertambah. Maka wajar tersiar berita di televisi bahwa seorang tukang becak harus menjual becaknya untuk membiayai sekolah anaknya. Padahal becaknya merupakan aset satu-satunya dan sekaligus sebagai sumber penghasilan. Namun demi biaya awal sekolah anaknya, tukang becak itu pun harus melelang becaknya. Mengapa orang tua harus bertaruh demi pendidikan anaknya?
Insan masa depan
Setiap ortu (keluarga) pasti menginginkan anak berkualitas dan memiliki masa depan yang gemilang. Apalagi hidup seperti sekarang di mana profesional, kompetensi dan kompetisi kian didewakan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan insan masa depan yaitu insan yang bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi (Semiawan, 2008). Di samping itu, harus berkemampuan intelektual, kreatif dan mampu beradaptasi dengan perubahan (Yulaewati, 2004). Lebih rinci Yulaewati menjelaskan bahwa prasyarat menjadi insan abad informasi, yakni (1) mampu menggunakan pengetahuan untuk bertahan hidup, (2) mampu menggunakan sains untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam dunia teknologi yang telah berubah, (3) bertanggung jawab terhadap dampak sosial penggunaan sains dan teknologi, (4) mampu menangkap/ menciptakan peluang kerja/ karir berdasarkan potensi yang dimiliki dan sumber daya yang tersedia, (5) mampu mendayagunakan informasi dengan banyak membaca dan menulis serta (6) mampu belajar sepanjang hayat termasuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Pentingnya pendidikan
Dalam konteks pembentukan karakter insan global inilah diperlukan peran penting pendidikan. Baik itu pendidikan informal (di keluarga), pendidikan nonformal (khursus/ pelatihan) maupun pendidikan formal (sekolah). Dari ketiga kategori pendidikan ini tampaknya masyarakat lebih condong melimpahkan pendidikan ke sektor pendidikan formal (sekolah).
Kelebihan sektor pendidikan formal (sekolah) bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, dari segi kejenjangannya, sekolah memiliki kematangan tahap dalam pembentukan intelektual, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi anak.  Kematangan tahap itu tampak dari hierarki jenjang TK, SD, SMU/ SMK sampai ke perguruan tinggi.
Kedua, proses pendidikan formal berlandaskan psikologi anak. Artinya, tingkat materi ajar, strategi dan metode pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Sehingga pengetahuan, pemahaman dan analisis anak berkembang secara berkesinambungan dan integratif. Ketiga, fasilitas pendidikan, tenaga pengajar, dan sistem/ manajemen yang berkarakter pendidikan. Dibanding dengan pendidikan informal maupun nonformal, pendidikan formal secara umum memiliki sarana dan prasana yang lebih memadai, tenaga pengajar yang kompeten dan manajemen yang mementingkan kemajuan kemampuan anak (siswa). Keempat, mempunyai kematangan dasar dan arah yang tertuang dalam kurikulum. Kurikulum merupakan rambu-rambu dalam pembentukan manusia global yang ideal. Karena kurikulum disusun berdasarkan perkembangan dan kebutuhan di lapangan. Oleh karena itulah, kurikulum akan berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Di balik keefektifan sekolah dalam pembentukan insan bermasa depan, ada satu kendala klasik menimpa para orang tua. Persoalan klasik itu seperti disebutkan sebelumnya yaitu biaya. Kendati sekarang pemerintah telah berusaha meringankan beban ortu dengan kebijakan dana BOS, beban kebutuhan pendidikan di keluarga masih tetap dirasakan berat. Pasalnya, dana BOS (termasuk dana BOS buku) masih jauh dari harapan keluarga. Kenyataannya antara pengeluaran di lapangan dengan nominal BOS masih jauh dari keseimbangan.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang arif dari para ortu dalam menyikapi dilema ini. Langkah-langlah arif itu bisa ditempuh dengan cara penghematan anggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan lain. Artinya, sebisa mungkin kebutuhan-kebutuhan yang tidak penting dihemat sehingga sisanya bisa diprioritaskan ke anggaran pendidikan anak. Langkah lain misalnya dengan cara cermat dan jeli dalam memilih sekolah. Cermat dan jeli di sini bermakna tidak hanya melihat segi kualitas atau kefavoritan sekolah saja, tetapi mesti disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Kalau bisa murah/ terjangkau tanpa mengabaikan kualitas. Jadi tidak semestinya ortu merasa malu jika tidak menempatkan anaknya di sekolah favorit.
Langkah yang tak kalah pentingnya juga ialah mengkritisi sekolah terutama tentang transparansi keuangan. Namun jangan diinterpretasikan mengintervensi urusan rumah tangga sekolah. Orang tua perlu mengontrol kebijakan sekolah yang berkaitan dengan masalah keuangan. Seandainya ada kebijakan yang memberatkan secara keuangan, ortu bisa secara pribadi, kelompok atau melalui komite sekolah (yang independen) meminta konfirmasi kepada sekolah. Jika konfirmasi dirasakan tidak logis, ortu melalui komite sekolah bisa bernegosiasi dengan sekolah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Langkah ini bertujuan mengantisipasi pungutan liar atau anggaran yang terlalu longgar dari pihak sekolah. Jadi, jangan pernah enggan bersikap dan bertindak cermat kalau memang untuk anggaran pendidikan.  i ketut Serawan, guru tinggal di Denpasar


ORTU ANTUSIAS MEMILIH JASA BIMBINGAN BELAJAR

Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd. (Guru SMP Cipta Dharma Denpasar)

Antusias orang tua terhadap jasa bimbingan belajar (bimbel) masih sangat tinggi. Antusias tersebut tampak nyata terutama menjelang awal semester genap. Itulah sebabnya pada awal semester ini, lembaga-lembaga bimbel kebanjiran siswa. Para orang tua (terutama yang anaknya duduk di kelas IX dan XII) berlomba-lomba menempatkan anaknya di bimbel—padahal sekolah telah memberikan les atau jam tambahan kepada siswa. Para orang tua seolah tak yakin dengan prestasi belajar anaknya jika belum menempatkannya pada lembaga bimbel.
Para orang tua percaya bahwa bimbel mampu mendongkrak prestasi belajar anak. Keyakinan ini memang bukan tanpa alasan. Serangkaian promosi yang cerdas dari bimbel telah berhasil menanamkan keyakinan orang tua untuk memilih bimbel sebagai tempat belajar anaknya. Ada beberapa trik promosi yang dilakukan bimbel untuk meyakinkan orang tua. Salah satunya ialah mensosialisasikan diri lewat media dan menyebarkan brosur langsung kepada orang tua. Promosi ini intinya menawarkan keunggulan bimbel mulai dari metodelogi pembelajaran, latar belakang tutor, trik-trik instan menjawab soal hingga jaminan lulus UN. Beberapa bimbel ternama sering dengan gamblang memberi stempel pada brosur yang bertuliskan ”Tidak Lulus UN, Uang Kembali Seratus Persen”. Sebuah statemen promosi yang sangat dahsyat.
Berikutnya ialah mencantumkan sejumlah siswa yang memperoleh nilai tertinggi UN baik tingkat regional hingga tingkat nasional. Siswa yang pernah belajar di bimbel dan berhasil meraih nilai UN tertinggi dijadikan ikon oleh bimbel untuk menciptakan pencitraan kepada orang tua. Padahal nyatanya, siswa itu memang pintar dari sekolah. Kebetulan mereka ikut bimbel tertentu, didomplenglah namanya demi harga sebuah promosi.
Trik promosi lainnya ialah menjalin kerjasama dengan sejumlah sekolah ternama. Bentuk kerjasama yang lazim digunakan adalah  menyelenggarakan tes persiapan semester, ulangan umum semester, dan try out UN. Data nilai tes selanjutnya dijadikan senjata untuk menggiring orang tua mengarahkan anaknya ikut di bimbel tertentu. Caranya, soal-soal sengaja dibuat sulit sehingga nilai siswa menjadi jeblok. Nilai jeblok ini dijadikan senjata untuk mengubah mindset orang tua agar menempatkan anaknya pada bimbel tertentu.
Pada umumnya ada dua tujuan yang hendak dicapai oleh orang tua dari jasa bimbel. Tujuan utama tentu agar anaknya bisa lulus UN. Di samping lulus, anak bisa memperoleh nilai yang lebih baik. Nilai yang bisa memenuhi standar untuk mencari sekolah unggul dan favorit. Untuk memenuhi 2 tujuan ini, sekolah sebetulnya sangat bisa. Sekolah memiliki guru yang profesional di bidangnya. Setiap guru telah memiliki seperangkat pembelajaran yang matang. Kajian perangkatnya jelas, terukur dan diolah berdasarkan sinkronisasi antara kalender akademik, waktu efektif, materi, dan evaluasi. Perangkat yang dimaksud adalah program tahunan, program semester, silabus, rencana pembelajaran, program remedi, dan program pengayaan. Jika anak mengikuti pelajaran secara kontinyu selama menjadi siswa, logikanya tidak ada kekhawatiran orang tua anaknya tidak lulus. Apalagi sekolah juga menambah jam pelajaran (les) pada siswa. Tetapi mengapa orang tua tetap memilih bimbel sebagai tempat belajar putra/ putrinya?
Motif Memilih Bimbel
Ada beberapa motif orang tua tetap memilih bimbel sebagai alternatif belajar anaknya. Pertama, orang tua kurang percaya dengan kemandirian belajar anaknya. Entah salah siapa? Kebanyakan anak sekarang yang hidup serba dilayani tumbuh menjadi tidak mandiri. Mereka menjadi ketergantungan termasuk dalam hal belajar. Tidak jarang anak diberikan PR justru orang tua yang sibuk mengerjakan, sedangkan anak-anak acuh tak acuh. Anak-anak kebanyakan membutuhkan pendamping belajar. Itulah sebabnya, beberapa orang tua mencari guru privat untuk mendampingi belajar anaknya di rumah. Namun seiring maraknya pertumbuhan bimbel, kini orang tua pun berbondong-bondong menempatkan putra/ putrinya belajar di bimbel. Dengan harga yang cukup terjangkau dan berkualitas, maka orang tua sekarang lebih memilih bimbel sebagai pendamping belajar putra/ putrinya.
Kedua, orang tua tidak punya waktu untuk memperhatikan belajar anaknya. Kebanyakan orang tua sudah habis waktunya untuk bekerja. Mereka tak sempat menyisihkan waktu untuk mendampingi anaknya belajar. Di pihak lain, anak-anak mempunyai rata-rata waktu kosong setengah hari per harinya. Untuk bermain, waktu itu tersisa terlalu banyak. Daripada dimanfaatkan hanya untuk bermain atau hal-hal negatif lainnya, maka orang tua memilih menitipkan anaknya belajar di bimbel.
Ketiga, orang tua kurang percaya dengan peran sekolah. Sekolah di mata masyarakat sekarang lebih identik dengan biaya yang tinggi, isu pungli, sumbangan bernominal, pasar nilai, korupsi, dan citra buruk lainnya. Kalau pun ada yang bicara soal prestasi, itu hanya persoalan kecil. Hanya segelintir siswa yang pintar, kemudian dipromosikan untuk merepresentasikan kemampuan rata-rata siswa di sekolah tersebut. Jika berbicara soal prestasi klasikal, maka promosi tradisional yang digunakan adalah rata-rata nilai UN. Nilai UN ini pun sering tidak mendapat kepercayaan masyarakat (orang tua) karena dinilai sarat dengan kecurangan. Bukan rahasia lagi, kalau nilai besar UN merupakan rekayasa para tim sukses sekolah, para pembocor soal, dan para pembocor kunci jawaban. Jangan heran jika menjelang UN, para pelaku ini bergentanyangan (meski sulit untuk dibuktikan). Celakanya, eksistensi para pelaku itu kian mendapat legalitas di kalangan pelaku pendidikan. Para guru, pemerintah, dan termasuk masyarakat menganggap bahwa tindak kecurangan itu merupakan tindakan yang heroik. Mereka dianggap sebagai pahlawan pendongkrak nilai UN siswa. Pahlawan yang menciptakan senyum pencitraan kepada kepala sekolah, ketua yayasan, kepala dinas, bupati, gubernur, dan mendiknas.
Sekolah kini dianggap melenceng dalam menjalankan perannya. Ekspektasi orang tua tentang sekolah sebagai wadah pendidikan karakter jauh panggang dari api. Sekolah justru dianggap menumbuhkan nilai-nilai yang distorsi. Kekurangmandirian belajar anak merupakan salah contoh kegagalan sekolah sebagai lembaga pendidik. Namun demikian, orang tua juga sangat bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter anak. Hal ini mengingat rumah adalah wadah pendidikan karakter paling dini. Sekolah dan orang tua semestinya bekerja sama dalam membangun pendidikan karakter anak. Jika orang tua kurang percaya dengan kemandirian belajar anaknya lalu memilih jasa bimbel maka tindakan ini merupakan perbuatan mencoreng muka sendiri.
Selayaknya, orang tua bisa meminilisir rasa pesimis terhadap anaknya, diri sendiri, dan sekolah. Orang tua harus berpartisipasi secara aktif dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan karakter mandiri pada anak. Caranya, dengan melatih kemandirian belajar anak secara kontinyu sejak usia dini. Di sisi lain, sekolah harus instrospeksi diri. Maraknya bimbel harus dijadikan cerminan bahwa sekolah wajib mengadakan tindakan revolusioner mulai dari visi-misi, manajemen, sistem, kualitas kepala sekolah, guru, kualitas metodelogi pembelajaran, metode evaluasi, dan sarana sekolah. Tindakan revolusioner ini dimaksudkan untuk mengembalikan peran sekolah pada hakikinya. Tidak hanya pendidikan karakter, sekolah harus bisa menjamin kelulusan siswa dan menjamin nilai yang baik untuk anak sehingga ke depan mampu merebut kepercayaan orang tua secara penuh. (dimuat di Majalah Progres, Edisi I/II/2017)



Migrasi Siswa Swasta ke Negeri Favorit
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.
Panen siswa enam bulan yang lalu tidak menyurutkan sekolah negeri favorit di Denpasar berhenti menerima siswa baru. Setelah melalui jalur prosedural (melalui TPA atau NEM) dan jual beli kursi, kini sekolah negeri favorit menerima siswa baru melalui jalur migrasi. Sejumlah siswa sekolah swasta berlomba-lomba pindah ke sekolah negeri favorit setelah mengikuti proses belajar mengajar selama 1 semester di sekolah asalnya.
Munculnya migrasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu terbukanya sekolah negeri favorit (yang dituju) untuk memberikan tempat atau kursi, adanya ambisi orang tua untuk memasukkan anaknya ke negeri favorit, dan adanya kesepakatan transaksi antara pihak sekolah yang dituju dengan orang tua siswa. Sama halnya dengan jual beli kursi, proses migrasi tidak lepas dari isu lobi dan bau pungli. Bedanya, lobi dan transaksi migrasi terjadi setelah berlangsungnya proses belajar mengajar minimal satu semester di sekolah asal.
Kasus migrasi tergolong masalah yang tidak terlalu luas menyita perhatian publik. Karena secara kuantitas, kasus migrasi tidak sebanyak jumlah kasus jual beli kursi. Di samping itu, momen kasus migrasi terjadi ketika riuh penerimaan siswa baru telah berhenti atau berada pada fase tenang. Inilah yang menyebabkan kasus migrasi lebih rapi dibandingkan dengan jual beli kursi yang lebih keblabasan.
Fenomena migrasi telah menimbulkan dampak terhadap beberapa kalangan tertentu. Bagi orang tua, migrasi merupakan HAM. Migrasi dipandang sebagai perpindahan yang wajar dan manusiawi. Semua orang tua pasti menginginkan putra/putrinya menikmati pendidikan di sekolah negeri favorit. Begitu juga siswa itu sendiri. Mereka punya hak yang sama untuk menikmati pendidikan yang wajar di sekolah negeri favorit.
Dari sisi sekolah asal (swasta), kasus migrasi merupakan fenomena yang sangat merugikan. Karena tahun ini rata-rata jumlah sekolah swasta berkurang signifikan. Ditambah dengan adanya kasus migrasi, maka sekolah swasta yang menggantungkan income pada jumlah siswa akan kian terpuruk.
Di sisi lain, sekolah negeri favorit tumbuh semakin arogan. Mereka semakin brutal dan seenaknya meraup siswa. Mereka beranggapan bahwa citra favorit kian melambung ketika berhasil merekrut siswa sebanyak-banyaknya. Padahal konsep ini terbalik dari hakiki sekolah favorit. Bagaimana kriteria sekolah favorit sejatinya?
Sekolah favorit identik dengan kualitas layanan pendidikan yang optimal. Kualitas pendidikan tercermin dari eksistensi beberapa hal, misalnya tersedianya tenaga pendidik yang andal dan cukup. Sekolah favorit harus memiliki SDM (guru dan staf karyawan sekolah) yang profesional. Indikator yang dijadikan tolak ukur seperti latar belakang pendidikan dan prestasinya. Di samping itu, keberadaan tenaga pendidikan (termasuk staf karyawan sekolah) harus ideal dengan jumlah siswa yang diterima.
Selain eksistensi SDM, sarana dan prasarana sekolah harus sebanding dengan jumlah siswa yang diterima. Contohnya, jumlah kelas harus ideal dengan daya tampung siswa, kuantitas-kualitas laboratorium yang ideal, kuantitas-kualitas perpustakaan serta media belajar juga harus ideal dengan jumlah siswa. Ketersediaan sarana dan prasarana sekolah berfungsi untuk menciptakan kelancaran dan kenyaman belajar. Karena sarana dan prasarana berkorelasi dengan efisiensi dalam proses belajar mengajar.
Sistem manajemen yang berkualitas juga menjadi ciri penting sekolah favorit. Oleh karena itu, sekolah favorit harus dipimpin oleh kepala sekolah yang cerdas, cakap, komit, konsisten, terbuka, dan tegas. Hal ini berkaitan dengan jasa layanan pendidikan. Kepala sekolah favorit harus siaga dengan kritik konstruktif baik dari siswa, orang tua, maupun masyarakat pada umumnya demi peningkatan kualitas layanan pendidikan.
Menyikapi Kasus Migrasi
Bercermin dari ulasan di atas, maka kasus migrasi ke sekolah negeri favorit pantas disikapi dengan bijak. Jika migrasi berlangsung wajar (artinya sekolah yang dituju memang kekurangan siswa), tidak menjadi persoalan. Namun, belakangan kasus migrasi justru menyasar pada sekolah negeri favorit yang sudah overload. Buktinya, mulai tahun ini sekolah negeri favorit di Denpasar sampai memberlakukan kelas siang dengan jumlah siswa per kelas mencapai 50-an. Kebijakan ini memberikan bukti bahwa jumlah siswa dengan tenaga pendidik dan sarana/ prasarana sekolah tidak ideal. Secara kualitas, jumlah ini jelas tidak efektif.
Kasus migrasi dan overload pada sekolah negeri favorit merupakan senjata bunuh diri. Selama ini sekolah favorit telah keliru menginterpretasikan statusnya. Karena mereka terjebak pada stigma luar yakni sekolah favorit identik dengan peminat yang membludak. Akibatnya, mereka lupa hal hakiki tentang sekolah favorit yaitu memberikan layanan pendidikan yang optimal. Jika kekeliruan ini terus berlanjut, lambat laun status favorit akan turun seiring perjalanan waktu.
Sebagai penerima dalam kasus migrasi, sekolah negeri favorit pantas berpikir ulang. Tidak logis jika sekolah menerima siswa lagi, padahal sudah overload sebelumnya. Sekolah favorit harus berpikir jangka panjang tentang eksistensi status favoritnya. Jangan sampai jumlah sesaat, di kemudian hari akan dicemooh dan ditinggalkan peminat gara-gara tidak bisa memberikan layanan pendidikan yang maksimal. Dalam konteks inilah dibutuhkan kepala sekolah yang tegas dan konsisten.
Orang tua juga harus cerdas dalam menyikapi kasus migrasi ini. Jangan mengorbankan anak demi status favorit padahal nyatanya sekolah tersebut sudah overload. Sepatutnya orang tua jeli memilih sekolah yang betul-betul sesuai dengan hitungan matematis kualitas. Jangan memaksa anak melakukan migrasi ke sekolah favorit yang overload apalagi demi prestise tanpa memahami kondisi dan kemampuan akademik anak. Alih-alih mendapatkan pendidikan yang optimal, justru orang tua menjerumuskan anak pada iklim pendidikan yang kian terbatas. Orang tua telah menjebak anaknya pada ruang belajar yang sesak, menjauhkan perhatian guru dengan siswa, dan menciptakan sejumlah kerumitan stres pada anak. Jika hal ini terjadi, anak akan mengalami korban beruntun. Korban keinginan orang tua dan korban overload sekolah.
Lebih penting lagi adalah peran dinas pendidikan selaku pemangku kebijakan. Selama ini dinas pendidikan provinsi dan kota Denpasar terkesan tutup mata dari kasus migrasi siswa. Semestinya dinas pendidikan harus membuat regulasi yang jelas dan konsisten dalam pelaksanaannya. Jangan sampai seperti kasus overload tahun lalu, pemerintah terkesan diam dan membiarkan. Buktinya, sekolah negeri favorit yang menerima siswa melebihi kuota yang ditetapkan tidak pernah ditindak tegas (diberi sanksi). Faktor pembiaran inilah yang menyebabkan negeri favorit membuka penerimaan siswa baru melalui jalur migrasi.
Jika pemerintah tidak segera membuat regulasi yang tegas maka satu per satu eksistensi sekolah swasta di Denpasar akan terancam bubar.