Minggu, 27 Maret 2022

 

Bulan Purnama. Sumber foto: https://pixabay.com/images/search/bulan/?pagi=5&


Pada tahun 80-an, malam purnama terasa begitu istimewa di kampung saya, Nusa Penida. Kehadirannya sangat dinanti-nantikan oleh para warga mulai dari anak-anak, remaja dan termasuk orang tua. Pasalnya, hanya pada momen bulan purnama, para warga dapat memperpanjang aktivitasnya dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat.

Bagi anak-anak, purnama adalah momen bermain. Bermain gala-gala, gajig-gajigan, goak-goakan dan lain sebagainya. Pun momen mendengarkan cerita. Itulah yang sering saya lakukan dengan saudara, sepupu dan termasuk mindon. Kami duduk-duduk di natah rumah, beralaskan batu lempeh, sambil mendengarkan cerita dari kakek saya.

Kakek saya termasuk penjaga literasi lisan yang konsisten. Beliau memiliki beberapa warisan cerita, yang ajeg dituturkan kepada anak dan cucu-cucunya. Zaman itu, kakek kami pandang sebagai referensi sastra yang berharga. Zaman ketika generasi ayah-ibu saya masih dominan buta aksara (tidak bisa baca-tulis).

Jika malam purnama tiba, kakek biasa bercerita banyak hal kepada cucu-cucunya termasuk tentang bulan. Menurut kakek, konon ada seorang nenek menenun di bulan. Nenek itu bernama Dadong Brayut. “Bagaimana Dadong Brayut bisa terdampar di bulan? Dengan siapa dia hidup di situ? Mengapa harus menenun? Apakah Dadong Brayut abadi, tidak bisa meninggal?” Kakek tidak bisa menjelaskan detailnya. Beliau hanya tahu bahwa di bulan hiduplah seorang Dadong Brayut, yang bekerja sebagai tukang tenun. Singkat, padat dan sulit untuk dikuak.

Begitu juga dengan fenomena gerhana bulan. Dari kakeklah pertama kali saya tahu bahwa gerhana bulan berkaitan dengan Sang Kalarau. Sejenis makhluk raksasa (buta) berkepala besar, tetapi tidak memiliki badan. Mahluk inilah yang konon memakan/ menelan bulan sehingga lenyap dari langit.

“Namun, gerhana bulan tidak berlangsung lama. Apalagi kita membantunya dengan memukul-mukul beberapa alat sumber bunyi. Ini akan membantu bulan dikeluarkan lebih cepat oleh Sang Kalarau,” kata kakek.

Zaman saya kecil, tradisi memukul-mukul alat sumber bunyi saat gerhana bulan masih sangat kuat. Saya ingat, pernah dimarahi oleh ibu karena momen gerhana bulan. Pasalnya, panci yang saya pukul menjadi penyok, karena saking semangatnya hendak menolong bulan. Saya memukulnya berkali-kali dengan sangat keras. Alhasil, gerhana bulan berakhir, tetapi saya mendapat amarah dari ibu.

Tidak hanya anak-anak, para remaja juga menyambut suka-cita momen malam purnama. Mereka menyambutnya dengan permainan, yang hampir sama dengan anak-anak. Hanya saja mereka bermain dengan teman-teman seusianya. Jenis permainannya pun tidak jauh berbeda.

Malam Purnama, Tradisi Nebuk, dan Kajakan

Lain halnya dengan perempuan dewasa dan ibu-ibu, momen purnama dijadikan aktivitas “nebuk” jagung. Dari tradisi nebuk ini lahir istilah mesak’ang, nyeruh, ngetak’ang, napinang dan nyeksek. Rangkaian proses nebuk menghasilkan produk utama bernama “kelanan”.

Nebuk adalah aktivitas menumbuk biji jagung dengan alat utama yaitu lu kayu dan lesung batu kapur. Umumnya, nebuk dilakukan secara bergrup oleh para perempuan desa yang perkasa, dengan jumlah anggota berkisar 2-4 orang. Setiap anggota berdiri melingkari lesung dengan lu di tangan.

Mereka menumbuk biji jagung secara bergantian sesuai putaran arah jarum jam. Setelah hunjaman lu pertama, akan diikuti hunjaman lu kedua teman sebelah kanan dan seterusnya. Sistematis, konsisten dan terukur sehingga hampir nihil kasus kecelakaan. Ya, karena ini memang wilayah domestik kaum wanita di desa saya.

Proses penumbukan pertama disebut “mesak’ang” yakni memisahkan kulit biji jagung dengan dagingnya. Caranya, biji jagung ditumbuk berulang-ulang, kemudian diangkat ke dalam wadah tempeh. Selanjutnya, masuk ke proses “napinang” yaitu mengayun-ayunkan hasil tumbukan di dalam tempeh untuk memisahkan (memfilter) kulit biji jagung dari dagingnya. Produk mesak’ang ini berupa oot jagung, yang biasa dimanfaatkan sebagai dagdag atau pakanan babi.

Sementara itu, daging jagung yang difilter, ditumbuk untuk kedua kalinya. Penumbukan yang kedua ini disebut “nyeruh”. Daging jagung yang ditumbuk-tumbuk dimasukkan kembali ke dalam tempeh lalu melewati proses napinang lagi. Produk yang dihasilkan dari proses nyeruh yaitu daging biji jagung yang bersih, tetapi ukurannya masih besar.

Karena itu, harus ditumbuk ulang untuk ketiga kalinya. Namanya “ngetak’ang”. Proses penumbukan pada tahap ngetak’ang sedikit berbeda. Lubang lesung batu bagian bawahnya, dialasi dengan batu hitam (bulitan) setebal kurang lebih 7 cm. Lapisi tambahan ini berfungsi untuk memaksimalkan proses peremukan biji daging jagung yang ditumbuk.

Selanjutnya, hasil tumbukkan dimasukkan ke dalam tempeh untuk proses “nyeksek”. Daging jagung (dalam tempeh) dibenturkan berulang-ulang miring ke bawah, untuk memperoleh kepingan bagian biji jagung yang kecil. Sementara, kepingan daging jagung yang besar kembali masuk ke tahap ngetak’ang dan nyeksek berikutnya. Proses ngetak’ang dan nyeksek dilakukan 2-4 kali, sesuai kebutuhan. Dari proses ngetak’ang diperoleh produk utama yaitu “kelanan”.dan beberapa kelanan sangat kecil, mincit serta bubur.

Status “kelanan” berarti kondisi bahan makanan yang siap untuk diolah. Olahan utama dari kelanan ini adalah nasi jagung, makanan pokok masyarakat NP. Kedua, bisa diolah menjadi tipat kelanan. Ketiga, dapat diolah menjadi penganan, misalnya kue “gendar”.

Aktivitas nebuk menjadikan malam di desa menjadi menggeliat. Hunjaman-hunjaman lu yang bertenaga membuat tanah terasa megejeran. Ditambah lagi, teriakan suka-cita anak-anak bermain menyeruak di bawah cahaya bulan. Hal ini menyebabkan purnama terasa riuh dan bergetar. Kehidupan desa seolah-olah terjaga.

Selain itu, purnama juga sering dimanfaatkan oleh warga untuk kegiatan “kajakan” mengangkut tain kaliang. Tain kaliang adalah material sisa galian sumur tadah hujan berupa tanah batu kapur. Tumpukan Tain kaliang ini digali dalam rentang beberapa hari. Untuk mengangkutnya ke atas, dibutuhkan personal yang cukup banyak.

Karena itulah, warga di kampung saya menyikapinya dengan sistem kajakan (gotong-royong). Para kerabat diundang mulai dari anak-anak, remaja dan para orang tua. Momen yang digunakan untuk mengangkut Tain kaliang ini yaitu malam bulan purnama.

Tain kaliang diangkut menggunakan wadah bernama “timpalan”. Timpalan dibuat dari anyaman daun kelapa yang tua. Wadah ini tergolong tahan banting, tahan pecah, tahan benturan dan praktis.  

Mula-mula timpalan ini dikaitkan pada seutas tali, lalu dijatuhkan ke dasar sumur. Petugas yang mengisi material di bawah, bersiaga dengan skopnya. Ia mengambil timpalan, mengisinya dan mengaitkan kembali pada tali untuk ditarik ke permukaan.   

Tain kaliang dimanfaatkan sebagai tanah urug atau pondasi “klabah”. Pembuatan klabah diperuntukan pada sumur yang berada di luar pekarangan rumah. Tain kaliang dikumpulkan dan ditumpuk-tumpukkan di dekat mulut sumur—hingga menyerupai papan bidang berbentuk persegi panjang lalu dirabat dan diplester. Posisi permukaannya lebih tinggi dari mulut sumur. Inilah yang disebut klabah (penampung air hujan sementara).

Permukaan bidang klabah tidak rata. Bagian belakang dan sampingnya lebih tinggi. Begitu air hujan jatuh, langsung berlarian ke bagian tengah, menuju permukaan titik depan-tengah klabah yang paling rendah. Pada titik inilah dibuatkan lubang penghubung klabah dengan mulut sumur.

Pelarian air yang jatuh di atas klabah berakhir pada dasar sumur yang diplester. Untuk mendapatkan air yang bersih, ujung lubang klabah dilapisi dengan penyaringan. Jika ada sampah daun yang ikut terbawa air hujan, maka tidak akan langsung jatuh ke dalam sumur, karena tersangkut pada penyaringan.

Ketika bergotong-royong mengangkut tain kaliang, kekompakan dan semangat kerja warga sangat terasa terutama dari kalangan anak-anak. Sambil mengangkut tain kaliang, mereka membayangkan nikmatnya Abug khas Nusa Penida. Abug menjadi penganan wajib (sebagai pendamping kopi/ teh) dalam aktivitas kajakan mengangkut tain kaliang.

Abug terbuat dari singkong (diparut), kelapa (diparut), gula merah, pisang dan kacang merah. Singkong dan kelapa yang diparut dicampur menggunakan jari tangan lalu diisi dengan garam secukupnya. Adonan ini dibungkus dengan daun pisang.

Sebelum dibungkus, di tengah-tengahnya diisi irisan gula merah, permukaan lainnya diisi dengan beberapa kacang merah. Bentuk dan teknis bungkusannya mirip sumping bali. Pun teknis pengukusannya tidak jauh berbeda. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menitan, adonan abug akan menjadi matang.

Tahun 80-an, warga di kampung saya sudah mulai “mandiri air”. Rata-rata setiap KK mampu membuat sumur tadah hujan, sebagai stok air hujan dengan volume yang bervariasi. Besar kecilnya volume air yang dibuat tergantung kemampuan ekonomi warga.

Sebelumnya, masyarakat di kampung saya bergantung pada air semer. Air semer adalah air bawah tanah. Keberadaannya jauh dari permukiman warga. Berada di bawah tebing, dengan posisi jalan setapak yang terjal. Dulu, satu-satunya sumber air kehidupan warga di kampung saya ialah Semer Gamat Dulu.

Semenjak warga mampu membuat sumur tadah hujan, ketergantungan pada semer pelan-pelan berkurang hingga bisa melepaskan diri. Pembuatan sumur menjadi kebutuhan vital setiap KK. Dalam proses pembuatannya, rupanya tidak lepas dari peran bulan purnama, sang cahaya semesta.

Selain bermain, nebuk dan gotong-royong (kajakan), malam purnama juga dimanfaatkan oleh warga untuk acara kekeluargaan. Beberapa keluarga memanfaatkan malam purnama sebagai acara makan bersama di natah rumah. Mereka duduk-duduk di atas batu lempeh, menikmati makanan, menikmati cahaya bulan, sambil bercerita-cerita ringan, bercanda, tertawa dan lain sebagainya.

Tidak hanya mempererat tali kekeluargaan, purnama juga menyebabkan para warga merasa sangat dekat dengan alam. Ada rasa kesadaran langit. Ada rasa kesadaran bumi. Ada rasa kesadaran kemahakuasaan Tuhan.

Dari momen purnama inilah, kami diajari tentang spiritual ala lampau. Spiritual yang sangat personal—tak membutuhkan pengakuan banyak orang. Cukup rasa diri sendiri, alam dan Tuhan.

Pada Dadong Brayut, kami diajari tentang kesadaran bulan dan langit. Sedangkan, pada Kalarau, kami diajari tentang kekuasaan raksasa. Kekuasaan yang hendak mengaburkan kuasa Tuhan.

Karena itu, ketika listrik masuk ke desa kami tahun 90-an, kehidupan warga berubah. Tidak harus menunggu waktu sebulan untuk berpesta cahaya. Sebaliknya, setiap hari warga desa menikmati cahaya lampu. Lampu setir/ templek masuk ke gudang rongsokan, dan sekaligus mengakhiri cerita mangsi pada bulu hidung.

Kemudian, muncullah radio, tape recorder dan televisi sebagai tren atau kegandrungan baru. Para warga lebih banyak menghabiskan waktu dan perhatiannya pada benda-benda ajaib, ciptaan manusia tersebut. Mereka tak punya waktu lagi untuk memandang bulan purnama walau hanya sedetik.

Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba saya merasakan Dadong Brayut sudah meninggal. Sementara, Kalarau gentayangan menyusup ke dalam radio, tape recorder, televisi dan arus listrik. Lalu, saya melihat bulan purnama pecah berkeping-keping pada setiap mata warga desa.

Selasa, 15 Maret 2022

 

Pura Segara Kidul Menjadi Latar Video Klip Lagu "Ngajining Nusa". Foto: travelspromo.com

Melakoni hidup sosial (bermasyarakat) tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi di daerah rantauan. Pasalnya, segala perilaku diri (individu) akan menjadi fokus “mata sosial”yang heterogen. Baik-buruknya individu akan memberikan citraan tidak hanya bagi personal, tetapi leluhur keluarga dan termasuk tanah leluhurnya (daerah asal). “Nyen to? Nyen ngelah keluargane to? Nak uli dija to?” (Siapa itu? Keluarganya siapa? Dari mana asalnya?). Inilah “paket asesmen sosial” yang sering digunakan oleh masyarakat untuk menakar kualitas seseorang hingga berujung pada silsilah geografinya.

Risiko sosial inilah yang hendak dicerminkan dalam lagu “Ngajining Nusa” (pencipta dan sekaligus penyanyi, Nanang Mekaplar). Nanang yang asli dari NP dan juga seorang doktor (dosen STAHN di Palangkaraya) ini ingin mengingatkan agar nyama NP dapat menjaga reputasi diri, keluarga dan terutama tanah leluhurnya di negeri rantauan.

Nanang tidak ingin nyama NP terjebak dengan risiko-risiko sosial yang negatif dalam hidup bermasyarakat. Risiko yang akan menjatuhkan harga diri personal dan leluhur keluarga. Risiko yang pada akhirnya akan menjatuhkan tanah leluhur, NP.  

Oleh karena itu, lagu “Ngajining Nusa” ini dimulai dengan lirik: Yen saja eda mula getih hang Nusa/ Tara mrokak, brangas, mroset teken timpal/ Tutur manis ngajinin banba ken nyama/ Saling tulung apang pada saling kenyem//. (Kalau Anda memang orang NP, jangan bersikap arogan, kasar, asusila dengan teman. Bertutur kata yang sopan dengan saudara. Hidup saling membantu agar semua tersenyum gembira).

Lirik tersebut hendak mengajak nyama NP untuk mulat sarira menjalani filosofi tri kaya parisudha yakni berbuat baik, berkata-kata dengan baik dan termasuk berpikir yang baik. Implementasi filosofi ini merupakan modal bagi setiap orang untuk menjalankan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik—kapan dan di mana pun, terlebih lagi hidup di negeri rantauan.

Nanang juga menyinggung bahwa pentingnya hidup tolong-menolong, saling membantu dan saling mendukung satu sama lain. Dalam konteks ini, tidak berlaku prinsip “dagelan SMS” yaitu senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Sebaliknya, nyama NP diharapkan bersatu padu membangun pondasi kekompakan, kerekatan dan persatuan dengan siapa saja, terlebih lebih lagi dengan sesama nyama NP.  

Implementasi spirit nilai pancasila ini dimaksudkan untuk mencapai kondisi hubungan sosial yang rukun dan harmonis. Jangan sampai ada kecemburuan, saling curiga dan pra sangka-prasangka negatif lainnya—sehingga tercipta kehidupan sosial yang bahagia-menyenangkan (pakedek-pakenyem).

“Sesuhunan” Tanah Leluhur

Prinsip menjalani kehidupan sosial yang baik di rantauan didasarkan pada motivasi menjaga reputasi nama tanah leluhur, NP. Nama tanah leluhur mungkin menjadi semacam alarm (pengingat) bagi nyama NP agar termotivasi berperilaku yang tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku.

Tidak hanya sekadar alarm, jangan-jangan tanah leluhur sudah dianggap menjadi (maaf) semacam “sesuhunan” oleh nyama NP. Sesuhunan dalam artian tanah leluhur NP harus dihargai, dihormati, dan dijaga kesucian reputasinya.

Konsepnya mungkin mirip dengan kita memuja para leluhur (Dewa Yang). Bedanya mungkin terletak pada jarak kedekatan darah dan cakupan keluasan. Memuja para leluhur (keluarga) dilakukan oleh keluarga besar yang memiliki ikatan pertalian darah secara langsung. Silsilah persaudaraan inilah yang dipuja dan disakralkan melalui simbol pura keluarga (Pura Dadya).

Lebih kecil, para leluhur keluarga (yang sudah disucikan) dipuja dan disakralkan di Sanggah Rong Telu atau Kemulan pada masing-masing rumah pribadi. Dari Sanggah Rong Telu dan Pura Dadya inilah, ikatan emosional secara niskala dengan para leluhur dibangun. Secara kasat mata (sekala), pura keluarga juga berperan sebagai media untuk merekatkan tali persaudaraan (persatuan) dengan sakral di antara intern keluarga besar yang masih memiliki pertalian darah secara langsung.

Eksistensi Rong Telu dan Pura Dadya mungkin merupakan wujud sikap kerendahan hati orang Bali (NP) terhadap jasa-jasa para leluhur. Orang Bali sadar bahwa berkat kuasa Tuhan dan peran serta jasa para leluhurlah, kita menjadi ada, sehingga bisa menjalani hidup di dunia ini. Tanpa peran leluhur, pasti tidak ada estafet keturunan seperti sekarang.

Lalu, bagaimana dengan (maaf) “sesuhunan” tanah leluhur? Dalam konteks ini ialah tanah kelahiran, NP. Apa perannya dengan eksistensi diri orang NP? Jawabannya sangat jelas. Tanah leluhur NP berperan memberikan udara (oksigen), air, tanah pijakan dan lain-lainnya kepada kita yang lahir di tempat ini. Kalau tidak lahir langsung di NP, setidak-tidaknya leluhurnya pernah menikmati zat-zat yang menghidupinya di tanah kelahiran, NP.

Karena itulah, wajar tanah leluhur NP dihormati dan dijaga kesucian reputasinya—walaupun tidak ada wujud fisik sakralnya (berupa pura). Mungkin saat ini, belum ada konsep pura yang merepresentasikan satu wilayah lebih besar seperti Kecamatan NP, tiga pulau, 16 Desa Dinas. Yang ada yaitu Pura Sad Kahyangan Tiga (untuk wilayah satu desa adat) dan Pura Kahyangan Jagat (umum untuk semua umat Hindu).

Akan tetapi, seringkali orang NP (di rantauan) menyembah “sesuhunan” Ida Ratu Gede Mecaling, yang melinggih di Pura Dalem Ped sebagai representasi pertalian tanah leluhur. Di samping berfungsi sebagai Pura Kahyangan Jagat, agaknya reprensentasi Pura Dalem Ped juga dijadikan semacam simbol pura nyama NP (satu wilayah). Begitulah, wujud ekspresi bakti nyama NP yang dilakoni secara spiritual. Bagaimana dengan cara sekala? 

Nanang lewat lirik “Ngajining Nusa” memberikan perspektif lirik sebagai berikut: Nyalan bareng-barengin pada saling gelahang/ Tara bales negehang tara bales ngendepang/ Dini ditu kejange masin sambate Nusa// (Ayo miliki NP bersama-sama, jangan terlalu meninggikan atau merendahkan, apa pun yang terjadi dengan nyama NP pasti akan disinggung ke-nusapenidaan-nya (baca:tanah leluhurnya).

Karena itulah, Nanang selalu mengingatkan payung dharma. Menurut lagu ini, pada prinsipnya nyama NP merantau untuk mencari satu yaitu penghidupan yang layak, penghidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera. Namun, tidak semua nyama NP akan mencapai titik penghidupan yang layak itu. Ada yang mendapatkan penghidupan (arta) berlimpah (kaya), sedang, dan ada pula yang kurang (miskin).

Namun, apa pun kondisinya, semua harus dijalani dengan payung dharma. Karena kondisi yang diterima sudah menjadi takdir (karma) dari Tuhan. Karena itu, baik dalam kondisi berada maupun tidak berpunya, mesti konsisten berada di jalur dharma. Deskripsi ini dapat dilihat pada lirik berikut: Srarad-srurud bareng masin lakar ngalih besik/ Sugih-tiwas kejang nyalanang karma/ Hene hente nyalan jani dasarin dharma//. (Di rantauan mana pun kita tinggal, toh ujung-ujungnya akan mencari satu yakni kesejahteraan hidup. Soal nanti sukses atau tidak meraih kesejahteraan itu, semua tergantung karma. Namun, semua harus dijalankan dengan kebenaran (dharma).

Implikasi payung dharma ini berkaitan dengan menjaga citraan tanah leluhur, NP. Nanang mempertegas bahwa tanah leluhur (NP) itu sakral. Kesucian reputasinya sangat tergantung kepada perilaku pribadi nyama NP. Apakah NP akan dicitrakan baik-buruk nantinya? Semua bergantung pada perilaku personal nyama NP. Gambaran ini tercermin pada lirik terakhir sebagai berikut: Gumi Nusa wayah pingit eba ngelahang/ Jelek-bagus eba ngajining eba nadiang//

Penutup lirik tersebut sebetulnya bersifat opsional. Mau dibawa ke mana citra tanah leluhur, NP? Terserah personal nyama NP. Tidak ada keharusnya yang mengikat nyama NP untuk membawa tanah leluhur ke satu arah. Semua dikembalikan kepada pribadi masing-masing, dengan segala risiko yang berdampak terhadap kesucian tanah leluhur, NP.

Dari semua lagu yang diciptakan Nanang, mungkin lagu “Ngajining Nusa” merupakan proses kreatif yang dianggap paling intens. Sangat intens jika dibandingkan dengan lagu-lagu lain ciptaannya. Konten yang diangkat cukup serius, berat dan sangat mendalam.

Bisa jadi lagu berbahasa Bali berdialek khas NP dan berlatar video klip di Pura Segera Kidul (mata air Guyangan) ini lahir dari puncak kesadaran pribadi Nanang terhadap pencapaian hidupnya di negeri rantauan. Ia menyadari bahwa pencapaian hidupnya di negeri orang bukan untuk dibangga-banggakan. Apalagi dijadikan arogansi untuk mengerdilkan dan melupakan tanah leluhurnya.

Sebaliknya, pada puncak pencapaian hidupnya, ia justru merasa rendah diri. Ia merasa kecil. Karena ia menyadari bahwa apapun pencapaiannya kini tidak lepas dari peran tanah leluhurnya. Tanah yang menjadikan dia ada. Tanah yang pernah membesarkannya.

Karena itu, “Ngajining Nusa” sesungguhnya lagu pergulatin batin. Lagu yang mengajak kita untuk melakukan tapa diri. Mulat sarira untuk menemukan esensi diri dan tanah leluhur kita.

 


Sepii Dewasa. Foto: Ketut Serawan


Pernah dikencingi sepii? Jika ditanyakan kepada anak 90-an di Nusa Penida, rasanya mereka akan menjawab dengan kata “pernah”. Sepii bukan puisi. Bukan pula referensi kondisi sunyi, seperti gambaran masa pandemi covid-19 sekarang ini. Namun, sepii merupakan sejenis kumbang oranye kecoklatan yang nyaman hidup pada pohon sambi (kesambi).

Sepii memiliki senjata cairan yang khas dan berbau. Cairan ini dikeluarkan jika merasa terancam. Siapa yang menganggu atau mengancamnya, maka kumbang ini tak segan-segan untuk menyemburkan cairannya. Warga di kampung saya menyebutnya dengan air kencing sepii.

Sejatinya, kencing sepii tidak terlalu berbahaya. Namun, jika mengenai mata, perihnya luar biasa. Cukup menganggu penglihatan dalam waktu beberapa menit. Untuk mengurangi efek perih bertahan lama, orang biasanya mencuci muka berkali-kali dengan air bersih.

Apabila menggenai organ tubuh lainnya, maka relatif aman. Hanya saja, bekas cairan itu akan menimbulkan perubahan warna. Misalnya, mengenai kulit kita—maka kulit akan berubah menjadi agak kekuning-kuningan. Namun, dalam hitungan harian, warna kulit akan menjadi normal kembali.

Sepii termasuk Tessaratoma papillosa. Spesies serangga dalam keluarga Tessaratomidae. Perilaku spesies ini tergolong jinak. Ia akan terbang jika betul-betul merasa terancam. Terbangnya juga tidak terlalu jauh. Ia akan hinggap pada daun pohon terdekat. Akan tetapi, bukan untuk selamanya. Dalam hitungan jam atau harian, sepii akan kembali merindukan habitatnya yakni pohon kesambi.

Sepii paling nyaman bertengger pada daun muda kesambi. Daun muda ini dicirikan dengan warna merah. Entah apa penyebabnya. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, semuanya nyaman memilih bertengger pada daun muda kesambi. Bisa jadi daun muda inilah yang menjadi sumber makanannya.

Sepii dan Titik Nadir Sepi

Tahun 90-an ke bawah, sepii bukan hanya menjadi penghuni utama pohon kesambi, tetapi dijadikan alternatif untuk disantap. Beberapa sepii yang sudah tertangkap, ditusuk berjejer dengan lidi, lalu di panggang di atas bara api.

Sepii yang matang sangat lezat disantap baik dengan maupun tanpa nasi. Apalagi dibumbui dengan sambel, lezatnya lebih terasa. Sepii juga enak diolah dengan cara digoreng. Semuanya tergantung kondisi dan selera. Namun, diolah dengan cara mana pun, bagi lidah anak-anak tahun 90-an (ke bawah), sepii termasuk santapan nikmat.

Di samping lezat, cara menangkapnya juga tergolong mudah. Biasanya, anak-anak di kampung saya cukup bermodalkan senjata engket (getah) nangka, lidi dan sebatang bambu galah. Mula-mula, getah nangka dikumpulkan dengan cara meletakkan ujung lidi pada getah nangka, lalu dikilit-kilit atau diputar-putar.

Jika dirasakan cukup, ujung lidi yang kosong akan diikatkan pada ujung bambu galah yang sudah disiapkan. Panjang bambu galah menyesesuaikan. Berkisar antara 2-4 meter. Poinnya dapat menjangkau keberadaan sepii pada daun kesambi.

Bambu galah yang terikat getah dijulurkan ke atas. Kemudian, getah yang melilit pada lidi ditempelkan pada tubuh sepii. Dalam kondisi seperti ini, sepii langsung menyemprotkan cairan pertahannya. Sambil meronta-ronta, kedua sayapnya terbuka, hendak berusaha terbang. Akan tetapi, daya lengket getah nangka membuat sepii tak berdaya.

Menangkap anak sepii lebih mudah lagi sebab mereka belum memiki sayap. Bentuk tubuhnya persegi panjang, pipih dan gepeng. Seluruh permukaan tubuhnya lunak, memiliki kaki 6 dan 2 antena menjulur di bagian kepala serta berwarna orange.

Berbeda dengan sepii dewasa. Di samping memiliki sayap, sepii dewasa juga memiliki permukaan tubuh yang lebih keras, terutama pada bagian punggungnya. Keras seperti cangkang.

Selain dikonsumsi, kadang-kadang sepii dewasa dijadikan mainan oleh anak-anak zaman dulu. Ujung kakinya yang bergerigi dilepas, lalu tubuhnya diikatkan dengan sesuatu sebagai penanda. Bisa berupa tali, daun ilalang, dan lain sebagainya. Penanda ini sebagai ciri bahwa sepii tertentu milik seseorang.

Ketika penanda sudah diiikatkan pada tubuh sepii, selanjutnya dilepas. Sementara itu, anak-anak akan berlari-lari mengikuti kemana arah sepii terbang. Tindakan ini sebetulnya tergolong penyiksaan. Sepii memang bisa terbang, tetapi tidak dapat hinggap pada daun/ ranting pohon.

Ujung-ujungnya, sepii akan jatuh ke tanah. Ketika jatuh, anak-anak memungutnya lagi dan diterbangkan ke atas. Sekali lagi, sepii berusaha terbang tinggi ke sana kemari menggapai daun atau pohon tetapi akhirnya jatuh lagi.

Bagi anak-anak zaman dulu, melihat sepii terbang dengan penanda tertentu dianggap mengasyikan. Apalagi mereka dapat terlibat berlari-larian memburu sepii yang sedang terbang. Rasanya memang hanya dipahami oleh anak-anak kala itu.

Perburuan sepii menjadi lebih asyik lagi jika pohon kesambi berbuah. Penduduk di kampung saya menyebut buahnya dengan nama cacil. Bentuk buahnya menyerupai kelengkeng. Daging buahnya berwarna putih dan memiliki satu biji bulat kehitaman. Buah yang tua rasanya manis dan sedikit kecut. Sedangkan, yang belum matang rasanya kecut sekali.

Biasanya, kesambi berbuah saat memasuki rentang musim kemarau. Musim ketika pakan sapi mengalami paceklik. Segala daun diberdayakan untuk pakan sapi. Salah satunya daun kesambi. Untuk mendapatkan daun kesambi, anak-anak memanjat pohon kesambi dengan cara memotong rantingnya yang kecil-kecil. Pada saat inilah terjadi hujan berkah.

Tidak hanya ranting, tetapi ikut pula jatuh ke tanah yaitu daun kesambi, buahnya dan sepii. Berkah ini seolah-olah menjadi satu paket. Ranting-ranting kecil menyatu dengan daun, buah dan pada ujung daun mudanya bertengger beberapa sepii.  

Ketika ada getaran saat memotong ranting kesambi, sebagian besar sepii memilih terbang. Namun, ada beberapa yang ogah terbang. Mungkin mereka merasa terlalu nyaman. Getaran saat memotong bahkan ketika ranting jatuh ke tanah pun tidak dianggap sebagai ancaman. Mereka tetap nyaman bertengger di tempat semula.

Dari sinilah, suasana pesta anak zaman dulu dimulai. Sambil mengumpulkan daun kesambi sebagai pakan sapi, mereka juga menikmati cacil yang matang. Pun mengumpulkan beberapa sepii untuk dipanggang atau digoreng. Sebuah pesta sederhana ala anak pedesaan yang tentu saja bernilai bagi anak-anak zaman dulu di NP.

Selain daun dan buahnya, kayu kesambi juga dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Di kampung saya, kayu kesambi yang tua biasanya digunakan sebagai “lu”. Lu digunakan sebagai penumbuk jagung, beleleng, dan gedebong (batang pisang yang diiris untuk dijadikan pakan babi-dagdag).

Zaman 90-an ke bawah, mesin-mesin pengilesan (peremuk biji jagung) masih sangat langka. Orang-orang di kampung saya mengolah biji-bijian tersebut dengan cara ditumbuk pada sebuah lesung batu yang cukup besar. Dalam rangkaian proses penumbukkan inilah dikenal adanya tradisi “napinan”.

Jagung dan beleleng yang ditumbuk, diangkat dari lesung, lalu ditaruh ke dalam tempeh. Selanjutnya, diayun-ayunkan dengan gerakan berputar-putar terlebih dahulu sehingga ootnya (lapisan kulit luar biji) berkumpul pada satu titik pusat. Kemudian, diayun-ayunkan ke depan untuk memisahkan ootnya pada tempat yang sudah disediakan. Proses “napinan’ ini dilakukan beberapa kali sesuai kebutuhan.

Aktivitas “napinan” membutuhan skil khusus. Biasanya, tradisi “napinan” ini dilakukan oleh kaum perempuan. Anak perempuan zaman dulu, hampir semuanya cekatan dalam melakoni aktivitas “napinan”. Pasalnya, aktivitas ini dilakukan hampir setiap hari, terutama pada musim panen jagung. Dulu, nasi jagung menjadi makanan pokok di NP. Untuk mengolahnya menjadi nasi, harus melewati proses “nebuk (numbuk)” dan “napinan”.

Karena itu, hampir semua warga di kampung saya memiliki lesung dan lu. Salah satu pilihan kayu yang digunakan sebagai lu ialah kayu kesambi. Hal ini disebabkan oleh kayu kesambi memiliki tekstur yang rapat, kuat dan berat. Sangat cocok digunakan untuk meremukkan biji-bijian.

Namun, seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pemanfatan lesung dan lu semakin kurang optimal. Bahkan, hampir terabaikan. Pemanfaatan kayu kesambi menjadi lu sudah hampir tiada. Pohon-pohon kesambi tumbuh makin liar bersama penghuni setianya yaitu spesies sepii.   

Kesambi dan sepii berjalan dengan kisahnya sendiri. Tak ada lagi yang peduli. Anak-anak kini lebih memilih sunyi bersama gadgetnya sendiri-sendiri. Tidak ditemukan lagi pesta cacil dan sepii di bawah pohon kesambi.  

Pergerakan musim kemarau berlalu penuh gelisah, karena tak lagi mencatat riuh kaki anak-anak berlari mengejar sepii. Pun bara api sudah sekian tahun puasa bakar tubuh sepii. Kini, kisah sepii benar-benar tenggelam ke titik nadir sepi.