Senin, 31 Mei 2021

 


Foto: hoteldomestik.com

Sebelum bisnis penginapan merebak di Nusa Penida (NP), para patirta yatra (pamedek) yang datang ke NP melakukan aktivitas sembahyang di pura dan sekaligus “menghabiskan malam” (makemit I) di salah satu titik pura yang ditetapkan. Namun, belakangan ada tren pergeseran “menghabiskan malam” (makemit II) oleh pamedek dari pura ke penginapan. Sembahyangnya di pura, tetapi makemit-nya (baca: menghabiskan malam) di penginapan.

Fenomena tren “menghabiskan malam” alias makemit II (saya sebut makna sampingan-lah) ini tampak signifikan setidaknya dari 3 tahun yang lalu. Kemudian, tampak lebih menggejala justru ketika pariwisata NP tersendat oleh pandemi Covid-19. Para pengusaha yang nihil dari kunjungan tamu mancanegara, berlomba-lomba menjaring pamedek untuk makemit II di penginapan miliknya.

Strategi penjaringan pamedek tersebut tampaknya tidak luput dari upaya pebisnis penginapan untuk tetap bertahan. Bertahan di tengah situasi yang sangat sulit seperti sekarang. Karena itu, mereka pun bersaing menawarkan harga penginapan yang sesuai dengan kondisi ekonomi pamedek plus berbau corona. Bayangkan, cukup Rp 200-an ribu per malam, pamedek dapat menikmati penginapan bagus bahkan sudah termasuk fasilitas kolam. Wah, Anda pasti tertarik, bukan?

“Ya, daripada kosong melompong. Lebih baik berisi, walaupun harga tidak rasional,” mungkin teori keadaan inilah yang menyebabkan para pebisnis penginapan berlomba-lomba banting harga demi mendapatkan pemasukan. Setidaknya, mungkin untuk menutupi biaya operasional penginapan.

Kondisi ini jelas menguntungkan para pamedek yang menginap di NP. Tidak hanya membuat nyaman, praktis, tetapi sekaligus solusi bagi pamedek agar terhindar dari kerumunan jika makemit di satu titik pura. Jadi, penginapan memisahkan potensi kerumunan antara rombongan pamedek satu dengan yang lainnya di satu titik pura.

Karena itu, tren makemit II kian mendulang dukungan sekarang. Para pamedek di NP kian dimanjakan dengan tawaran paket tirta yatra oleh travel, komplit dengan transportasi, konsumsi dan akomodasi penginapan—tentu dengan harga yang sangat terjangkau.

Yang tidak memilih paketan, bisa memilih pengusaha transportasi secara freeland baik individual maupun kelompok lewat jejaring sosial. Bahkan, ada juga yang memilih  datang langsung ke NP. Karena di pelabuhan NP, mereka pasti akan disambut oleh para pengusaha transportasi—yang siap mengantarkan ke beberapa titik pura dan sekaligus siap mencarikan penginapan.

Situasi ini tentu berbeda dengan zaman sebelumnya yakni tahun 2015 ke bawah. Zaman ketika pariwisata belum menggeliat di NP. Tidak ada bisnis penginapan. Para pamedek yang datang ke NP harus makemit di salah satu titik pura.

Mereka memanfaatkan areal pura (wantilan, bale gong, bale pawaregan, dan lain-lainnya) sebagai tempat menghabiskan malam seadanya—dengan cara duduk-duduk, rebahan dan tidur-tiduran beralaskan tikar atau karpet. Sesekali diganggu nyamuk dan desiran angin malam—yang tentu saja tak senyaman di penginapan.

Prediksi Makemit II

Ayo, mau pilih mana? Makemit I atau makemit II? Pasti opsi kedua-lah. Jangankan kalangan milenial, para orang tua pun pasti memilih makemit di penginapan. Inilah mungkin yang disebut dinamika realita. Fasilitas penginapan ada. Ekonomi pamedek juga mendukung. Ya, muncullah tren makemit II.

Saya berkeyakinan bahwa tren makemit II ini akan semakin eksis karena menguntungkan pamedek dan terutama para pebisnis di NP. Pamedek mendapatkan kenyamanan dan sekaligus menciptakan efek “pelebaran perburuan uang” di NP. 

Selain pelancong mancanegara dan domestik, pamedek juga ikut meramaikan pergerakkan perekonomian masyarakat NP. Jika sebelumnya pamedek hanya menggairahkan sektor transportasi laut, tranportasi darat, dan kuliner—maka sekarang sektor bisnis penginapan juga ikut merasakan sirkulasi keuangan dari pamedek.

Karena menguntungkan banyak pihak, tren makemit II ini pasti semakin dikukuhkan ke depan. Lalu, bagaimana nasib tradisi makemit I oleh pamedek yang datang ke NP? Akankah tradisi makemit I menjadi pudar?

Semuanya sangat tergantung dari para pamedek itu sendiri. Kalau semua pamedek memilih tren makemit II, maka tamatlah riwayat tradisi makemit I. Para pamedek yang “memuja” kenyamanan, instanisasi dan kepraktisan akan klop memilih makemit II.

Jika lebih terlena, maka bisa jadi ke depan para pamedek datang ke NP dengan tangan kosong. Mungkin tidak perlu repot-repot membawa sesaji (banten aturan/ persembahan), pejati dan canang sari karena sudah disediakan oleh travel atau pamedek bisa membeli di dekat lokasi pura. Ke depan lagi, para pamedek mungkin saja tidak perlu membawa setelan pakaian sembahyang. Karena bisa saja, suatu saat nanti ada jasa yang menyewakan paketan pakaian sembahyang di NP. Jadi, para pamedek cukup membawa uang saja. Praktis, bukan?

Kemudian, jangan tanya lagi tradisi makemit I. Kemungkinan tak populer dan dianggap tidak penting lagi. Yang penting sudah melakukan persembahyangan dan berkesempatan berfoto ria untuk diunggah di medsos sebagai status pembuktian diri.

Ketika makemit I semakin terabaikan, maka totalitas spiritual pamedek menjadi berbeda (terasa sedikit hambar). Pura akan dianggap sebagai semacam persinggahan. Persinggahan untuk menggelar ritual persembahyangan biasa. Kurang ada ikatan batin, rasa memiliki, dan penghormatan terhadap aspek historis atau mitologi dari pura yang dikunjungi.

Kurangnya ikatan batin, rasa memiliki dan penghormatan aspek historis dari pamedek ini setidaknya berpengaruh terhadap kedalaman rasa bakti, rasa hormat dan kekhusyukan sang pamedek. Lewat makemit I, rasa-rasa itu mungkin bisa diejawantahkan. Karena lewat aktivitas makemit I, kedekatan fisik itu nyata. Di tambah waktu kontemplasi (merenung) juga cukup panjang.

Jika dioptimalkan, bisa jadi waktu makemit I ini akan menjadi semacam media berkomunikasi batin dengan lingkungan sekitar pura dan Ida yang melinggih di pura. Pada beberapa orang, mungkin mereka mendapatkan pengalaman spiritual yang berharga ini, tetapi sulit dijelaskan dengan ilmiah.

Karena itu, saya berkeyakinan bahwa kelompok pendukung makemit I masih ada. Hanya saja jumlahnya tak sebanyak pendukung makemit II. Tidak masalah. Sedikit atau banyak, pilih opsi satu atau kedua—semua tergantung mindset dan keyakinan kita. Kita tidak bermaksud mencari menang atau kalah. Yang terpenting, kedua realitas tersebut mesti dihargai.

Jadi, memang sangat berisiko ketika daerah tujuan spiritual terdampak pariwisata. Sektor pariwisata ikut-ikutan memengaruhi aktivitas spiritual baik secara langsung maupun tak langsung. Saya tidak tahu apakah situasi ini yang disebut pariwisata spiritual. Berwisata sambil berspiritual atau berspiritual sambil berwisata? Semuanya tergantung kita. Saya pikir belum ada regulasi yang mengatur persoalan ini.

Soal bobot wisata dan spiritual sangat tergantung selera personal atau kelompok tertentu. Apakah lebih ditonjolkan aspek wisatanya? Aspek spiritualnya? Atau bisa jadi berimbang. Tidak masalah.

Begitu juga dengan pilihan makemit I atau makemit II. Semua tergantung personal atau kelompok tertentu. Namun, yang jelas pahala (hasil) pengalaman spiritualnya akan dirasakan secara individual dan subjektif.

Kamis, 27 Mei 2021

 

Merapi Lava Tour: Adventure Lereng Gunung, Menikmati Puing Alam, dan Memacu Andrenalin 

Off-road dan momen basah-basahan di Kalikuning

“Bruum…Bruuum…Bruuum!” Bunyi mesin mobil jeep memekakkan telinga. Gerimis tipis yang sempat turun, tiba-tiba lenyap. Mungkin ngeri kali, ya! Takut melihat 30-an mobil offroad (jenis jeep Willys buatan Amerika) dari berbagai warna dan model, membentuk barisan seperti hendak berkonvoi. Entah untuk merayakan euforia kemenangan atau hendak menggelar kampanye.

Perasaanku berkecamuk. Deg-degan, tegang, gugup, takut, khawatir, ngeri, penasaran, dan senang bercampur jadi satu. Maklum, ini kali pertama aku melakukan adventure. Petualangan yang sudah lama aku dambakan.

Kali ini, bersama 120-an teman-teman sekolahku (plus 10 guru pendamping), aku melakukan adventure di lereng Gunung Merapi (GM), Yogyakarta. Minggu (06/10/2019), sekitar pukul 11.00 WIB, rombongan kami melakukan persiapan di basecamp, kaki GM. Kami tertahan oleh celoteh pemandu pariwisata setempat, sambil menggenakan helm dan menutup mulut hidung kami dengan masker. Karena mobil yang kami tumpangi tidak beratap, alias terbuka.

Puluhan jeep yang kami tumpangan sudah tak sabar melaju. Sudah hampir 30 menit, para sopir menginjak gas dalam-dalam. Mereka tak sabar untuk melaju. Sama seperti yang Kurasakan. “Ayooo…Tancap, Pak Sopir!” teriak teman-temanku spontan dan kompak.

Rombongan kami lalu melaju melewati tanjakan agak mulus. Namun, tak lama kemudian tubuh kami mulai terguncang. Kami melewati jalanan setapak berdebu dan penuh batu. Kami menerobos, seperti pasukan Pandawa atau Korawa yang hendak menuju medan Kurusetra. Mata kami tak berkedip menikmati kampung Kinahrejo yang luluhlantak, bekas hunian warga yang rubuh dan tak berpenghuni.

Sayup-sayup Aku mendengar suara sopir. Ia berbicara sambil menunjuk-nunjuk di sebelah kiri jalan (area Kaliadem), ada satu lahan ditumbuhi pohon bambu dan rerumputan hijau. Konon itu merupakan makam masal, korban erupsi GM tahun 2010.  Aku melihat sepintas lalu, karena jeep yang aku tumpangi melaju dengan cepat.

Deru mesin jeep terus membelah jalan-jalan setapak. Sementara, kepulan debu mulai beterbangan bercampur bersatu bersama tubuh kami. Seluruh badan kami “mengabu”, mulai dari ujung helm hingga ujung kaki. Namun, teriakan penuh keseruan tak juga berhenti, seperti yel yel perjuangan. “Yahuuu….!” teriak kami menyeruak, memecah siang berdebu.

Rute Adventure

Hingga di sebuah ketinggian, para sopir membanting setir kemudian mematikan mesin mobil jeepnya. Kami diminta turun, lalu digiring menuju sebuah puing-puing bangunan. Pemandu lokal menyebutnya dengan nama Museum Sisa Hartaku. “Museum yang sederhana,” pikirku. Di sini aku melihat puing-puing benda erupsi yang tertata, seperti tulang belulang sapi yang utuh, pakaian, peralatan rumah tangga, mebel, motor, foto momen erupsi, dan lain sebagainya.

Usai menikmati Museum Sisa Hartaku, aku dan rombongan berlarian menuju jeep yang kami tumpangi. Aku lihat para sopir sudah stand by hendak melaju kembali. Aku dan teman-teman melompat naik ke atas mobil. Kata pemandu, Kami akan melanjutkan perjalanan kedua menuju Batu Alien.

Ketika satu mobil melaju, jeep lainnya tidak mau kalah. Kami melaju bergerombol seperti balapan. Kami berpacu sambil saling mendahului (menyalip). Para sopir yang andal itu seolah-olah tidak mempedulikan penumpang. Mereka menginjak gas dengan kencang di atas jalan yang penuh dengan timbunan material vulkanik (pasir), kerikil dan batu-batuan berukuran besar yang dimuntahkan dari perut GM.

Tubuh Kami hampir terpental, terlempar ke luar mobil. Aku cepat-cepat berdiri, berpegangan kuat pada rangka jeep. Mobil yang Aku tumpangi seperti hendak nyungsep. Oleng ke kiri-kanan menghindari batu-batu besar di jalan. Sesekali, kepala mobil terangkat tinggi seperti kuda meringkik. “Wuuuu….!” Aku mengelus dada. Jantungku hampir copot.

Namun, petualangan belum selesai. Kami harus melaju. Melaju menuju yang Kami mau yaitu Batu Alien. Batu raksasa itu harus menghentikan sejenak perjalanan kami. Aku dan rombongan melompat turun, berlomba-lomba untuk segera melihat batu tersebut. Sebuah batu raksasa menancap di atas permukaan tanah. Menurut pemandu lokal, bongkahan Batu Alien ini berasal dari perut merapi yang terlempar. Batu itu seperti pahatan alami, memiliki dua mata, hidung, mulut, telinga, lengkap seperti alien. Batu besar ini ditemukan oleh warga pada tahun 2010 dan dijadikan salah satu komoditi pariwisata pada tahun 2011.

Puas menikmati Batu Alien, kami berebutan naik ke jeep lagi. “Let’s go, Pak Sopir!” Pak sopir menuruni jalan curam pendek. Kemudian, memacu jeepnya yang bermandikan debu pasir. Matahari bersinar terik persis di kepalaku. Namun, perjalanan belum usai. Jeep yang kami tumpangi terus melaju, menerjang bebatuan, menghindari lubang-lubang menganga, dan sesekali standing. Ya, ampun! Rupanya perjalananan menuju Bunker Kaliadem lebih terjal dan menanjak. Tidak hanya itu, bongkahan-bongkahan batu besar berserakan di jalanan. “Awasss….!” Teriak temanku. Mobil jeep yang Aku tumpangi seperti plane lepas landas, terbang tak menyentuh daratan.

Kombinasi jalan berlubang dan bongkahan batu, mengocok perut, mengguncang tubuh, dan mengguncang nyali kami. Namun, kami tak gentar. Kami berteriak-teriak kegirangan, sambil menikmati puing-puing hasil erupsi GM. Bentangan kali kering di sebelah kanan kami, bergelimpangan material pasir, kerikil, dan bongkahan bebatuan hitam. Sementara di kiri, merupakan ladang yang kosong, ditumbuhi rumput liar dan beberapa gelimpangan batu besar.

Kami harus berhenti ketika puncak GM tampak dekat dan jelas. Aku lihat puncak itu dikelilingi kabut tebal. Kami turun dari jeep menuju Bunker Kaliadem. Kami harus menaiki anak tangga untuk memasuki area Bunker Kaliadem, benteng perlindungan warga dari awan panas. Tahun 2010, Bunker Kaliadem tak mampu melindungan puluhan nyawa warga Kinahrejo. Karena lelehan lava GM menimbun dan menembus pintu bunker serta menewaskan semua warga yang berlindung di dalamnya, termasuk para relawan. Konon, bunker ini menyimpan misteri sekarang. Menurut berbagai informasi, sering terdengar jeritan tangis di tempat ini. Iiiih, serem!

Dari titik bunker ini, kami juga menikmati betapa gagahnya GM berdiri tegak, diselimuti kabut tebal.  Namun, di titik Kami berdiri, hamparan tampak gersang dan banyak bebatuan vulkanik. Kami tak melewati momen itu. Kami memotret panoramanya, berselfie, dan foto bersama. “Di sini sejuk, indah, tetapi menakutkan,” ucap Eva Sagitariani merinding, salah satu teman rombongan kami.

Momen foto-foto menjadi cerita terakhir kami di Bunker Kaliadem. Selanjutnya, kami harus memutar menuruni lereng GM menuju Kalikuning. “Yesss…Offroad Kalikuning!” ucap Ida Ayu Tantri Krisnaputri, penuh semangat. Saking senang dan semangatnya, perjalanan menjadi tidak terasa. Kami melintasi jembatan, lalu mobil menukik ke bawah menuju sungai berisi aliran air cukup deras. Mobil jeep yang kami tumpangi menerobos dan membelah air tersebut. “Yuhuuuu…Yuhuuuu...” Teriak kami senang seperti paduan suara. Air terpental ke atas, lalu menyambar tubuh kami. Spontan tubuh kami basah kuyup.

“Ayoo, Om. Lagi, om! Please, Om!” pintaku bersama teman-teman. Jeep memutar lalu menabrak berkali-kali air sungai Kalikuning. Air terbang menghantam rambut, kepala, muka dan seluruh bagian tubuh kami. Momen basah-basahan itu merupakan trip terakhir adventure kami. Momen inilah yang paling mengesankan bagi kami.

Gimana? Kamu tertarik? Perlu kalian ketahui bahwa Merapi Lava Tour merupakan wisata berpetualang dengan jeep melihat sisi Merapi sesudah erupsi. Paket wisata ini muncul setelah GM meletus hebat tahun 2010, yang menewaskan warga Desa Kinahrejo, relawan, termasuk juru kunci GM yaitu Mbah Marijan. Dampak erupsi yang berantakan inilah yang justru dikemas menjadi paket pariwisata.

Merapi Lava Tour dengan kenderaan Jeep terbagi dalam tiga rute pilihan yakni short (1,5 jam), medium (2,5 jam), dan long (4-5 jam). Tur rute pendek dengan Jeep berisi maksimal 4 orang dewasa dengan harga rental Rp 350.000, sementara untuk medium Rp 450.000 dan untuk long Rp 600.000.

Nah, kami memilih Merapi Tour By Jeep Medium Track dengan rute Museum Sisa Hartaku, Batu Alien, Bunker Kaliadem dan Offroad di Kali Kuning. Kegiatan offroad ini merupakan rangkain hari ke-3 dari kegiatan karya wisata kami (berlangsung 5 hari, 4-7/10/19). Sebelumnya, 1 hari Kami menikmati tour di wilayah Malang yaitu tirta yatra ke Pura Giri Arjuno, Wisata Desa Pujon Kidul, menikmati wahana permainan di Jatim Park 1 Malang dan Museum Angkut (5/10/19). Hari keempat, Kami berkunjung ke pabrik Gula PT Madu Baru (Madukismo), Candi Borubudur, Museum Dirgantara dan Candi Prambanan (6/10/19).

Menurut I Made Ardana, kegiatan karya wisata tahun ini merupakan yang terunik sepanjang sejarah. Pasalnya, ini tour yang pertama kali dikemas dengan adventure. “Karya wisata tahun ini paling unik dan menarik. Ada objek wahana mainan, objek bersejarah, tirta yatra, dan adventure. Pokoknya paling komplit, deh,” ujar pendamping, guru MIPA Ceedha, yang menjabat sebagai ketua panitia tour ini.

I Ketut Serawan (pendamping lain, juga sebagai sekretaris tour) juga menambahkan bahwa tour atau karya wisata tahun inilah yang paling berkesan dan berkualitas. “Kemasan acara tournya betul-betul menyentuh ekspektasi anak-anak dan bermanfaat,” ujarnya.

Serawan juga berharap agar program ini tetap berlangsung setiap tahun, dengan ragam kegiatan yang lebih variatif, lebih berkualitas dan lebih bermanfaat. “Karya wisata ini penting banget. Manfaatnya mungkin lebih besar dibandingkan dengan belajar “penuh doktrin-doktrin teori” di dalam kelas,” tutupnya. (Maica)  Editor: I Ketut Serawan

Selasa, 25 Mei 2021

 


Foto: repptu.blogspot.com 


                                                 Purnama mendapatimu murung

                                                 Memetik lembar-lembar malam

                                                 Yang mengambang berlipat bayang

                                                 Di atas pucuk-pucuk ranting

                                                 Jiwa yang mengering

                                                 Berkerdip tanahmu hendak menelan

                                                 Haus bayang yang mengganjal

                                                

Kau masih bergumam memeram sisa kemarau lalu

Musim yang terluka

Yang pahitnya kini dirasakan

Guguran daunmu

 

Ketika matahari menyepuh galaumu

Kau berbagi sunyi dengan Sri Krisna

Lalu Arjuna melepaskan busur panah

Menembus malam yang koyak oleh dustamu

 

Kau hendak membelah medan Kurusetra

Membangun istana perang dengan mahkota api

Tapi, laut memintal tasbih

Berdenyut doa-doa pasupati pada hujan

Rintiknya kini jatuh di tanahmu

Melukis rerajahan sejarah berdebu

Gambar-gambar berhuruf purba

Tentang Kau, Aku, dan burung garuda

 

Kita adalah rumah napas

Memberi jantung pada pelipur lara

Menyulam ringkih malam

Menjadi dongeng-dongeng kawitan

(Batubulan, 19 Oktober 2019)

Puisi ini masuk sebagai nominasi Lomba Menulis Puisi di kalangan Guru se-Bali.

 

Foto: tempo.co


Siapa kau?

Seorang diri terperangkap

di hamparan ladang yang pecah

bimbang hendak memanen bayang-bayang moyangmu

yang renta

 

Siapa kau?

Napasmu retak dalam situs kemarau

siangmu membuncah

gambar-gambar pelangi tanah

 

Burung-burung hinggap di tubuhnya

meminum keringatnya sendiri

tak bisa lagi kau titipkan arah

menuju pelaminan buah

 

Siapa kau?

Dari kemarin duduk melafalkan mantra

tapi mendung tak pernah lindap di lidahmu

kau hanya mampu mengunyah malam

lalu, memuntahkan cahaya bulan

pada kanvas musim

menjelma lukisan serupa pohon-pohon dari jantung hujan

 

Siapa kau?  

Dari kemarin ibu-ibu protes

mengawetkan lapar di atas ponapi

di depan api, anak-anak menagih janji peri

mendongengkan romansa palawija

hingga dilelap mimpi

 

Keesokan harinya petir meranggas di tubuhmu

retak bersama lekuk garis-garis tanah.

                                                                        (Batubulan, 25 Mei 2020)

Puisi ini masuk nominasi Lomba Menulis Puisi Tingkat Umum (Penyelenggara Penerbit Kertasentuh) dan dibukukan dalam antologi puisi nasional yang berjudul "Nayanika"

 

Foto: www.republika.co.id


Gerimis penghujung semester

turun tak sempurna di halaman sekolah

tanpa bentang pelangi wajahmu

sebab riuh warnamu telah disemedikan langit

dalam belantara hutan mata kita

 

Setiap kedip hari kita

t’lah dibulatkan menjadi biji-biji tasbih

pada kalung pertapa moyang kita

maka, tunduklah kita pada takdir lingkaran

diputar serupa sirkus tata surya

entah oleh jari-jemari pertapa siapa

lalu kita terjebak

berjumpa hari-hari yang sama 

 

Hari yang membuat nasib kita renta

tergeletak menjadi rel-rel tua

Siapa yang sanggup menahan laju gerbong kita

 

Stasiun cerita mesti kita gapai

tak peduli media mabuk aksara

menebar angka-angka beraroma vodka

di kepala dan perut kita

 

Tahan saja mual prasangka

yang menghimpit tenggorokan kita!

Jangan sampai muntah!

nanti sekolah yang kita kunyah

keluar berlompatan dari perut kita

lalu mengalir pada wastafel

bersama air sabun bekas cucian tangan manusia

 

Jangan! Sekolah mesti diriuhkan dalam tubuh kita

seperti hiruk pesta obor di tengah malammu

yang menuntun tangan-tangan pemain drum band

menabuh getar jantung 45

mengusir kegelapan senyapmu

 

Jangan biarkan ketakutan mengental begitu saja

‘kan menjadi sumbatan keinginan kita

sebab cita harus mengalir

bersama sungai menuju lautmu

kita tunggu gemuruh kelas

berdebur di pantai amnesiamu

                                                (Batubulan, 31 Juli 2020)

           

 

 


Foto: id.depositphoto.com
Musim tiba-tiba saja lindap

Di bilik jantung kita

Memompa getar ketakutan

Pada setiap denyut tarikan napas kita

 

Dari balik masker, orang-orang berkomat-kamit

Seperti hendak membaca mantra teluh

Mengutuk jejak bayang-bayangnya sendiri

 

Lalu kau dan aku tersesat pada sebuah negeri patung

Tempat kelebat curiga

Dipelihara dalam kepak sayap-sayap kelelawar

Yang lapar menelan siluet senja

 

Ah, jalanan tiba-tiba kehilangan denyut nadi

Tak menyediakan celah mimpi

Sebab malam telanjur pecah menjadi kota mati

Di sudut bola mata kita sendiri

 

Esok menjadi lunglai

Namun, jarum jam tak boleh lelah

Memutar letih dini hari

Siapa tahu kita berjumpa tujuh bidadari entah di detik perih keberapa

Lalu kita akan berbagi pagi, sungai, dan kicau hari

 

Karena esok mesti rampung kita tulis dalam buku Seribu Mimpi

Di situlah kita menangkar asa

Membentengi diri dari gulma prasangka dan konspirasi kura-kura

Sambil menunggu jarak

Tenggelam dalam bendungan rindu kita

Lalu kita bayangkan sekolah

Sebagai tempat berbagi ari-ari kita

                                                (Batubulan, Tumpek Landep, 18 Juli 2020) Puisi ini merupakan salah satu puisi  yang masuk nominasi Lomba Menulis Puisi Guru Tingkat Nasional.

 

Foto:joenwallpaper.blogspot.com

 Ada sunyi yang dingin

menusuk pedalaman tubuhmu

ketika sepiring ladang tak lagi

tersaji di atas meja sarapan pagimu

 

Matamu hambar

tak mengedipkan nikmat pepohonan

semangatmu gugup

mengayunkan cangkul di ladang kediamanku

 

Sudahlah!

berhentilah mengintip pagi bersiul dari bilik jendela

hanya menambah luka embun saja

sebab rumput-rumput sudah berkhianat

bercumbu dengan vodka

di balik gorden-gorden kamarku

 

Berhentilah menulis kemungkinan 

dari aksara air mataku

untuk merengek getarkan perasaan musim

 

Hujan tlah menguning masa laluku

bersama sepuluh purnama yang gugur

ditelan nikmat Kalarau

 

Kita hanya bisa memukul kentongan

menciptakan getar-getar bunyi menjadi mimpi

siapa tahu kunang-kunang

menjenguk kita nanti malam

                                                                                        (Batubulan, 7 Juni 2020) 

Puisi ini merupakan pemenang Juara 1 Lomba Akademisi Menulis Buku (Kategori Puisi) Tingkat Nasional.

Jumat, 21 Mei 2021

 

Naskah Drama Modern

"Tarikan Bapa Tapel Topeng Tua Itu!"

oleh

I Ketut Serawan

“TARIKAN “TARIKAN BAPA TAPEL TOPENG TUA ITU!”

ceritabudi.Wordpress.com

 

Adegan 1

(Lampu menyala pelan. Latar panggung memperlihatkan satu meja dan 3 kursi. Masing-masing diduduki oleh Bapa, Meme, dan Cening. Di belakangnya, membentang kain hitam dengan tapel-tapel topeng menggantung. Bapa, Meme, dan terdakwa Cening (si anak) terlibat pembicaraan serius. Bapa dan Meme berusaha keras membujuk Cening agar mau menjadi penari topeng sebagai penerus Bapa yang sudah puluhan tahun menjadi penari topeng profesional).

 

v  Bapa          : (Menghela napas panjang. Matanya menatap tajam salah satu tapel yang dipegangnya sambil mengusap-usap halus dengan penuh perasaan. Ia memulai perbincangan dengan muka sendu dan ragu). “Ning…, Bapa sangat berharap kamu mau menjadi penari topeng. Sebab umur Bapa sudah terlalu tua untuk menarikan tapel-tapel topeng ini.”

v  Cening       : “Bapa? (sambil tangannya memukul meja) Bukankah sudah berkali-kali tiang katakan. Tiang tidak berbakat menjadi seorang penari topeng. Ngidih olas, Pa…Jangan paksa tiang!”

v  Bapa          : “Ning, ini bukan persoalan berbakat atau tidak. Tapi ini urusan kelangsungan hidup Bapa.”

v  Cening       : “Apa maksud, Bapa?”

v  Bapa          : “Berpuluh-puluh tahun, Bapa menarikan tapel-tapel topeng ini. Mereka sudah Bapa anggap bagian dari jiwa Bapa. (Berdiri mengelus satu per satu topeng yang menggantung pada kain hitam). Bapa ingin….tapel-tapel topeng ini tetap hidup sepanjang zaman.”

v  Cening       : “Tapi Bapa…..” (dipotong Meme).

v  Meme        : “Cening…. Bapamu benar. Saat ini, kita membutuhkan pewaris-pewaris Bapa. Pewaris-pewaris yang bisa konsisten menarikan tapel-tapel ini.”

 

  

Adegan 2

(Panggung dengan latar studio tari. Ada tape, VCD, foto-foto Bapa menarikan topeng, dan slide (poster) gerak-gerak dasar tarian topeng. Tampak Bapa sibuk melatih seorang bule (Scoot) dan anaknya (Thomas) menari topeng. Namun, kali ini Bapa tidak bersemangat seperti biasanya. Kedua bule itu menjadi komplin).

 

v  Scoot         : “Kenapa Bapa tidak begitu semangat melatih kami hari ini?” (logat bule)

v  Thomas      : “Ya, kenapa hari ini Bapa lebih banyak melamun? Tidak fokus?” (logat bule)

v  Scoot         : (Karena tidak dijawab, Scoot kemudian mendekati Bapa dan melambaikan tangan persis di muka Bapa). “Bapa?”

v  Bapa          : “Oh, ya, ya, ya. I’m sorry Scoot (Tersadar dari lamunan). Ada apa Scoot?”

v  Scoot         : “Bapa berbeda hari ini.”

v  Bapa          : “Ah, tidak, tidak, tidak. Perasaan Scoot saja kali (sambil cepat membuang dan menyembunyikan perasaan sedihnya).

v  Scoot         : “Kita stop saja latihannya hari ini. Bapa mungkin butuh istirahat.”

v  Bapa          : “Tidak. Tidak. Tidak. Bapa tidak apa-apa. Bapa sehat, kok.”

v  Thomas      : “Ya. Sebaiknya, Bapa istirahat saja dulu. Kami tidak apa-apa, kok (sambil berlalu meninggalkan Bapa).

v  Bapa          : (Tangan dan kaki Bapa terasa kaku untuk mencegah kepergian Scoot dan Thomas. Kembali Bapa dihantui rasa galau). “Seandainya Cening juga ikut berlatih menari topeng hari ini….”(tatapan matanya kosong).

 

Adegan 3

(Panggung penuh botol arak, tuah, dan sebuah gitar. Empat pemuda sedang mabuk. Cening bersama temannya Doglagan, Rengas, dan Nyamprut berpesta miras. Aroma miras berlomba bersama asap rokok memenuhi panggung. Keempatnya tampak oleng).

 

v  Cening       : “Coba kalian pikir? Ayahku pingin aku menjadi penari topeng.” (sambil mereguk minuman tuak di tangannya).

v  Doglagan   : “Apaa…? Menjadi topeng? (sambil mendelikkan mata). Haaaa…haaaa……haaa….Cening…Cening… Yang gini-gini itu kan? (menaruh telapak tangannya di muka). Gak salah?”

v  Rengas      : (Doglagan mendekati Rengas sambil membisiki sesuatu) “Menjadi Celeng? (Rengas tertawa panjang, sambil menirukan gerakan celeng). Masak anak gaul, anak metal gini jadi Celeng?”

v  Cening       : “Heeeh….diaaam!!!” (suasana hening sejenak).

v  Nyamprut  : (menunjuk muka Doglagan dan Rengas) “Haaa…haaaa…haaa….Dasar pemabuk. Tadi Cening bilang, menjadi penari topeng seperti ayahnya. Dasar budek!”

v  Rengas      : “Tapi, bagaimana pun juga, tetap tidak pantes. Hari gini anak muda jadi penari nggak cocok. Apalagi penari topeng. Kuno! Turun derajat kita, Man!”

v  Doglagan   : “Ning, cocoknya kita itu jadi Rock n’rol. Mentaaaal…..Man!” (mengambil gitar, memainkan sambil mengacungkan 3 jari di lidahnya serta bernyanyi “Rocker Juga Manusia”).

 

Adegan 4

(Bapa menari seorang diri. Awalnya kuat, bertenaga, dan cepat. Lama- kelamaan, melemah dan jatuh tersungkur ke lantai. Meme datang memapahnya).

 

v  Meme        : “Jangan dipaksa, Pa! Bapa sudah bertambah tua”.

v  Bapa          : “Bli, mungkin kurang istirahat saja.”

v  Meme        : “Bukan. Bli, sakit. Lihat muka, Bli (mengusap muka Bapa). Pucat sekali.”

v  Bapa          : “Nggak usah Khawatir, Me. Bli tidak apa-apa.”

v  Meme        : “Bli, terus berbohong. Itu nasi di dapur tidak pernah Bli sentuh, tetapi Bli selalu bilang sudah makan. Makan apa?”

v  Bapa          : “Belakangan, Bli memang tidak selera makan. Rasanya lebih bergairah untuk menari dan terus menari topeng.”

v  Meme        : “Tapi itu berbahaya bagi kesehatan, Bli. Dari mana Bli dapat tenaga untuk menari?”

v  Bapa          : “Bli kuat.” (Terbatuk-batuk)

v  Meme        : “Sudah. Bli harus istirahat dan makan. (Meme keluar sambil memapah Bapa).

 

 

  

Adegan 5

(Bapa jatuh sakit. Kabar ini begitu cepat meluas. Orang-orang ramai membicarakannya. Ni Polog, Ni Cableg, dan Ni Cokot juga tak ketinggallan. Dalam kesempatan “ngayah” di Pura Desa, ketiganya tampak serius memperbincangkan Bapa sambil tangannya sibuk majejahitan).

 

v  Ni Polog    : “Mimiih…dewa ratu! Karya Agung di Pura Desa sudah dekat.”

v  Ni Cableg  : “Iya. Terus, siapa yang nanti menarikan topeng tua itu?”

v  Ni Cokot   : “Itu dia. Bisa-bisa karya agung itu tidak selesai.”

v  Ni Polog    : “Tiang juga berpikir sama.”

v  Ni Cableg  : “Sssst….Jangan nak e pesimis begitu. Kita doakan supaya Bapa cepat sembuh.”

v  Ni Cokot   : “Sudah pasti! Cuma, kadang-kadang saya berpikir heran.”

v  Ni Polog    : “Heran bagaimana?”

v  Ni Cokot   : “Tiang belum pernah melihat ada orang di desa kita yang bisa menarikan topeng sehebat Taksu Bapa.”

v  Ni Cableg  : “Ampura, ngih. Menurut tiang, mestinya Cening bisa mewariskan keahlian  I Bapa.”

v  Ni Polog    : “Jangankan ahli kayak I Bapa, belajar saja katanya Cening nggak pernah.”

v  Ni Cokot   : “Kok, bisa begitu, ya?”

v  Ni Cableg  : “Mungkin…. (dipotong sama Polog)

v  Ni Polog    : “Sudah. Sudah. Tidak baik membicarakan orang lain. Ayo, kita selesaikan pekerjaan kita!”

 

Adegan 6

(Lampu remang. Empat orang bertubuh kekar menjerat Cening dengan selendang hitam panjang. Di pojok kiri-kanan belakang berambut pirang dan gimbal. Begitu juga di pojok kiri-kanan depan. Semuanya  menggunakan topeng hidung mancung. Tubuh Cening yang terikat seperti laba-laba ditarik secara bergantian mulai sudut pojok kanan belakang, pojok kiri depan, pojok kiri belakang, dan pojok kanan depan. Adegan tarik-menarik ditutup dengan gerakan melilit tubuh Cening hingga tubuhnya dipapah ke luar panggung). Lampu padam.

 


Adegan 7

(Bapa mendadak terjaga dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Kembali ia dihantui oleh mimpi itu. Meme yang berjaga di sampingnya ikut terbangun).

 

v  Bapa          : “ Mimpi itu lagi….mimpi itu lagi…mimpi itu lagi!”

v  Meme        : “Jangan terlalu dipikirkan, Bli! Itu hanya mimpi.”

v  Bapa          : “Tidak, Me. Terlalu sering ia menghantui tidur, Bli. Cening dijerat oleh 4 orang bertubuh kekar, berambut pirang, gimbal dan menggunakan topeng hidung ….(segera Meme memotong pembicaraan).

v  Meme        : “Sudahlah, Bli. Tiang pikir sakit Bli jauh lebih penting daripada memikirkan mimpi itu.”

v  Bapa          : “Tapi, Me….”

v  Meme        : “Bli! (dengan nada yang agak tinggi) Kenapa Bli tidak bantu tiang untuk mencarikan jalan keluar agar Bli cepat sembuh. Coba Bli pikir, hampir sebulan Bli sakit. Berapa dokter, berapa balian sudah kita coba. Tetapi sakit Bli tidak ada perubahan. Malah semakin memburuk.”

v  Bapa          : “Bagi Bli... Itu tidak penting.”

v  Meme        : “Tapi bagi tiang penting.” (Sambil membelakangi Bapa. Dialog buntu. Keduanya terdiam).

v  Meme        : “Bli… menurut perasaan tiang, Bli menyembunyikan sesuatu di balik sakit, Bli.”

v  Bapa          : “Dari mana Meme tahu?”

v  Meme        : “Dari perasaan istri dan insting seorang perempuan.”

v  Bapa          : (Bapa terdiam lama. Kemudian, ia mengambil tangan istrinya). “Me…. Entah kenapa akhir-akhir ini Bapa seperti ngidam.”

v  Meme        : (Kali ini Meme yang terdiam) “Ngidam? Ngidam apa, Bli?”

v  Bapa          : “Bape dot sajan (ingin sekali) anak kita, Cening, menarikan tapel topeng tua itu!”

v  Meme        : (Mata Meme terbelalak).” Tapi, mana mungkin, Bli?”

 

  

 

Adegan 8

(Meme dan Cening masuk panggung. Mereka tampak serius memperbincangkan perkara sakit dan “idaman” Bapa).

v  Meme        : “Ning, kondisi Bapamu semakin memprihatinkan. Makin hari semakin mencemaskan. Dokter dan balian seolah-olah tak ada artinya bagi sakit Bapamu.”

v  Cening       : “Yang penting kita sudah berusaha, Me. Mungkin belum waktunya Ida Sanghyang Widhi memberikan kesembuhan pada Bapa.”

v  Meme        : (mengambil tangan Cening) “Mungkin satu-satunya yang bisa memberi harapan sembuh hanya Cening.”

v  Cening       : “Meme membingungkan tiang.”

v  Meme        : “Kemarin, Bapamu mengatakan bahwa beliau ingin kamu menarikan tapel topeng tua di hadapannya.”

v  Cening       : (terkejut dan tidak percaya) “Apa….? Mustahil, Meme.”

v  Meme        : “Meme mengerti. Ke sini, Ning!” (Meme membisiki sesuatu ke telinga Cening)

 

Adegan 9

(Tangan Meme mengambil bubur dari piring dan hendak menyuapi Bapa. Namun, tiba-tiba terdengar suara gamelan topeng tua. Seseorang masuk panggung, menari topeng tua di hadapan Bapa. Mendadak Bapa bisa duduk seorang diri. Ia begitu tertegun dan takjub. Penari itu terus menari topeng tua dengan lihainya).

 

v  Bapa          : “Ceningkah itu?”

v  Meme        : “Ya. Sesuai idaman, Bli.”

v  Bapa          : “Mana mungkin?”

v  Meme        : “Kenapa tidak.”

v  Bapa          : “Bli, tidak percaya!” (bergegas hendak mendekati penari itu)

v  Meme        : (Meme langsung menangkap tangan kiri Bapa. Sementara tangan kanannya sudah telanjur memegang tapel topeng penari itu) “Bli, harus percaya!”

v  Bapa          : “Tidak. Hentikan gamelan itu!” (dengan nada keras)

v  Meme        : “Tidak penting, Bli.”

v  Bapa          : (membentak) “Matikan sekarang juga!” Bapa memperhatikan dengan seksama sembari meraba-raba tubuh penari topeng tua itu, mulai dari kaki, badan, tangan hingga membuka tapel topeng tua itu.

v  Bapa          : “Thomas?” (Bapa ambruk ketika mengetahui penari itu adalah si bule Thomas, muridnya. Dengan cepat Meme menangkapnya)

v  Meme        : “Maafkan, tiang, Bli. Semua ini demi kesembuhan, Bli.”

v  Bapa          : “Tidak. Bapa ingin Cening yang menarikan tapel topeng tua itu, titik.”

 

Adegan 10

(Latar menggambarkan studio Bapa. Beberapa saat, muncul tokoh Cening dengan jalan sempoyongan (seperti setengah mabuk). Tangannya memegang sebotol tuak. Diminumnya berkali-kali. Ia masih dirundung stress yang berat. Ia harus bisa menarikan tapel topeng tua itu. Di sisi lain, ia tidak punya kemampuan menarikannya).

 

v  Cening       : “Bapa. Bapa…. Ngidam kok aneh-aneh.” (Ia mengamati satu persatu tapel-tapel itu. Sampai ia menemukan tapel tua itu. Ia mengambilnya dan menimang-nimangnya).

v  Cening       : “Haaaa….haaa….haaa….. Tiang harus menarikan ini?” (Dia melempar tapel itu. Namun, dipungutnya lagi).

v  Cening       : “Mana mungkin ini bisa menyembuhkan, Bapa?”

v  (Tiba-tiba Cening terdiam. Tangannya menempel pada telinga seperti mendengar sayup-sayup gamelan topeng. Ia menaruh tapel topeng tua di atas kepala. Tangannya meliuk-liuk seperti berusaha menarikan tapel itu. Tetapi gerakannya sembarangan (mirip seperti penari mabuk). Gamelan itu terdengar dan menghilang silih berganti.

v  Cening       : “Lihat Bapa, tiang bisa. Tiang bisa menarikan tapel topeng tua ini. Lihat, Pa…lihat, Pa….lihat….. (teriak). Haaa….haaaa…..haaaa….”

 

Adegan 11

(Studio Bapa berantakkan. Tapel-tapel topeng posisinya serampangan, tetapi masih menggantung pada tempatnya. Dua tapel topeng tua Bapa lenyap. Bapa tertatih-tatih mencarinya. Kemudian, matanya terfokus pada sebuah bungkusan kain hitam. Ia membukanya. Di sebelah kiri, tapel topeng yang dibelakang berisi tulisan “Maafkan atas kemabukkan tiang selama ini! dari Cening”. Yang satu lagi berisi tulisan “Sadarkan tiang! dari Cening”. Selanjutnya, Bapa mengambil tapel  topeng tua yang terakhir. Ia memasang ke mukanya. Mendadak terdengar suara gamelan topeng tua. Ia menarikan tapel itu dengan semangat, senada dengan gamelan.

Lampu padam

 

Tamat