Penjual
Atribut Jalanan, Alarm Nasionalisme, dan Makna Kemerdekaan
Foto: antarafoto.com |
Momen inilah yang
dimanfaatkan oleh Ugus untuk mengadu nasib. Pria 29 tahun ini melompat kecil
dari pinggir jalan, lalu masuk menyelinap disela-sela mobil dan sepeda motor,
sambil tangannya menjajakan pernak-pernik 17 Agustusan. Bendera merah putih,
dengan tiang pendek berwarna kuning keemasan dan ketupat dengan motif merah
putih. “Lima ribu, Bu. Lima ribu, Pak”, ucapnya dari satu kenderaan ke
kendaraan lainnya. Ada yang langsung menyambarnya dengan recehan Rp 5.000.
Namun, banyak pula yang mengacuhkannya.
Begitu lampu hijau akan
menyala, kembali ia menyelinap dengan cepat bak pencuri menuju pinggir jalan.
Mukanya tetap menyimpan raut panik. Ia harus waspada, karena sewaktu-waktu
Satpol PP Kota Denpasar bisa saja menyeretnya tanpa kompromi. Ia sangat
menyadari hal itu, tetapi tetap nekad berjualan dan mencuri start di tempat itu. Entah sampai kapan.
Ugus terbentur kasus
modal. Ia jelas tak sanggup mengontrak tempat khusus untuk menjual
pernak-pernik karyanya itu. Maka, jalanan menjadi pilihan alternatif. Untuk
menutupi ongkos produksi dan tenaga, ia juga harus mencuri start terlalu jauh. Ia sudah berjualan sejak awal bulan (10 Juli),
1 bulan sebelum puncaknya 17 Agustus. Strategi ini dilakukannya untuk
menghindari persaingan dengan penjual atribut 17 Agustus yang biasa mulai marak
di pinggir jalan (akhir Juli-Agustus).
Rata-rata per hari Ugus
dapat meraih penghasilan berkisar Rp 150.000-Rp 200.000. Penghasilan ini
diperolehnya dari beberapa tempat. Selain Toh Pati, ia juga berjualan di area Ubung,
Nusa Dua, dan Marlboro. Di Toh Pati saja, Ugus berjualan 2 kali yaitu pukul
08.00-10.00 dan pukul 13.00-15.00. Sisanya, Ubung, Nusa Dua dan Marlboro.
Di samping untuk mengais
rejeki, motif jualannya juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menebarkan
virus-virus nasionalisme kepada masyarakat. “Saya ingin mengingatkan kepada
masyarakat bahwa peringatan 17 Agustus sudah dekat. Saya ibaratnya alarm untuk
mengingatkan orang tentang peristiwa bersejarah itu,” ujarnya.
Cara pandang Ugus
mendapat apresiasi luar biasa dari Ida Bagus Yoga Adi Putra, S.H., MKn. Wakil
Ketua DPD Partai Gerinda Bali ini mengakui bahwa keberadaan penjual atribut 17
Agustus memiliki peranan ganda. Di satu sisi, mereka pintar memanfaatkan momen
untuk berjualan. Disisi lainnya, mereka menjadi petunjuk bahwa peringatan
kemerdekaan sudah dekat. “Seringkali kita lupa dengan peringatan 17 Agustus.
Namun, dengan melihat penjual atribut itu, ingatan kita langsung konek,”
terangnya.
Hal senada juga
dikemukan oleh Ida Bagus Putu Sukarta, S.E., M.Si. Mantan Ketua DPD Partai
Gerindra Bali ini mengatakan bahwa penjual atribut ini merupakan referensi
sejarah. Menurutnya, sejarah tidak selalu berkaitan dengan buku-buku, video, monumen
dan benda-benda mati lainnya. Anggota DPR RI ini menyebutkan bahwa orang dapat
dijadikan referensi. “Dengan melihat keberadaan penjual atribut itu, maka
secara otomatis kita terbayang dengan masa-masa sulit para pejuang kemederkaan
kita tempo dulu. Jadi, penjual atribut dapat dikatakan sebagai referensi
sejarah,” paparnya dengan nada serius.
Sukarta juga menambahkan
bahwa penjual atribut 17 Agustus merupakan sosok ekonom kreatif. Menurutnya,
untuk mendapatkan penghasilan tidak harus dengan sekolah tinggi. Sekolah tinggi
bukan jaminan. Malah, sekolah tinggi banyak menghasilkan pengangguran, karena
tidak kreatif. Sebaliknya, penjual-pejual atribut biasanya berpendidikan
rendah. Namun, karena situasi dan tuntutan hidup, mereka menjadi berani dan
kreatif. “Penjual atribut itu mirip seperti pahlawan kita dulu. Hanya
bermodalkan keberanian dan tuntutan. Bayangkan, hanya menggunakan bambu runcing
mereka berani menghadapi penjajah yang senjatanya sudah lengkap dan modern,”
tuturnya.
Karena itu, Yoga
menyebut penjual atribut itu sebagai sosok inspiratif. Ia memaparkan bahwa
semangatnya tidak jauh berbeda dengan para pahlawan kita. Hanya beda kondisi,tempat,
dan target. Kalau pahlawan berjuang mati-matian di medan perang untuk meraih
kemerdekaan, bebas dari penjajahan. Sementara itu, para penjual atribut
berjuang di jalanan untuk mencapai kemerdekaan ekonomi keluarga, bebas dari
kemiskinan.
Dengan demikian,
keberadaan penjual atribut itu juga sekaligus cermin bahwa bangsa kita belum
seratus persen merdeka. Karena masih banyak masyarakat kita yang belum
merasakan kemerdekaan (terbelenggu kemiskinan). Karena itulah, eksistensi
penjual atribut jalanan merupakan simbol memaknai kemerdekaan tiada henti.
Sukarta menjelaskan bahwa “nyawa” kemerdekaan harus berkelanjutan. “Kemerdekaan
harus terus dijaga, dipelihara, dan diisi dengan semangat pembangunan untuk
mencapai cita-cita luhur. Ini justru yang sulit,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Yoga menyarankan kepada generasi milenial agar pantang menyerah menghadapi situasi hidup. Ia menyarankan agar kaum muda sebagai ujung tombak negara selalu semangat, tangguh, kreatif, inovatif dan kompetitif. “Tirulah para pahlawan kita, termasuk penjual atribut jalanan untuk memerdekaan kehidupannya,” tutupnya. (Eva)
0 komentar:
Posting Komentar