Senin, 03 Mei 2021

 

Penjual Atribut Jalanan, Alarm Nasionalisme, dan Makna Kemerdekaan

 


Foto: antarafoto.com
Pagi itu (12/7/19), perempatan Toh Pati arah Denpasar-Batubulan masih krodit. Liburan sekolah tak menyurutkan jumlah kendaraan melewati jalur ini. Selalu penuh dan sesak.  Apalagi ketika lampu merah menyala. Pemandangan itu tampak jelas. Satu per satu kenderaan berhenti. Susul-menyusul tiada henti, membentuk barisan seperti ular.  

Momen inilah yang dimanfaatkan oleh Ugus untuk mengadu nasib. Pria 29 tahun ini melompat kecil dari pinggir jalan, lalu masuk menyelinap disela-sela mobil dan sepeda motor, sambil tangannya menjajakan pernak-pernik 17 Agustusan. Bendera merah putih, dengan tiang pendek berwarna kuning keemasan dan ketupat dengan motif merah putih. “Lima ribu, Bu. Lima ribu, Pak”, ucapnya dari satu kenderaan ke kendaraan lainnya. Ada yang langsung menyambarnya dengan recehan Rp 5.000. Namun, banyak pula yang mengacuhkannya.

Begitu lampu hijau akan menyala, kembali ia menyelinap dengan cepat bak pencuri menuju pinggir jalan. Mukanya tetap menyimpan raut panik. Ia harus waspada, karena sewaktu-waktu Satpol PP Kota Denpasar bisa saja menyeretnya tanpa kompromi. Ia sangat menyadari hal itu, tetapi tetap nekad berjualan dan mencuri start di tempat itu. Entah sampai kapan.

Ugus terbentur kasus modal. Ia jelas tak sanggup mengontrak tempat khusus untuk menjual pernak-pernik karyanya itu. Maka, jalanan menjadi pilihan alternatif. Untuk menutupi ongkos produksi dan tenaga, ia juga harus mencuri start terlalu jauh. Ia sudah berjualan sejak awal bulan (10 Juli), 1 bulan sebelum puncaknya 17 Agustus. Strategi ini dilakukannya untuk menghindari persaingan dengan penjual atribut 17 Agustus yang biasa mulai marak di pinggir jalan (akhir Juli-Agustus).

Rata-rata per hari Ugus dapat meraih penghasilan berkisar Rp 150.000-Rp 200.000. Penghasilan ini diperolehnya dari beberapa tempat. Selain Toh Pati, ia juga berjualan di area Ubung, Nusa Dua, dan Marlboro. Di Toh Pati saja, Ugus berjualan 2 kali yaitu pukul 08.00-10.00 dan pukul 13.00-15.00. Sisanya, Ubung, Nusa Dua dan Marlboro.

Di samping untuk mengais rejeki, motif jualannya juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menebarkan virus-virus nasionalisme kepada masyarakat. “Saya ingin mengingatkan kepada masyarakat bahwa peringatan 17 Agustus sudah dekat. Saya ibaratnya alarm untuk mengingatkan orang tentang peristiwa bersejarah itu,” ujarnya.  

Cara pandang Ugus mendapat apresiasi luar biasa dari Ida Bagus Yoga Adi Putra, S.H., MKn. Wakil Ketua DPD Partai Gerinda Bali ini mengakui bahwa keberadaan penjual atribut 17 Agustus memiliki peranan ganda. Di satu sisi, mereka pintar memanfaatkan momen untuk berjualan. Disisi lainnya, mereka menjadi petunjuk bahwa peringatan kemerdekaan sudah dekat. “Seringkali kita lupa dengan peringatan 17 Agustus. Namun, dengan melihat penjual atribut itu, ingatan kita langsung konek,” terangnya.

Hal senada juga dikemukan oleh Ida Bagus Putu Sukarta, S.E., M.Si. Mantan Ketua DPD Partai Gerindra Bali ini mengatakan bahwa penjual atribut ini merupakan referensi sejarah. Menurutnya, sejarah tidak selalu berkaitan dengan buku-buku, video, monumen dan benda-benda mati lainnya. Anggota DPR RI ini menyebutkan bahwa orang dapat dijadikan referensi. “Dengan melihat keberadaan penjual atribut itu, maka secara otomatis kita terbayang dengan masa-masa sulit para pejuang kemederkaan kita tempo dulu. Jadi, penjual atribut dapat dikatakan sebagai referensi sejarah,” paparnya dengan nada serius.

Sukarta juga menambahkan bahwa penjual atribut 17 Agustus merupakan sosok ekonom kreatif. Menurutnya, untuk mendapatkan penghasilan tidak harus dengan sekolah tinggi. Sekolah tinggi bukan jaminan. Malah, sekolah tinggi banyak menghasilkan pengangguran, karena tidak kreatif. Sebaliknya, penjual-pejual atribut biasanya berpendidikan rendah. Namun, karena situasi dan tuntutan hidup, mereka menjadi berani dan kreatif. “Penjual atribut itu mirip seperti pahlawan kita dulu. Hanya bermodalkan keberanian dan tuntutan. Bayangkan, hanya menggunakan bambu runcing mereka berani menghadapi penjajah yang senjatanya sudah lengkap dan modern,” tuturnya.

Karena itu, Yoga menyebut penjual atribut itu sebagai sosok inspiratif. Ia memaparkan bahwa semangatnya tidak jauh berbeda dengan para pahlawan kita. Hanya beda kondisi,tempat, dan target. Kalau pahlawan berjuang mati-matian di medan perang untuk meraih kemerdekaan, bebas dari penjajahan. Sementara itu, para penjual atribut berjuang di jalanan untuk mencapai kemerdekaan ekonomi keluarga, bebas dari kemiskinan.

Dengan demikian, keberadaan penjual atribut itu juga sekaligus cermin bahwa bangsa kita belum seratus persen merdeka. Karena masih banyak masyarakat kita yang belum merasakan kemerdekaan (terbelenggu kemiskinan). Karena itulah, eksistensi penjual atribut jalanan merupakan simbol memaknai kemerdekaan tiada henti. Sukarta menjelaskan bahwa “nyawa” kemerdekaan harus berkelanjutan. “Kemerdekaan harus terus dijaga, dipelihara, dan diisi dengan semangat pembangunan untuk mencapai cita-cita luhur. Ini justru yang sulit,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Yoga menyarankan kepada generasi milenial agar pantang menyerah menghadapi situasi hidup. Ia menyarankan agar kaum muda sebagai ujung tombak negara selalu semangat, tangguh, kreatif, inovatif dan kompetitif. “Tirulah para pahlawan kita, termasuk penjual atribut jalanan untuk memerdekaan kehidupannya,” tutupnya. (Eva)   

0 komentar:

Posting Komentar