Kamis, 04 Juni 2020


Selain Ksatria (Dewa/ Ngakan), Nusa Penida Tak Mengenal Triwangsa Lain?
Oleh
I Ketut Serawan

Seperti masyarakat Bali mula pada umumnya, Nusa Penida (NP) tidak mengenal stratifikasi sosial (baca: kasta). NP hanya mengenal Dewa (Ngakan), turunan dari ksatria, yang jeronya berada di satu desa yaitu Desa Batununggul. Selebihnya, masyarakat NP adalah orang sudra. Fakta ini tentu kontroversial dengan babad NP yang pernah ditulis oleh Jero Mangku Made Buda (2007). Buda pernah mengungkapkan bahwa leluhur orang NP berasal dari seorang pandita (brahmana) yang bernama Dukuh Jumpungan. Lalu, mengapa tidak semua masyarakat NP menyandang predikat brahmana secara otomatis?

Jangan terlalu serius, ya! Saya tidak bermaksud menajamkan kembali isu kasta. Karena isu kasta dipandang kurang relevan lagi oleh masyarakat Bali modern. Walaupun nyatanya, isu kasta tak pernah sepi dari perdebatan terutama antara pihak sudra dan triwangsa (menak). Pihak sudra menginginkan kesetaraan. Sedangkan, pihak menak tidak rela turun—sejajar dengan sudra.
Jangankan masyarakat biasa, lembaga tertinggi agama Hindu (PHDI) di Bali pun tidak berdaya dalam menyelesaikan problematika kasta di Bali. Buktinya, lahir dualisme di tubuh PHDI Bali yaitu PHDI Besakih (mewakili masyarakat biasa/ sudra) dan PHDI Campuhan (dianggap mewakili menak). Dualisme ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan cara pandang dan kepentingan antara kedua kubu (jaba dan triwangsa)—yang mungkin sulit disatukan.

Jika mundur jauh kebelakang, perselisihan cara pandang antara pihak sudra dan triwangsa sudah berlangsung sejak lama. Sejarah Bali (tahun 1920-an) mencatat bahwa pernah terjadi perselisihan terbuka dan elegan antara majalah Surya Kanta (milik kaum jaba) dengan Bali Adnyana (dikelola oleh triwangsa) soal sistem kasta. Kaum intelektual jaba menilai bahwa sistem kasta tidak perlu dipertahankan karena menciptakan ketidakadilan. Sebaliknya, Bali Adnyana tetap mendukung sistem kasta sebagai bagian dari pelestarian budaya Bali.

Perselisihan bak sinetron inilah (mungkin) yang mendorong Made Kembar Kerepun menyusun buku tentang Mengurai Benang Kusut Kasta, Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali (2007). Dalam ulasannya, Kerepun memandang bahwa pemberlakuan sistem kasta di Bali merupakan sebuah kekeliruan (kesalahpahaman). Menurut Kerepun, anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan merupakan kesalahpahaman besar. Untuk menguatkan statemennya tersebut, ia menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda. Kerepun tidak menemukan sistem kasta, karena dulu Bali tak mengenal kasta.

Bali mulai mengenal sistem kasta setelah Majapahit menguasai Bali sejak tahun 1343. Data ini diperoleh dari Rudolf Goris, seorang antropolog yang banyak meneliti tentang Bali. Munculnya gelar-gelar baru khusus di Bali akibat tidak ada padanannya di Jawa. Karena itu, kasta merupakan produk “Majapahitisasi”.

Menurut Kerepun, raja Kresna Kepakisan dan keturunannya yang memulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta itu. Kemudian, ide ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh agama asal Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk membedakan antara Bali Aga (orang Bali asli), dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan seperti saat ini.

Lebih lanjut Kerepun memaparkan bahwa Bali hanya mengenal catur warna, klasifikasi berdasarkan pekerjaan (stratifikasi terbuka, dinamis)—bukan berdasarkan keturunan (stratifikasi tertutup). Namun, baik catur warna dan sistem kasta dianggap kurang relevan di Bali. Cocoknya, menurut Kerepun adalah soroh, warga, gotra, atau klan (misalnya, Pande, Pasek, dan lain-lain).
Pasca Majapahit, eksistensi sistem kasta diperkuat lagi oleh penjajah Belanda. Pemerintah Belanda membagi Bali menjadi 8 wilayah pemerintahan tahun 1929. Belanda mewajibkan para raja Bali menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan oleh kolonial Belanda (misalnya, I Dewa Gde Oka Geg diangkat menjadi raja Klungkung dengan gelar "Ida I Dewa Agung").

Pemberian nama dan gelar ini merupakan bagian dari kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali seperti sekarang. Tujuan pelestarian kasta ini untuk mempertahankan kuasa kolonial melalui tangan-tangan penguasa, terutama brahmana dan ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.

Masyarakat Nusa Penida Tak Mengenal Kasta
Kesimpulan Kerepun bahwa Bali dulu tidak mengenal sistem kasta mungkin ada benarnya. Fakta ini dapat dibuktikan pada masyarakat Trunyan dan Tenganan misalnya. Sebagai Bali Mula, keduanya memang tidak mengenal sistem kasta. Baik Trunyan maupun Tenganan menganut sistem egaliter (sederajat).

Begitu juga dengan masyarakat NP. Masyarakat NP juga tidak mengenal sistem kasta. NP baru mengenal kasta ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Klungkung. Kesimpulan ini dapat dilihat dalam paparan penelitian Sidemen (1984) yang berjudul Penjara di Tengah Samudra, Studi tentang Nusa Penida sebagai Pulau Buangan. Ia memaparkan bahwa akibat dijadikan pembuangan, NP mengalami perubahan struktur pelapisan masyarakat. Orang buangan dari lapisan brahmana yang dipandang rendah di daerah asalnya, tetapi tetap dihormati di NP dan menempati puncak pelapisan.

Sidemen juga memaparkan bahwa akibat pembuangan, masyarakat NP mulai mengenal pengelompokan masyarakat berdasarkan soroh (misalnya pasek, pande, dan lain-lain). Kemudian, mereka mencari soroh dan menghubungkannya dengan yang ada di Bali. Yang tidak berhasil menemukan cikal bakal keluarga, dianggap soroh Bali Aga (Nusa asli, soroh Pamesan). Kelompok ini umumnya berada di desa-desa pedalaman, seperti desa Tohkan, Dungkap, Bingin, Buluh, Belalu, Bungkil dan Dalundungan.

Paparan Sidemen di atas menunjukkan bahwa sebelum dikuasai Klungkung dan dijadikan tempat pembuangan, NP termasuk masyarakat egaliter (tidak mengenal stratifikasi sosial/ kasta). Misi pembuangan inilah yang menyebabkan masyarakat NP berubah menjadi standar Bali daratan. Karena misi pembuangan memang bertujuan untuk mempercepat proses akulturasi yaitu menjadikan NP menjadi Bali daratan, termasuk dalam model sistem kemasyarakatan.

Dugaan bahwa masyarakat NP egaliter mungkin dapat ditelusuri dari berbagai aspek. Salah satunya ialah dari basa Nosa (bahasa Bali dialek NP) yang digunakan hingga sekarang. Setahu saya, basa Nosa tidak mengenal tingkatan (misalnya sor, mider, singgih). Orang NP berkomunikasi menggunakan basa Nosa baik dengan orang lebih kecil, sebaya maupun dengan orang yang lebih tua.

Kontak langsung dengan orang Bali daratan dan kuatnya misi akulturasi, menyebabkan NP berubah. Mereka memiliki pandangan baru tentang sistem bermasyarakat (bertingkat). Karena itu, keberadaan wangsa ksatria (dewa/ ngakan) sedikit mendapat perlakuan berbeda dengan orang jaba di NP—kurang lebih sama dengan perlakuan di Bali daratan. Hal ini bisa dilihat dari kontak komunikasi misalnya. Orang NP (jaba) menghargai dan menghormati wangsa ini dengan menggunakan bahasa alus (bukan basa Nosa, kecuali sudah menjadi teman akrab, di luar lingkungan jero).

Begitu juga soal aturan pernikahan. Jika pihak dewa memperistri orang jaba, maka si istri mendapat gelar jero. Sebaliknya, jika pihak desak diperistri oleh pihak jaba dikatakan “nyerod” (turun kasta)—meskipun tak jarang (kebanyakan) mereka tetap dipanggil desak dan dihormati di lingkungan masyarakat.

Mengapa hanya wangsa ksatria (dewa/ ngakan) yang eksis di NP? Padahal, hampir semua triwangsa pernah dibuang di NP? Sidemen (1984) pernah menuliskan bahwa pemberontakan Cokorda Negara (kerajaan Gianyar) pada tahun 1806 Saka (tahun 1884 M) mengakibatkan sejumlah pesakitan politik kerajaan Gianyar dibuang ke NP. Ada yang diampuni setelah dibuang 2 tahun, ada pula yang dibuang seumur hidup.

Pada tahun yang hampir bersamaan dibuang seorang bangsawan kemancaan Pejeng (Gianyar) bernama Cokorda Rai Banggul bersama istri dan anak-anaknya, dengan tuduhan pengkhianatan (di Desa Batununggul). Menyusul Anak Agung Made Sangging, bangsawan kemancaan Sukawati (Gianyar) dengan 20 orang anak buahnya, dengan tuduhan yang sama (di Pulau Nusa Lembongan). Sayangnya, tidak diceritakan apakah mereka diampuni atau dibuang seumur hidup.

Artinya, dari sekian banyaknya narapidana (berbagai wangsa) yang dibuang ke NP, beberapa dikatakan menikahi penduduk setempat, sebagai misi akulturasi. Logikanya, kemungkinan ada triwangsa lain di NP—walaupun Sedimen mengatakan bahwa narapidana yang berasal dari kalangan triwangsa (pada umumnya) ditempatkan dalam rumah pejabat/ golongan elit desa. Mereka dipelihara dan mendapat pasangan dari sesama pejabat NP. Artinya, ada kemungkinan dari sekian banyak napi triwangsa menikahi penduduk setempat.

Lalu, mengapa hanya tersisa wangsa ksatria (dewa/ ngakan)? Saya menduga bahwa napi dari kalangan triwangsa, ketika dibuang dianggap sudah turun kastanya. Sehingga, ketika menikahi orang lokal dan menetap di NP, mereka tidak lagi mengawetkan kastanya. Ini tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut. Karena, Sidemen pernah menulis bahwa para buangan dari golongan triwangsa dianggap “cuntaka wangsa” (cacat kebangsawannya). Diterima kembali oleh keluarganya dengan syarat melakukan “prayescita” yang dilakukan oleh pendeta dan disaksikan oleh masyarakat.

Soal eksistensi wangsa ksatria (dewa) mungkin persoalan lain. Kemungkinan besar bukan sebagai pendatang dari jalur kasus pembuangan (walaupun pernah disebutkan oleh Sidemen bahwa wangsa ksatria-dewa pernah dibuang ke NP). Saya kesulitan mencari referensi tentang hal ini. Saya hanya mendapat referensi dari Sidemen (1984) bahwa sejak Klungkung berdiri sebagai kerajaan, dengan raja Dewa Agung Jambe, NP langsung menjadi wilayah kekuasaan Klungkung. Untuk memperkuat kedudukan politiknya di NP, dikirim para pejabat kerajaan yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang manca. Disebutkan pula pada masa pemerintahan Dewa Agung Putra Kusamba, raja Klungkung ke-V (sekitar tahun 1841-1849 M), dikirim seorang pejabat kerajaan bernama I Dewa Anom Gelgel sebagai wakil kerajaan Klungkung di NP, dengan pangkat “manca”. (Lihat Prasasti Keluarga I Dewa Anom Gelgel (manuskrip; p.7a-7b).

Apakah eksistensi dewa sekarang berhubungan dengan utusan yang dikirim oleh raja Klungkung zaman tersebut? Mungkin saja (misalnya) keluarga dari “manca-manca” itu berkembang menjadi turunan dewa (ngakan) yang ada di NP sekarang. Mungkin sama sekali tidak berkaitan.

Senada dengan hal ini, salah seorang teman (dewa dari NP), pernah mengungkapkan bahwa konon eksistensi dewa sekarang berhubungan dengan utusan dari kerajaan Gelgel untuk menyelamatkan NP dari teror pan dranyam/ granyam (orang sakti) di NP. Sayang, tidak disebutkan kapan persisnya kejadian tersebut (masa pemerintahan siapa).

Mungkin karena tidak berangkat dari kasus pembuangan sehingga mereka (dewa/ ngakan) tetap dihormati di NP. Hanya keluarga dewa atau ngakan. Karena itulah, ketika saya SMP (90-an), ada seorang teman sekolah menggunakan gelar gusti. Karena keterbatasan literasi saya dan kawan-kawan waktu itu, kami menganggapnya aneh. Sejak kecil kami hanya tahu triwangsa dewa/ ngakan di NP. Padahal, itu hak pribadi seseorang. Apakah benar gelar itu dari garis keturunan? Saya tidak tahu. Mungkin betul. Bisa saja mereka berasal dari napi triwangsa zaman pembuangan dulu misalnya. Atau mungkin berasal dari gusti pones (hasil pengadilan Lembaga Peradilan Hindu).

Mengapa wangsa ksatria (dewa/ ngakan) dihormati dan dianggap tinggi oleh orang NP? Padahal, (konon) leluhur NP berasal dari pandita. Artinya, orang NP adalah wangsa brahmana—kalau mengikuti sistem kasta di Bali. Mengapa tidak diakui waktu zaman pembuangan dulu?

Pertama, mungkin keterbatasan bukti empiris-historisnya. Ya, karena babad tak luput dari unsur subjektif dan fiksi dari penulisnya. Di samping mengandung fakta, babad mungkin diolah dengan bumbu-bumbu fiksi untuk menyanjung (memenuhi selera) personal/ kelompok tertentu. Namun, sebetulnya diakui dalam dunia dunia per-sorohan (wangsa) di Bali.

Atau bisa jadi, dunia per-wangsan dilegitimasi terhitung sejak majapahit dan masa kolonial Belanda (kelahiran kasta). Sebelumnya, berarti tidak sah, karena mungkin mencuri start terlalu jauh sehingga dianggap diskualifikasi (kayak lomba aja). Karena per-wangsan atau per-sorohan rujukannya adalah Bali daratan. Orang NP diarahkan mencari ke Bali. Jika tidak ketemu, maka dianggap soroh pemesan (Bali mula)—keturunan asli dari Ki Dukuh Jumpungan.

Kedua, mungkin saja orang NP memang tidak mau mempersoalkan garis keturunan. Apalagi mengaitkannya dengan kedudukan sosial. Mungkin mereka berpandangan bahwa kehormatan dikaitkan dengan karma baik personal masing-masing, sehingga mereka enggan menempel nama (silsilah) leluhur sebelumnya. Jika benar demikian, jangan-jangan orang NP memang sudah memiliki sikap egaliter sejak dahulu kala.

Sabtu, 23 Mei 2020


Dari “Metajuk”, Mengenal Lebih Dekat Kultur Agraris Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

Pertanian di Nusa Penida (NP) mengandalkan air hujan seratus persen. Para petani di daerah ini tergolong petani ladang. Musim hujan menjadi momen yang paling membahagiakan bagi para petani untuk melampiaskan hasrat “metajuk” yaitu menanam palawija di ladang-ladang. Namun, waktu metajuk merupakan momen yang tidak dapat ditebak dengan pasti. Perhitungannya sering meleset dari perkiraan sehingga rentan menimbulkan rasa “galau” di kalangan para petani—padahal jauh sebelumnya ladang-ladang mereka sudah diolah dan siap ditanami.

Ketidakakuratan membaca tanda alam sering membuat petani merugi sebelum panen. Ketika hujan turun, mereka beramai-ramai metajuk. Setelah metajuk, eh, ternyata hujan tidak turun-turun lagi. Tanaman palawija yang sudah tumbuh akhirnya mati. Solusinya, mereka hanya menunggu perkembangan cuaca untuk melakukan aktivitas metajuk kedua kalinya bahkan bisa sampai ketiga kalinya.

Sebetulnya, masyarakat NP meyakini bahwa kehadiran musim hujan berada pada garis akhir sasih Kapat atau awal sasih Kelima. Selain itu, masyarakat di kampung saya juga menggunakan tanda-tanda alam seperti kondisi pohon kotuh. Mereka meyakini bahwa jika ranting pohon kotuh bermunculan tunas-tunas daun, pertanda musim hujan (metajuk) akan tiba. Namun, gejala alam ini tidak selalu akurat. Musim hujan bisa saja mundur jauh dari perkiraan. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat di kampung saya biasanya menggelar ritual memohon hujan.

Tradisi “Metajuk” di Nusa Penida
Metajuk menjadi sebuah keharusan di NP. Sebab, ketahanan pangan bermula dari sini. Dulu, nasi “kelanan” (nasi jagung) dan nasi “sela” (ketela pohon) merupakan makanan pokok masyarakat NP. Kedua bahan pangan ini juga dapat diolah menjadi jajanan khas NP, misalnya abuk, pulung-pulung, jagung menyanyah, gendar, tape sela, lukis, dan lempog. Karena itu, ketika metajuk, palawija yang tidak boleh absen ditanam yaitu jagung dan ketela pohon. Sisanya, kacang merah, bleleng, sargum, kacang tanah dan lain sebagainya.

Jadi, setiap warga (petani) pasti menanam jagung dan ketela pohon. Selain menjadi makanan pokok dan olahan jajan, pun dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Daun dan batang jagung-ketela bisa dimakan oleh ternak sapi.

Meskipun tradisi metajuk berlangsung sangat lama (mungkin sudah berabad-abad), tetapi saya kurang tahu esensi metajuk. Dari istilahnya, “metajuk” mungkin berkaitan dengan kata /pəñukjuk/ (baca: penyukjuk). Penyukjuk adalah alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan metajuk. Bentuknya seperti tombak, tetapi ujungnya dilapisi besi/ baja yang lebih tumpul. Sedangkan, gagangnya terbuat dari kayu, bulat panjang dengan ukuran kurang lebih 1,5 m. Penyukjuk berfungsi untuk melubangi tanah, tempat menaruh atau menanam benih (biji-bijian), misalnya jagung, kacang merah, dan lain-lainnya.

Laksana (1977) mengungkapkan bahwa /penyukjuk/ berasal dari kata dasar /jukjuk/. Mula-mula /jukjuk/ bergabung dengan prefiks nasal, sehingga terbentuklah kata /ñukjuk/. Kemudian, mendapat prefiks {pə-} sehingga menjadi kata /pəñukjuk/.
Saya menduga kata /jukjuk/ sama dengan /jujuk/ yang berarti berdiri. Mungkin istilah metajuk bersumber dari kata dasar /jukjuk/. Kalau memang benar, bisa jadi metajuk bermakna kegiatan menjadikan tanaman berdiri. Ya, kasarnya kegiatan menanam. Apakah semua kegiatan menanam dapat disebut metajuk?

Setahu saya, esensi metajuk bermakna lebih sempit. Metajuk berkaitan dengan aktivas menanam yang menggunakan alat bernama penyukjuk. Penyukjuk berfungsi melubangi tanah (sedalam kurang lebih 5 cm), kemudian dimasukkan benih. Selanjutnya, benih itu ditimbun dengan tanah kembali, menggunakan telapak kaki bagian depan. Aktivitas ini dilakukan sambil berdiri. Mungkin, karena kegiatan menanam sambil berdiri tersebut, maka disebut metajuk.

Kegiatan metajuk melibatkan semua anggota keluarga, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Umumnya, laki-laki dewasa membuat deretan lubang-lubang dari penyukjuk. Kemudian, anak-anak, remaja, dan para ibu memasukkan benih (dengan tangan) ke dalam lubang lalu menimbunnya dengan tanah.

Pasca metajuk, ada tradisi ngungkung. Semua hewan ternak seperti babi, sapi dan terutama ayam dikarantina selama kurang lebih 2-3 minggu. Babi dan sapi berpotensi merusak benih yang ditanam, sedangkan ayam (selain) merusak dan sekaligus dapat memakan benih yang tertanam. Sebab, kebanyakan anak babi, anak sapi dan ayam yang dipelihara dilepasliarkan (kecuali babi dan sapi dewasa biasanya diikat di bawah pohon). Ada beberapa babi dikandangkan, termasuk sapi. Jumlahnya tidak banyak. Sementara itu, ayam-ayam ditangkap lalu dibuatkan kandang dadakan. Banyak pula hanya dimasukkan ke dalam keranjang atau diikat pada patok-patok kecil.

Sepanjang ngungkung, para petani mengecek pertumbuhan palawija yang ditanam, sambil membawa benih baru. Mereka melakukan tradisi “mesimpal” yaitu mengecek beberapa benih yang gagal tumbuh. Kemudian, mereka menanami kembali dengan benih yang baru. Kegiatan ini dilakukan ketika palawija berusia 5 hari.
Sepuluh hari pasca metajuk, para petani melakukan aktivitas nyongkrak (membajak). Tujuannya, untuk mengatasi hama rumput liar di antara deretan tanaman palawija. Demi keamanan, kedua mulut sapi penarik jongkrak harus dipasang kronja (sejenis keranjang kecil, agar sapi tidak bisa makan tanaman).

Ketika kegiatan nyongkrak, pembajak diikuti oleh satu orang spesial, biasanya anak-anak. Ia bertugas menyelamatkan tanaman yang tertimpa bongkahan atau gundukan tanah, efek gerakan gigi jongkrak. Jika timbunan tanah dibiarkan menutup tanaman, maka besar kemungkinan tanaman tersebut mati atau cacat permanen.

Kelemahan nyongkrak tersebut ialah di sela-sela satu deretan tanaman tidak tersentuh gigi jongkrak. Karena itu, ada tradisi mulung yaitu membersihkan rumput liar di sela-sela deretan tanaman palawija dengan menggunakan alat sederhana bernama taah dan kekis. Taah berbentuk seperti pahat, tapi ujungnya lebih tumpul. Sedangkan, kekis seperti cangkul tetapi permukaan lebih ramping (memanjang ke samping). Perbedaan lainnya, tangkai kekis lebih panjang bahkan bisa mencapai 2 meter. Tujuannya, agar lebih mudah menjangkau rumput liar yang ada di sela-sela tanaman.

Ketika tanaman berumur 25-30 hari, dilakukan pemupukan tambahan dengan pupuk kimia (setelah dikenal pupuk kimia). Warga di tempat saya menyebutnya dengan istilah ngrabukan.
Kegiatan ngrabukan juga memanfaatkan alat penyukjuk untuk melubangi pinggir (samping) tanaman. Kemudian, pupuk kimia dituangkan di dalam lubang dengan menggunakan sendok makan (tanpa ditimbun lagi). Setelah pemupukan tambahan ini, petani istirahat lama. Mereka menunggu sampai palawija dipanen.

Panen kloter pertama ialah jagung, kacan merah, dan bleleng. Usianya kurang lebih 3 bulan. Hasil panen ini ditaruh dan diawetkan di ponapi (sejenis lumbung), kecuali kacang merah ditaruh dalam sok bodag. Sementara itu, benih-benih (terutama biji jagung) ditaruh dalam belek.

Panen kloter kedua yaitu ketela pohon (ngerih). Namun, panen kedua ini cukup lama, kurang lebih 7 bulan. Karena itu, pasca panen pertama, para petani kembali melakukan bersih-bersih. Sisa pangkal pohon jagung, kacang, dan bleleng dibersihkan. Kemudian, petani nyongkrak dan mulung lagi untuk mendapatkan hasil panen yang optimal. Hasil panen biasanya ditaruh dalam sok bodag atau kampil. Sementara, turusnya (bibit ketela) ditaruh di tempat lembab (basah) seperti di belakang pembuangan air pancoran atau di bawah pohon yang rindang.

Setelah ngerih, ladang-ladang petani praktis mengalami kekosongan kurang lebih 4 bulan. Rentang inilah yang dimanfaatkan oleh para petani untuk menaruh kotoran sapi dan sampah organik/ unorganik. Sampah-sampah yang tidak terurai dibakar. Sementara, kotoran sapi ditebar di atas permukaan ladang.

Selanjutnya, para petani melakukan aktivitas nenggala yaitu membajak dengan tipekal gigi satu. Nenggala merupakan proses pengolahan ladang pertama atau dasar. Melalui nenggala, tanah digemburkan dan sekaligus dicampurkan dengan tebaran pupuk (kotoran sapi dan abu).

Proses pengolahan ladang hampir rampung. Tinggal menunggu musim metajuk. Namun, sebelum ditajuk, tanah kembali digemburkan dengan kegiatan nyongkrak (biasanya giginya empat). Inilah pengolahan yang terakhir. Tujuannya, untuk meratakan bongkah-bongkahan (bungkalan) tanah sehingga permukaannya menjadi lebih datar, halus dan siap ditajuk.

Semua proses nenggala dan nyongkrak biasanya dilakukan dengan sistem gotong-royong. Di tempat saya, namanya tradisi “kajakan” atau “ngajak”. Artinya, mengajak orang lain untuk membantu menyelesaikan pekerjaan kita. Tradisi kajakan ini juga berlaku dalam membangun rumah, membuat sumur, metajuk dan lain sebagainya.

Tradisi kajakan merupakan produk dari kultur agraris. Hingga kini, kultur ini masih ada walaupun tak sekuat pada zaman dulu. Saya ingat, waktu kecil (tahun 80-an) tradisi ini begitu kuat. Biasanya, setiap orang membangun rumah, rompok, dan membajak pasti dikerjakan secara gotong-royong (kajakan).

Sekarang, mulai ada pergeseran. Kajakan masih kuat hanya pada penggarapan ladang seperti nenggala/ nyongkrak dan termasuk kegiatan metajuk. Namun, kajakan berlaku surut terhadap penggarapan rumah. Kebanyakan, sekarang warga menggunakan tukang profesional (digaji).

Seiring perkembangan zaman, proses metajuk juga mengalami penyederhaan dan praktis. Pasca ngerih, beberapa petani tidak melakukan ritual nenggala atau nyongkrak lagi. Apakah ini ada hubungannya dengan terbatasnya sapi yang terlatih? Atau jangan-jangan tidak ada warga yang memelihara sapi karena sudah habis dijual (sebagai modal) untuk beralih ke sektor pariwisata.

Belakangan, beberapa petani tampaknya sudah enggan melakukan nenggala/ nyongkrak. Cukup dengan menyemprotkan rumput dengan racun/ pestisida. Rumput-rumput tepar. Kemudian, petani langsung melakukan aktivitas metajuk, tanpa proses penggemburan tanah lagi. Pemupukan hanya mengandalkan pupuk kimia.

Mungkin karena kemajuan teknologi? Atau barangkali generasi petani terlalu tua untuk mengendalikan tenggalan dan sapi-sapi yang menariknya. Sebab, pelapis generasi petani sudah tidak ada. Hampir seratus persen, para petani kehilangan regenerasi.

Anak-anak milenial sudah gagap bertani. Mereka tidak tertarik untuk menjadi petani. Apalagi, NP terdampak pariwisata. Bagi mereka, metajuk bukan lagi awal mula pertahanan pangan. Metajuk di ladang adalah dunia lama. Dunia milik para generasi yang sudah reyot. Metajuk milenial adalah aktivitas menanam benih jasa-jasa pariwisata untuk memanen dolar.

Akan tetapi, belakangan panen dolar total terhenti karena pandemi covid-19. Karena itulah, sekarang terlihat sejumlah anak muda milenial menunjukkan semangat bertani. Semangat ini pantas diapresiasi ketika pariwisata memperlihatkan kerapuhannya. Saya berharap sejumlah anak milenial ini konsisten—bukan semata-mata karena pelarian, keterpaksaan dan alternatif sesaat. Saya berharap mereka kreatif, disupport, sukses dan menjadi inspirasi sebagai petani modern ala kekinian.

Senin, 18 Mei 2020


“Basa Nosa”, Bahasa Bali Dialek Nusa Penida yang Mirip Dialek Bali Aga?

Oleh
I Ketut Serawan

Foto: water-sport-bali.com

Nusa Penida (NP) memiliki bahasa yang khas. Masyarakat NP lumrah menyebutnya dengan istilah “Basa Nosa”. Basa Nosa merupakan bahasa Bali dialek NP. Basa Nosa memiliki beberapa kekhasan linguistik, yang berbeda dengan bahasa Bali pada umumnya. Kekhasan inilah yang membuat penutur bahasa Bali (umum) kadangkala kurang memahami tutur Basa Nosa. Basa Nosa konon memiliki ciri linguistik yang mirip dengan dialek Bali Aga.  

Kesimpulan ini diungkapkan oleh peneliti dan pakar bahasa. Jendra dkk (dalam Darma Laksana, 1977) memaparkan basa Nosa memiliki persamaan ciri kebahasaan dengan Dialek Bali Aga, antara lain: 1) masih produktifnya distribusi fonim /h/ pada distribusi awal dan tengah; 2) masih produktifnya sufiks /-ñə/ dan /-cə/ yang merupakan alomorf dari sufiks {-ə}; 3) intonasi pembicaraan dengan tempo yang cepat dan tekanan dinamik yang relatif lebih keras; dan 5) kosa kata dialektis yang mirip dengan kosa kata dari Dialek Bali Aga yang lain. Perbedaannya, pada basa Nosa sudah mulai menghilangnya distribusi fonim /a/ pada distribusi akhir.

Fonim /h/ ada di awal, contohnya hoba-suba (sudah), homah-umah (rumah) dan honya-onya (semua). Fonim /h/ berada di tengah kata, misalnya behas-baas (beras), behat-baat (berat), pohun-puwun (terbakar). Kata-kata yang bersufiks (akhiran) /-ñə/ misalnya dəpinñə-dəpinə (dibiarkan), anoñə-anunə (dipukul), dan abañə-abanə (dibawa). Kata yang berakhiran /-cə/ misalnya cototcə-cototə (dipatuk), habutcə- abutə (dicabut), dan aritcə- aritə (disabit).

Di samping kekhasan fonologis dan morfologis, biasanya penutur basa Nosa bertutur dengan tempo yang relatif cepat dan tekanan dinamik yang lebih keras. Hal ini tidak bisa dipungkiri, terutama ketika sesama penutur basa Nosa melakukan komunikasi. Faktor inilah yang mungkin lebih menguatkan basa Nosa digolongkan ke dalam Dialek Bali Aga.

Pada umumnya, bahasa Bali dikelompokkan menjadi dua dialek yaitu Dialek Bahasa Bali Daratan dan Dialek Bahasa Bali Pegunungan atau Dialek Bali Aga (Wayan Jendra dkk dalam Laksana, 1977). Basa Nosa digolongkan ke dalam Dialek Bali Aga, dengan beberapa alasan. Salah satu faktornya, kebiasaan bertutur (hampir semua) dengan intonasi yang relatif cepat dan keras.

Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua masyarakat NP menggunakan basa Nosa (Dialek NP). Ada beberapa kelompok masyarakat berkomunikasi dengan menggunakan dialek lain. Darma Laksana menyebutnya dengan nama Dialek Nusa Lembongan (DNL). Dalam penelitian yang berjudul Morfologi Dialek Nusa Penida (1977), Laksana memaparkan bahwa basa Nosa memiliki perbedaan tidak hanya dalam hal intonasi tetapi juga dalam hal pembendaharaan kata-katanya, sebagian besar berbeda.

Perbedaan yang paling mencolok misalnya kata eda (kamu) dan kola (aku) dalam basa Nosa. Penutur DNL menggunakan kata cai/ ci (kamu) dan cang (aku). Contoh lain misalnya əndək (basa Nosa) dan tusing (DNL), geleng-cenik, hangken-kenken dan lain sebagainya.

Perbedaan lainnya, dalam DNL 1) tidak ditemukan fonim /h/ pada posisi awal dan tengah; 2) fonim /m/ pada akhir kata basa Nosa berubah menjadi /n/ dalam DNL; 3) fonim /p/ pada akhir kata (basa Nosa) menjadi /t/ dalam DNL ; 4) beberapa kata DNL yang dimulai dengan fonim vokal /i/ dan suku pertama terbuka /i/ tetapi dalam basa Nosa dengan fonim /e/; dan 5) beberapa kata DNL yang dimulai dengan fonim vokal /u/ dan suku pertama terbuka /u/ tetapi dalam basa Nosa dengan fonim /o/.

Penutur DNL jumlahnya tidak sebanyak basa Nosa. Umumnya, penutur DNL ialah penduduk di Pulau Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan (Desa Lembongan dan Jungutbatu). Sebagian kecil lainnya dari belahan barat Pulau NP, yang dekat dengan pulau tersebut. Misalnya, penduduk Desa Adat Nyuh Kukuh (Desa Ped), dan agak mirip dengan Desa Adat Sebunibus (Desa Sakti) serta Desa Adat Sakti (Desa Sakti). Sementara, Desa (kampung muslim) Toya Pakeh menggunakan Dialek Klungkung. Menurut Laksama (1977), kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh pergaulan yang datangnya dari desa (kampung) Islam Kusamba.

Kemudian, kelompok wangsa dewa (di Desa Batununggul) juga tidak menggunakan basa Nosa. Mereka menggunakan dialek mirip Bali daratan. Sisanya, sebanyak 13 desa dari total 16 desa yang ada di NP menggunakan basa Nosa yakni Batukandik, Batumadeg, Bunga Mekar, Klumpu, Kutampi, Kutampi Kaler, Ped, Pejukutan, Sakti, Sekartaji, Suasana, Tanglad, dan Batununggul.

Lalu, dari mana sumbernya basa Nosa? Mengapa basa Nosa memiliki beberapa ciri linguistik yang berbeda dengan bahasa Bali Daratan (umum)? Pakar bahasa, Darma Laksana menjelaskan bahwa hakikat sistem fonem antara basa Nosa dan Bahasa Bali Daratan sama. Namun, sejarah perkembangannya-lah, yang menyebabkan keduanya menjadi berbeda.

Dalam penelitian Laksana (berikutnya) yang berjudul Dinamika Kebahasaan pada Masyarakat Nusa Penida (2015), ia menduga bahwa bahasa Bali Daratan (umum) terkena pengaruh bahasa Jawa Pertengahan seperti yang digunakan dalam kitab Pararaton. Ia memberikan contoh kata huwus dalam bahasa Jawa Kuna. Dalam Jawa Pertengahan menjadi wus, sama seperti bahasa Bali umum. Fonem /h /dalam bahasa Jawa Kuna lesap dalam kedua bahasa yang menjadi pewarisnya.

Laksana menduga bahwa keberadaan basa Nosa berkaitan dengan invansi kerajaan Majapahit (pimpinan Gajah Mada) terhadap Bali. Setelah upacara pengangkatannya sebagai “Patih Amangkubhumi Majapahit” pada tahun Saka 1258 (1336 M), Gajah Mada bersama laskarnya  berhasil menaklukkan kerajaan Bali, termasuk “kerajaan” Nusa Penida (yang disebut Gurun dalam Sumpah Palapa Gajah Mada). Penaklukan daerah ini disinyalir memengaruhi kedua bahasa baik di Pulau Bali maupun Pulau NP.

Menurut Zoetmulder, laskar Majapahit yang membanggakan diri sebagai bangsawan Jawa tidak ingin kembali ke Majapahit. Karena itu, Laksana menduga sebagian laskar Majapahit tidak kembali ke Jawa. Mereka merasa nyaman berdiam di Pulau NP. Kemungkinan laskar Majapahit yang bukan bangsawan, yang masih mempertahankan bahasa Jawa Kuna-nya, yang ditandai oleh fonem /h/ pada awal kata dalam sebagian kosakatanya, sebagaimana termuat dalam Kamus Jawa KunaIndonesia karangan Zoetmulder (2006) dan Kamus Kawi–Indonesia karangan Wojowasito (1997), telah memengaruhi bahasa di Pulau NP.

Sikap dan Loyalitas Penutur Basa Nosa
Bagaimana eksistensi basa Nosa sekarang? Masihkan tetap lestari? Pertanyaan ini pantas diajukan mengingat pendukung (penutur) dialek Bali Aga pada umumnya cenderung berkurang. Entah karena faktor apa. Mungkin mereka malu dengan image “anak gunung”, dianggap wong desa, terbelakang, tertinggal dan maaf premitif. Karena konon, bahasa mencerminkan bangsa. Yang jelas, Jendra (dalam Laksana, 1977) pernah mengemukakan bahwa sikap dan loyalitas penutur Dialek Bali Aga kurang sekali terhadap bahasanya. Statemen ini tentu didasarkan oleh fakta-fakta empiris di lapangan.

Apakah statemen ini berlaku bagi penutur basa Nosa? Hingga kini, basa Nosa masih tetap hidup. Bahkan, keberadaannya tidak hanya di Pulau NP saja, termasuk Pulau Bali dan di luar Bali. Pendukung basa Nosa di Pulau Bali paling banyak ada di Melaya, Kabupaten Jembrana. Di luar Pulau Bali, ada di daerah transmigransi seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Keberadaan basa Nosa di luar daerah Bali kebanyakan dikembangkan oleh para transmigran asal NP. Meskipun berpuluh-puluh tahun berada di luar daerah, transmigran asal NP tetap mempertahankan bahasa ibunya, basa Nosa. Mereka tetap konsisten berkomunikasi menggunakan basa Nosa tidak hanya di rumah, tetapi setiap saat ketika bertemu dengan sesama penutur basa Nosa.

Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan loyalitas penutur basa Nosa tidak dapat diragukan lagi. Mereka loyal (setia) dan menjunjung basa Nosa sebagai bahasa ibu. Komitmen ini pantas mendapat acungan jempol di tengah basa Nosa yang sering dijadikan lelucon bahkan bahan bully oleh penutur dialek lain, terutama di wilayah Bali. Tidak hanya dalam konteks pergaulan sehari-hari, basa Nosa juga sering dijadikan bahan lelucon dalam pentas seni seperti drama gong, bondres, lawak Bali, dan lain sebagainya.

Namun, lelucon dan bullyan-bullyan tersebut  rupanya tak menyurutkan kecintaan orang NP untuk melestarikan dan mengembangkan basa Nosa. Bukan hanya penutur kalangan orang tua, dewasa—termasuk kalangan remaja (milenial) NP juga fanatik menggunakan basa Nosa. Jika para generasi tua melestarikan dan mengembangkan basa Nosa secara nyata, langsung, dan terbatas ke suatu tempat—maka generasi milenial NP memilih dunia maya untuk menyebarkan basa Nosa. Mereka memanfaatkan panggung youtube sebagai sarana melestarikan dan mengembangkan basa Nosa baik dalam bentuk lagu maupun lawak-lawakan khas NP.

Dalam dunia musik, nama Nanang Mekaplar sangat populer di kalangan penutur basa Nosa. Ia sangat konsisten menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu basa Nosa. Ia bahkan sudah melahirkan beberapa album (lengkap dengan video klip) berbasa Nosa. Kemudian, jejaknya diikuti oleh KalegoAgusBedik. Dengan modal yang serba sederhana, tak menyurutkan militansinya dalam menjaga basa Nosa. Ia tetap kreatif menciptakan dan menyanyikan lagu basa Nosa dengan rekaman yang sangat sederhana.

Selain lagu, kontes basa Nosa juga digarap dalam bentuk lawakan atau percakapan khas berbahasa Nosa. Beberapa youtuber asal NP mengemasnya secara kreatif dalam bentuk lawakan-lawakan singkat. Responnya, juga sangat bagus. Baik Nanang, Kalego maupun para youtuber lainnya dapat meraup followers hingga ratusan ribu.

Dengan jumlah followers sebanyak itu, basa Nosa memiliki dukungan penutur yang signifikan. Pasalnya, per 2010 jumlah penduduk NP hanya 45.110 jiwa. Artinya, dukungan ini mengindikasikan bahwa basa Nosa potensial untuk dilestarikan dan dikembangkan.

Namun, kendalanya basa Nosa kini belum memiliki standardisasi. Standardisasi ini mungkin penting untuk kepentingan linguistik basa Nosa, misalnya penyusunan kamus basa Nosa, tata bahasa Nosa (fonologi, morfologi, sintaksis) dan lain sebagainya. Memasukkan basa Nosa dalam aturan linguistik, tentu menyebabkan basa Nosa tidak hanya bernilai sebagai komunikasi lisan saja, tetapi juga bernilai dalam komunikasi tertulis. Siapa tahu digunakan untuk menyampaikan gagasan secara tertulis. Boleh, kan?

Gagasan “me-linguistik-kan” secara tertulis basa Nosa penting mungkin untuk mengangkat nilai basa Nosa. Apalagi, sekarang daerah NP sudah terdampak pariwisata. Sangat bagus misalnya basa Nosa dijadikan promosi mulai dari nama-nama objek wisata, nama usaha/ brand dan lain sebagainya. Contohlah The Leveh Band. Band lokal yang digawangi oleh Wayan Sukadana ini menggunakan basa Nosa yaitu kata “leveh” (aslinya “lepeh”). Ya, hitung-hitung promosi wilayah dan sekaligus basa Nosa. Siapa tahu ada yang berminat belajar basa Nosa.  

Edukasi Agraria dari Kasus Tanah Laba Pura di Tengah Laju Pariwisata Nusa Penida

Oleh
I Ketut Serawan

Tidak hanya perbatasan desa, laju pariwisata di Nusa Penida (NP) juga menyenggol tanah laba pura. Kasus ini dialami oleh pengempon Pura Sad Kahyangan Penida. Pura yang diempon oleh 4 desa adat yakni Desa Adat Sakti, Desa Adat Sompang, Desa Adat Bunga Mekar, dan Desa Adat Pundukkaha Kaja ini menjadi terusik ketika 13 hektar tanah laba puranya dikontrakan oleh Pemprov Bali kepada investor. Ketegangan melanda pihak pengempon pura dengan investor. Syukurnya, tidak menimbulkan korban jiwa. Karena konon tanah laba pura itu sudah kembali ke pangkuan sang pengempon—setelah melalui negosiasi yang alot antara pihak Pemprov Bali, investor dan pengempon.

Sebetulnya, kasus tanah Laba Pura Sad Kahyangan Penida sudah berlangsung cukup lama. Kasus ini bermula ketika Pemprov Bali menyertifikatkan tanah laba pura konon secara sepihak per tahun 2004 (era Gubernur Mangku Pastika). Cerita bermula ketika masyarakat setempat tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan (sertifikat) tanah di sekitar daerah Penida. Karena itu, Pemprov Bali mengambil alih dengan menyertifikatkan semua tanah yang tidak bertuan. Celakanya, termasuk tanah Laba Pura Sad Kahyangan Penida.

Warga yang konon tidak diajak kompromi sebelumnya, menjadi kaget. Mereka tidak menyangka bahwa pendataan tanah tak bertuan di daerah Penida menjadi awal mimpi buruk bagi pengempon Pura Sad Kahyangan Penida. Bukan hanya tanah garapan warga (tak bertuan) yang disertifikatkan, tetapi termasuk tanah laba pura.

Pasca kejadian tersebut, pihak pengempon pura terus melakukan sejumlah langkah negoisasi kepada Pemprov Bali, tetapi hasilnya nihil. Pihak Pemprov Bali rupanya kukuh, tetap mengakui bahwa tanah laba pura itu milik pemerintah. Namun, pihak pengempon tidak putus asa. Mereka terus memohon kepada Pemprov Bali dengan berbagai pendekatan. Lagi-lagi, hasilnya nol besar.

Kemudian, muncullah momentum pariwisata di NP. Pemprov Bali mengontrakan tanah di sekitar daerah Penida kepada investor. Sekali lagi, termasuk tanah laba pura. Pihak investor rupanya akan memanfaatkan tanah kontrakkannya untuk membangun sarana akomodasi pariwisata. Karena memang daerah ini merupakan tempat yang strategis untuk pengembangan pariwisata. Tanah laba pura berada di pesisir, sekitar Pantai Crystal Bay. Salah satu objek andalan pariwisata NP.

Ketika tanah laba pura jatuh ke tangan investor (pengembang), warga setempat menjadi cukup resah. Konon, kini akses melasti menuju Pantai Crystal Bay mulai terganggu karena aktivitas investor. Belum lagi, gesek-gesekan kecil lainnya. Misalnya, ketika pengempon hendak membangun toilet di sekitar pura untuk pamedek dan para wisatawan yang berwisata ke Pantai Crystal Bay, tiba-tiba ada surat dari investor yang isinya akan membongkar toilet tersebut (Balipost.com).

Kemudian, sempat pula terjadi ribuan massa pengempon pura tumpah ruah menghentikan proyek pengembang villa di areal pura (14/12/2019). Warga pengempon terpaksa menghentikan aktivitas pengembang karena dianggap melanggar kesucian pura. Bayangkan, jaraknya kurang 100 m dari areal pura. Jarak ini melanggar Perarem dan Awig-Awig Pengempon Pura dan termasuk melanggar Perda No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali dan bhisama PHDI Bali (Metrobali.com).

Situasi yang tak kondusif inilah yang mungkin menyebabkan pihak Pemprov dan pengembang menjadi melunak. Permohonan tanah laba pura sebanyak 13 hektar itu akhirnya dikembalikan kepada pihak pengempon pura. Keputusan yang membahagiakan pihak pengempon, tetapi merugikan pihak Pemprov dan investor. Namun, itulah keputusan yang dianggap paling bijak.

Sebelum tender kontrak jatuh kepada pengembang PT Empora Dana Laksmi, konon pihak Pemprov awalnya memprioritaskan investor lokal (dari NP). Namun, ketika beberapa investor NP sudah bersatu untuk mengajukan tender, malah tidak direspon oleh Pemprov Bali. Entah apa dasar pertimbangannya, tender akhirnya jatuh kepada tangan investor luar NP.

Kasus yang menimpa tanah Laba Pura Sad Kahyangan Penida memang cukup unik. Karena pihak yang bersengketa bukan kelompok masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Namun, kelompok masyarakat dengan pemerintah yang mengayominya.

Sepintas, kasus ini mungkin cukup menggelikan. Bagaimana tidak? Pihak pemerintah pasti lebih detail memahami tentang tanah laba pura. Lebih detail memahami bagaimana kedudukan tanah laba pura dalam kerangka bermasyarakat dan bernegara. Saya curiga, jangan-jangan pemerintah punya alasan kuat mengklaim tanah laba pura tersebut, sehingga disertifikatkan atas nama Pemprov Bali. Mungkin, alasan kuat itu tidak dipaparkan kepada masyarakat setempat.

Atau bisa jadi, tindakan penyertifikatan tanah laba pura itu sengaja dilakukan oleh pihak Pemprov dengan modal kekuasaan dan memanfaatkan keluguan masyarakat. Sebab, masyarakat setempat memang mayoritas sebagai petani. Tentu mereka sangat awam tentang agraria atau legalitas tanah.
Benar atau tidak, menurut tokoh masyarakat setempat, tidak ada ajakan berunding ketika tanah laba pura mereka dieksekusi ke dalam kertas keramat yang bernama sertifikat itu. Pantas saja, warga menjadi kaget ketika tahu bahwa tanah laba pura mereka sudah menjadi milik (aset) Pemprov Bali.

Jika demikian keadaannya, ada sesuatu yang kurang beres dalam proses penyertifikatan tanah laba pura itu. Hal inilah yang mungkin disembunyikan oleh Pemprov Bali. Ditambah lagi, hasil penolakan berulang-ulang dari pemohon (pengempon) kepada Pemprov tidak pernah sampai ke ranah publik. Kita tidak pernah tahu persis apa alasan Pemprov menolak permohonan berulang-ulang tersebut.

Selama ini, publik hanya bersimpati kepada pihak pengempon. Menilai pihak pengempon yang benar. Sementara, pihak Pemprov berada pada posisi salah. Ya, mungkin kesannya sewenang-wenang-lah. Jika benar tidak ada alasan rasional-yuridis, bolehlah masyarakat mengatakan bahwa Pemprov Bali telah menjadi contoh “ber-agraria” yang kurang baik kepada masyarakat. Tentu kurang baik dilakukan oleh pemerintah untuk kedua kalinya kepada masyarakat mana pun.

Pariwisata dan Melek Agraria
Dalam konteks kasus tanah Laba Pura Sad Kahyangan Penida, momentum pariwisata seolah-olah menjadi umpan untuk mengungkapkan kejelasan kasus agraria. Pariwisata denga ikon kapitalismenya, telah memancing watak-watak kapitalis (sesungguhnya) untuk keluar ke permukaan. Lalu, di sisi lain mempertontonkan masyarakat kecil (masyarakat pengempon pura) sebagai korban dari kapitalisme itu.

Para pengempon pura Sad Kahyangan Penida sangat merasakan kondisi tersebut. Bahkan, mereka mendapatkan penderitaan ganda. Tidak hanya dari investor, pun dari pemerintah yang semestinya sebagai penganyom mereka. Di sinilah, pelaku kapitalis seolah-olah menjadi bias. Bukan hanya investor, tanpa disadari pemerintah (jangan-jangan) juga menjadi pelaku kapitalis. Investor (maaf) menindas dengan “kuasa ekonominya”, sedangkan pemerintah menekan dengan “kuasa kekuasaannya”.

Itulah sebabnya, investor dan pemerintah sering menjadi pasangan “soulmate”. Investor berkuasa dengan modalnya, kemudian pemerintah melindungi dengan kuasa powernya. Drama “soulmate” ini mungkin sudah menjadi adegan klasik di negeri ini. Sebuah drama konspirasi (persekongkolan) yang mungkin sudah menjadi rahasia umum. Seolah-olah negara (pemerintah) kurang berpihak kepada rakyatnya sendiri. Lucu, bukan?

Padahal, idealnya pemerintah harus melindungi rakyatnya dari rasa sejahtera, makmur dan nyaman. Salah satu caranya ialah mengedukasi masyarakatnya agar paham betul tentang agraria. Karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengadakan penyuluhan hukum tentang agraria. Masyarakat harus dituntun dan disadarkan mengenai pentingnya pendaftaran tanah. Mereka harus diedukasi dari prosesi awal hingga akhir yaitu produk sertifikat tanah.

Saya pikir, kasus penyertifikatan tanah (garapan warga) dan termasuk tanah laba pura di daerah Penida (tahun 2004) oleh Pemprov Bali kurang didukung oleh edukasi agraria yang optimal dari pemerintah. Padahal, penyuluhan hukum agraria ini sangat dibutuhkan terutama oleh masyarakat petani pedesaan seperti di daerah Penida.

Pada umumnya kebanyakan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di sebuah desa baik untuk pertanian maupun untuk pemukiman masih belum disertifikatkan. Selain minim pengetahuan tentang agraria, mungkin juga karena tidak menimbulkan masalah yang signifikan. Padahal, sertifikat itu sangat berguna untuk menjamin kepastian hukum tanah milik masyarakat. Selain itu, dapat pula meningkatkan nilai tanah tersebut. Misalnya, dapat dijadikan jaminan bank untuk mencari modal tambahan dalam mengembangkan usaha.

Dalam konteks inilah, pentingnya peran kepala desa untuk menggandeng tim ahli agraria untuk memberikan penyuluhan hukum  agraria  kepada masyarakat. Boleh sewaktu-waktu dan akan lebih bagus jika dilakukan secara berkala. Masyarakat daerah Penida dan daerah lainnya di NP, sangat membutuhkan hal tersebut. Apalagi, NP menjadi daerah pariwisata yang sedang melejit sekarang.

Sebelum pariwisata betul-betul berkembang pesat, masyarakat memang dituntut untuk “melek agraria”. Karena pariwisata membuat nilai tanah mendadak meroket. Konsekuensinya, masyarakat harus memahami seluk-beluk lahan (tanah) sehingga jelas ke-agrarian-nya. Kalo tidak, jangan kaget jika tanah garapan (atau yang Anda diami) tiba-tiba menjadi milik orang lain atau milik pemerintah—seperti yang menimpa warga daerah Penida. Bahkan, tanah laba pura pun bukan mustahil dapat diserobot dan disertifikatkan.

Agar tidak terjadi untuk kedua kalinya, tugas aparatur pemerintah-lah yang memberikan edukasi kepada masyarakat agar melek agraria, memudahkan mekanisme penyertifikatan, dan termasuk meringankan biaya operasional penyertifikatan.

Khusus untuk tanah laba pura, mungkin masyarakat harus intens diberikan penyuluhan (edukasi) tentang masalah ini. Pasalnya, konon tanah laba pura paling rawan menimbulkan konflik. Karena berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah seolah-olah memaksakan tanah adat untuk didaftarkan atau mempunyai bukti hak milik.
Menurut Agus Samijaya (kuasa hukum Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Bali), persoalan yang saat ini dihadapi oleh adat dalam pendaftaran tanahnya yakni nama yang harus dicantumkan di dalam sertifikat. Selain itu, desa adat juga masih dipertanyakan apakah bisa sebagai sebuah badan hukum yang namanya dicantumkan dalam sertifikat. Walaupun ia mengatakan bahwa tanah wilayah adat eksistensinya memang diakui oleh konstitusi.
Karena itu, Agus menyarankan agar tanah wilayah adat semestinya tidak perlu disertifikatkan. Cukup disimpan dalam sebuah dokumen adat dalam bentuk pararem atau awig-awig. Konon, dokumen ini dianggap yang paling faktual.
Model edukasi seperti inilah yang mungkin diharapkan oleh masyarakat NP, khususnya di daerah Penida. Pemerintah punya tanggung jawab besar untuk menciptakan masyarakat yang melek agraria. Bukan menjadi contoh ber-agraria yang kurang baik dan terkesan arogan kepada masyarakat.