Jumat, 30 April 2021

 

Di Nusa Penida, Ada Gadis Menikah dengan Halilintar

Oleh

I Ketut Serawan

 

Di Nusa Penida, ada gadis menikah dengan halilintar. Ah, Anda pasti geleng-geleng kepala dan mengatakan “imposibel”! Itu tidak mungkin! Namun, cerita ini merebak di sebuah tempat bernama Banjar Waru, Desa Klumpu, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Seorang gadis asal Banjar Waru dinikahi oleh halilintar (bukan Atta Halilintar, ya).

Cerita bermula dari keluarga Nang Wayan. Istrinya bernama Men Wayan. Mereka dikaruniai 2 anak gadis yang cantik yaitu Ni Wayan dan Ni Made. Keluarga Nang Wayan tergolong keluarga terkaya (berada) di  Waru.

Meskipun hidup bergelimang harta tetapi keluarga Nang Wayan tidak bahagia. Pasalnya, mereka belum memiliki anak laki-laki. Karena itu, ketika istrinya hamil ketiga, harapannya lahir anak laki-laki. Namun, kenyataannya lahir seorang perempuan—walaupun sudah sujud, bakti dan berkaul di Pura Puncak Mundi.

Nang Wayan kecewa berat. Anak ketiga, Ni Komang, ditelantarkan. Nenek Ni Komang menjadi prihatin. Ia mengambil Ni Komang dan mengasuhnya pada sebuah gubuk di sebuah tegalan.

Di bawah asuhan sang nenek, Ni Komang tumbuh menjadi anak yang cerdas, ulet, rajin dan mandiri. Ia terbiasa bertani dan cekatan dalam urusan domestik yakni memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.

Namun, satu hal yang membebani sang nenek adalah rambut panjangnya Ni Komang hingga menyentuh tanah. Jika keramas, tidak cukup satu kelapa. Suatu hari ayahnya menyuruh sang nenek memotong rambut Ni Komang, tetapi ajaibnya rambutnya tidak bisa dipotong.  

Untuk tetap bisa merawat rambut cucunya, sang nenek mengunyah hasil parutan kelapa dengan air liurnya. Ternyata, cara ini mampu membasahi rambut Ni Komang selama musim kemarau hingga memasuki sasih Kelima (musim penghujan). Sasih yang dinanti-nanti oleh masyarakat NP untuk masalud (menampung air hujan dengan wadah tertentu), termasuk Ni Komang.

Pada tengah malam, ketika hujan turun dengan lebat, petir menyambar, dan diikuti oleh suara guntur menggelegar—Ni Komang keluar untuk menampung air hujan yang jatuh dari cucuran atap rumah sang nenek, kemudian menuangkan ke dalam gentong dan penampungan lainnya.

Setelah semua penampungan air penuh, tiba-tiba terdengar suara gemuruh sangat kencang disertai petir menyambar. Sang Nenek bergegas keluar sambil memanggil Ni Komang. Akan tetapi, Ni Komang tidak menjawab. Dengan bantuan obor, sang nenek berusaha mencari Ni Komang di sekeliling rumah hingga kandang ternaknya, tetapi Ni Komang tidak ada.

Keesokan paginya ia mendatangi rumah Nang Wayan. Ia menanyakan prihal lenyapnya Ni Komang. Namun, keluarga Nang Wayan juga tidak mengetahui keberadaan Ni Komang. Sang Nenek tampak bersedih sekali, termasuk keluarga Nang Wayan.

Nenek dan keluarga Nang Wayan sedang menahan isak tangis ketika tiba-tiba petir menyambar halaman rumah Nang Wayan. Dalam kedipan mata, petir lenyap digantikan dengan kehadiran sebuah bakul lengkap berisi sesajen peminangan. Keluarga Nang Wayan kaget.

Rasa kaget mereka kian bertambah ketika muncul seorang pria tua berpakaian adat lengkap, yang mengaku dari Desa Atas langit. Lelaki yang mengaku utusan itu menyampaikan bahwa Ni Komang telah diambil dan dinikahkan dengan I Wayan Kilap (Halilintar). Pria ini juga menjelaskan bahwa pertunangan Ni Komang dan I Wayan Kilap sudah berlangsung lama, tetapi keluarga Nang Wayan tidak bisa melihat karena berupa petir.

Pernikahan Ni Komang membuat sang nenek menjadi sangat kehilangan. Sang nenek harus bekerja sendiri. Ia mengungkapkan perasaannya kepada pria dari Atas Langit itu. Lalu, pria yang mengaku keponakan Wayan Kilap ini meminta sang nenek menaruh cangkul dan benih jagung di atas ladangnya. Sebentar kemudian, petir datang menyambar ladang sang nenek. Ladang sang nenek tiba-tiba bersih dan benih jagung sudah tertanam. Begitu juga ketika petir menyambar gubuk sang nenek, mendadak berubah menjadi rumah permanen yang indah.

Keajaiban juga melanda balai Banjar Waru. Warga hendak merenovasinya. Semua warga dikenai urunan, tetapi keluarga Nang Wayan yang kaya justru tidak mau membayarnya. Nang Wayan dicemooh dan informasinya sampai ke telinga Ni Komang. Tiba-tiba petir dan suara gemuruh melanda balai banjar Waru. Balai Banjar Waru mendadak menjadi baru, selesai direnovasi. Begitu juga dengan bangunan bale Sanghyang di timur laut balai banjar yang sudah rusak. Ketika disambar petir, mendadak menjadi baru. Semuanya dibangun dalam sekejap mata. Mereka percaya, semua berkat tangan I Wayan Kilap. Sejak kejadian itu, warga Waru percaya memiliki warga dari Desa Atas Langit.

Itulah cerita rakyat dari Nusa Penida (NP), yang berjudul Manusia Menikah dengan Petir (MMDP), disusun oleh I Made Subandia. Cerita yang mungkin saja dianggap sebagai pelipur lara. Namun, masyarakat Waru percaya dan meyakini mitos ini. Apalagi bagi keluarga I Made Karat. Salah satu warga asli Waru ini sangat meyakini eksistensi cerita tersebut. Bahkan, ia menyatakan bahwa tokoh yang dinikahkan oleh halilitar dalam cerita rakyat tersebut (I Wayan Kilap) adalah keturunan leluhurnya.

Keyakinan I Made Karat bukan tanpa alasan. Sekitar tahun 90-an, pernah salah satu keluarga besarnya (sepupu) sempat lenyap tanpa bekas. Saat itu, sepupunya (seorang gadis) bersama teman-temannya sedang mencari “kleted” (sejenis serangga) sekitar pukul 19.00 wita. Tiba-tiba sepupunya menghilang. Warga Waru menjadi panik. Mereka mencari beramai-ramai sambil memukul gong.

Kurang lebih 5 jam, sepupu Made Karat ditemukan terbaring di dalam kamarnya. Ketika sadar, ia menceritakan pengalaman terbang bersama seorang lelaki ganteng di langit. Keluarga paibon Made Karat percaya bahwa sepupunya hendak dipinang oleh sang halilintar. Hingga sekarang, keluarga Made Karat masih cemas jika memiliki anak gadis. Mereka cemas jika sewaktu-waktu dipinang oleh sang halilintar.

Kecemasan keluarga I Made Karat seolah-olah menjadi representasi bahwa betapa mitos seringkali sangat dekat dengan psikologis masyarakat yang melahirkannya. Seolah-olah tak ada jarak antara fakta dan fiksi. Keduanya seakan-akan lebur dan menyatu dalam perspektif keyakinan kolektif. Padahal, keyakinan ini kadangkala kurang rasional.

 

Halilintar, Kedudukan, Power dan Purusha

Begitu juga dengan cerita MMDP. Cerita ini masih hidup, dihormati dan disegani oleh masyarakat hingga sekarang. Konon, Bale Banjar Waru karya sang halilintar tidak boleh dihuni (diduduki) oleh perempuan. Entah, pesan moral apa yang hendak disembunyikan dari larangan yang terkesan deskriminatif ini.

Akan tetapi, perempuan di banjar Waru tetap tunduk dan patuh. Mungkin mereka takut jika sewaktu-waktu dinikahi oleh bangsa halilintar. Atau bisa jadi, larangan tersebut sebagai motivasi bagi warga Waru agar memiliki keturunan laki-laki. Ya, karena hanya kaum laki-laki yang boleh bebas beraktivitas di balai banjar tersebut. Jadi, balai banjar Waru menjadi tonggak zaman betapa keturunan laki-laki dipandang sangat bernilai.

Walau tidak (maaf) sesadis cerita Tuung Kuning, tetapi cerita MMDP ini juga kental dengan muatan gender. Laki-laki digambarkan sebagai kaum superior, sedangkan perempuan sebagai kaum inferior. Tokoh Ni Komang merupakan representasi bahwa perempuan Nusa (Bali) adalah insan yang lemah, patuh, tunduk dan bahkan (seolah-olah) boleh ditelantarkan.

Sebaliknya, laki-laki Bali dipandang sebagai sosok yang superior. Superioritas ini tercermin kuat dalam cerita MMDP, terutama pada tokoh I Wayan Kilap. I Wayan Kilap (bangsa halilintar) merupakan cermin betapa kaum laki-laki ditempatkan sangat tinggi (Desa Atas Langit). Halilintar datang dari atas (langit), sebagai simbol purusha.

Kemudian, superior laki-laki semakin tajam terlihat ketika I Wayan Kilap dapat menyulap ladang nenek yang kosong dengan tanaman jagung, menyulap gubug nenek menjadi rumah permanen yang indah, dan menyulap balai banjar warga menjadi baru. Peristiwa ini ingin menonjolkan bahwa I Wayan Kilap (simbol kaum laki-laki) sangat diandalkan kekuatannya di intern keluarga hingga ke tingkat masyarakat luas.

Pemilihan entitas halilintar dalam cerita MMDP di NP barangkali sangat tepat jika dikaitkan dengan konteks menguatkan kedudukan, power, dan purusha. Halilintar ketika saya kecil (tahun 80-an), memang terasa istimewa di kampung saya (NP). Dulu, kakek saya sering menceritakan tentang “siat petengan”. “Siat petengan” ialah perang tanding yang dilakukan oleh orang-orang Sakti (misalnya balian, pemangku, penguasa ilmu leak) di NP, tetapi tidak terlihat oleh orang awam.

Konon, “siat petengan” ini (secara kasat mata) dapat dilihat dari medium petir. Jika sandikala (petang), ada petir menyambar-nyambar di langit, pertanda ada adu kekuatan kaum elit (orang sakti). Apabila beberapa hari ke depan, ada orang sakti mendadak sakit hingga meninggal di NP—maka masyarakat di kampung saya meyakini bahwa orang tersebut kalah (kaon) dalam “siat petengan”.

Selain itu, ada pula yang mengaitkan petir dengan power lain yaitu “gigin kilap” (sejenis batu akik). Masyarakat di kampung saya percaya bahwa “gigin kilap” merupakan giginya sang petir, yang dipercaya memberikan kekuatan bagi yang memakainya. Entah kekuatan seperti apa.

Dengan kata lain, penggunaan tokoh petir/ halilintar dalam cerita MMDP terkesan sangat kuat untuk menonjolkan power dan kedudukan kaum laki-laki di NP terutama zaman dulu. Kaum laki-laki memiliki power dan kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita. Ini merupakan perspektif budaya orang NP (Bali pada umumnya).

Deskriminasi (perbedaan) gender tersebut berlangsung turun-temurun hingga sekarang, termasuk di NP. Perspektif budaya ini masih kuat meskipun Bali digerus oleh modernisasi. Paling sederhana mungkin dapat dilihat dari pengkultusan purusa (laki-laki) dalam sanggah merajan misalnya. Hanya keturunan laki-laki yang dapat mengkultuskan diri dalam dinasti mrejan dan berhak atas warisan aset leluhur.

Karena itu, tanpa keturunan laki-laki, maka “estafet keluarga” dianggap buntung (putus). Hal inilah yang sering menjadi beban pskilogis, beban sosial dan budaya bagi orang-orang (Bali) yang membangun rumah tangga. Dalam konteks sekarang,  keharusan memiliki keturunan laki-laki tentu menjadi beban yang sangat berat di tengah kompleksitas kebutuhan keluarga yang kian rumit. Namun, inilah kenyataan perspektif budaya yang masih kuat pendukungnya hingga sekarang di Bali.

 

Pura Mobil di Nusa Penida dan Riak Teologi Lokal

Oleh

I Ketut Serawan

Foto: tribunnews.com

Umat Hindu Bali sempat digemparkan oleh keberadaan Pura Paluang. Pasalnya, pura mistis yang berlokasi di
Dusun (Banjar) Karang Dawa, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung-Bali ini dianggap memiliki arsitektur yang tidak lazim. Dari 13 pelinggih yang ada, dua pelinggihnya berbentuk mobil. Persisnya berbentuk mobil jeep (Suzuki jimmy) yang dipercaya sebagai pelinggih  Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah (Siwa) dan Hyang Mami (Durga). Sementara, yang satunya lagi berbentuk mobil VW kodok (VW Beatle), pelinggih dari para pengikutnya. Kemudian, banyak umat Hindu penasaran. Referensi tatwa mana yang (kira-kira) dijadikan dasar pendirian pelinggih mobil tersebut?

Selama ini, umat Hindu Bali sudah memiliki landasan panduan rancang bangun arsitektur (pemujaan/ pelinggih) tradisional Bali yang dimuat dalam lontar Asta Kosala Kosali. Lontar ini memuat falsafah perwujudan arsitektur pura yaitu Tri Hita Karana, Panca Maha Buta dan Nawa Sanga.

Selain Asta Kosala Kosali, juga termuat dalam lontar Dewa Tattwa, Kusumadewa, Ithi Prakerti, Padmabhuwana, Anda Bhuwana, dan lain-lain. Landasan-landasan bangunan tradisional ini juga sangat terkait dengan ajaran etika dan moralitas kehinduan (Ida Pandita Dukuh Samiaga dalam Suyoga, 2019).

Jika mengacu pada sastra (lontar) yang ada, maka Pandita Dukuh Samiaga mengungkapkan bahwa pendirian pelinggih mobil dapat dikatakan tidak menggunakan landasan panduan rancang bangun Arsitektur Tradisional Bali, yang lazim digunakan oleh masyarakat Hindu Bali (Suyoga, 2019). Terus, pendirian pelinggih mobil itu menggunakan acuan (tatwa) yang mana?

Hingga kini, masyarakat setempat memang belum menemukan dasar tatwa (sejarah tertulis atau lontar) atas pendirian pelinggih mobil tersebut. Hal ini diakui oleh masyarakat di Karang Dawa. Beberapa referensi yang saya baca, hampir semuanya menyebutkan bahwa Pura Paluang atau Pura Mobil dibangun dari “fondasi mitos” yang kuat. Baik penglingsir, jero mangku, tokoh adat dan masyarakat setempat mengungkapkan hal sama.

Diceritakan dulu, warga Karang Dawa berniat membuka lahan perkebunan baru di area Pura Paluang. Dalam proses pengerjaannya, ditemukan sebongkah batu karang besar yang perlu dipindahkan ke tempat lain. Batu itu dipindahkan oleh warga. Namun, keesokan harinya batu itu kembali ke tempat semula. Kejadiannya tidak hanya sekali. Setiap dipindahkan, besoknya batu itu kembali lagi ke tempat semula. Aneh dan tidak wajar. Karena itu, warga memohon petunjuk kepada orang pintar. Dari hasil penerawangan orang pintar inilah, lahir petunjuk niskala untuk mendirikan bangunan suci di kawasan tersebut.

Menurut Jro Mangku Suar, awalnya dibuatkan pelinggih sederhana berupa tumpukan batu. Dalam perjalanannya, ada petunjuk sekala nyata dan niskala gaib bahwa Ida Bhatara yang berstana di Pura Paluang memiliki kendaraan “kereta” beroda empat tanpa kuda (menyerupai mobil). Sebelum ada pelinggih mobil, setiap piodalan di pura ini sering ada umat yang kerasukan dan meminta agar dibuatkan bangunan suci berbentuk kereta tanpa kuda/ mobil. Akhirnya, dibangunlah kedua pelinggih tersebut. Jadi, awalnya hanya ada dua pelinggih berbentuk mobil. Setelah banyak orang bersembahyang, dibangunlah pelinggih-pelinggih lainnya dan berkembang menjadi seperti saat ini (dalam Suyoga, SENADA Vol, 2, 2019).

Meski keluar dari pakem bangunan tradisional Bali, namun tidak menyurutkan hasrat berspiritual warga setempat. Berpuluh-puluh tahun (mungkin sudah hitungan abad), warga Karang Dawa menjadikan pelinggih berbentuk mobil sebagai tempat pemujaan. Cerita-cerita (mitos) yang diceritakan secara turun-temurun justru semakin menguatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kebesaran dan kekuasaan Hyang Mami.

Bahkan, semakin ke depan, eksistensi “aura mistis” dari Pura Paluang semakin kuat menundukkan keyakinan masyarakat setempat. Pasalnya, eksistensi kuasa Hyang Mami kian nyata dirasakan oleh masyarakat Karang Dawa. Kesimpulan ini didapat dari kolerasi peristiwa-peristiwa nyata (dunia nyata) yang dialami oleh warga setempat. Misalnya, soal suara mobil misterius tengah malam.

Menurut cerita, saat malam hari warga setempat sering mendengar suara deru mobil, klakson dan melihat sinar yang terang  melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah barat laut. Namun, deru suara mesin itu terdengar sepintas, lalu menghilang di kegelapan malam. Beberapa warga tertentu bahkan pernah melihat secara langsung mobil gaib itu seperti bentuk mobil Jimmy Katana buatan Jepang.

Namun bedanya, bagian depan mobil gaib ini dililit oleh dua ekor naga, sama seperti pelinggih mobil di Pura Paluang. Mobil gaib ini konon sering keliling desa, kadang-kadang melaju di jalan, di udara, dan bahkan di atas laut (RADITYA No.253, Agustus 2018). Masyarakat setempat meyakini bahwa mobil gaib itu merupakan kendaraan Hyang Mami. Karena masyarakat setempat percaya bahwa pada malam tertentu Hyang Mami berkeliling memantau umatnya dengan mengendarai mobil.

Cerita mistis lainnya pernah dituturkan oleh Jro Mangku Suar. Dulu, waktu kecil, ayahnya pernah dirampok oleh 2 perampok bersenjata golok. Sang ayah sudah tak berdaya dan berpikir akan meninggal. Namun, tiba-tiba ayahnya mengingat Pura Mobil dan berdoa memohon keselamatan. Ketika golok hendak menebas leher sang ayah, tiba-tiba golok itu terpental karena ayahnya mendadak kebal. Malah, perampok itu dapat dilumpuhkan oleh sang ayah (https://bali.tribunnews.com/2015/09/04/).

Terkait dengan kekuatan Hyang Mami, Putu Gita menuturkan bahwa pernah ada warga lain terjebak air dalam goa karang saat mengambil sarang burung walet. Kemudian, dia teringat dengan Ida yang melinggih di Pura Mobil. Seketika itu pula, datang mobil menjatuhkan batu ke dalam air sehingga mendorong keluar goa. Akhirnya, goa tertutup dan orang itu selamat (https://bali.tribunnews.com/2015/09/04/). Dan masih banyak cerita-cerita mistis lainnya.

Riak Teologi Lokal

Tumpukan cerita-cerita mistis, yang berkaitan dengan eksistensi kekuatan Beliau (Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah-Hyang Mami), kian menebalkan (menguatkan) kepercayaan dan keyakinan masyarakat setempat. Cerita mistis itu dipelihara secara turun-temurun. Diceritakan dari  generasi ke generasi, tanpa riak pengingkaran. Semua warga setempat percaya bahwa mitos itu nyata dan hidup dalam setiap tarikan napas mereka.

Karena itu, pelinggih mobil diterima sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran untuk menyalurkan hasrat religi baik personal maupun kolektif. Keyakinan terhadap kebenaran inilah yang membawa mereka merasakan kenyamanan berketuhanan—meskipun keluar dari pakem rancang bangun arsitektur tradisional Bali.

Dalam konteks ini, saya melihat ada semacam riak teologi lokal. Riak yang saya maksud adalah sejenis gejolak batin. Masyarakat Karang Dawa (kelompok masyarakat tertentu) hendak mengkaji ulang bahwa keseragaman berteologi (berketuhanan) bukan harga mati—walaupun sudah dianggap mapan.

Dengan kata lain, masyarakat Karang Dawa menginginkan celah kemerdekaan berteologi melalui simbol pelinggih mobil. Lewat simbol inilah mereka ingin menunjukkan bahwa sekelompok orang memiliki otoritas (caranya sendiri) dalam berketuhanan. Ya, mungkin mereka berpikir bahwa berketuhanan merupakan ranah (rasa) keyakinan/ kepercayaan. Ranah yang sebetulnya sangat subjektif. Jika terjadi perbedaan respon (pikiran, sikap, dan tindakan) antara satu atau kelompok orang dengan yang lainnya, mesti dihargai.

Namun demikian, bukan berarti otoritas dan subjektivitas ini lantas menjadi bias. Seolah-olah setiap personal dan kelompok orang “semau gue” merumuskan arsitektur pelinggih. Tentu harus ada fondasi yang kuat atas keputusan yang diambil. Setidaknya, keputusan itu memiliki latar belakang yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara skala maupun niskala.

Dari uraian skala dan niskala sebelumnya, mungkin pendirian pelinggih mobil ini dapat diterima sebagai riak/ gejolak (baca: spirit kebebasan) berteologi lokal ala masyarakat Karang Dawa. Gejolak yang tentu saja berdasar, tidak ngawur. Mereka memiliki kronologi mitos (pengalaman mistis) yang panjang, mulai dari masa lalu hingga sekarang. Mitos-mitos itu hadir melalui pengalaman mistis (niskala) dan nyata (skala) yang dialami oleh warga lokal dan bahkan termasuk warga luar dusun.

Lalu, apakah modal mitos bisa dijadikan dasar berteologi (baca: merumuskan bentuk pemujaan)? Wah, saya belum pernah membaca tentang hal ini. Setahu saya, tidak sedikit (mungkin) pendirian pura di Bali dibangun dari latar cerita mistis (mitos). Saya tidak tahu, apakah cerita mistis merupakan salah satu syarat dalam pendirian tempat pemujaan. Rasanya tidak. Karena mitos tidak terukur. Sering irasional sehingga tidak kuat dijadikan prasyarat rasional.

Namun, kenyataan yang saya lihat justru mitos menguatkan rasa “keangkeran atau kesakralan” sebuah pura. Mitos menjadikan pura menjadi lebih berkharisma, mistis, sakral, metaksu dan lain sebagainya. Terserah. Mungkin Anda mengatakan ini perspektif lama. Cara pandang orang-orang zaman dulu, tetapi setidaknya ini yang dialami oleh banyak umat hingga sekarang. Sangat kontekstual dengan eksistensi Pura Paluang saat ini.

Mitos dan efek kuasa keangkeran ini menyebabkan Pura Paluang (yang secara arsitektur “nyeleneh”) disegani kesakralannya oleh kelompok keluarga tertentu (awalnya) hingga masyarakat luas. Menurut Jro Mangku Suar, awalnya pura ini adalah pura keluarga. Dalam perkembangannya, banyak orang berkunjung (masyarakat lokal Nusa, Bali daratan, dan orang luar Bali), dengan berbagai tujuan persembahyangan, seperti proses memohon kesembuhan, memohon “taksu balian”, keberhasilan usaha dagang, kesuksesan meraih jabatan politik, memohon keturunan, dan lainnya yang telah banyak berhasil.

Potensi pura ini semakin terlihat dan semakin naik daun dalam kancah pura yang patut diperhitungkan di Nusa Penida. Desa berinisiatif melakukan penataan dengan perluasan halaman pura dan penambahan sejumlah pelinggih. Selanjutnya, dikelola oleh pengurus pura tersendiri di bawah Dusun /Lingkungan Karang Dawa, Desa Bunga Mekar. Statusnya menjadi Pura Kahyangan Desa dan diempon oleh sekitar 80 Kepala Keluarga (dalam Suyoga, SENADA Vol, 2, 2019).

Lebih lanjut Jro Mangku Suar menuturkan bahwa Pura Paluang dianggap sebagai Pura Dalem, tetapi bukan Pura Dalem Kahyangan Desa, melainkan Pura Dalem Jagat, sama seperti Pura Dalem Ped di Desa Ped, Nusa Penida (RADITYA No.253, Agustus 2018).

Dalam perkembangannya, kini Pura Paluang justru kian melejit dan populer di kalangan umat Hindu secara luas. Hal ini tidak terlepas dari bentuk arsitekturnya yang dianggap unik (plus mitos-mitos kuat yang melatarbelakanginya). Suyoga melihat fenomena ini sebagai kontestasi pergulatan identitas. Ia melihat bahwa ada relasi wacana-kuasa-pengetahuan yang melatarbelakangi altar berbentuk mobil tersebut. Hasil ini diperoleh setelah melakukan penelitan dengan menggunakan pendekatan kritis Kajian Budaya (pendekatan pascastrukturalisme), metodologi genealogi kekuasaan Foucault dan teori relasi wacana-kuasa-pengetahuan dari Foucault.

Menurut Suyoga, ada kuasa pengetahuan yang kuat dalam mitos. Kuasa ini dikembangkan oleh para intelektual organik, yakni tokoh religius (pemangku) bersama tokoh adat dan dinas dusun Karang Dawa. Kemudian, pengetahuan di balik mitos itu ditangkap dan dikembangkan sebagai kuasa melalui media bangunan suci berbentuk mobil. Selanjutnya, relasi kuasa bekerja mendisiplinkan tubuh masyarakat Dusun Karang Dawa untuk patuh dan taat dalam praktik pemujaan di Pura Paluang. Kuasa disiplin bahkan sudah meluas mendisiplinkan tubuh masyarakat di luar wilayah Dusun Karang Dawa. Pendisiplinan tubuh ini tidak saja sebagai bentuk pemenuhan hasrat dan ekspektasi, perekat relasi sosial, tetapi sudah menjadi ideologi.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa secara arsitektural desain pelinggih mobil dipengaruhi oleh merk pabrik mobil tertentu (VW dan Suzuki), lalu ditransformasikan menjadi simbol keagamaan atau tanda religius. Pelinggih mobil yang di luar nilai dan norma tradisi tersebut, menurut Suyoga termasuk kategori budaya populer.

Hal ini sesuai dengan pemikiran Piliang yang memahami agama di dalam budaya populer berkembang bersamaan dengan industrialisasi, produksi massa, dan media massa. Justru karena label pop inilah, Pura Paluang dengan dua pelinggih mobilnya mampu bersanding dalam kontestasi identitas sebagai pura yang “wajib” dikunjungi bila melakukan perjalanan spiritual ke Nusa Penida (Suyoga, 2019).

Jadi, Suyoga lebih menyoroti eksistensi Pura Paluang dari unsur budaya pop dan konteks beragama kekinian. Namun, saya lebih tertarik membaca eksistensi Pura Paluang dari perspektif “kemerdekaan berteologi lokal”. Terserah. Anda mungkin memiliki perspektif yang berbeda.

 

Foto: www.keepburger.com


Nusa Penida (NP) memiliki mangga yang khas. Orang NP lumrah menyebutnya dengan nama poh (mangga) lembongan. Sementara, orang Bali daratan menyebutnya dengan nama poh nusa. Dibandingkan dengan varietas mangga nusa lainnya, mangga lembongan lebih diminati di pasaran. Sekitar tahun 2000-an ke bawah, mangga ini pernah mengalami kejayaan. Setidaknya, mangga lembongan mampu menembus pasaran terutama di Klungkung daratan. Namun, belakangan suplai buah mangga Lembongan ke Bali daratan kian berkurang signifikan.

Entah apa penyebabnya. Bisa jadi karena pasokan mangga di NP terlalu melimpah. Sedangkan, distribusi (pengiriman) buah mangga ke Bali daratan sangat minim. Kondisi ini jelas merugikan para pengepul. Karena itu, mereka (para pengepul) tidak berani membeli mangga dalam jumlah (stok) yang banyak. Sebagai tindakan preventif, mereka akhirnya membatasi diri dalam pembelian mangga-mangga yang ada di NP termasuk mangga lembongan.

Kasus pendistribusian berkaitan erat dengan moda transportasi laut, penghubung pulau NP dengan Bali daratan. Artinya, keberadaan transportasi laut NP masih dianggap belum optimal sehingga pendistribusian mengalami kendala (lambat). Kendala pendistribusian sangat berisiko terhadap stok buah mangga yang dibeli oleh pengepul, karena mangga riskan mengalami pembusukan.

Dugaan lain, mungkin keberadaan mangga-mangga unggulan lainnya seperti manalagi, arumanis, madu dll. bertumbuh di NP. Jangan-jangan keberadaan mangga-mangga unggulan itu turut memberikan andil menggeser posisi mangga lembongan. Pasar tampaknya lebih merespon mangga-mangga unggulan ini dibandingkan dengan mangga lembongan. Padahal, secara kualitas mangga lembongan tidak kalah dengan mangga-mangga unggulan tersebut.

Secara fisik, mangga lembongan menyerupai mangga Gedong Gincu. Bulat dengan lekukan sedikit. Berukuran sedang, tidak terlalu kecil atau besar. Memiliki kulit yang tipis, daging buahnya berwarna kuning dan bertekstur agak kenyal dengan kandungan air yang banyak. Jika dimakan dalam kondisi matang sekali, rasanya manis total. Namun, dalam kondisi matang sedang, rasa manisnya bercampur dengan rasa asem sedikit.

Ketika masih mentah, mangga lembongan berwarna hijau dan memiliki beberapa bintik kecil berwarna putih pada permukaan kulitnya. Saat matang sedang, permukaan kulitnya berubah menjadi orange muda. Warna orange berubah lebih tua jika mangga lembongan dalam kondisi matang tua. Pada saat inilah, mangga lembongan mengeluarkan aroma harum. Sementara, kematangan mangga Gedong Gincu ditandai dengan warna gradasi kuning dan merah.

Dengan tampilan cantik dan kualitas yang tak beda jauh dengan mangga-mangga unggulan lainnya, semestinya mangga lembongan tetap eksis dan dapat bersaing di pasaran. Akan tetapi, kondisi di lapangan justru menunjukkan kenyataan yang berbeda. Semakin ke depan, nasib mangga lembongan seolah-olah berada diambang mengkhawatirkan.

Reaksi pasar sangat lesu. Jikalaupun pasar merespon, harga mangga lembongan jauh di bawah harapan. Dari dulu hingga sekarang, pengepul membeli mangga lembongan (di NP) dengan sistem transaksi tradisional yaitu menggunakan sistem angka 200 “nyaruk”. Mangga lembongan dihitung bijiannya sebanyak 200 butir dari berbagai ukuran (besar, sedang, dan kecil). Harga sekarang berkisar Rp 30.000 hingga Rp 50.000. Jika panen mendahului (buah mangga matang masih langka), maka harga di pasaran menjadi tinggi yaitu Rp 50.000 per 200 butir mangga lembongan. Namun, pas musim panen per 200 butir dihargai Rp 30.000. Anda mungkin geleng-geleng kepala, bukan?

Pasalnya, proses memanen dan penjualan tergolong cukup rumit. Mangga lembongan termasuk jenis mangga yang memiliki pohon yang sangat tinggi, lebih dari 5 m. Tidak cukup memetik buahnya dari atas permukaan tanah. Kita perlu memanjat pohonnya untuk mendapatkan buahnya. Belum lagi, rata-rata pohon mangga lembongan disenangi oleh serangga sumangah (sejenis semut merah).

Pemanen berjuang memetik buah mangga dengan sumbul, sambil berjuang mengatasi rasa sakit akibat gigitan sumangah. Sumbul merupakan alat panen yang terbuat dari bambu (galah) panjang. Pada ujungnya, ada semacam mulut sumbul dilengkapi dengan gigi 2-3 yang agak renggang. Kerenggangan ini bertujuan untuk menghimpit ujung tangkai mangga sehingga memudahkan lepas dari tangkainya. Sementara itu, di ujung samping hingga ke belakang dilengkapi dengan anyaman sejenis keranjang kecil—agar buah tidak jatuh ke tanah sehingga tidak lecet dan tidak cepat mengalami pembusukan.

Harga Rp 30.000- Rp 50.000 juga termasuk ongkos kirim. Setelah dipetik, petanilah (penjual) yang mengangkut mangga lembongan ke tempat pengepul atau langsung dibawa ke pasar. Jadi, harga tersebut sudah terhitung biaya petik dan ongkos kirim. Pembeli tinggal menerima bersih di tempatnya.

Meski tergolong murah, petani tetap semangat menjual kalau ada permintaan atau penawaran. Celakanya, seringkali ketika panen mangga tiba, tidak ada seorang pun yang membeli (menawar) mangga lembongan. Pengepul bungkam. Pembeli umum juga tak merespon. Cerita ini sudah biasa terjadi hampir setiap tahun di NP. Lantas, apa yang dilakukan oleh petani di NP?

Mangga-mangga itu dibiarkan jatuh berguguran ke tanah dan menjadi pesta bagi binatang-binatang seperti lalat, kupu-kupu, ulat, bekicot, muring dan lain sebagainya. Biasanya, para binatang tersebut berpesta menindaklanjuti mangga hasil gigitan dari para kelelawar. Para kelelawar berpesta buah mangga pada malam hari—namun tidak sempat menghabisi buah mangga itu karena terburu jatuh ke tanah.

Keesokan paginya, buah mangga hasil gigitan para kelelawar itulah yang menjadi incaran para binatang lainnya. Sebab, gigitan kelelawar itu sudah merobek dan menembus daging buah mangga. Hal inilah yang memudahkan para binatang lain untuk langsung memakan dagingnya.  

Bagaimana dengan buah mangga yang jatuh tetapi masih utuh (cuma lecet)? Para petani memungut dan mengumpulkannya untuk pakan tambahan ternak seperti ayam, babi, dan sapi. Pemberian mangga kepada ternak ayam dan babi dengan cara dikupas terlebih dahulu. Sementara, pemberian kepada ternak sapi biasanya dalam kondisi utuh. Si sapi langsung menelan utuh dengan batunya. Beberapa menit kemudian, si sapi mengeluarkan batu-batu mangga itu kembali melalui mulutnya.

Jika memiliki ternak terbatas, maka banyak buah mangga lembongan terbuang percuma. Para petani membiarkan mangga lembongan itu tergeletak, membusuk dan menyatu dengan tanah.

Mengoptimalkan Pemberdayaan Mangga Lembongan (Nusa)

Mangga lembongan sudah menjadi ikon bagi NP sejak lama. Namun, siapa sangka ternyata pemanfaatannya masih belum optimal. Cerita-cerita pembiaran dan pembuangan mangga ini mungkin sudah menjadi kisah klasik. Berlangsung bertahun-tahun. Namun, hingga kini belum ada solusi efektif untuk pemanfaatan mangga lembongan dengan optimal.

Kasus pembiaran atau pembuangan terhadap mangga lembongan tetap terbuka terulang pada tahun-tahun mendatang. Karena setahu saya, belum pernah saya dengar ada olahan buah mangga menjadi makanan atau minuman di NP. Selama ini, mangga hanya dikonsumsi langsung oleh masyarakat NP.

Model konsumsi tradisional ini jelas tidak sebanding dengan jumlah mangga yang ada di NP. Pasalnya, NP memiliki varietas mangga tidak hanya lembongan. NP memiliki varietas mangga lainnya seperti mangga golek, gedang, ijo, dodol, gender rasa, pelom dan varian lainnya. Di antara varietas mangga nusa, keberadaan mangga lembongan memang paling mendominasi di NP.

Berbeda mungkin ceritanya, jika buah mangga (terutama mangga lembongan) di NP diolah menjadi berbagai olahan kreatif. Misalnya, krupuk mangga, manisan, minuman, dan lain sebagainya. Bisa jadi, kan?

Kemudian, hasil olahan dipromosikan baik secara manual maupun lewat medsos. Promosi ini tentu penting, apalagi sebagai produk pemula. Jadi, pembeli tinggal pesan lewat online atau langsung mendatangi tempat-tempat yang menyediakan produk. Kalau bisa, produk-produk olahan mangga khas nusa itu dibranding.

Sasaran paling menjanjikan mungkin menjadi oleh-oleh khas NP. Sangat memungkinkan. Ya, karena NP sudah menjadi daerah pariwisata. Apalagi, tingkat kunjungan pelancong ke NP cukup tinggi. Ada peluang. Tinggal bagaimana membuat produk olahan mangga nusa yang berkualitas dan menyentuh selera pasar. Mungkin tidak beda jauh dengan olahan apel malang misalnya (krupuk apel Malang dan minuman sari apel Malang). Setiap orang bertamasya ke Malang, setidak-setidaknya mereka pulang membawa krupuk apel atau minuman sari apel.

Saya pikir NP bisa meniru Malang misalnya. Pelancong tidak hanya menikmati objek wisata Malang, tetapi sekaligus digiring berbelanja oleh-oleh khas Malang. Begitu juga dengan NP. Para pelancong tidak hanya menikmati keindahan geografi NP, tetapi juga berbelanja oleh-oleh khas NP yaitu olahan mangga terutama mangga lembongan.

Jika pengolahan mangga ini diformat dalam bentuk usaha, setidaknya akan menciptakan lapangan pekerjaan baru, menyelamatkan ekonomi para petani di NP dan sekaligus memberdayakan buah mangga yang terbuang percuma setiap tahunnya.

Saya pikir para pebisnis di NP sudah memikirkan hal ini. Mungkin, mereka sedang berhitung biaya produksi, pemasaran, distribusi dan lain sebagainya. Siapa tahu suatu saat nanti ada pebisnis milenial yang bisa mewujudkan hal itu, sehingga bisnis di NP menjadi semakin meriah. Harapannya, dapat mendongkrak perekonomian di NP. Jadi, tidak melulu soal bisnis akomodasi penginapan saja.

Alangkah eloknya jika sektor pariwisata dan bisnis olahan makanan/ minuman saling bergandengan, terutama yang bahan bakunya tersedia di alam NP. Dalam konteks ini, mangga lembongan. Masyarakat berbisnis, sambil melestarikan ikon mangga khas NP.

Di samping pengoptimalan olahan kreatif, kendala pendistribusian penting pula dicarikan jalan keluar—agar pendistribusian mangga lembongan ke Bali daratan dapat berjalan lebih lancar. Sehingga, para pengepul dapat membeli mangga nusa dalam jumlah yang lebih banyak. Kelancaran pendistribusian ini diharapkan dapat menjaga nilai mangga nusa (lembongan). Minimal ada tawaran dari pengepul untuk terus membeli mangga nusa, sehingga kasus pembiaran dan pembuangan mangga kian dapat diminalisasikan.

Ya, mungkin kuantitas moda transportasi laut terutama untuk mengangkut barang (termasuk mangga) mesti dimaksimalkan. Setidaknya, frekuensi trip penyeberangan dioptimalkan lagi. Jika masih belum maksimal, mungkin keberadaan perahu khusus mengangkut barang mesti diadakan lagi. Tentu dengan biaya yang terjangkau, sehingga saling mensupport. Bisnis transportasi laut dapat bertumbuh, bisnis mangga khas NP juga dapat berkembang dan ekonomi para petani tetap hidup.

Untuk kesehatan transaksi, mungkin model pembelian pengepul dapat diadaptasikan sehingga tidak terlalu merugikan petani. Misalnya, kurangi bermain sistem angka 200 nyaruk. Mungkin lebih bijak dengan sistem kiloan misalnya. Pasti lebih murah dengan harga di pasar Bali daratan. Akan tetapi, permainan sistem kiloan dirasakan lebih objektif.

Kita berharap realisasi pengolahan kreatif mangga nusa dapat terwujud, pendistribusiannya lebih lancar dan sistem transaksinya lebih modern sehingga mangga lembongan (nusa) tidak hanya tinggal cerita. Jangan sampai poh lembongan menjadi abadi dalam sebuah nama penginapan “Poh Manis Lembongan”. Akan tetapi, tetap real eksis dalam segala perubahan yang melanda NP. Semoga!

 

Nyanyi Menggunakan Basa Nosa, Dapat Apa?

Oleh

I Ketut Serawan

Bernyanyi menggunakan bahasa nasional? Ah, biasa aja kali! Atau bernyanyi menggunakan bahasa daerah, misalnya bahasa Bali? Itu pun mungkin dirasakan sudah biasa. Sudah banyak. Bagaimana kalau bernyanyi menggunakan bahasa Bali dialek Nusa Penida (basa Nosa)? Nah, ini pasti tidak biasa alias langka! Akan tetapi, kenyataannya memang ada, lho!

Sebut saja Nanang Mekaplar dan Kalego Ajoesbedik. Hingga kini, keduanya sama-sama konsisten—kreatif menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu berbasa Nosa terutama di panggung medsos (youtube). Terus, mereka dapat apa, sih?

Setahu saya, Nanang Mekaplar merupakan pionir penyanyi berbasa Nosa, sedangkan Kalego bisa disebut sebagai regenerasinya. Sebagai pionir, setidaknya Nanang Mekaplar sudah menelurkan 2 album yaitu Ledok-Ledok dan Gending Nusa Penida. Jika pada album pertama berbentuk keeping VCD, maka album kedua beredar dalam bentuk cakram DVD dengan format audio MP3 dan digarap di EMP Studio Jakarta. Lagu-lagu Nanang juga dapat dinikmati lewat medsos.

Tema-tema lagunya cukup beragam mulai dari soal cinta (romantisme), kritik sosial, spiritual, kearifan lokal, alam (geografi) dan lain sebagainya. Namun, dari beragam tema yang diusung oleh Nanang Mekaplar, sejatinya sangat kental dengan spirit kecintaan terhadap tanah air NP. Hal ini diperkuat oleh video klipnya yang hampir 98 persen berlatar belakang geografi NP—sehingga ada kesan kuat bahwa menonton klip Nanang Mekaplar—kita seolah-olah digiring berwisata menikmati pesona Pulau NP secara virtual.

Komitmen bermusik (basa Nosa) Nanang Mekaplar pantas mendapat acungan jempol. Meskipun bernaung di bawah payung indie label, tak membuat Nanang bermusik asal-asalan. Pria yang bernama asli I Ketut Sudiarta ini tampak serius mulai dari proses kreatif penciptaan lagu, pembuatan video klip, hingga proses rekaman. Bukan hanya menguras pikiran, energi, waktu, melainkan juga menghabiskan isi kantong (modal). Namun, semua dapat dilaluinya tanpa alangan serius oleh Nanang Mekaplar, yang juga seorang doktor, dosen STAHN di Palangkaraya ini.

Berbeda dengan Kalego. Ia justru terjun ke dunia musik NP dengan modal nekat. Coba tonton videonya di youtube! Terlihat sangat sederhana. Menonton Kalego di youtube seperti menyaksikan penyanyi yang sedang live di satu tempat—dengan alat musik yang sangat sederhana yaitu berupa gitar akustik saja.

Meskipun demikian, Kalego bukan seniman kacangan. Lagu-lagunya di youtube mendapat sambutan luar biasa dari pencinta lagu basa Nosa. Hingga saat ini, ia berhasil mengantongi subscriber mencapai 15,5 ribu (Nanang justru masih di angka 6 ratusan). Sebuah pencapaian angka yang cukup spektakuler. Padahal, pria yang suka nyeleneh dan ngoceh ini baru dikenal oleh pecinta lagu basa Nosa beberapa tahun lalu.

Hingga sekarang, Kalego belum melahirkan album. Lelaki slengehan dan terkenal humoris ini masih menciptakan lagu-lagu secara sporadis, lalu mengunggah di chanel youtubenya. Tema-tema lagunya sangat ringan dan simpel. Dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, ia mampu mengemasnya ke dalam lirik-lirik lagu ala dirinya yang khas. Sederhana, kocak, tetapi bobot kritik sosialnya “mekaplar” dan menyentuh.

Sama halnya dengan Nanang Mekaplar, lagu-lagu Kalego juga dapat dinikmati oleh hampir semua kalangan masyarakat baik kelas bawah, menengah maupun kelas atas. Pun dari segala umur mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua. Karena lirik lagunya tidak terlalu puitis, tetapi seperti bahasa komunikasi sehari-hari, sehingga mudah dipahami oleh penutur basa Nosa.

Baik Nanang Mekaplar maupun Kalego sama-sama mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat NP. Keduanya mendapat apresiasi dari penutur basa Nosa yang tinggal di Pulau NP, Bali daratan, daerah trasmigrasi bahkan di luar negeri. Umumnya, mereka menyambut baik adanya penyanyi berbasa Nosa. Lalu, Nanang dan Kalego dapat apa?

Pertanyaan ini pantas diajukan mengingat jumlah penutur basa Nosa terbatas. Rasionalnya, pendengar/ penikmatnya terbatas pula, kan? Jumlah penutur setidaknya berpengaruh terhadap ruang lingkup penikmatnya. Semakin luas jangkauan bahasa yang digunakan oleh sang penyanyi, maka makin terbuka lebar untuk meraup penikmat (penggemar) lebih banyak.  

Kalau berpikir untung/ rugi, rasanya agak sulit memperoleh finansial yang menjanjikan dari total menjadi seorang penyanyi (musisi) lagu berbasa Nosa. Realita bicara bahwa pangsa pasarnya sangat terbatas. Sehebatnya-sehebatnya musisi NP, mereka tetap bergulir di seputaran penutur basa Nosa.

Persoalan akan berbeda apabila status penyanyi lagu Nosa mereka jadikan sebagai batu loncatan. Misalnya, setelah unjuk kualitas dan mimiliki massa, mereka menggandeng musisi kelas lokal Bali. Bisa jadi popularitasnya kian melebar. Lebih luas lagi misalnya, menggandeng musisi nasional atau internasional. Bisa jadi, kan?

Jika demikian adanya, semua pihak akan diuntungkan. Pertama, menguntungkan musisi itu sendiri karena potensial mendatangkan profit. Ya, mereka akan memiliki massa (penikmat) dan sekaligus pangsa pasar yang lebih luas. Artinya, potensi untuk meraup finansial lebih terbuka. Kedua, menguntungkan masyarakat NP karena berpeluang mempromosikan basa Nosa lebih luas ke publik. Jika sudah dikenal oleh massa di luar penutur NP, tentu lebih mudah menarik massa. Apalagi massa itu merupakan penggemar. Kok, bisa?

Anggaplah mantan penyanyi Nosa sudah menjadi idola masyarakat Bali atau nasional misalnya, maka lebih mudah mereka mempopulerkan basa Nosa. Lagu dalam bahasa apapun (termasuk basa Nosa) yang nantinya dibawakan, penggemar  pasti akan berusaha menikmatinya. Dengan kata lain, mereka (para penggemar) sesungguhnya sedang belajar basa Nosa.

Mungkinkah Nanang Mekaplar atau Kalego akan melakukan lompatan itu? Biarkan waktu yang menjawabnya nanti. Sekarang, coba ditimbang mereka dapat apa dari komitmen bernyanyi basa Nosa di medsos. Ya, mungkin orang-orang akan mengatakan bahwa mereka ingin ketenaran, follower atau sekadar melampiaskan ekspresi berkreasi (seni). Menurut saya, misi tersebut mungkin ada, tetapi persentasenya tidak besar.

Penyanyi Nosa dan Soal Dedikasi

Kecenderungan yang saya lihat justru kepada misi “memberi” (meyadnya), bukan berorientasi pada materi atau finansial. Mereka (para penyanyi Nosa) mempertaruhkan dedikasinya demi tanah kelahiran. Dedikasi untuk menunjukkan bahwa betapa mereka sangat bangga dan cinta terhadap Pulau NP. Dedikasi inilah yang mendorong mereka berani menyanyikan lagu berbasa Nosa di panggung youtube. Mengapa saya katakan “berani”? Karena faktanya, basa Nosa masih dianggap sebagai dialek ledekan, walekan dan bullyan—walaupun sering dalam konteks bercanda.

Saya menangkap, ada komitmen dari seorang Nanang dan Kalego untuk mengangkat martabat orang NP melalui bernyanyi dengan mengunakan media bahasa. Mereka ingin menunjukkan ke publik bahwa orang NP dengan dialeknya tidak lagi relevan dipandang sebagai stereotip terisolir (terbelakang)—yang selama ini mungkin memberi efek minder kepada beberapa penutur NP. Sebaliknya, Nanang dan Kalego menginginkan kesetaraan dialek, bukan “kasta dialek”. Basa Nosa adalah salah satu bentuk dialek daerah, yang kelasnya sama dengan dialek-dialek daerah lainnya di Bali.

Selain itu, saya juga melihat Nanang dan Kalego tak ubahnya seperti guru sekolah. Mereka mendidik regenerasi NP untuk belajar basa Nosa. Sasarannya, terutama kepada orang NP yang tidak menggunakan basa Nosa sebagai bahasa ibu. Lewat lirik-lirik lagunya (yang tertulis), mereka hendak mengajarkan orang-orang belajar basa Nosa secara tertulis. Setidaknya, membantu orang-orang ketika belajar mengeja basa Nosa.

Kemudian, dari rekaman audio, mereka ingin membelajarkan orang tentang pelafalan basa Nosa dengan tepat. Selama ini, jarang ada basa Nosa dalam bentuk teks tertulis maupun rekaman audio. Biasanya, hanya sebagai keperluan komunikasi lisan dan berlalu begitu saja. Dengan adanya arsip bahasa dalam bentuk tulisan dan rekaman audio, sangat membantu orang untuk mempelajari linguistik basa Nosa lebih komprehensif.

Jadi, bukan hanya menjadi guru, keberadaan lagu-lagu berbasa Nosa juga menjadi referensi dan museum digital. Kondisi ini menyebabkan orang dengan praktis dan mudah belajar basa Nosa hanya lewat jejak digital. Cukup terkoneksi dengan internet, maka orang dapat dengan mudah belajar basa Nosa. Ke depan, referensi dan museum digital ini juga menjadi semacam penyelamat budaya NP. Penyelamat seandainya penutur basa Nosa kian terpinggirkan atau mungkin di ambang kepunahan misalnya. Di samping itu, tentu dapat membantu para peneliti/ pakar linguistik yang tertarik untuk meneliti basa Nosa.

Di luar guru sekolah dan arsip, Nanang dan Kalego juga merupakan duta gratis untuk NP. Duta untuk mempromosikan secara ikhlas budaya lokal dan pariwisata NP. Lewat tema-tema lagu garapannya, mereka ingin menyampaikan kepada publik bahwa NP memiliki budaya yang unik dan adiluhung. Budaya yang tidak kalah beradabnya dengan daerah-daerah lainnya di Bali. Budaya-budaya itulah yang mestinya terus diekspos dan dipromosikan untuk menimbulkan kesadaran apresiasi kepada publik.

Kalego dan terutama Nanang Mekaplar juga gencar mempromosikan pariwisata NP. Nanang mempromosikan objek-objek wisata dengan menjadikanya sebagai latar dalam setiap video klipnya. Bentuknya ada yang berupa foto-foto slide. Akan tetapi, lebih banyak menggunakan rekaman video langsung di objek-objek wisata di NP. Nanang sangat menyadari bahwa panggung bermusik (di medsos) merupakan media efektif untuk mempromosikan berbagai aspek sekaligus. Karena itulah, ia memasukan aspek budaya, bahasa, dan termasuk pariwisata dalam sekali tindakan.

Banyak hal yang didedikasikan seorang Nanang dan Kalego. Ia tidak hanya menghibur, tetapi “ngayah” membantu mempromosikan sosio-kultural dan pariwisata NP. Namun, endingnya mereka adalah alarm identitas bagi orang NP. Alarm agar orang NP tidak gampang tergerus identitas ke-nusa-annya. Sebaliknya, orang NP harus tetap eksis dengan identitasnya. Apalagi, mereka menyadari bahwa NP terdampak pariwisata yang siap mempengaruhi bahkan mungkin menggerus identitas orang NP.

Namun, bukan berarti orang NP menutup diri terhadap perubahan global. Orang NP tetap terbuka, tetapi jangan sampai tercerabut dari akar identitas ke-nusa-annya. Mereka (musisi Nosa) mendedikasikan dirinya terhadap hal itu. Sesungguhnya, mereka sudah memiliki “kesadaran awal” tentang identitas sebelum masyarakat umum NP menyadari hal tersebut. Karena itu, jangan lagi bertanya mereka mendapatkan apa? Akan tetapi, cobalah berhitung jumlah dedikasi yang disumbangkannya kepada pulau tercinta, NP.