Jumat, 30 April 2021

 

Di Nusa Penida, Ada Gadis Menikah dengan Halilintar

Oleh

I Ketut Serawan

 

Di Nusa Penida, ada gadis menikah dengan halilintar. Ah, Anda pasti geleng-geleng kepala dan mengatakan “imposibel”! Itu tidak mungkin! Namun, cerita ini merebak di sebuah tempat bernama Banjar Waru, Desa Klumpu, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Seorang gadis asal Banjar Waru dinikahi oleh halilintar (bukan Atta Halilintar, ya).

Cerita bermula dari keluarga Nang Wayan. Istrinya bernama Men Wayan. Mereka dikaruniai 2 anak gadis yang cantik yaitu Ni Wayan dan Ni Made. Keluarga Nang Wayan tergolong keluarga terkaya (berada) di  Waru.

Meskipun hidup bergelimang harta tetapi keluarga Nang Wayan tidak bahagia. Pasalnya, mereka belum memiliki anak laki-laki. Karena itu, ketika istrinya hamil ketiga, harapannya lahir anak laki-laki. Namun, kenyataannya lahir seorang perempuan—walaupun sudah sujud, bakti dan berkaul di Pura Puncak Mundi.

Nang Wayan kecewa berat. Anak ketiga, Ni Komang, ditelantarkan. Nenek Ni Komang menjadi prihatin. Ia mengambil Ni Komang dan mengasuhnya pada sebuah gubuk di sebuah tegalan.

Di bawah asuhan sang nenek, Ni Komang tumbuh menjadi anak yang cerdas, ulet, rajin dan mandiri. Ia terbiasa bertani dan cekatan dalam urusan domestik yakni memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.

Namun, satu hal yang membebani sang nenek adalah rambut panjangnya Ni Komang hingga menyentuh tanah. Jika keramas, tidak cukup satu kelapa. Suatu hari ayahnya menyuruh sang nenek memotong rambut Ni Komang, tetapi ajaibnya rambutnya tidak bisa dipotong.  

Untuk tetap bisa merawat rambut cucunya, sang nenek mengunyah hasil parutan kelapa dengan air liurnya. Ternyata, cara ini mampu membasahi rambut Ni Komang selama musim kemarau hingga memasuki sasih Kelima (musim penghujan). Sasih yang dinanti-nanti oleh masyarakat NP untuk masalud (menampung air hujan dengan wadah tertentu), termasuk Ni Komang.

Pada tengah malam, ketika hujan turun dengan lebat, petir menyambar, dan diikuti oleh suara guntur menggelegar—Ni Komang keluar untuk menampung air hujan yang jatuh dari cucuran atap rumah sang nenek, kemudian menuangkan ke dalam gentong dan penampungan lainnya.

Setelah semua penampungan air penuh, tiba-tiba terdengar suara gemuruh sangat kencang disertai petir menyambar. Sang Nenek bergegas keluar sambil memanggil Ni Komang. Akan tetapi, Ni Komang tidak menjawab. Dengan bantuan obor, sang nenek berusaha mencari Ni Komang di sekeliling rumah hingga kandang ternaknya, tetapi Ni Komang tidak ada.

Keesokan paginya ia mendatangi rumah Nang Wayan. Ia menanyakan prihal lenyapnya Ni Komang. Namun, keluarga Nang Wayan juga tidak mengetahui keberadaan Ni Komang. Sang Nenek tampak bersedih sekali, termasuk keluarga Nang Wayan.

Nenek dan keluarga Nang Wayan sedang menahan isak tangis ketika tiba-tiba petir menyambar halaman rumah Nang Wayan. Dalam kedipan mata, petir lenyap digantikan dengan kehadiran sebuah bakul lengkap berisi sesajen peminangan. Keluarga Nang Wayan kaget.

Rasa kaget mereka kian bertambah ketika muncul seorang pria tua berpakaian adat lengkap, yang mengaku dari Desa Atas langit. Lelaki yang mengaku utusan itu menyampaikan bahwa Ni Komang telah diambil dan dinikahkan dengan I Wayan Kilap (Halilintar). Pria ini juga menjelaskan bahwa pertunangan Ni Komang dan I Wayan Kilap sudah berlangsung lama, tetapi keluarga Nang Wayan tidak bisa melihat karena berupa petir.

Pernikahan Ni Komang membuat sang nenek menjadi sangat kehilangan. Sang nenek harus bekerja sendiri. Ia mengungkapkan perasaannya kepada pria dari Atas Langit itu. Lalu, pria yang mengaku keponakan Wayan Kilap ini meminta sang nenek menaruh cangkul dan benih jagung di atas ladangnya. Sebentar kemudian, petir datang menyambar ladang sang nenek. Ladang sang nenek tiba-tiba bersih dan benih jagung sudah tertanam. Begitu juga ketika petir menyambar gubuk sang nenek, mendadak berubah menjadi rumah permanen yang indah.

Keajaiban juga melanda balai Banjar Waru. Warga hendak merenovasinya. Semua warga dikenai urunan, tetapi keluarga Nang Wayan yang kaya justru tidak mau membayarnya. Nang Wayan dicemooh dan informasinya sampai ke telinga Ni Komang. Tiba-tiba petir dan suara gemuruh melanda balai banjar Waru. Balai Banjar Waru mendadak menjadi baru, selesai direnovasi. Begitu juga dengan bangunan bale Sanghyang di timur laut balai banjar yang sudah rusak. Ketika disambar petir, mendadak menjadi baru. Semuanya dibangun dalam sekejap mata. Mereka percaya, semua berkat tangan I Wayan Kilap. Sejak kejadian itu, warga Waru percaya memiliki warga dari Desa Atas Langit.

Itulah cerita rakyat dari Nusa Penida (NP), yang berjudul Manusia Menikah dengan Petir (MMDP), disusun oleh I Made Subandia. Cerita yang mungkin saja dianggap sebagai pelipur lara. Namun, masyarakat Waru percaya dan meyakini mitos ini. Apalagi bagi keluarga I Made Karat. Salah satu warga asli Waru ini sangat meyakini eksistensi cerita tersebut. Bahkan, ia menyatakan bahwa tokoh yang dinikahkan oleh halilitar dalam cerita rakyat tersebut (I Wayan Kilap) adalah keturunan leluhurnya.

Keyakinan I Made Karat bukan tanpa alasan. Sekitar tahun 90-an, pernah salah satu keluarga besarnya (sepupu) sempat lenyap tanpa bekas. Saat itu, sepupunya (seorang gadis) bersama teman-temannya sedang mencari “kleted” (sejenis serangga) sekitar pukul 19.00 wita. Tiba-tiba sepupunya menghilang. Warga Waru menjadi panik. Mereka mencari beramai-ramai sambil memukul gong.

Kurang lebih 5 jam, sepupu Made Karat ditemukan terbaring di dalam kamarnya. Ketika sadar, ia menceritakan pengalaman terbang bersama seorang lelaki ganteng di langit. Keluarga paibon Made Karat percaya bahwa sepupunya hendak dipinang oleh sang halilintar. Hingga sekarang, keluarga Made Karat masih cemas jika memiliki anak gadis. Mereka cemas jika sewaktu-waktu dipinang oleh sang halilintar.

Kecemasan keluarga I Made Karat seolah-olah menjadi representasi bahwa betapa mitos seringkali sangat dekat dengan psikologis masyarakat yang melahirkannya. Seolah-olah tak ada jarak antara fakta dan fiksi. Keduanya seakan-akan lebur dan menyatu dalam perspektif keyakinan kolektif. Padahal, keyakinan ini kadangkala kurang rasional.

 

Halilintar, Kedudukan, Power dan Purusha

Begitu juga dengan cerita MMDP. Cerita ini masih hidup, dihormati dan disegani oleh masyarakat hingga sekarang. Konon, Bale Banjar Waru karya sang halilintar tidak boleh dihuni (diduduki) oleh perempuan. Entah, pesan moral apa yang hendak disembunyikan dari larangan yang terkesan deskriminatif ini.

Akan tetapi, perempuan di banjar Waru tetap tunduk dan patuh. Mungkin mereka takut jika sewaktu-waktu dinikahi oleh bangsa halilintar. Atau bisa jadi, larangan tersebut sebagai motivasi bagi warga Waru agar memiliki keturunan laki-laki. Ya, karena hanya kaum laki-laki yang boleh bebas beraktivitas di balai banjar tersebut. Jadi, balai banjar Waru menjadi tonggak zaman betapa keturunan laki-laki dipandang sangat bernilai.

Walau tidak (maaf) sesadis cerita Tuung Kuning, tetapi cerita MMDP ini juga kental dengan muatan gender. Laki-laki digambarkan sebagai kaum superior, sedangkan perempuan sebagai kaum inferior. Tokoh Ni Komang merupakan representasi bahwa perempuan Nusa (Bali) adalah insan yang lemah, patuh, tunduk dan bahkan (seolah-olah) boleh ditelantarkan.

Sebaliknya, laki-laki Bali dipandang sebagai sosok yang superior. Superioritas ini tercermin kuat dalam cerita MMDP, terutama pada tokoh I Wayan Kilap. I Wayan Kilap (bangsa halilintar) merupakan cermin betapa kaum laki-laki ditempatkan sangat tinggi (Desa Atas Langit). Halilintar datang dari atas (langit), sebagai simbol purusha.

Kemudian, superior laki-laki semakin tajam terlihat ketika I Wayan Kilap dapat menyulap ladang nenek yang kosong dengan tanaman jagung, menyulap gubug nenek menjadi rumah permanen yang indah, dan menyulap balai banjar warga menjadi baru. Peristiwa ini ingin menonjolkan bahwa I Wayan Kilap (simbol kaum laki-laki) sangat diandalkan kekuatannya di intern keluarga hingga ke tingkat masyarakat luas.

Pemilihan entitas halilintar dalam cerita MMDP di NP barangkali sangat tepat jika dikaitkan dengan konteks menguatkan kedudukan, power, dan purusha. Halilintar ketika saya kecil (tahun 80-an), memang terasa istimewa di kampung saya (NP). Dulu, kakek saya sering menceritakan tentang “siat petengan”. “Siat petengan” ialah perang tanding yang dilakukan oleh orang-orang Sakti (misalnya balian, pemangku, penguasa ilmu leak) di NP, tetapi tidak terlihat oleh orang awam.

Konon, “siat petengan” ini (secara kasat mata) dapat dilihat dari medium petir. Jika sandikala (petang), ada petir menyambar-nyambar di langit, pertanda ada adu kekuatan kaum elit (orang sakti). Apabila beberapa hari ke depan, ada orang sakti mendadak sakit hingga meninggal di NP—maka masyarakat di kampung saya meyakini bahwa orang tersebut kalah (kaon) dalam “siat petengan”.

Selain itu, ada pula yang mengaitkan petir dengan power lain yaitu “gigin kilap” (sejenis batu akik). Masyarakat di kampung saya percaya bahwa “gigin kilap” merupakan giginya sang petir, yang dipercaya memberikan kekuatan bagi yang memakainya. Entah kekuatan seperti apa.

Dengan kata lain, penggunaan tokoh petir/ halilintar dalam cerita MMDP terkesan sangat kuat untuk menonjolkan power dan kedudukan kaum laki-laki di NP terutama zaman dulu. Kaum laki-laki memiliki power dan kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita. Ini merupakan perspektif budaya orang NP (Bali pada umumnya).

Deskriminasi (perbedaan) gender tersebut berlangsung turun-temurun hingga sekarang, termasuk di NP. Perspektif budaya ini masih kuat meskipun Bali digerus oleh modernisasi. Paling sederhana mungkin dapat dilihat dari pengkultusan purusa (laki-laki) dalam sanggah merajan misalnya. Hanya keturunan laki-laki yang dapat mengkultuskan diri dalam dinasti mrejan dan berhak atas warisan aset leluhur.

Karena itu, tanpa keturunan laki-laki, maka “estafet keluarga” dianggap buntung (putus). Hal inilah yang sering menjadi beban pskilogis, beban sosial dan budaya bagi orang-orang (Bali) yang membangun rumah tangga. Dalam konteks sekarang,  keharusan memiliki keturunan laki-laki tentu menjadi beban yang sangat berat di tengah kompleksitas kebutuhan keluarga yang kian rumit. Namun, inilah kenyataan perspektif budaya yang masih kuat pendukungnya hingga sekarang di Bali.

0 komentar:

Posting Komentar