Di
Nusa Penida, Ada Gadis Menikah dengan Halilintar
Oleh
I
Ketut Serawan
Di Nusa Penida, ada gadis
menikah dengan halilintar. Ah, Anda pasti geleng-geleng kepala dan mengatakan
“imposibel”! Itu tidak mungkin! Namun, cerita ini merebak di sebuah tempat
bernama Banjar Waru, Desa Klumpu, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Seorang
gadis asal Banjar Waru dinikahi oleh halilintar (bukan Atta Halilintar, ya).
Cerita
bermula dari keluarga Nang Wayan. Istrinya bernama Men Wayan. Mereka dikaruniai
2 anak gadis yang cantik yaitu Ni Wayan dan Ni Made. Keluarga Nang Wayan
tergolong keluarga terkaya (berada) di Waru.
Meskipun hidup bergelimang harta
tetapi keluarga Nang Wayan tidak bahagia. Pasalnya, mereka belum memiliki anak
laki-laki. Karena itu, ketika istrinya hamil ketiga, harapannya lahir anak
laki-laki. Namun, kenyataannya lahir seorang perempuan—walaupun sudah sujud,
bakti dan berkaul di Pura Puncak Mundi.
Nang Wayan kecewa berat. Anak
ketiga, Ni Komang, ditelantarkan. Nenek Ni Komang menjadi prihatin. Ia
mengambil Ni Komang dan mengasuhnya pada sebuah gubuk di sebuah tegalan.
Di
bawah asuhan sang nenek, Ni Komang tumbuh menjadi anak yang cerdas, ulet, rajin
dan mandiri. Ia terbiasa bertani dan cekatan dalam urusan domestik yakni
memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Namun, satu hal yang membebani
sang nenek adalah rambut panjangnya Ni Komang hingga menyentuh tanah. Jika
keramas, tidak cukup satu kelapa. Suatu hari ayahnya menyuruh sang nenek
memotong rambut Ni Komang, tetapi ajaibnya rambutnya tidak bisa dipotong.
Untuk tetap bisa merawat rambut
cucunya, sang nenek mengunyah hasil parutan kelapa dengan air liurnya.
Ternyata, cara ini mampu membasahi rambut Ni Komang selama musim kemarau hingga
memasuki sasih Kelima (musim penghujan). Sasih yang dinanti-nanti oleh
masyarakat NP untuk masalud (menampung air hujan dengan wadah
tertentu), termasuk Ni Komang.
Pada tengah malam, ketika hujan
turun dengan lebat, petir menyambar, dan diikuti oleh suara guntur menggelegar—Ni
Komang keluar untuk menampung air hujan yang jatuh dari cucuran atap rumah sang
nenek, kemudian menuangkan ke dalam gentong dan penampungan lainnya.
Setelah semua penampungan air
penuh, tiba-tiba terdengar suara gemuruh sangat kencang disertai petir
menyambar. Sang Nenek bergegas keluar sambil memanggil Ni Komang. Akan tetapi,
Ni Komang tidak menjawab. Dengan bantuan obor, sang nenek berusaha mencari Ni
Komang di sekeliling rumah hingga kandang ternaknya, tetapi Ni Komang tidak ada.
Keesokan
paginya ia mendatangi rumah Nang Wayan. Ia menanyakan prihal lenyapnya Ni
Komang. Namun, keluarga Nang Wayan juga tidak mengetahui keberadaan Ni Komang.
Sang Nenek tampak bersedih sekali, termasuk keluarga Nang Wayan.
Nenek
dan keluarga Nang Wayan sedang menahan isak tangis ketika tiba-tiba petir menyambar
halaman rumah Nang Wayan. Dalam kedipan mata, petir lenyap digantikan dengan
kehadiran sebuah bakul lengkap berisi sesajen peminangan. Keluarga Nang Wayan kaget.
Rasa
kaget mereka kian bertambah ketika muncul seorang pria tua berpakaian adat
lengkap, yang mengaku dari Desa Atas langit. Lelaki yang mengaku utusan itu
menyampaikan bahwa Ni Komang telah diambil dan dinikahkan dengan I Wayan Kilap
(Halilintar). Pria ini juga menjelaskan bahwa pertunangan Ni Komang dan I Wayan
Kilap sudah berlangsung lama, tetapi keluarga Nang Wayan tidak bisa melihat
karena berupa petir.
Pernikahan
Ni Komang membuat sang nenek menjadi sangat kehilangan. Sang nenek harus
bekerja sendiri. Ia mengungkapkan perasaannya kepada pria dari Atas Langit itu.
Lalu, pria yang mengaku keponakan Wayan Kilap ini meminta sang nenek menaruh
cangkul dan benih jagung di atas ladangnya. Sebentar kemudian, petir datang
menyambar ladang sang nenek. Ladang sang nenek tiba-tiba bersih dan benih
jagung sudah tertanam. Begitu juga ketika petir menyambar gubuk sang nenek,
mendadak berubah menjadi rumah permanen yang indah.
Keajaiban
juga melanda balai Banjar Waru. Warga hendak merenovasinya. Semua warga dikenai
urunan, tetapi keluarga Nang Wayan
yang kaya justru tidak mau membayarnya. Nang Wayan dicemooh dan informasinya
sampai ke telinga Ni Komang. Tiba-tiba petir dan suara gemuruh melanda balai
banjar Waru. Balai Banjar Waru mendadak menjadi baru, selesai direnovasi. Begitu
juga dengan bangunan bale Sanghyang di timur
laut balai banjar yang sudah rusak. Ketika disambar petir, mendadak menjadi baru.
Semuanya dibangun dalam sekejap mata. Mereka percaya, semua berkat tangan I
Wayan Kilap. Sejak kejadian itu, warga Waru percaya memiliki warga dari Desa
Atas Langit.
Itulah
cerita rakyat dari Nusa Penida (NP), yang berjudul Manusia Menikah dengan Petir
(MMDP), disusun oleh I Made Subandia. Cerita yang mungkin saja dianggap sebagai
pelipur lara. Namun, masyarakat Waru percaya dan meyakini mitos ini. Apalagi
bagi keluarga I Made Karat. Salah satu warga asli Waru ini sangat meyakini
eksistensi cerita tersebut. Bahkan, ia menyatakan bahwa tokoh yang dinikahkan
oleh halilitar dalam cerita rakyat tersebut (I Wayan Kilap) adalah keturunan
leluhurnya.
Keyakinan
I Made Karat bukan tanpa alasan. Sekitar tahun 90-an, pernah salah satu
keluarga besarnya (sepupu) sempat lenyap tanpa bekas. Saat itu, sepupunya (seorang
gadis) bersama teman-temannya sedang mencari “kleted” (sejenis serangga)
sekitar pukul 19.00 wita. Tiba-tiba sepupunya menghilang. Warga Waru menjadi panik.
Mereka mencari beramai-ramai sambil memukul gong.
Kurang
lebih 5 jam, sepupu Made Karat ditemukan terbaring di dalam kamarnya. Ketika
sadar, ia menceritakan pengalaman terbang bersama seorang lelaki ganteng di
langit. Keluarga paibon Made Karat percaya bahwa sepupunya hendak dipinang oleh
sang halilintar. Hingga sekarang, keluarga Made Karat masih cemas jika memiliki
anak gadis. Mereka cemas jika sewaktu-waktu dipinang oleh sang halilintar.
Kecemasan
keluarga I Made Karat seolah-olah menjadi representasi bahwa betapa mitos
seringkali sangat dekat dengan psikologis masyarakat yang melahirkannya.
Seolah-olah tak ada jarak antara fakta dan fiksi. Keduanya seakan-akan lebur
dan menyatu dalam perspektif keyakinan kolektif. Padahal, keyakinan ini kadangkala
kurang rasional.
Halilintar, Kedudukan, Power dan Purusha
Begitu
juga dengan cerita MMDP. Cerita ini masih hidup, dihormati dan disegani oleh
masyarakat hingga sekarang. Konon, Bale Banjar Waru karya sang halilintar tidak
boleh dihuni (diduduki) oleh perempuan. Entah, pesan moral apa yang hendak
disembunyikan dari larangan yang terkesan deskriminatif ini.
Akan
tetapi, perempuan di banjar Waru tetap tunduk dan patuh. Mungkin mereka takut jika
sewaktu-waktu dinikahi oleh bangsa halilintar. Atau bisa jadi, larangan
tersebut sebagai motivasi bagi warga Waru agar memiliki keturunan laki-laki.
Ya, karena hanya kaum laki-laki yang boleh bebas beraktivitas di balai banjar
tersebut. Jadi, balai banjar Waru menjadi tonggak zaman betapa keturunan
laki-laki dipandang sangat bernilai.
Walau
tidak (maaf) sesadis cerita Tuung Kuning, tetapi cerita MMDP ini juga kental
dengan muatan gender. Laki-laki digambarkan sebagai kaum superior, sedangkan
perempuan sebagai kaum inferior. Tokoh Ni Komang merupakan representasi bahwa
perempuan Nusa (Bali) adalah insan yang lemah, patuh, tunduk dan bahkan
(seolah-olah) boleh ditelantarkan.
Sebaliknya,
laki-laki Bali dipandang sebagai sosok yang superior. Superioritas ini
tercermin kuat dalam cerita MMDP, terutama pada tokoh I Wayan Kilap. I Wayan
Kilap (bangsa halilintar) merupakan cermin betapa kaum laki-laki ditempatkan sangat
tinggi (Desa Atas Langit). Halilintar datang dari atas (langit), sebagai simbol
purusha.
Kemudian,
superior laki-laki semakin tajam terlihat ketika I Wayan Kilap dapat menyulap ladang
nenek yang kosong dengan tanaman jagung, menyulap gubug nenek menjadi rumah
permanen yang indah, dan menyulap balai banjar warga menjadi baru. Peristiwa
ini ingin menonjolkan bahwa I Wayan Kilap (simbol kaum laki-laki) sangat
diandalkan kekuatannya di intern keluarga hingga ke tingkat masyarakat luas.
Pemilihan
entitas halilintar dalam cerita MMDP di NP barangkali sangat tepat jika
dikaitkan dengan konteks menguatkan kedudukan, power, dan purusha. Halilintar
ketika saya kecil (tahun 80-an), memang terasa istimewa di kampung saya (NP). Dulu,
kakek saya sering menceritakan tentang “siat petengan”. “Siat petengan” ialah perang
tanding yang dilakukan oleh orang-orang Sakti (misalnya balian, pemangku,
penguasa ilmu leak) di NP, tetapi tidak terlihat oleh orang awam.
Konon,
“siat petengan” ini (secara kasat mata) dapat dilihat dari medium petir. Jika sandikala (petang), ada petir
menyambar-nyambar di langit, pertanda ada adu kekuatan kaum elit (orang sakti).
Apabila beberapa hari ke depan, ada orang sakti mendadak sakit hingga meninggal
di NP—maka masyarakat di kampung saya meyakini bahwa orang tersebut kalah
(kaon) dalam “siat petengan”.
Selain
itu, ada pula yang mengaitkan petir dengan power lain yaitu “gigin kilap”
(sejenis batu akik). Masyarakat di kampung saya percaya bahwa “gigin kilap”
merupakan giginya sang petir, yang dipercaya memberikan kekuatan bagi yang memakainya.
Entah kekuatan seperti apa.
Dengan
kata lain, penggunaan tokoh petir/ halilintar dalam cerita MMDP terkesan sangat
kuat untuk menonjolkan power dan kedudukan kaum laki-laki di NP terutama zaman
dulu. Kaum laki-laki memiliki power dan kedudukan yang lebih tinggi daripada
wanita. Ini merupakan perspektif budaya orang NP (Bali pada umumnya).
Deskriminasi
(perbedaan) gender tersebut berlangsung turun-temurun hingga sekarang, termasuk
di NP. Perspektif budaya ini masih kuat meskipun Bali digerus oleh modernisasi.
Paling sederhana mungkin dapat dilihat dari pengkultusan purusa (laki-laki) dalam
sanggah merajan misalnya. Hanya keturunan laki-laki yang dapat mengkultuskan
diri dalam dinasti mrejan dan berhak atas warisan aset leluhur.
Karena
itu, tanpa keturunan laki-laki, maka “estafet keluarga” dianggap buntung
(putus). Hal inilah yang sering menjadi beban pskilogis, beban sosial dan
budaya bagi orang-orang (Bali) yang membangun rumah tangga. Dalam konteks
sekarang, keharusan memiliki keturunan
laki-laki tentu menjadi beban yang sangat berat di tengah kompleksitas
kebutuhan keluarga yang kian rumit. Namun, inilah kenyataan perspektif budaya
yang masih kuat pendukungnya hingga sekarang di Bali.
0 komentar:
Posting Komentar