Minggu, 18 Desember 2016

Mengkaji Penistaan Hak Ekonomi Guru 

dalam Kebijakan 24 Jam


Oleh 
I Ketut Serawan

Foto: suara.com
Semenjak sertifikasi guru bergulir, kebijakan “mengajar minimal 24 jam” menjadi harga mati terutama bagi guru yang sudah mengantongi sertifikat pendidik. Jika kurang dari standar minimal, para guru langsung dikenai sanksi praktis yakni aliran dana sertifikasi (TPG) dibekukan secara otomatis.

Kebijakan ini menjadi hakim penentu atas prakara profesional guru. Integritas profesional guru yang diperoleh secara legitimasi melalui portofolio maupun jalur pelatihan (PPG) menjadi “lemah syahwat” dengan kebijakan mengajar minimal 24 jam.

Barometer eksekusi ini memberikan persepsi bahwa pemerintah memandang (mengutamakan) integritas profesional guru dari tingkat intensitas (kuantitatif) mengajar di dalam kelas. Semakin tinggi frekuensi tatap muka, maka semakin melekat citra profesional pada guru.

Cara pandang prematur ini menggoyang sendi-sendi profesional guru. Indikasinya terlihat dari suasana gaduh di kalangan para guru. Mereka saling sikut untuk memperebutkan standar minimal 24 jam mulai dari intern hingga melakukan ekspansi jam ke sekolah lain.

Kegaduhan ini menciptakan spirit (mental) mendidik yang tak sehat. Gong kompetisi yang keras membuat para guru hanya mengejar target administratif untuk keamanan hak-hak ekonominya. Implikasinya, etos kerja guru menjadi kurang baik karena menurunnya fokus, mutu, dan persepsi mengajar. Ditambah dengan kepadatan jam tatap muka (minimal 24 jam), maka guru hendak dijauhkan dari sumbu keprofesionalan.

Kepadatan tatap muka membelenggu dan menjebak guru pada lingkaran seremonial mengajar yang melelahkan. Efeknya, aspek pengembangan dan peningkatan profesionalisme guru terabaikan. Padahal, guru membutuhkan waktu untuk mengupgrade dirinya dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan keguruan (seminar, workshop) dan membangun kreativitas konkret (meneliti, menulis, membuat alat peraga).

Lebih luas, sistem 24 jam ini juga menimbulkan iklim pendidikan yang kurang kondusif, karena mempersempit lahan pekerjaan, mematikan eksistensi sekolah swasta, dan menurunkan kualitas layanan pendidikan. Sempitnya lahan pekerjaan disebabkan oleh hegemoni guru yang tersertifikasi dalam memonopoli jam mengajar sehingga kiprah para guru muda semakin termarginalkan. Lebih parah lagi, kebijakan 24 jam ini menyebabkan sekolah negeri menerima siswa secara overload (hingga kelas siang) sebagai solusi meratakan target jam mengajar sehingga sekolah swasta terancam krisis siswa. Kasus overload ini juga menyebabkan pelayanan pendidikan menjadi rendah karena mengabaikan komposisi ideal antara guru-siswa, fasilitas-jumlah siswa, dan efektivitas PBM di dalam kelas.

Sayangnya, pemerintah tidak memiliki sinyal mengkaji kebijakan tersebut. Belakangan, pemerintah justru hendak mengukuhkan dinasti 24 jam dengan isu full day school. Full day school dirasakan dapat mengakomodir jam mengajar guru dengan lebih leluasa. Solusi ini tentu kurang tepat untuk mengantisipasi kegaduhan guru. Semestinya, standar mengajar diminimalisasikan. Paradigmanya ialah efektivitas mengajar jauh lebih penting daripada frekuensi tatap muka. Apa artinya intensitas tatap muka yang tinggi jika pembelajaran hanya bersifat seremonial (kurang kreatif, kurang bermutu, dan monoton). Lebih baik tatap muka terbatas, tetapi menghasilkan PBM kreatif dan berkualitas. Inilah yang dilakukan oleh negara Finlandia. 

Selanjutnya, pemaksaan pemberlakuan kebijakan 24 jam sesungguhnya bertentangan dengan spirit filosofi guru profesional (UU No. 14  Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen). Keliru jika pemerintah menganulir hak-hak ekonomi guru gara-gara tidak memenuhi standar jam minimal. Bukankah guru bersertifikat pendidik sudah memenuhi integritas guru profesional yaitu memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial? Lain halnya jika guru berkasus dengan wilayah keprofesionalannya, misalnya tidak mengajar, tidak disiplin, sakit, terlibat kasus tertentu, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, sepantasnya pemerintah menggunakan alat ukur yang mengacu pada 4 standar, yaitu  pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Keempat aspek ini dikembangkan dalam bentuk instrumen untuk menakar kelayakan guru profesional dan sekaligus penentuan atas TPG.

Untuk lebih mudahnya, format instrumen penilaian 4 kompetensi dasar guru ini dapat dimunculkan dalam dapodik sekolah. Sekolah (atau setiap guru) dapat menginput data-data yang menjadi acuan penilaian tersebut. Selanjutnya, sistem tinggal membaca dan memberikan skor secara otomatis.

Dapodik sekolah menjadikan guru setiap saat bisa mengupgrade data sesuai keperluan. Upgrade data ini menjadikan guru terus aktif untuk mencapai dinamika standar profesional guru. Untuk pengembangan dan peningkatan mutu profesional, pemerintah cukup membuat halaman portofolio di dapodik. Portofolio ini akan menginput data tentang legitimasi aktivitas guru dalam pengembangan karier (profesi) dan peningkatan mutu guru. Model instrumen ini jauh lebih berintegritas dibandingkan dengan sistem minimal 24 jam yang parsial, kurang berdasar, dan terkesan (sengaja) menistakan hak ekonomi guru.