Senin, 22 April 2024

 


Bantal Bleleng (Foto: The Catar Cottage)


Apa yang paling ikonik dari perayaan Nyepi di Nusa Penida (NP)? Jika ditanyakan kepada generasi NP tahun 80-an dan 90-an, maka jawabannya ialah bantal bleleng. Jajan ini seolah-olah wajib ada saat Nyepi—meskipun sudah berlimpahan pangan lainnya. Bantal bleleng dianggap penting, pelengkap dan penanda Nyepi. Sampai ada ungkapan (di kampung saya), “Tanpa bantal bleleng seperti tidak merayakan Nyepi”.

Kedengarannya dahsyat sekali. Ya, bantal bleleng memang mampu menguatkan kesadaran kolektif warga di kampung saya. Kesadaran untuk mengadakan bantal bleleng menjelang Nyepi secara berulang dan konsisten. Jadi, jangan heran jika setiap menjelang Nyepi, dapur-dapur warga bergelantungan dengan bantal bleleng.

Lalu, apa sih istimewanya bantal bleleng itu? Secara komposisi, sebetulnya mirip saja dengan bantal ketan pada umumnya. Ada parutan kelapa, kacang, dan pisang. Namun, perbedaan pokoknya ialah bahan utamanya yaitu bleleng. Bleleng adalah varietas sorgum (di Bali dikenal dengan nama jagung gimbal), satu kelas dengan tumbuhan serealia seperti padi, jagung dan gandum.

Biji bleleng mirip beras atau ketan. Akan tetapi, bentuknya lebih pendek, lebih besar, bulat dan montok. Sekilas, warnanya seperti beras merah. Tekstur bijinya lebih keras. Karena itu, dibutuhkan energi yang ekstra dalam proses pengolahannya menjadi bantal terutama saat proses penghalusan biji bleleng.

Untuk mendapatkan biji bleleng yang halus, bleleng harus ditumbuk berkali-kali di dalam lesung batu. Biji yang sudah halus direndam (kurang lebih setengah hari) agar tekstur bijinya menjadi lebih lunak.

Selanjutnya, biji bleleng ditiriskan dan dijadikan adonan bersama parutan kelapa, kacang merah khas NP, garam secukupnya (tanpa gula) dan potongan buah pisang. Adonan ini dimasukkan ke dalam kulit bantal yang terbuat dari daun kelapa lalu diikat.

Nah, menunggu proses matang juga membutuhkan waktu ekstra. Adonan harus direbus dengan api kayu bakar kurang lebih 6 jam. Rentang waktu ini mampu menghasilkan bantal bleleng yang “lepah”, beraroma khas, dan layak dikonsumsi selama kurang lebih 2 hari.

Bantal bleleng memiliki cita rasa yang berbeda. Legit, permukaan luarnya lengket seperti sagu, dalamnya sedikit gesar/ pesak (kasar) dan rasanya sedikit hambar. Namun, rasa hambar ini tidak kentara karena ditopang oleh garam, rasa kacang merah dan manis buah pisang. Komposisi bahan inilah yang membangun satu kesatuan rasa bantal bleleng, yang sangat akrab, familiar dan favorit bagi lidah generasi NP tahun 80-an dan 90-an.

Mengapa Bantal Bleleng Menjadi Ikon Nyepi?

Seberapa hebat sih rasa bantal bleleng itu sesungguhnya? Mengapa mampu menjadi pangan ikonik perayaan Nyepi era anak NP 80-an dan 90-an? Jika ngomongin soal rasa tentu sangat personal dan relatif. Namun, ketika panganan itu mampu merebut (mencuri) lidah masyarakat secara masif,  kita harus angkat tangan. Dalam artian, lidah massal itu objektif menilai bahwa rasa bantal bleleng memang enak (favorit).   

Di luar faktor rasa, bantal bleleng juga memiliki kelebihan yakni hasil bumi lokal. Biji bleleng ditanam hampir oleh semua petani di NP. Biji bleleng ditanam dengan model tumpang sari, selang-seling di antara tumbuhan palawija lainnya seperti jagung, kacang merah dan singkong.  

Di antara palawija lainnya, bleleng termasuk tumbuhan kuat dan bandel. Tumbuhan asal Afrika ini memiliki daya adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan, produktivitas tinggi, dan lebih tahan terhadap hama serta penyakit. Pohon bleleng mirip dengan jagung. Pohon dengan tinggi rata-rata 2,6-4 m dilapisi lilin (putih) yang tebal pada batang dan pelepah daunnya. Bleleng memiliki morfologi yang mencakup akar, batang, daun, tunas, bunga, dan biji.  

Dengan kelebihannya itu, bleleng sangat baik dan cocok hidup di NP yang kering dan berbatu kapur. Panen bleleng hampir tak pernah gagal. Masyarakat di kampung saya tidak perlu repot-repot mendatangkan biji bleleng dari luar daerah (seperti halnya ketan atau beras). Biji bleleng ada di sekitar warga. Jadi, secara ekonomi (biaya) sangat murah meriah. Dulu, kalau tidak punya bleleng sangat mudah dikasi gratis oleh tetangga. Pokoknya, tidak sampai membeli bahan (bleleng).

Selain faktor rasa dan ekonomis, bantal bleleng menjadi favorit (ikon) bisa jadi karena proses adaptasi lidah kelompok. Karena panganan itu dekat dan selalu diadakan, cepat atau lambat lidah suatu kelompok itu akan terbiasa merasakan enaknya bantal bleleng.

Cita rasa lidah yang sama, memberikan kesempatan kepada bleleng untuk terus eksis ditanam di ladang-ladang warga. Sama halnya dengan jagung dan singkong di NP. Jagung dan singkong merupakan makanan pokok (nasi) bagi masyarakat NP. Kedua palawija ini tidak pernah absen ditanam oleh para petani di NP.

Faktor ikonik lainnya ialah bantal bleleng termasuk jajan yang mungkin paling awet pada zamannya. Zaman ketika kulkas belum merambah ke rumah-rumah warga. Mungkin satu-satunya jajan yang bisa bertahan sampai 2 harian ialah bantal bleleng.  

Jadi, kuat dugaan bahwa unsur keawetan ini menyebabkan bantal bleleng menjadi panganan favorit dan ikonik saat Nyepi. Ya, karena bantal bleleng sejalan dengan spirit (salah satu aspek) Catur Berata Penyepian yaitu tidak boleh menyalakan api. Maksudnya, selama Nyepi bantal bleleng memang tidak perlu lagi bersentuhan dengan api.  

Menyalakan api zaman tahun 80-an dan 90-an, sangat riskan bagi warga. Pasalnya, setiap warga masih menggunakan api kayu bakar. Bisa dibayangkan bukan kalau api menyala? Asapnya akan cepat meluber. Ini akan mengundang pecalang datang dan siap-siaplah terkena awig-awig denda desa adat. 

Di samping awetnya, bantal bleleng juga ramah dikonsumsi oleh segala umur baik anak-anak, remaja termasuk orang tua. Hal ini tidak lepas dari kandungan nutrisi dari biji bleleng itu sendiri. Mungkin soal kandungan ini sedikit masyarakat yang menyadarinya, karena harus dibuktikan dengan research (penelitian).

Terkait dengan kandungan, ada berbagai sumber terpercaya yang menyebutkan bahwa bleleng (sorgum) memiliki kandungan Glikemik Indeks (zat gula) yang rendah tetapi nilai karbohidratnya ekuivalen dengan beras. Jenis karbohidrat yang dikandung oleh biji bleleng yaitu pati, gula terlarut, dan serat. Kandungan gula terlarut pada bleleng (sorgum) terdiri dari sukrosa, glukosa, fruktosa dan maltosa. Selain itu, bleleng juga bebas gluten (senyawa protein).

Artinya, bleleng juga layak dijadikan makanan pokok. Namun, nyatanya bleleng tidak favorit dijadikan makanan pokok (nasi) di NP. Soal makanan pokok, nasib bleleng tidak seperti jagung dan singkong. Bleleng lebih khusus diolah menjadi jajan seperti jaja bleleng (seperti jaja kukus), bantal bleleng, dan tipat bleleng.

Namun, di antara berbagai olahan biji bleleng, batal bleleng dianggap paling favorit. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, bantal bleleng diberikan tempat khusus setiap pergantian tahun Caka. Momen yang disakralkan oleh masyarakat Bali, termasuk masyarakat NP. 

Karena itu, mengunyah bantal bleleng di hari Nyepi seperti ritual membangunkan kesadaran tubuh. Kesadaran tentang merayakan Nyepi. Kesadaran itu bertambah kuat ketika malam bertahta, sambil mendengar suara alam dan memandang langit. Dalam kondisi demikian, mengunyah bantal bleleng seperti mengunyah sepi dan damai.

Sayang, momen spiritual itu kini mengalami dinamika. Dalam 3 tahun belakangan ini, eksistensi bantal bleleng mulai oleng. Pasalnya, para petani sudah tak kuasa melawan hama burung pemakan biji bleleng. Puluhan burung perkutut, tekukur, perit, dan ratusan burung punan siap menjarah ketika pohon bleleng berbuah di ladang-ladang pak tani. 

Hama burung itu seperti tak terkendali. Akhirnya, dari 2 tahun terakhir ayah saya (termasuk petani lain) sama sekali tidak menanam biji bleleng. Artinya, besar kemungkingan Nyepi di NP pada masa mendatang tanpa bantal bleleng. Lalu, apa jadinya Nyepi tanpa bantal bleleng? Masihkan para warga menemukan esensinya di malam gelap sepi? Atau jangan-jangan esensi Nyepi akan diseret ke arah bimbang, menyimpang dan hilang terurai dalam perut-perut burung pemakan biji bleleng itu.

 

Porter lepas asal NP hendak mengangkat barang titipan


Pembangunan tidak selalu dirasakan berdampak positif bagi setiap masyarakat. Itulah (mungkin) yang dialami oleh kelompok porter (tukang angkut) asal Nusa Penida di Pelabuhan Sanur sekarang. Semenjak Pelabuhan Sanur (modern) diresmikan per tanggal 9 November 2022, nasibnya justru menjadi ketar-ketir. Pihak otoritas pelabuhan tidak mengizinkan mereka beroperasi di lingkungan pelabuhan. Situasi ini menjadi lebih sulit—bahkan dibandingkan waktu mereka bersinggungan dengan porter milik perusahaan fastboat (FB).

Sebelumnya, kelompok porter ini pernah mengalami kondisi sulit yang hampir mengancam eksistensi mereka. Waktu itu, mereka harus berhadapan dengan porter milik perusahaan fastboat.

Kok ada porter perusahaan? Hal ini berkaitan dengan persaingan servis antara perusahaan FB. Perusahaan FB ingin menjaga kualitas servis kepada penumpang. Dari sinilah, muncul kompetisi layanan tenaga porter secara gratis dari perusahaan.

Barang-barang bawaan penumpang menjadi tanggung jawab penuh dari sang porter perusahaan. Mereka mengangkat, menjaga dan menurunkan barang para penumpang tanpa bayaran sepeser pun. Pokoknya gratis.

Kejadiannya berlangsung sekitar tahun 2016. Saat itu, perusahaan FB mulai berkembang pesat. Mereka melabuhkan FB-nya di Pelabuhan Sanur, tepatnya di area Pantai Bangsal. Area yang menjadi kawasan operasi dari kelompok porter lepas tersebut.

Eksistensi porter perusahaan ini mengakibatkan posisi kelompok porter lepas menjadi mengambang. Mereka kebingungan ketika mengambil barang penumpang yang berlabuh di Pelabuhan Sanur (Pantai Bangsal). Pasalnya, setiap FB yang berlabuh, semua barang penumpangnya diturunkan oleh porter perusahaan.

Karena kelompok porter lepas ini tidak memiliki legalitas, akhirnya jalur diplomasi pun ditempuh. Mereka bernegoisasi dengan pihak perusahaan FB. Hasilnya, kedua kelompok porter berkolaborasi dalam mengangkut barang penumpang FB. Kelompok porter lepas diberikan kesempatan membantu porter perusahaan dengan persentase setoran yang disepakati (umumnya 1:3). Keputusan ini memberikan napas panjang kepada kelompok porter lepas. Setidaknya, mereka masih bisa beroperasi meskipun dengan pendapatan yang tidak semaksimal sebelumnya.  

Meskipun dengan pendapatan 1:3, kelompok porter lepas ini dapat meraup penghasilan yang cukup per harinya. Rata-rata per orang mampu mendulang nominal sekitar Rp 200.000 per harinya.  

Penghasilan tersebut tidak lepas dari bertumbuhnya pariwisata di NP. Akses penyeberangan kian bertumbuh. Perusahaan FB bertumbuh. Persaingan transportasi laut semakin kompetitif. Frekuensi penyeberangan juga meningkat. Hal ini berdampak terhadap jumlah barang yang menyeberang ke pulau NP—dan berdampak terhadap penghasilan para porter lepas tersebut.

Situasi tersebut berlangsung dari tahun 2016 hingga 2022. Akhir tahun 2022, pelabuhan modern nan megah selesai dibangun di area Pantai Matahari Terbit, sebelah utara Pantai Bangsal. Pelabuhan yang menghabiskan dana APBN sekitar 395,3 miliar ini seperti hendak mengubur mimpi para porter lepas tersebut. Mereka tidak bisa menembus area pelabuhan modern dan tidak bisa menjalankan jobnya seperti biasa.   

Lalu, bagaimana nasib para porter lepas ini selanjutnya? Sebelum membahas lebih dalam, ada baiknya kita melihat ke belakang siapa sesungguhnya kelompok porter lepas ini?

Sekilas tentang Kelompok Porter Lepas

Kelompok porter lepas ini merupakan warisan era jukung tradisional dulu (tahun 90-an—2000-an). Perusahaan jukung tradisional dulu memang tidak menyediakan jasa tukang angkut (porter). Mereka hanya memiliki awak jukung yang terbatas. Biasanya, berkisar 2-4 orang. Satu sebagai kapten utama dan satunya lagi sebagai asisten kapten. Sisanya, sebagai tukang lempar tali manggar jukung.   

Ketika bersandar di pelabuhan Sanur, kelompok porter inilah yang melayani jasa bongkar muat barang. Mereka mengangkut barang penumpang dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh sang porter. Mau dibayar berapa, merekalah yang menentukan sendiri.  

Namun, kadang-kadang ada penumpang pemilik barang langsung memberikan jasa angkut tanpa menanyakan ongkosnya. Situasi inilah yang sering menyebabkan tarik ulur perdebatan yang cukup serius. Seringkali ada sang porter merasa kurang puas dengan nominal diterima lalu meminta tambahan kepada sang pemilik barang. Akan tetapi, ada pula porter menerima saja meskipun dalam hati mereka merasa belum puas dengan ongkos jasa angkutnya.    

Biasanya, biaya angkutnya bervariasi. Tergantung berat-ringannya barang. Kisarannya mulai dari Rp 5.000-Rp 10.000. Jarak angkutnya tidak begitu jauh. Dari jukung dan menaruhnya di tempat aman dari sapuan ombak air laut. Selanjutnya, penumpanglah yang membawa barangnya sendiri.

Selain mengangkut barang, para porter lepas ini juga mengangkut penumpang. Mereka akan memanen rezeki ketika penumpang turun-naik jukung dalam kondisi air laut pasang. Jika penumpang memaksakan diri turun atau naik dari (dan ke) jukung, maka seluruh tubuh akan basah kuyup. Dari sinilah sang porter hadir menggendong atau menyunggi penumpang agar tidak basah ketika turun atau naik jukung. Per satu penumpang, mereka bisa meraup nominal rata-rata Rp 5.000- Rp 10.000.  

Jika ditambahkan dengan jasa angkut barang, mereka bisa membawa pulang rata-rata uang sejumlah minimal Rp 250.000 hingga Rp 500.000 per setengah hari. Pasalnya, era transportasi jukung, arus penyeberangan sangat terbatas. Keberadaan jukung terbatas. Intensitas aktivitas masyarakat NP juga terbatas.

Justru pada zaman keterbatasan itulah, kelompok porter lepas ini mendapatkan rezeki yang berlimpah. Mereka bekerja sebagai porter hanya beberapa jam. Sisanya, dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi sampingan. Kebanyakan dari mereka menyakap (sewa) lahan pertanian di wilayah Sanur. Sewa lahan ini digunakan untuk aktivitas beternak sapi, menanam jagung, menanam bunga dan lain sebagainya.  

Kelompok porter lepas ini tidak memiliki kekuatan yuridis (hukum). Mereka hanya kelompok kecil yang taat dengan wilayah kerja. Mereka ikut bertanggung jawab menjaga kebersihan di area Pantai Bangsal. Mereka harus menjalankan kewajiban membersihan lingkungan area pantai setiap hari, sebelum memulai bekerja. Di samping itu, mereka juga memberikan feedback penghasilan (setoran) kepada wilayah adat setempat per bulan.  

Kelompok porter ini berasal dari kelas ekonomi dan pendidikan yang cukup rendah. Jumlah yang aktif sekarang kurang lebih 7 orang. Beberapa bahkan ada yang tidak tamat SD. Situasi ini tidak membuat mereka minder. Sebaliknya, justru membuat mereka ditempa menjadi pekerja keras. Hampir semuanya bisa mencukupi dirinya dengan sandang, pangan dan papan secara mandiri.

Nasib Pasca Pelabuhan Modern

Kedigjayaan ekonomi para porter lepas ini kian merosot seiring perkembangan zaman. Makin ke depan, tangkapan rezekinya terancam kian meredup. Bukan hanya soal rezeki, bahkan eksitensinya pun terancam tenggelam.

Keberadaan porter perusahaan FB sebetulnya hendak mengubur nasib porter lepas itu. Jika monopoli diberlakukan oleh perusahaan FB, maka tamatlah riwayat porter lepas warisan era jukung tersebut. Namun, berkat lobi dan negosiasi yang alot, kedua belah pihak akhirnya memutuskan hasil yang manusiawi.    

Sesungguhnya, porter lepas itu hanya memiliki kekuatan teritorial. Mereka memiliki kewenangan operasi angkut di sekitar Pantai Bangsal karena ada faktor keterikatan dengan pihak desa adat setempat. Mereka dikenai kewajiban membersihkan areal pantai. Selain itu, mereka juga dijaga oleh kewajiban setoran per bulan kepada pihak desa adat. Artinya, mereka punya kewenangan beroperasi atas keterikatan teritorial tersebut.

Barangkali, faktor teritorial itulah yang menyebabkan posisi porter lepas tersebut menjadi cukup kuat. Posisi inilah yang mungkin memengaruhi lobi berakhir dengan cukup memuaskan bagi kedua belak pihak. Para porter lepas diberikan kesempatan membantu porter FB dalam menangani barang-barang yang akan dinaikkan atau diturunkan dari FB. 

Atas dasar kekuatan “teritorial” dan faktor kemanusiaan, eksistensi porter lepas terselamatkan. Mereka dapat menjalani job-nya seperti biasa. Namun, totalitas pendapatan tidak sebesar era zaman jukung tradisional dulu. Bagi porter lepas, eksistensi job mungkin lebih urgen daripada menimbang pendapatan. Lebih baik masih ada pekerjaan dibandingkan sama sekali tidak bekerja.  

Namun, persoalan menjadi lebih rumit ketika pelabuhan modern sanur dibangun. Pelabuhan Sanur dibangun di areal Pantai Matahari Terbit, di luar teritorial Pantai Bangsal. Lalu, strategi apa yang digunakan oleh para porter lepas tersebut untuk menyelamatkan eksistensinya?

Sejatinya, kelompok porter lepas tersebut sudah bersiap-siap mengubur mimpi-mimpinya. Pasalnya, mereka jelas tidak bisa masuk ke Pelabuhan Sanur. Pertama, Pelabuhan Sanur dibangun di luar areal Pantai Bangsal. Kedua, Pelabuhan Sanur diprioritaskan untuk “sirkulasi” penumpang. Karena itu, setiap penumpang dianjurkan tidak membawa barang bawaan yang berlebihan.  

Berbeda dengan waktu pelabuhan FB berada di areal Pantai Bangsal. Tidak ada kebijakan tentang keterbatasan barang bawaan. Bahkan, perusahaan FB sangat terbuka menerima barang titipan yang hendak diseberangkan ke NP.

Semenjak beroperasi, Pelabuhan Sanur sangat ketat dan komitmen dengan kebijakannya. Kebijakan ini membuat masyarakat yang hendak menitip barang menjadi kelimpungan. Jika menitip ke kapal di Pelabuhan Padang Bay terlalu jauh. Di samping itu, kapasistas barang yang dititip juga tanggung (misalnya 1-2 dus barang atau 1-2 karung).

Dampak kebijakan Pelabuhan Sanur ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat umum, terutama kelompok porter lepas. Mereka pasrah dan hampir membubarkan diri. Syukurnya, ada celah underground (tercembunyi). Awak FB membuka peluang untuk memperpanjang napas para porter lepas tersebut.   

Beberapa awak FB membuka lowongan penitipan barang melalui areal Pantai Bangsal. Jadi, sebelum masuk antrian di Pelabuhan Sanur, awak FB ini bersandar untuk menaikkan barang titipan di Pelabuhan Pantai Bangsal. Beberapa ada yang menggunakan boat kecil (skoci) untuk mengambil barang titipan di Pantai Bangsal. Jasa angkut ini menggunakan tenaga porter lepas.

Untuk kedua kalinya, nasib porter lepas ini terselamatkan hingga sekarang. Mereka tetap bisa melangsungkan hidupnya dengan mengangkut khusus barang titipan dengan persentase ongkos yang telah disepakati oleh awak FB dengan porter lepas.

Setelah berjalan kurang lebih satu tahun, bayang-bayang masalah muncul lagi. Sekarang, mulai muncul boat cargo lengkap dengan jajaran porternya untuk mengakomodir jasa penitipan barang ke NP. Keberadaan boat cargo ini seolah-olah hendak monopoli per-porter-an di Pantai Bangsal.

Tentu para porter lepas tersebut sudah menyiapkan strategi atas kemungkinan hegemoni perusahaan boat cargo beserta jajaran porternya. Namun, apapun dinamikanya nanti, kita berharap kelompok porter lepas ini tetap eksis dan tetap dapat melangsungkan hidupnya seperti semula.

Minggu, 07 Mei 2023

 


Sumber foto: http://verapraraous.blogspot.com/2012/09/mawar-merah.html

Aku baru saja pindah ke rumah tua. Rumah yang halaman depannya dipenuhi rumput ilalang. Di sela-selanya, juga tumbuh rambatan bunga liar. Beberapa rambatan bunga itu menyelinap masuk pada kaca-kaca rumah yang berdebu. “Sungguh rumah yang tidak terawat,” pikirku.

Aku mencoba melangkah masuk lebih dalam, melewati beberapa ruangan dan berfokus pada pintu belakang. Aku berhenti sejenak dan memegang gagang pintu itu. Aku membukanya perlaha-lahan dan sontak perasaanku dipenuhi rasa kagum. Aku melihat taman yang dihiasi berbagai spesies bunga mawar.

Indah menghiasi indra penglihatanku. Harum bunga-bunga itu seolah membelai emosiku. Taman yang cukup luas. Terdapat gazebo kecil di kelilingi bunga mawar. Rumput rumput juga menambah kesan hijau. Sangat memanjakan mata. Sebenarnya, aku kurang suka mawar karena durinya tajam dan siap melukai orang yang lalai.

Tetapi entah mengapa aku merasa seperti ditarik ke tempat ini. Aku menjadi teringat dengan mitos rumah ini. Dikatakan bahwa hantu perempuan sering mewujudkan dirinya. Lebih tepatnya di taman mawar ini.

Hantu itu memakai gaun putih lusuh bersimbah darah. Di lehernya terdapat sayatan tak beraturan. Ada juga tusukan yang tepat di jantungnya. Surai hitam bergelombang ikut menambah kesan seram. Konon, ia akan datang di malam purnama. Dia akan menghantui manusia yang tinggal di rumah ini.

Namun, mitos tetaplah mitos. Hanyalah takhayul yang dipercaya, pikirku. Tak terasa waktuku terkuras habis di taman ini. Kini pikiranku kembali pada rumah itu. Kulangkahkan kakiku menuju rumah. Kemudian, melanjutkan membersihkan rumah lalu tidur.

Aku terbangun dari tidurku di tengah malam. Nyanyian merdu seolah menuntunku untuk bangun. Siapa yang bernyanyi”, tanyaku sendiri. Seketika aku tertuju pada jendela di sebelah kiriku. Rintik hujan bergema. Mendadak petir mengaum buas. Gelap dan seram. Nyanyian itu menambah ketakutanku. Dengan segenap keberanian, aku bangun dari kasurku. Kulihat keluar jendela.

Aku melihat seorang wanita. Tidak terlihat jelas karena ia membelakangiku. Bergaun putih menyentuh tanah. Bernyanyi sembari membelai bunga. Satu demi satu dibelainya. Surai hitam panjang dibasahi hujan hampir menutupi seluruh punggung wanita itu. Heran dan kaget. Itulah yang kurasakan. Nyanyian wanita itu berhenti. Dengan perlahan wanita itu membalikkan badannya.

Aku membelalakkan mataku. Suaraku seakan dibungkam. Wanita itu sama persis seperti di mitos. Gaun putih lusuh. Luka sayatan dileher. Tusukan yang tepat di jantung. Semua sama persis. Seluruh tubuhku bergetar. Aku baru ingat. Hari ini adalah hari purnama. Aku melihat wanita itu menyeringai. Seolah ditujukan padaku. Begitu mengerikan. Darah ada dimana-mana.

Aku mengedipkan mataku. Seketika wanita itu menghilang. Belum sempat aku menenangkan jantungku. Wanita itu muncul di depanku. Wajahnya tepat di depan wajahku. Matanya merah menyala. Berlumuran darah dan belatung di sekujur mukanya. “Darah...” Wanita itu setengah berbisik. Air mataku tak terbendung. Akhirnya, penglihatanku berubah gelap.

Aku terbangun dengan kicauan burung-burung. Rupanya sudah pagi. Aku mendapati diriku tergeletak di dekat jendela. Masih shock dengan kejadian malam itu. Aku mencoba bangun. Lalu melihat keluar jendela. Tidak ada yang berubah. Tidak ada darah. Aku merasa kebingungan. Akankah yang kulihat malam itu nyata?

Dengan segala kebingungan, aku mencoba melupakan hal itu. Aku keluar dari kamar. Menuju kamar mandi yang ada di sebelah kamarku. Berlanjut dengan membersihkan diriku. Lalu mengerjakan pekerjaan rumah. Sesekali aku melihat ke arah taman itu.

Hari yang cukup tenang. Semua berjalan lancar. Hingga malam tiba. Aku kembali terbangun oleh nyanyian. Apakah wanita itu lagi? Entahlah. Aku tak berani beranjak. Namun, malam ini bukan malam purnama. Aku terdiam, mencerna apa saja yang terjadi. Keheningan terpecah ketika ada yang mengetuk jendela kamarku.

Sangat terdengar jelas. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Air mata membasahi pipiku. Sesekali terdengar bisikan yang mengatakan “Darah...”. Aku menutupi diriku dengan selimut. Berharap pagi segera tiba. Kini aku mengakui mitos itu benar adanya. Tanpa sadar diriku tertidur.

Sang Surya telah tiba. Burung-burung berkicau. Aku terbangun dari kasurku. Aku mengambil gadget yang tergeletak di atas laci. Lalu membuka maps. Ya, aku mencari tempat orang yang mengerti dengan hal-hal gaib. Tak menunggu lama. Aku mendapati bahwa ada dukun di lingkungan sekitarku. Aku beranjak dan bersiap-siap. Mandi lalu ganti baju dan berangkat menggunakan sepeda.

Sepeda hitam pemberian almarhum ayahku dulu. Terdapat keranjang di depannya. Kadang kugunakan untuk menaruh barangku. Sepeda ini kugunakan untuk pergi sekolah. Namun, tidak sempat kugunakan. Karena untuk beberapa saat ini aku libur.

Tibalah aku di rumah dukun itu. Aku memarkirkan sepedaku di halaman rumah itu. Rumahnya sepertinya sudah sangat lama. Bahkan rumah itu masih menggunakan anyaman bambu. Ada beberapa tiang penyangga di teras rumahnya. Aku berjalan dan berhenti di pintu rumah dukun itu.

Kuketuk sopan pintu itu. Lalu tak lama pintu itu terbuka. Decitan pintu yang nyaring menampilkan kakek berpakaian ala dukun. Tanpa sepatah kata dukun itu menyuruhku masuk. Lalu ia menyuruhku duduk. “Ada apa?” kata dukun itu dengan suara yang serak dan berat. Aku menceritakan segalanya. Mulai dari nyanyian. Hingga ketukan yang kemarin malam kualami.

Dukun itu menghela napasnya. Lalu bercerita padaku. Sebenarnya, rumah itu dulu ditinggali oleh sepasang kekasih. Tetapi, mereka selalu bertengkar. Sang istri sangat menyukai bunga mawar. Hingga dibuatlah taman mawar di belakang rumah itu. Dan dibuat juga gazebo kecil agar sang istri bisa duduk menikmati bunga. Terkadang dia juga menyanyikan sebuah lagu.

Mereka bertengkar hampir setiap hari. Sampai sang suami berani untuk selingkuh. Hingga suatu saat, sang istri mengetahui hal itu. Tidak kuat, ia menampar sang suami. Kemarahan sang suami pun meluap. Hingga mencapai klimaks. Sang suami mengambil pisau. Lalu membunuh istrinya sendiri.

Ia menyayat leher sang istri. Menusuk jantungnya dengan pisau. Aroma mayat tersebar di seluruh ruangan. Karena takut sang suami memikirkan cara. Akhirnya, ia menyeret mayat istrinya menuju taman mawar. Darah masih mengucur keluar mewarnai gaun putih sang istri.

Jalanan yang dilalui penuh dengan darah. Mawar-mawar semua bersimbah darah. Tragedi yang sangat mengerikan. Tragedi ini juga dikenal dengan tragedi “Bunga Mawar Bersimbah Darah”. Perasaan tulus sang istri dikhianati begitu saja. Ketidakadilan. Itulah yang ia rasakan sang istri. Semua bercampur aduk. Hingga membuat arwah sang istri tak tenang.

Aku terdiam mendengar perkataan sang dukun. Emosiku bercampur. Haruskah aku takut? Haruskah aku kasihan? Aku juga tidak tahu. Namun, di pikiranku hanya satu. Cara agar bisa lepas dari semua ini. Setelah diam beberapa saat, aku membuka mulutku. Aku menanyakan hal yang sama kepada sang dukun.

Dukun itu menjawab. Ia mengatakan bahwa solusinya hanya ada satu. Aku harus mengorbankan darahku di salah satu bunga mawar. Bunga mawar itu harus berwarna putih dan kembang sempurna di malam purnama. Namun, darah yang dikorbankan tidak hanya setetes atau dua tetes. Namun, harus cukup menutupi mahkota yang kembang sempurna itu.

Aku tercengang mendengar solusi itu. Namun, aku tidak bisa mengatakan apa apa. Karena hanya itu satu-satunya cara. Dengan mental apa adanya, aku mencoba menerima semua itu. Sangat tidak masuk akal. Aku berdiri lalu mengucapkan terima kasih kepada sang dukun.

Sang dukun tersenyum. Aku pun kembali beranjak pulang. Aku ambil sepedaku yang kuparkirkan tepat di halaman. Selama perjalanan aku merasa dilema. Haruskah aku melakukan hal itu atau tidak. Rasanya ingin menangis saja.

Ketika tiba di rumah, aku langsung masuk ke dalam. Langit sudah mulai gelap. Aku menyalakan lampu lalu duduk di sofa ruang tamu. Sofa yang berwarna cream. Pikiranku kacau. Aku mencoba mendinginkan kepalaku hampir 30 menit. Kemudian, dengan segala keberanian yang kupunya, kuputuskan untuk melakukan hal itu.

Aku menyusun segala yang aku perlukan hingga gelap gulita bertahta di luar. Aku mengakhiri kegiatanku hari ini. Berlanjut dengan mandi, makan, dan tidur. Aku kembali terbangun dari tidurku di tengah malam. Sama seperti biasanya, ada nyanyian yang berasal dari taman mawar. Aku mencoba mengabaikannya. Aku menutupi diriku dengan selimut.

Pagi pun tiba. Kulalui hal seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah. Sesekali aku mencari dimana bunga mawar putih itu berada. Aku baru menyadari. Dari banyaknya bunga mawar di sini, hanya satu yang berwarna putih. Namun, aku tetap pada pendirianku. Mengumpulkan keberanian hingga purnama tiba.

Tak terasa hari yang ditunggu pun tiba. Aku sudah menyusun semua yang kuperlukan. Malam sudah muncul. Aku keluar dengan pisau dan senter di tanganku. Sangat gelap hanya cahaya senter yang menerangi. Dingin dan sunyi. Aku berdiri tepat di depan bunga mawar putih itu. Mawar yang kembang sempurna. Diterangi cahaya bulan. Mahkotanya cukup besar dan mengkilap.

Aku menjatuhkan senterku. Lalu mengangkat tanganku. Sebenarnya, aku sangat takut melakukan hal ini. Namun, tidak ada cara lain. Aku menyayat tanganku hingga keluar darah. Seperti kata dukun, darah itu harus menutupi semua bagian mawar. Perih dan sangat sakit. Aku menahan isak tangisku. Beberapa kali aku meringis. Akhirnya, selesai sudah ritual itu.

Ingin pingsan rasanya. Tiba-tiba kulihat mawar itu lenyap begitu saja. Aku membalikkan badan dan terkejut. Rupanya hantu itu ada di belakangku. Ia menyeringai seram. Seperti ada arti di baliknya. Ia pun perlahan ikut menghilang. Selesai sudah, pikirku. Sangat lega dan tenang.

Aku kembali masuk ke rumah dan mengobati lukaku. Tidak ada nyanyian. Tidak ada ketukan seperti malam biasa. Biasanya, aku akan menutupi diriku dengan selimut saat ini. Namun, sekarang sudah tidak perlu lagi. Kini aku bisa tidur tenang. Sudah tidak kuat, aku merebahkan diriku. Aku menghela napasku hingga tertidur.

Hari-hari berjalan dengan tenang dan aman. Tanpa gangguan sedikitpun. Semua berjalan seperti biasa. Tak terasa malam purnama kembali tiba. Aku bangun di tengah malam kembali. Mendengar nyanyian seorang wanita dari arah taman mawar. Aku beranjak dari kasurku dan melihat ke arah luar jendela. Sangat kaget aku dibuatnya. Wanita itu muncul kembali. “Daraaah…,” gumamnya sembari menyeringai ke arahku. (Kadek Nadya Nursyadi Suker)