Minggu, 25 Agustus 2019


Foto: Fimela.com











Kegiatan literasi mulai menggeliat di sekolah-sekolah. Geliat ini bermula dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) per tahun 2016 sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Konkretnya, para siswa diwajibkan membaca buku non-mapel setiap hari 15 menit sebelum pembelajaran dimulai di kelas.

Kontrak Literasi

Walaupun singkat, pembiasaan tersebut cukup membangunkan kesadaran siswa dari belenggu budaya “kontrak literasi” yang sudah mendarah daging pada diri siswa. Budaya “kontrak literasi” merupakan aktivitas belajar (membaca-menulis) untuk memperoleh (jangka pendek) apresiasi nilai atau angka. Keinginan memperoleh angka-angka inilah yang mendorong siswa untuk belajar. Itulah sebabnya, siswa baru belajar apabila ada tes ulangan atau ujian. Mereka belajar untuk mendapatkan angka yang baik. Selanjutnya, angka-angka ini didokumentasikan dalam raport atau ijazah untuk dibanggakan di kemudian hari.

Segi kepraktisan atau efek ilmu yang dipelajari dari aktivitas belajar, tidak menjadi persoalan. Habis belajar dan siswa memperoleh angka, maka kontrak sudah berakhir. Apakah ilmu yang dipelajari berguna atau tidak dalam kehidupan sehari-hari? Tidak penting.

Belajar menjadi semacam proyek (kontrak). Kontrak untuk menjawab soal-soal sesaat. Setelah menghadapi ulangan atau ujian, siswa merasa bebas. Mereka merasa bebas dari aktivitas belajar (membaca/menulis). Membaca pasca tes dianggap tindakan sia-sia.

Selanjutnya, dari “kontrak literasi” inilah menumbuhkan anggapan bahwa belajar (membaca) dikhususkan untuk status siswa atau mahasiswa. Istilah belajar adalah kontrak ketika menjadi siswa atau mahasiswa. Lepas dari dua status ini, berarti bebas dari aktivitas membaca dan menulis.

Oleh karena itu, banyak masyarakat (orang tua) merasa tak berdosa ketika menyuruh anaknya belajar. Para orang tua sering menceramahi, memaksa, memarahi, mengancam hingga pasrah. Karena beberapa anak malah memilih diam menutup pintu, lalu komunikasi menjadi buntu. Mereka mengurung diri di kamar entah untuk kondisi ancaman belajar atau pura-pura belajar.

Daripada kukuh merasa benar dan menjadikan anak sebagai “pesakitan belajar”, lebih baik orang tua menjadi panutan literasi di rumah. Orang tua membiasakan diri membaca di rumah. Berusaha terus menjadi contoh pembaca yang baik di keluarga. Lakukan berulang-ulang. Setiap saat. Kalau bisa, setiap hari. Karena sesungguhnya anak membutuhkan contoh-contoh konkret di lingkungan keluarga. Apa yang sering dilihatnya, dialaminya, dan dirasakannya di rumah akan membentuk kebiasaan pada diri siswa. Di sinilah, pentingnya orang tua tampil menjadi contoh bukan sekadar memberikan contoh-contoh. Orang tua harus bisa menjadi panutan literasi di rumah.

Begitu juga di lingkungan sekolah. Guru harus dapat menjadi panutan literasi bagi anak didiknya. Namun kenyataannya, kadangkala guru gagal menjadi teladan. Mereka meminta para siswa rajin dan tekun belajar. Pun ketika siswa membaca 15 menit sebelum pembelajaran di kelas. Semangatnya bak juru kampanye. Suara para guru lantang. Sayangnya, guru lebih sering memanfaatkan waktu senggang untuk ngerumpi di ruang guru. Mereka enggan mengupgrade diri dengan membaca (walaupun tidak semua). Beberapa guru merasa nyaman dengan ilmu yang serba berkecukupan sewaktu di bangku kuliah.

Kontrak literasi yang membudaya, menyebabkan ortu atau guru sering gagal menjadi panutan. Celakanya, sering ortu dan guru tetap merasa benar. Mereka membela diri dengan alasan faktor usia, kesibukan, lelah dan lain sebagainya. Alasan ini seolah-olah sudah menjadi legitimasi bahwa usia tua harus dibebaskan dari aktivitas belajar.

Sejujurnya, literasi merupakan budaya baru bagi masyarakat. Ia baru menggema ditengah kuatnya pengaruh tradisi lisan dalam masyarakat. Bahkan, usianya tidak tanggung-tanggung. Sudah berabad-abad lalu. Masyarakat kita besar dari polarisasi penutur (kemampuan berbicara) dan pendengar (kemampuan menyimak).

Jadi, untuk mengalihkan budaya lisan ke budaya belajar (baca-tulis), dibutuhkan proses dan kemampuan adaptasi yang baik. Semakin tinggi kemampuan adaptasi kita, maka semakin cepat dapat menyesuaikan diri dengan budaya literasi. Sebaliknya, semakin rendah maka budaya literasi kita bergerak lambat.

Ortu/ guru (old) merupakan korban hegemoni trans budaya lisan. Mereka lahir dari lingkungan dominasi tradisi lisan yang begitu kuat dan (dengan) perspektif membaca sebagai kontrak literasi. Ditambah dengan kemampuan adaptasi yang minim, maka wajar ortu/ guru belum mampu menjadi panutan literasi.

Meskipun demikian, tidak semua ortu/ guru (old) digolongkan sebagai generasi minus literasi. Ada beberapa ortu/ guru (old) yang memiliki kemampuan adaptasi literasi yang tinggi, sehingga mereka tetap tampil sebagai panutan berliterasi. Namun, jumlahnya sangat sedikit.

Panutan Literasi

Saat ini, anak-anak membutuhkan panutan literasi terutama di keluarga. Keluarga sangat efektif dalam membentuk karakter anak. Lingkungan keluargalah yang paling banyak menyita waktu anak-anak. Keluarga juga menjadi lingkungan pribadi (psikologi) yang paling dekat dan akrab. Bibit karakter bermula dari lingkungan keluarga. Keseharian di keluarga akan otomatis membentuk nilai (karakter) termasuk kebiasaan literasi. Jika ortu dapat menciptakan iklim literasi yang kondusif di rumah, maka anak-anak relatif lebih mudah tertular virus literasi. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi ortu kecuali berusaha membiasakan diri menjadi contoh literasi di keluarga.

Karakter literasi yang tumbuh di keluarga akan memudahkan budaya baca-tulis anak berkembang di sekolah. Dengan catatan, sekolah harus mendorong iklim literasi yang baik, terutama mulai dari guru. Guru harus menjadi model/ panutan literasi dengan memanfaatkan waktu untuk membaca dan menulis. Selain itu, sekolah dapat menjadi fasilitator literasi dengan menyediakan bahan bacaan (tulis) baik cetak, digital, dan lain sebagainya.

Pembelajaran literasi mirip dengan pembelajaran agama dan budi pekerti. Mapel ini dimasukkan dalam korikuler dan diajarkan secara rutin di sekolah. Namun, hasilnya dianggap mengecewakan. Etika dan moral generasi muda kita dikatakan tumbuh tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Pun generasi tuanya. Salah satu indikatornya ialah menjamurnya budaya korupsi di segala sektor justru ketika mapel ini digemakan di sekolah-sekolah.

Metodologi dituding sebagai salah satu faktor kekurangoptimalan pembelajaran agama dan budi pekerti. Publik menilai bahwa pembelajarannya masih menggunakan metodologi konvensional. Sekolah membelajarkan mapel ini sebagai “proyek penghabisan materi”. Hasilnya, tentu teoritis, bukan unjuk keterampilan berbuat baik—dengan panutan di sekelilingnya. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan baik hanya pada kemampuan kognitif (konsep) moralnya, tetapi miskin pada tataran implementasinya. Ditambah lagi, lingkungan sosial yang cenderung kurang baik, karena dominan memamerkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan teori moral.

Penumbuhan (pembiasaan) literasi juga sama. Ia tidak cukup dintegrasikan dalam mapel dan berakhir dengan angka-angka. Ia harus terus distimulus dan dibiasakan oleh pihak sekolah (guru) dengan menjadi panutan utama. Untuk mengikat guru menjadi panutan literasi, barangkali diperlukan tuntutan administrasi. Misalnya, dengan memasukan bukti fisik literasi sebagai kelengkapan administrasi dalam kenaikan pangkat/ golongan. Persyaratan administratif ini akan mendorong guru untuk terus membaca. Lama-kelamaan, diharapkan dapat menulis buku dan dijadikan stimulus berkarya (literasi) kepada siswa.

Gerakan literasi juga dapat digemakan di sekolah-sekolah dengan menggelar acara-acara yang berbau literasi. Misalnya, sekolah menyelenggarakan pameran literasi, seminar, dan bedah buku dengan mengundang ortu siswa sebagai pesertanya. Partisipasi ortu ini diharapkan dapat menyadarkan mereka melek dan menjadi panutan literasi di keluarga. Di tangan ortu yang melek inilah, mimpi berliterasi anak bisa terwujud.

Jika literasi sudah bertumbuh  pada anak-anak baik dirumah maupun di sekolah, maka belajar tidak akan lagi menjadi “kontrak literasi”. Anak-anak tidak terikat lagi dengan angka-angka dari jerih payah membaca. Mereka akan terbebas dari tekanan “kontrak literasi” yang mementingkan traksasional nilai. Karena mereka akan menyadari bahwa kegiatan literasi merupakan kebiasaan intelek yang bermanfaat, menyenangkan, dan patut dilakoni setiap hari. (Artikel ini pernah dimuat di Harian Bali Post dan Tabloid Tokoh)         

37 komentar:

  1. literasi jauh dari kebiasaan kita dizaman sekarang ini....karena canggihnya teknologi jdi terabaikan kecenderungan generasi kita dengan game online/mencari endors dgn membuat konten yg menghasilkan pundi-pundi rupiah...mungkin ada baiknya berliterasi menggunakan media yg menarik dan inovatif yg jg bisa menghasilkan pundi2 rupiah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus komentarnya. Tapi, literasi bukan soal baca dan tulis. Ada juga literasi digital. Jangan2 anak-anak kita hebat berliterasi digital.

      Hapus
  2. 1.Ortu dan guru masih minim melakukan budaya literasi. karna tuntutan budaya dengan mempeoleh nilai yang tinggi
    2.Banyak membaca buku sehingga banyak pengetahuan yang diperoleh dari berbagai sumber dan pengetahuan
    3. Ternyata literasi ada semacam kontrak buat membiasakan anak membaca dan menulis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ini. Baru jos. Kita nggak nyadar, ternyata literasi kita sebatas kontrak, bukan pembiasaan (karakter)

      Hapus
  3. Masalah : Lingkungan di dominasi dengan tradisi lisan (berbicara) tanpa literasi (membaca)
    Solusi : Lingkungan mulai menerapkan literasi dan lisan secara bersamaan,agar terbiasa membaca terlebih dahulu baru berbicara.
    Sesuatu Baru : Literasi bukan tentang nilai akhir, tapi tentang pemahaman mendalam tentang sesuatu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Tradisi lisan kita sudah mendarah daging. Butuh proses untuk menjadikan literasi (baca tulis) menjadi karakter

      Hapus
  4. permasalahan:
    Orang tua dan guru terlalu memaksakan kehendak kepada anak supaya senang membaca (literasi)
    solusinya : guru harus memberikan kebebasan kepada peserta didik sesuai dengan bakat dan minat anak tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebebasan untuk mengembangkan potensi diri melalui tindakan literasi. Good komen

      Hapus
  5. 1. Masalah yang saya pahami dalam artikel "Anak Perlu Panutan Literasi" adalah yang paling utama menjadikan Literasi tersebut sebagai sifat dari setiap individu, karena sifat tidak akan bisa dirubah dalam jangka waktu yang lama, sementara dalam kenyataannya Literasi hanya dipakai sebagai suatu kontrak sesaat yang setelah selesai kontrak, literasi tersebut tidak akan dijadikan kebiasaan dalam kehidupannya. Bahkan mungkin akan dijadikan kenangan yang tak terindah. Sehingga dilupakan begitu saja.
    2. Solusi yang ditawarkan dalam artikel menurut saya adalah menjadikan literasi tersebut sebagai sifat, bukan hanya sebagai kewajiban sementara pada bangku sekolah.
    3. Jujur sebagai orangtua dan Guru melalui artikel ini saya merasa berdosa karena tidak pernah menajadi contoh pembaca yang baik di rumah, karena budaya literasi saya sendiri belum menjadi sifat saya dalam kehidupan sehari-hari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Analisis yang bagus. Bukan sifat, maksudnya mungkin lebih tepat "karakter"

      Hapus
  6. budaya membaca dan menulis untuk anak anak didik seharusnya diawali dilingkungan rumah karena waktu terbanyak anak itu ada di rumah, maka dari itu berikan lingkungan yang nyaman di rumah untuk membaca dan menulis .sedangkan di sekolah kita membaca untu sekedar mencari nilai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Setidaknya, ortu bisa jadi contoh berliterasi yang baik di keluarga.

      Hapus
  7. 1. mendapatkan nilai
    2.memotivasi untuk membaca
    3. setelah membaca akan memahami cerita yang disampaikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Literasi bukan soal angka2, tapi pembiasaan untuk meningkatkan kualitas hidup.

      Hapus
  8. masalah utama : susahnya memberlakukan literasi dan seakan saling menyalahkan
    solusi :perbanyak program literasi wajib baca baik berupa buku maupun di internet
    kesadaran baru dari tulisan : Rentannya sikap bijak dalam menyikapi

    BalasHapus
  9. 1.Apa permasalahan utama yang diangkat dalam tulisan tersebut?
    Kegiatan literasi mulai menggeliat di sekolah-sekilah karena adanya kebijakan dari kementerian pendidikan dan kebudayaan , para siswa diwajibkan membaca buku non- mapel setiap hari 15 menut sebelum pelajaran di mulai
    2.Apa solusi (ideal) yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut?
    Menjadikan keluarga menjadi panutan literasi bagi anak-anak karena keluarga sangat efektif untuk membentuk karakter anak , dan keluaraga menjadi lingkungan pribadi yang paling dekat dengan anak .
    3.Tulis minimal 1 kesadaran baru (yang tidak terpikirkan oleh anda sebelumnya) dari tulisan tersebut?
    Jika literasi sudah bertumbuh pada anak-anak baik dirumah maupun diskolah , anak-anak tidak terikat lagi dengan angka-angka dari jerih payah membaca

    BalasHapus
  10. 1. permasalahan umumnya latar belakang literasi .
    2. permasalahannya kurangnya literasi pada anak anak atau orang tua.
    3. Dengan teknologi sekarang ini literasi sebaiknya bisa di tingkankan baik terhadap anak anak atau orang tua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yees. IT semestinya mendukung meningkatkan karakter berliterasi masyarakat.

      Hapus
  11. Permasalahn utama yang diangkat dlm tulisan adalah :
    Gerakan literasi untuk memotivasi anak-anak terbiasa untuk membaca

    Solusi yang ditawarkan utk mengatasi permasalahan tsb yaitu :
    Karakter literasi dimulai dari lingkungan keluarga dan orang tua memberikan contoh agar setiap waktu luang melakukan kegiatan membaca, sehingga anak-anak akn termotivai utk ikut senang melakukan kegiatan membaca serta dilingkungan sekolah guru harus menjadi model/ panutan literasi dengan memanfaatkan waktu untuk membaca dan menulis dan tentunya sekolah dapat menjadi fasilitator literasi dengan menyediakan bahan bacaan.

    Kesadaran baru yang tdk terpikirkan sebelumnya :
    Belajar menjadi semacam proyek (kontrak). Kontrak untuk menjawab soal-soal sesaat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yesss. Anda layak dapat bintang. Analisis bagus, lengkap dan klop.

      Hapus
  12. 1. Rendahnya budaya literasi pada anak-anak sehingga dalam belajar anak-anak akan belajar disaat akan menghadapi ulangan
    2. membudayakan literasi dimulai dari lingkungan keluarga,sekolah dan dilingkungan dimana kita berada
    3. membudayakan literasi dimulai dari lingkungan keluarga,karena anak-anak akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeees....Anda layak dapat bintang. Analisisnya keren, lengkap dan ngena.

      Hapus
  13. untuk saat ini budaya literasi hanya berdasarkan perintah atau suruhan dari pemerintah bukan berdasarkan kesadaran masing-masing. Perlu adanya hal yang mampu mengubah pandangan orang-orang pentingnya budaya literasi, karena budaya literasi itu penting untuk terhindar dari berita hoax

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeees....Anda berani menganalogikan dengan pemikiran sendiri. Singkat tapi mumpuni.

      Hapus
  14. Yang sering terjadi adalah ortu terlalu bangga dengan status (gengsi) dan selalu mengejar sensasi/prestasi dari anaknya demi kepuasan pribadi yang belum tentu bisa bermanfaat di dunia nyata karena nilai yang didapat hanya berupa angka. Semunya bisa berteori, tetapi terkadang berbanding terbalik dengan prakteknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya. Karena tertular mental akademis bukan praktisi.

      Hapus
  15. Literasi mulai menggeliat, Sekolah diharapkan baca tulis, menggunakan waktu luang untuk membaca

    BalasHapus
  16. masalah :budaya literasi masih sangat kurang di kalangan guru,orang tua dan siswa
    solusinya : menjadikan literasi sebagai suatu kebiasan baru
    suatu baru

    BalasHapus
  17. Budaya literasi diterapkan sejak dini dari lingkungan keluarga, sekolah serta adanya fasilitas literasi yang memadai dalam penerapanya.

    BalasHapus
  18. Permasalahannya yang mampu saya tangkap dari artikel anak perlu panutan literasi yaitu kurangnya peran guru serta keluarga di dalam membentuk karakter anak, pada dasarnya anak-anak menghabiskan waktunya sehari-hari disekolah dan di rumah jadi yang mampu menjadi panutan literasi yaitu guru dan orangtua namun banyak guru dan orang tua hanya bisa memberi contoh namun tidak bisa menjadi contoh, hanya bisa memberitahukan namun tidak bisa menjadi inspirasi, ibaratkan anak-anak itu disuruh memukul sarang lebah, habis dipukul, disengat lalu di tinggal.
    solusi dari permasalah diatas yaitu orangtua dan guru ketika menjadi panutan literasi harus ikut membaca dan menulis membimbing perkembangan anak sesuai kemampuannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeees...Anda layak dapat bintang. Analisis nya keren.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus