Kreatif Merespon Kelulusan
Oleh
I
Ketut Serawan
Foto: pontas.id |
Para nitizen
menilai bahwa aksi tersebut sangat langka. Pasalnya, tidak banyak pelajar
merespon kelulusan dengan aksi positif dan bermanfaat. Biasanya, pelajar
merespon kelulusan sebagai sebuah pesta. Pesta dengan mencoret-coret seragam
sekolah. Kemudian, melakukan konvoi di jalanan.
Tidak
hanya menganggu pengguna jalan, aksi ini seringkali meresahkan warga. Sehingga
wajar, tahun lalu (3/5/18) sejumlah warga di Sulteng menghadang dan menyiram
rombongan konvoi pelajar dengan air comberan. Beberapa aparat keamanan (polisi)
juga sering menangkap para konvoi ini, lalu memberikan berbagai sanksi.
Sayangnya, para pelajar tidak pernah menunjukkan sinyal jera. Aksi corat-coret
dan konvoi jalanan ini tetap saja menjadi seremonial wajib hingga sekarang.
Seremonial
corat-coret seragam dan konvoi di jalanan sudah dianggap sebagai budaya. Ia
sangat berpotensial mengalami proses pengulangan pada tahun-tahun mendatang. Bagi
pelajar, corat-coret dan konvoi jalanan mungkin semacam “libido musiman” ketika
menginjak usia kelulusan. Libido ini seperti wajib untuk diwujudkan
(ekspresikan) sehingga telah menjadi ikon perayaan kelulusan.
Budaya
Corat-coret Seragam
Mengapa harus dengan
corat-coret seragam sekolah? Konon, sejak muncul pada awal tahun 1990-an,
budaya corat-coret seragam sekolah ini lahir sebagai simbol kebebasan.
Kebebasan atas produk kebijakan pemerintah pusat tentang pendidikan. Salah
satunya ialah ebtanas (Evaluasasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Ebtanas
dirasakan banyak merampas kebebasan para siswa zaman itu. Pasalnya, menjelang
ebtanas para siswa dituntut ekstra persiapan belajar (ekstra stamina/ tenaga,
pikiran, mental, waktu dan biaya) untuk mencapai target lulus ebtanas.
Waktu itu, pemerintah pusat
berperan sebagai hakim dadakan karena tidak percaya dengan otoritas sekolah.
Pemerintah tidak percaya dengan proses pembelajaran guru dan siswa selama 3
tahun di sekolah. Baginya, ada cara ajaib untuk menakar tingkat kemampuan
(ilmu) siswa yaitu mengujinya dengan soal-soal versi pemerintah pusat dalam
waktu jam-an. Berdasarkan skor yang diraih, simsalabin
siswa dinyatakan lulus atau tidak lulus.
Pihak sekolah hanya
bisa tunduk, menjadi robot kebijakan pemerintah pusat. Kalau toh ada perlawanan, sekolah hanya mampu
mengkarbit semangat belajar siswa dengan berbagai teknik yang serba instan.
Teknik-teknik instan ini dipaksakan hingga menimbulkan tekanan belajar berlapis-lapis.
Akibatnya, para siswa menjadi lelah, stres, dan depresi.
Barangkali, situasi
inilah yang dianggap sebagai penjajahan. Tirani penjajahan ini dianggap runtuh
ketika mereka meraih kelulusan. Kelulusan menjadi semacam proklamasi
kemerdekaan. Sedangkan, corat-coret pada seragam sekolah mungkin sejenis
rumusan idiologi, UUD, bendera, dan lain sebagainya yang sulit dipahami oleh
pakar ketatanegaraan sekalipun.
Meskipun demikian, aksi
kemerdekaan itu harus tetap mendapat pengakuan dari lingkungan luar. Karena
itu, jalanan menjadi pilihan. Pasca corat-coret, para siswa melakukan konvoi di
jalanan. Mereka hendak mencari pengakuan (legalitas) dari masyarakat bahwa
mereka telah mencapai kemerdekaan. Tamat dari berbagai tekanan kebijakan
sekolah, pemerintah, dan ambisi orang tua.
Tampaknya
tekanan-tekanan itu tidak hanya dirasakan oleh para siswa tempo dulu, termasuk
siswa sekarang. Meskipun UN sudah tidak menentukan kelulusan (hanya sebagai
pemetaan), bukan berarti tekanan-tekanan sekolah, pemerintah, dan orang tua
sudah berakhir. Tekanan-tekanan itu tetap ada, dalam wujud dan varian yang
berbeda. Barangkali inilah yang menguatkan budaya corat-coret seragam dan konvoi
jalanan masih bertahan--meskipun sekarang sudah dianggap kurang relevan.
Publik menilai bahwa pesta
corat-coret seragam dan konvoi jalanan tidak murni sebagai ekspresi kebebasan ala tahun 1990-an. Sekarang,
interpretasi perayaannya sudah mengarah kepada pamer arogansi. Arogansi ini terlihat
ketika mereka bergerombol memenuhi badan jalan, menerobos traffic light, dan kebut-kebutan (tanpa helm dan suara knalpot
motor yang memekakan telinga).
Aksi konvoi tersebut
sangat merugikan tidak hanya bagi pengendara umum, termasuk pelajar itu
sendiri. Karena berisiko mengancam kenyamanan psikis hingga keselamatan (nyawa)
seseorang. Di samping itu, aksi konvoi jalanan juga riskan menimbulkan benturan
fisik atau perkelahian. Oleh karena itulah, publik menjadi kurang bersimpati
terhadap perayaan kelulusan. Publik menilai bahwa perayaan kelulusan bersifat
memaksakan (ego) kebebasan sepihak. Para pelajar puas melampiaskan kebebasan,
tetapi merampas kebebasan orang lain.
Begitu juga dengan kasus
coret-coret seragam sekolah. Mereka lebih mementingkan kepuasan sendiri, tanpa
peduli lingkungan sekitar. Padahal, baju seragam itu dapat disumbangkan kepada
orang yang membutuhkan. Namun, pelajar lebih senang mengumbar gaya hidup boros
dengan mengecatnya dengan spidol atau cat pylox.
Kelulusan
dan Kreativitas
Baik corat-coret maupun berkonvoi, sudah
telanjur dipandang memiliki citra negatif sekarang. Tradisi perayaan ini hanya
bersifat warisan dan dirasakan kurang relevan. Perspektif ini berkembang
mengingat publik memiliki kesadaran lain tentang makna perayaan kelulusan.
Publik beranggapan bahwa respon kebebasan tidak mesti tunggal dan bersifat
ikut-ikutan. Artinya, perayaan kebebasan pada momen kelulusan tidak harus
dengan aksi vandalisme dan konvoi di jalanan.
Ada banyak cara kreatif
dalam merespon makna kebebasan atau kelulusan itu. Salah satunya ialah
membagi-bagikan nasi bungkus kepada orang yang membutuhkan, seperti yang
dilakukan oleh para pelajar asal SMAN 1 Amlapura kemarin.
Aksi sosial pelajar
SMAN 1 Amlapura ini mengandung beberapa tafsir modern tentang memaknai
kelulusan. Pertama, perayaan kelulusan (kebebasan) tidak boleh dimaknai sebagai
pesta yang sepihak. Ketika para pelajar merayakan kesenangan/ kebebasan, tidak
boleh mengabaikan kebebasan orang lain. Kalau bisa, libatkan orang lain untuk
ikut merasakan kesenangan itu.
Kedua, pelajar memiliki
respon kreatif terhadap perayaan yang monoton. Mereka beranggapan bahwa ide-ide
kreatif sangat dibutuhkan untuk melahirkan nuansa perayaan yang berbeda dari sebelumnya.
Bentuk-bentuk kreatif itu sekaligus akan mencerminkan kualitas karakter SDM
pelajar itu sendiri.
Ketiga, pelajar
memiliki idealisme. Mereka memiliki konsep-konsep atau nilai kebenaran yang
berdaya guna. Sayangnya, idealisme-idealisme ini jarang dikembangkan di dalam
kelas. Sekolah sering mengerdilkannya dengan ruang dan iklim yang kurang
kondusif.
Keempat, pelajar
memiliki keberanian dan komitmen untuk berbuat baik. Bertindak berbeda (walaupun
baik/ benar) dari biasanya membutuhkan keberanian, karena seringkali akan
mendapat cemooh, cibiran, cap pencitraan dan lain sebagainya. Risiko ini pasti
sudah dipikirkan oleh para pelajar SMAN 1 Amlapura kemarin. Mereka membuktikan
bahwa remaja berani memberi atau menjadi contoh positif dengan segala
konsekuensinya.
Kelima, menghapus image negatif perayaan kelulusan. Kesan
hura-hura, brutal, tidak tahu aturan, ikut-ikutan dan tidak kreatif menjadi
cair ketika sekelompok pelajar dari SMAN 1 Amlapura mampu merayakannya dengan
ramah dan humanis. Artinya, tidak benar image
negatif itu ditujukan kepada para pelajar. Ada sekelompok pelajar yang memiliki
karakter positif dalam merespon perayaan kelulusan (kebebasan) itu.
Agar semakin banyak
jumlahnya, mereka membutuhkan stimulus dan dukungan dari berbagai pihak baik
dari sekolah, dinas pendidikan, masyarakat, para nitizen, dan media massa.
Elemen-elemen ini harus saling mendukung baik secara material maupun moral,
sehingga perayaan yang bersifat positif dijadikan tren di kalangan pelajar.
Para nitizen dan media
massa harus berperan aktif menyebarluaskan bentuk-bentuk kegiatan kelulusan
yang positif untuk menenggelamkan informasi-informasi perayaan yang bersifat
negatif. Jika dibiasakan, kita yakin para pelajar akan terpacu untuk merancang
(merespon) perayaan-perayaan kelulusan yang lebih kreatif dan berdaya guna.
Dalam konteks inilah,
peran sekolah, pemerintah, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Ketiga komponen
ini dapat dijadikan mitra diskusi oleh pelajar untuk merancang format kegiatan
kelulusan yang lebih kreatif dan inovatif. Hal ini bertujuan untuk menemukan
“bentuk-bentuk ekspresi” yang relevan, sehingga ke depan seremonial kelulusan
kian mendapat simpati dari masyarakat. Penulis
adalah guru swasta di Denpasar.
0 komentar:
Posting Komentar