Mengantisipasi
Pengaruh Tayangan Negatif Televisi pada Anak-anak
Oleh
I
Ketut Serawan, S.Pd.
Sejak
budaya audio visual semakin fenomenal, televisi kian menyedot perhatian
anak-anak. Berbagai tayangan yang memikat sering membuat anak lupa diri.
Jangankan belajar, untuk makan saja anak kadang enggan jika sudah berada di
depan televisi.
Kedekatan anak-anak
dengan televisi makin dipertajam lagi oleh tuntutan kebutuhan yang kian kompleks
di keluarga. Sementara orang tua sibuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga, di satu sisi anak-anak terbengkalai tinggal sendiri di rumah.
Kesempatan inilah yang menjebak anak untuk setia menghabiskan waktu di depan
televisi. Sebaliknya, perhatian dengan orang tua mereka justru menjadi
berjarak.
Berbeda dengan dulu,
ketika tradisi lisan begitu kuat, orang tua mampu memposisikan diri sebagai
pusat perhatian anak-anak. Dulu, misalnya pernah dikenal istilah “pelipur
lara”. Biasanya yang menjadi “pelipur lara” adalah orang tua. Di luar sebagai
tukang cerita, ia merupakan guru sekaligus teman bagi anak dalam memahami
konsep, etika, moral, nilai, norma, sopan santun dan lain sebagainya.
Meskipun bersifat oral,
budaya lisan ini memiliki keunggulan tersendiri. Karena sifat hubungannya yang
dialogis, budaya lisan mampu menciptakan kedekatan emosional di antara anak dan
orang tuanya. Kedekatan ini sekaligus menghasilkan produk fungsi sosial yaitu
menanamkan dan menumbuhkan spirit kebersamaan pada anak sehingga bingkai
kekeluargaan bisa terpelihara dengan baik.
Namun kini ketika budaya
audio visual berkembang pesat, anak-anak mulai melupakan “si pelipur
lara”—orang tua itu. Anak-anak telah menjatuhkan pilihannya pada “si pelipur
lara” yang lebih modern dan canggih, yaitu televisi. Pemilihan ini bukan tanpa
alasan. Jika tradisi lisan menjadikan bahasa sebagai satu-satunya alat
transmisi informasi, maka dalam budaya audio visual bahasa telah disandingkan
dengan media gambar dengan performa yang lebih menarik dan variatif.
Absolutkan
Simbol
Aspek performa
merupakan magnet bagi televisi dalam meraup pemirsa. Hal ini mengingat televisi
merupakan industri. Sebagai industri, ia ingin menggaet penonton sebanyak
mungkin. Caranya, dengan menonjolkan unsur entertainment,
kemudian mengukurnya dengan rating.
Terfokusnya televisi
pada unsur hiburan dan rating menyebabkan nilai edukasi menjadi terabaikan. Iip
(2006) menyebutkan, penonjolan hiburan dan rating menjadikan acara televisi
tidak baik dikonsumsi anak-anak. Menurutnya, televisi sering menayangkan unsur
negatif seperti penonjolan unsur seksualitas dan kekerasan. Hal ini jelas
berbahaya bagi anak-anak.
Di satu sisi, anak
punya daya pikir terbatas. Di sisi lain televisi berkemampuan mengabsolutkan
simbol-simbol tertentu. Yang terjadi adalah anak akan terjebak pada pola
kebenaran simbol-simbol televisi. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilihatnya
di televisi merupakan kebenaran yang niscaya. Benar dan begitulah seharusnya.
Bahayanya tentu ketika anak meyakini bahwa tayangan seksualitas dan kekerasan
dianggap sebagai sesuatu yang benar.
Kekhawatiran ini sangat
mungkin terjadi pada anak. Pasalnya, televisi merupakan medium pasif. Ia tak
mampu menjelaskan dan memang tak bisa memberikan penjelasan dari kejadian yang
telah ditayangkan. Sehingga, meminjam istilah Sugihastuti, anak pun menjadi boneka
mati di atas sofa.
Pengaruh negatif
televisi tidak hanya berasal dari acara yang ditayangkan saja. Menurut Iip
lagi, jeda iklan pun memberikan efek negatif yaitu menanamkan nilai konsumtif,
hedonis dan komersialisasi pada anak. Karenanya, dianjurkan perlunya kepekaan
khusus dari orang tua untuk menyadari dan mengantisipasi efek negatif dari
tayangan televisi.
Upaya
Antisipasi
Ada beberapa hal
yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantisipasi efek negatif tayangan
televisi. Pertama, diet menonton
televisi. Orang tua harus bisa mengatur jam menonton anak. Jangan sampai anak
seharian berada di depan televisi. Biarkan anak menonton pada acara-acara yang
memang layak ditonton kalangan anak-anak.
Kedua, dampingi anak ketika menonton
televisi. Berikan penjelasan (jika perlu) pada kejadian-kejadian yang ditonton
oleh anak-anak. Tidak hanya sekadar menjelaskan, bukalah ruang dialog dengan
anak. Berilah ruang bagi anak untuk bertanya jawab. Hal ini berguna untuk
memelihara kedekatan hubungan emosional di antara orang tua dan anak. Di
samping itu, ruang tanya jawab sekaligus berfungsi untuk mencairkan absolut
simbol yang diciptakan televisi pada anak-anak.
Ketiga, diet televisi menuntut orang tua
harus kreatif mencarikan alternatif kegiatan lain. Kegiatan-kegiatan itu
nantinya bisa menggantikan acara televisi. Namun perlu diingat,
kegiatan-kegiatan ini harus lebih menarik atau setidaknya sama menariknya
dengan acara di televisi.
Pilihannya
bisa dengan membaca buku anak-anak dan mendongeng. Membaca buku bermanfaat membuka
ruang berpikir, merenung dan berkontemplasi bagi anak. Begitu juga mendongeng
dapat mendekatkan emosional anak dengan orang tuanya. Sayangnya, kedua
aktivitas ini tidak mendapat perhatian serius di kalangan keluarga.
Sebagai
substitusi, kegiatan membaca harus melibatkan orang tua di dalamnya. Orang tua
dapat membuat taman bacaan di rumah. Anak tetangga juga dapat dilibatkan untuk
meningkatkan kegairahan membaca pada anak. Jika menginginkan anak rajin
membaca, orang tua harus menyediakan bahan bacaan yang cukup. Yang terpenting
lagi adalah orang tua harus menjadi teladan dengan menjadi pembaca yang baik.
Aktivitas
mendongeng juga penting diterapkan di keluarga. Apalagi jika format mendongeng
bisa dikemas lebih modern, variatif dan inovatif. Hal ini tentu akan lebih
menarik perhatian anak sehingga anak bisa diselamatkan dari konsep, etika,
nilai dan pendidikan moral yang keliru dari televisi. (Penulis adalah guru SMP Cipta
Dharma Denpasar. Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Keluarga, Bali Post Minggu
Pon, 25 Januari 2009)
0 komentar:
Posting Komentar