Minggu, 25 Agustus 2019


Mengantisipasi Pengaruh Tayangan Negatif Televisi pada Anak-anak
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.

Sejak budaya audio visual semakin fenomenal, televisi kian menyedot perhatian anak-anak. Berbagai tayangan yang memikat sering membuat anak lupa diri. Jangankan belajar, untuk makan saja anak kadang enggan jika sudah berada di depan televisi.
Kedekatan anak-anak dengan televisi makin dipertajam lagi oleh tuntutan kebutuhan yang kian kompleks di keluarga. Sementara orang tua sibuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, di satu sisi anak-anak terbengkalai tinggal sendiri di rumah. Kesempatan inilah yang menjebak anak untuk setia menghabiskan waktu di depan televisi. Sebaliknya, perhatian dengan orang tua mereka justru menjadi berjarak.
Berbeda dengan dulu, ketika tradisi lisan begitu kuat, orang tua mampu memposisikan diri sebagai pusat perhatian anak-anak. Dulu, misalnya pernah dikenal istilah “pelipur lara”. Biasanya yang menjadi “pelipur lara” adalah orang tua. Di luar sebagai tukang cerita, ia merupakan guru sekaligus teman bagi anak dalam memahami konsep, etika, moral, nilai, norma, sopan santun dan lain sebagainya.
Meskipun bersifat oral, budaya lisan ini memiliki keunggulan tersendiri. Karena sifat hubungannya yang dialogis, budaya lisan mampu menciptakan kedekatan emosional di antara anak dan orang tuanya. Kedekatan ini sekaligus menghasilkan produk fungsi sosial yaitu menanamkan dan menumbuhkan spirit kebersamaan pada anak sehingga bingkai kekeluargaan bisa terpelihara dengan baik.
Namun kini ketika budaya audio visual berkembang pesat, anak-anak mulai melupakan “si pelipur lara”—orang tua itu. Anak-anak telah menjatuhkan pilihannya pada “si pelipur lara” yang lebih modern dan canggih, yaitu televisi. Pemilihan ini bukan tanpa alasan. Jika tradisi lisan menjadikan bahasa sebagai satu-satunya alat transmisi informasi, maka dalam budaya audio visual bahasa telah disandingkan dengan media gambar dengan performa yang lebih menarik dan variatif.

Absolutkan Simbol
            Aspek performa merupakan magnet bagi televisi dalam meraup pemirsa. Hal ini mengingat televisi merupakan industri. Sebagai industri, ia ingin menggaet penonton sebanyak mungkin. Caranya, dengan menonjolkan unsur entertainment, kemudian mengukurnya dengan rating.
Terfokusnya televisi pada unsur hiburan dan rating menyebabkan nilai edukasi menjadi terabaikan. Iip (2006) menyebutkan, penonjolan hiburan dan rating menjadikan acara televisi tidak baik dikonsumsi anak-anak. Menurutnya, televisi sering menayangkan unsur negatif seperti penonjolan unsur seksualitas dan kekerasan. Hal ini jelas berbahaya bagi anak-anak.
Di satu sisi, anak punya daya pikir terbatas. Di sisi lain televisi berkemampuan mengabsolutkan simbol-simbol tertentu. Yang terjadi adalah anak akan terjebak pada pola kebenaran simbol-simbol televisi. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilihatnya di televisi merupakan kebenaran yang niscaya. Benar dan begitulah seharusnya. Bahayanya tentu ketika anak meyakini bahwa tayangan seksualitas dan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang benar.
Kekhawatiran ini sangat mungkin terjadi pada anak. Pasalnya, televisi merupakan medium pasif. Ia tak mampu menjelaskan dan memang tak bisa memberikan penjelasan dari kejadian yang telah ditayangkan. Sehingga, meminjam istilah Sugihastuti, anak pun menjadi boneka mati di atas sofa.
Pengaruh negatif televisi tidak hanya berasal dari acara yang ditayangkan saja. Menurut Iip lagi, jeda iklan pun memberikan efek negatif yaitu menanamkan nilai konsumtif, hedonis dan komersialisasi pada anak. Karenanya, dianjurkan perlunya kepekaan khusus dari orang tua untuk menyadari dan mengantisipasi efek negatif dari tayangan televisi.

Upaya Antisipasi
            Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantisipasi efek negatif tayangan televisi. Pertama, diet menonton televisi. Orang tua harus bisa mengatur jam menonton anak. Jangan sampai anak seharian berada di depan televisi. Biarkan anak menonton pada acara-acara yang memang layak ditonton kalangan anak-anak.
            Kedua, dampingi anak ketika menonton televisi. Berikan penjelasan (jika perlu) pada kejadian-kejadian yang ditonton oleh anak-anak. Tidak hanya sekadar menjelaskan, bukalah ruang dialog dengan anak. Berilah ruang bagi anak untuk bertanya jawab. Hal ini berguna untuk memelihara kedekatan hubungan emosional di antara orang tua dan anak. Di samping itu, ruang tanya jawab sekaligus berfungsi untuk mencairkan absolut simbol yang diciptakan televisi pada anak-anak.
            Ketiga, diet televisi menuntut orang tua harus kreatif mencarikan alternatif kegiatan lain. Kegiatan-kegiatan itu nantinya bisa menggantikan acara televisi. Namun perlu diingat, kegiatan-kegiatan ini harus lebih menarik atau setidaknya sama menariknya dengan acara di televisi.
            Pilihannya bisa dengan membaca buku anak-anak dan mendongeng. Membaca buku bermanfaat membuka ruang berpikir, merenung dan berkontemplasi bagi anak. Begitu juga mendongeng dapat mendekatkan emosional anak dengan orang tuanya. Sayangnya, kedua aktivitas ini tidak mendapat perhatian serius di kalangan keluarga.
            Sebagai substitusi, kegiatan membaca harus melibatkan orang tua di dalamnya. Orang tua dapat membuat taman bacaan di rumah. Anak tetangga juga dapat dilibatkan untuk meningkatkan kegairahan membaca pada anak. Jika menginginkan anak rajin membaca, orang tua harus menyediakan bahan bacaan yang cukup. Yang terpenting lagi adalah orang tua harus menjadi teladan dengan menjadi pembaca yang baik.
            Aktivitas mendongeng juga penting diterapkan di keluarga. Apalagi jika format mendongeng bisa dikemas lebih modern, variatif dan inovatif. Hal ini tentu akan lebih menarik perhatian anak sehingga anak bisa diselamatkan dari konsep, etika, nilai dan pendidikan moral yang keliru dari televisi. (Penulis adalah guru SMP Cipta Dharma Denpasar. Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Keluarga, Bali Post Minggu Pon, 25 Januari 2009)

0 komentar:

Posting Komentar