Senin, 13 September 2021

 



Pohon Bunut Tua. Foto: I Ketut Serawan


Pohon bunut di Nusa Penida (NP) tergolong tumbuhan istimewa. Tidak hanya menjadi benteng pakan sapi (saat musim kemarau panjang), bunut juga digunakan sebagai peneduh, lumbung hidup hingga tempat aktivitas sosial.

Karena itu, hampir semua peternak sapi di NP memiliki pohon bunut. Bunut dapat digolongkan sebagai tumbuhan spesialis untuk menghadapi situasi paceklik pakan sapi saat musim kemarau panjang.

Tanaman yang tergolong family Ficus ini sangat tangguh menghadapi karakter geografi NP beserta siklus kemarau panjangnya. Ketika pohon-pohon lain meranggas pada musim kemarau, maka bunut tetap tegar, tak gentar sengatan panas, dan tetap rindang.

Sebagai keluarga Ficus, pohon bunut memiliki kemiripan dengan pohon beringin. Salah satunya ialah memiliki akar gantung. Selain memperkokoh bodi pohon, akar gantung juga berfungsi untuk menyerap uap air dan gas CO2 dari udara (sebagai proses dan siklus respirasi). Jika akar tumbuh hingga masuk ke dalam tanah, maka dapat menyerap air maupun garam-garam mineral.

Kelebihan tersebut mungkin menyebabkan pohon bunut dapat menjaga kelembapan, membantu pertukaran udara, propagasi, stabilitas, dan nutrisi—sehingga pohon bunut tetap stabil menjaga kerindangannya.

Kerindangan pohon bunut inilah yang dimanfaatkan oleh para peternak NP dalam menyelamatkan sapi-sapinya dari ancaman krisis pakan pada musim kemarau. Daun bunut yang bergetah dijadikan pakan utama (wajib) sehari-hari meskipun tidak sedap di lidah para sapi. Apabila ketersediaan pakan hijauan melimpah akibat musim hujan, maka daun bunut tidak mau dimakan oleh sapi.

Hingga kini sapi-sapi di NP murni mengandalkan pakanan hijauan. Pakanan hijauan ini berasal dari rumput-rumput liar, daun jagung, daun pisang, gamal, daun singkong, daun jati, bunut dan lain sebagainya. Intinya, pakanan sapi murni sangat bergantung pada ketersediaan di alam. Jarang bahkan tidak pernah para peternak NP memberikan pakanan konsentrat (termasuk pakan tambahan) kepada sapi-sapinya.

Pemberian daun bunut kepada sapi terintegrasi dengan rantingnya. Biasanya, sapi-sapi akan memakan daun beserta lapisan kulit rantingnya. Sisanya ialah kayu ranting yang terkelupas putih bersih. Kondisi ini menyebabkan kayu ranting menjadi cepat kering. Kayu ranting inilah yangi dimanfaatkan sebagai kayu bakar.

Selanjutnya, pohon bunut juga menjadi peneduh untuk ternak babi dan termasuk sapi. Peternak babi atau sapi di NP jarang membuat kandang khusus. Mereka biasanya mengikatkan hewan ternaknya langsung di bawah pohon rindang seperti bunut.

Pohon bunut juga memiliki buah yang menjadi lumbung hidup terutama bagi burung, serangga dan kelelawar. Ketika buah bunut matang, yang dicirikan dengan warna merah kehitaman (merah tua), pohon bunut menjadi sarang burung punan, pleci dan cilalongan.

Burung punan biasanya berpesta buah bunut secara bergerombol. Burung ini datang dalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Mereka berpesta secara sosial. Karena itu, kehadiran burung ini ditandai dengan riuh bunyi dari kicau dan kepakan-kepakan sayapnya ketika berpindah atau berebut buah bunut.

Kepakan-kepakan punan semakin riuh terdengar ketika meninggalkan pesta buah bunut. Sebagai tipe burung komunal, punan selalu beraktivitas secara bergerombol. Jika ada satu atau dua ekor pergi meninggalkan pesta, maka yang lainnya otomatis terbang serentak, ikut dalam kesatuan rombongan.

Sedangkan, pleci dan cilalongan memakan buah bunut secara sporadis. Jumlahnya tidak sebanyak burung punan. Kedua burung ini bukan tipe burung komunal (bergerombol). Mereka bisa datang sendirian atau dengan beberapa ekor teman lainnya.

Di sela-sela pesta para burung, ada beberapa kupu-kupu yang ikut menikmati buah bunut yang matang, hasil robekan paruh burung-burung. Sebab, kupu-kupu tidak bisa menembus daging buah bunut yang cukup tebal.

Tidak hanya pagi, siang dan sore hari, riuh satwa juga berlanjut hingga malam hari. Ketika burung-burung dan kupu-kupu beristirahat, giliran hewan nokturnal kelelawar memulai pestanya. Sebelum berpesta pada malam hari, kelelawar biasanya mulai survei, terbang mondar-mandir mengelilingan pohon bunut menjelang petang hari.

Dari hasil pesta para burung dan kelelawar mengakibatkan beberapa buah bunut jatuh ke tanah baik dalam keadaan utuh, seperempat utuh, setengah utuh bahkan ada dalam rupa serpihan-serpihan buah kecil. Sisa-sisa pesta buah ini juga menjadi incaran binatang-binatang lain di bawah seperti ulat bulu dan serangga lainnya.

Fungsi lainnya, pohon bunut juga menjadi tempat bersarangnya serangga insekta seperti semut semaluh dan semangah. Berbeda dengan semaluh, sarang semangah lebih mudah diidentifikasikan. Sarangnya berbentuk mirip bola, gabungan beberapa daun dengan sejenis serat laba-laba, karya cipta sosial para semangah.

Jika pohon bunut menjadi sarang semangah, maka dipastikan ranting dan daunnya dipangkas belakangan. Biasanya, para peternak memangkas ranting pohon bunut yang tidak dihuni oleh bangsa semut. Kalau toh dihuni semaluh, masih dikategorikan aman bagi peternak karena insekta ini tidak menggigit orang.

Jika pohon bunut dihuni oleh semangah, maka peternak sapi harus berpikir dan bertindak serba cepat. Mulai dari memanjat pohon induknya, cabang pohonnya hingga mengekskusi (memotong) ranting pohon bunut. Eksekusi yang cepat ini berguna untuk meminalisasi rasa sakit akibat gigitan semangah.

Sebetulnya, ada cara tradisional dalam meminimalisasikan gigitan semangah. Pemanjat pohon bunut biasanya menggunakan aon (abu dari hasil kayu bakar). Sebelum memanjat, para pemanjat melumuri badannya dengan aon terutama pada bagian kaki dan tangan. Karena bagian organ inilah yang paling mudah diserang, sebelum bagian lainnya.

Karena itu, dibutuhkan konsentrasi penuh ketika memotong ranting pohon bunut yang berisi semangah. Konsentrasi untuk cepat memanjat, cepat memangkas ranting, menahan gigitan semangah, dan konsentrasi bertahan di pohon. Kalau tidak fokus, maka hanya beberapa kali tebasan—pemanjat biasanya segera turun akibat tidak kuat menahan gigitan semangah.

Sakit dan pedasnya terasa jika semangah menggigit secara masif tubuh kita. Dalam kondisi seperti ini, konsentrasi mendadak ambyar. Hanya ada satu pikiran yang terlintas yaitu turun dari atas pohon bunut sesegera mungkin. Ketika sudah mengginjakkan kaki di atas tanah, maka kedua tangan kita spontan mengusap dengan kasar semangah yang menempel pada tubuh untuk mengurangi rasa sakit.

Pohon bunut juga dijadikan sarang bertelur oleh jenis burung tertentu, misalnya becica, burung nagi, cilalongan, perit dan lain sebagainya. Pada beberapa pohon bunut kadang ada yang memiliki rongga. Ada lubang pada bodi pohon. Rongga ini sangat disukai oleh burung becica sebagai tempat untuk bertelur.

Di sela-sela ranting dan rimbun daunnya juga banyak ditemukan sebun (sarang) burung seperti perit, cilalongan, crucuk, tekukur, perkutut dan yang paling antik yaitu sebun burung nagi. Sebutan nagi diambil dari kata undagi (sebutan arsitek tradisional Bali). Masyarakat di kampung saya menyebutnya dengan burung nagi, mungkin karena desain sebunnya dianggap unik, menyerupai kantong yang menggantung.

Ruang Aktivitas Sosial

Kerindangan pohon bunut juga diberdayakan sebagai ruang aktivitas sosial di NP. Waktu saya kecil (tahun 80-an), ruang di bawah pohon bunut dijadikan tempat bermain untuk anak-anak. Di bawah rindang pohon bunut, saya dan teman-teman biasa menggelar permainan tradisional seperti gala-gala, metembing, meciklak, gajig-gajigan, main kelereng, petak umpet dan lain sebagainya.

Kemudian, ruang bawah bunut juga biasa digunakan untuk aktivitas adat seperti nampah, mebat, ngelawar dan nyate. Jika ada upacara adat pernikahan dan tiga bulan bayi misalnya, maka masyarakat akan menggelar pesta dan ritual adat. Pada saat inilah masyarakat melakukan potong babi dan ayam.

Dagingnya dipotong-potong, dibersihkan dan diolah menjadi kuliner khas Bali seperti lawar, sate, jukut ares dan komoh. Semua proses pengolahan kuliner ini biasanya memanfaatkan ruang rindang pohon bunut.

Kerindangan pohon bunut juga menjadi ruang hiburan. Misalnya tempat bermain kartu seperti ceki, spirit, dan dom-an pada hari-hari tertentu. Pun digunakan sebagai tes tarung ayam kurungan (tanpa taji). Seringkali para pemelihara ayam aduan juga memanfaatkan pohon bunut sebagai tempat mekipu ayam peliharaannya. Alas sangkar bawahnya dilepas, kemudian ayam aduannya siap mekipu, seolah-olah merayakan kebebasannya.

Aktivitas menumbuk jagung juga memanfaatkan kerindangan pohon bunut. Beberapa masyarakat NP menaruh lesung dan lu di bawah pohon bunut. Pagi atau sore hari, ibu-ibu atau para gadis menumbuk jagung untuk menghasilkan kelanan yang siap diolah menjadi nasi jagung.

Aktivitas sosial lainnya ialah kegiatan “mekutu”—menangkap kutu di sela-sela rambut kepala. Kegiatan ini hampir setiap hari dijumpai di bawah kerindangan pohon bunut. Pelakunya dari kalangan ibu-ibu. Aktivitas mekutu dilakukan seusai mengemban tugas domestik dan tugas tambahan lainnya. Waktunya bisa ditebak yakni siang hari.

Para ibu menghimpun diri di bawah pohon bunut dengan keluarga sekitar. Mereka duduk berpasangan. Pencari kutu duduk di belakang, menghadap atas kulit kepala dengan posisi duduk lebih tinggi daripada yang dicarikan kutu.  

Tahap persiapan dimulai dengan membuka pusungan atau ikat rambut hingga lepas terburai. Dari sinilah pencarian kutu dimulai. Jari-jari tangan mulai beraksi menyibakkan helai demi helai rambut. Siapa tahu ada kutu atau telurnya yang menempel. Atau bisa saja tiba-tiba ada kutu melintas di sela-sela pangkal helai rambut, di atas kulit kepala.

Dalam mekutu, ketajaman mata dan kecakapan mingseg sangat diperlukan. Begitu kutu ditangkap, maka kedua punggung kuku ibu jari spontan menjepit kutu atau telur kutu hingga hancur.

Aktivitas mekutu berlangsung santai, penuh obrolan ringan. Seringkali obrolan itu kental dengan gosip. Bahkan tanpa gosip, mekutu menjadi kurang asyik. Jadi tidak aneh jika waktu mekutu bisa berlangsung hingga sore hari. Tentu bukan karena tangkapan kutunya yang banyak. Namun, topik gosipnya yang menarik, mengalir dan “genit” seperti rambut  kutuan.

Meskipun memiliki peran istimewa, bukan berarti pohon bunut mendapat perlakuan yang setimpal di NP. Tidak ada upaya sengaja dari masyarakat untuk menanam apalagi merawatnya. Pohon bunut tumbuh liar dari biji buah melalui perantara hewan seperti burung atau kelelawar.

Karena itu, pohon bunut bisa tumbuh di mana saja. Misalnya, pada tanah yang tebal, tipis, di atas bebatuan bahkan di atas pohon sendiri atau pohon tumbuhan lainnya.

Jadi, bukan hanya istimewa karena perannya melainkan juga istimewa dalam bertumbuh—meski tidak pernah mendapat perlakuan istimewa. Sebuah pelajaran istimewa dari pohon bunut yang tak diistimewakan.