Pohon Bunut Tua. Foto: I Ketut Serawan
Pohon bunut di Nusa
Penida (NP) tergolong tumbuhan istimewa. Tidak hanya menjadi benteng pakan sapi
(saat musim kemarau panjang), bunut juga digunakan sebagai peneduh, lumbung
hidup hingga tempat aktivitas sosial.
Karena
itu, hampir semua peternak sapi di NP memiliki pohon bunut. Bunut dapat
digolongkan sebagai tumbuhan spesialis untuk menghadapi situasi paceklik pakan
sapi saat musim kemarau panjang.
Tanaman
yang tergolong family Ficus ini
sangat tangguh menghadapi karakter geografi NP beserta siklus kemarau
panjangnya. Ketika pohon-pohon lain meranggas pada musim kemarau, maka bunut
tetap tegar, tak gentar sengatan panas, dan tetap rindang.
Sebagai
keluarga Ficus, pohon bunut memiliki
kemiripan dengan pohon beringin. Salah satunya ialah memiliki akar gantung. Selain
memperkokoh bodi pohon, akar gantung juga berfungsi untuk menyerap uap air dan gas CO2 dari udara
(sebagai proses dan siklus respirasi). Jika akar tumbuh hingga masuk ke dalam
tanah, maka dapat menyerap air maupun garam-garam mineral.
Kelebihan tersebut mungkin menyebabkan
pohon bunut dapat menjaga kelembapan, membantu pertukaran udara, propagasi, stabilitas,
dan nutrisi—sehingga pohon bunut tetap stabil menjaga kerindangannya.
Kerindangan
pohon bunut inilah yang dimanfaatkan oleh para peternak NP dalam menyelamatkan
sapi-sapinya dari ancaman krisis pakan pada musim kemarau. Daun bunut yang
bergetah dijadikan pakan utama (wajib) sehari-hari meskipun tidak sedap di
lidah para sapi. Apabila ketersediaan pakan hijauan melimpah akibat musim hujan,
maka daun bunut tidak mau dimakan oleh sapi.
Hingga
kini sapi-sapi di NP murni mengandalkan pakanan hijauan. Pakanan hijauan ini
berasal dari rumput-rumput liar, daun jagung, daun pisang, gamal, daun
singkong, daun jati, bunut dan lain sebagainya. Intinya, pakanan sapi murni sangat
bergantung pada ketersediaan di alam. Jarang bahkan tidak pernah para peternak
NP memberikan pakanan konsentrat (termasuk pakan tambahan) kepada sapi-sapinya.
Pemberian
daun bunut kepada sapi terintegrasi dengan rantingnya. Biasanya, sapi-sapi akan
memakan daun beserta lapisan kulit rantingnya. Sisanya ialah kayu ranting yang
terkelupas putih bersih. Kondisi ini menyebabkan kayu ranting menjadi cepat kering.
Kayu ranting inilah yangi dimanfaatkan sebagai kayu bakar.
Selanjutnya,
pohon bunut juga menjadi peneduh untuk ternak babi dan termasuk sapi. Peternak
babi atau sapi di NP jarang membuat kandang khusus. Mereka biasanya mengikatkan
hewan ternaknya langsung di bawah pohon rindang seperti bunut.
Pohon
bunut juga memiliki buah yang menjadi lumbung hidup terutama bagi burung,
serangga dan kelelawar. Ketika buah bunut matang, yang dicirikan dengan warna
merah kehitaman (merah tua), pohon bunut menjadi sarang burung punan, pleci dan cilalongan.
Burung
punan biasanya berpesta buah bunut
secara bergerombol. Burung ini datang dalam jumlah puluhan bahkan ratusan.
Mereka berpesta secara sosial. Karena itu, kehadiran burung ini ditandai dengan
riuh bunyi dari kicau dan kepakan-kepakan sayapnya ketika berpindah atau
berebut buah bunut.
Kepakan-kepakan
punan semakin riuh terdengar ketika
meninggalkan pesta buah bunut. Sebagai tipe burung komunal, punan selalu beraktivitas secara
bergerombol. Jika ada satu atau dua ekor pergi meninggalkan pesta, maka yang
lainnya otomatis terbang serentak, ikut dalam kesatuan rombongan.
Sedangkan,
pleci dan cilalongan memakan buah bunut secara sporadis. Jumlahnya tidak
sebanyak burung punan. Kedua burung ini
bukan tipe burung komunal (bergerombol). Mereka bisa datang sendirian atau
dengan beberapa ekor teman lainnya.
Di
sela-sela pesta para burung, ada beberapa kupu-kupu yang ikut menikmati buah
bunut yang matang, hasil robekan paruh burung-burung. Sebab, kupu-kupu tidak
bisa menembus daging buah bunut yang cukup tebal.
Tidak
hanya pagi, siang dan sore hari, riuh satwa juga berlanjut hingga malam hari. Ketika
burung-burung dan kupu-kupu beristirahat, giliran hewan nokturnal kelelawar memulai
pestanya. Sebelum berpesta pada malam hari, kelelawar biasanya mulai survei,
terbang mondar-mandir mengelilingan pohon bunut menjelang petang hari.
Dari
hasil pesta para burung dan kelelawar mengakibatkan beberapa buah bunut jatuh
ke tanah baik dalam keadaan utuh, seperempat utuh, setengah utuh bahkan ada dalam
rupa serpihan-serpihan buah kecil. Sisa-sisa pesta buah ini juga menjadi
incaran binatang-binatang lain di bawah seperti ulat bulu dan serangga lainnya.
Fungsi
lainnya, pohon bunut juga menjadi tempat bersarangnya serangga insekta seperti
semut semaluh dan semangah. Berbeda dengan semaluh, sarang semangah lebih mudah diidentifikasikan. Sarangnya berbentuk mirip bola, gabungan beberapa
daun dengan sejenis serat laba-laba, karya cipta sosial para semangah.
Jika
pohon bunut menjadi sarang semangah,
maka dipastikan ranting dan daunnya dipangkas belakangan. Biasanya, para
peternak memangkas ranting pohon bunut yang tidak dihuni oleh bangsa semut.
Kalau toh dihuni semaluh, masih
dikategorikan aman bagi peternak karena insekta ini tidak menggigit orang.
Jika
pohon bunut dihuni oleh semangah, maka
peternak sapi harus berpikir dan bertindak serba cepat. Mulai dari memanjat
pohon induknya, cabang pohonnya hingga mengekskusi (memotong) ranting pohon
bunut. Eksekusi yang cepat ini berguna untuk meminalisasi rasa sakit akibat gigitan
semangah.
Sebetulnya,
ada cara tradisional dalam meminimalisasikan gigitan semangah. Pemanjat pohon bunut biasanya menggunakan aon (abu dari hasil kayu bakar). Sebelum
memanjat, para pemanjat melumuri badannya dengan aon terutama pada bagian kaki dan tangan. Karena bagian organ
inilah yang paling mudah diserang, sebelum bagian lainnya.
Karena
itu, dibutuhkan konsentrasi penuh ketika memotong ranting pohon bunut yang
berisi semangah. Konsentrasi untuk
cepat memanjat, cepat memangkas ranting, menahan gigitan semangah, dan konsentrasi bertahan di pohon. Kalau tidak fokus,
maka hanya beberapa kali tebasan—pemanjat biasanya segera turun akibat tidak
kuat menahan gigitan semangah.
Sakit
dan pedasnya terasa jika semangah menggigit
secara masif tubuh kita. Dalam kondisi seperti ini, konsentrasi mendadak ambyar. Hanya ada satu pikiran yang
terlintas yaitu turun dari atas pohon bunut sesegera mungkin. Ketika sudah
mengginjakkan kaki di atas tanah, maka kedua tangan kita spontan mengusap
dengan kasar semangah yang menempel
pada tubuh untuk mengurangi rasa sakit.
Pohon
bunut juga dijadikan sarang bertelur oleh jenis burung tertentu, misalnya
becica, burung nagi, cilalongan,
perit dan lain sebagainya. Pada beberapa pohon bunut kadang ada yang memiliki
rongga. Ada lubang pada bodi pohon. Rongga ini sangat disukai oleh burung becica sebagai tempat untuk bertelur.
Di
sela-sela ranting dan rimbun daunnya juga banyak ditemukan sebun (sarang) burung seperti perit, cilalongan, crucuk, tekukur, perkutut dan yang paling antik yaitu sebun burung nagi. Sebutan nagi diambil
dari kata undagi (sebutan arsitek
tradisional Bali). Masyarakat di kampung saya menyebutnya dengan burung nagi, mungkin karena desain sebunnya dianggap unik, menyerupai kantong yang menggantung.
Ruang Aktivitas
Sosial
Kerindangan
pohon bunut juga diberdayakan sebagai ruang aktivitas sosial di NP. Waktu saya
kecil (tahun 80-an), ruang di bawah pohon bunut dijadikan tempat bermain untuk
anak-anak. Di bawah rindang pohon bunut, saya dan teman-teman biasa menggelar permainan
tradisional seperti gala-gala, metembing,
meciklak, gajig-gajigan, main kelereng, petak umpet dan lain sebagainya.
Kemudian,
ruang bawah bunut juga biasa digunakan untuk aktivitas adat seperti nampah, mebat, ngelawar dan nyate. Jika ada upacara adat pernikahan
dan tiga bulan bayi misalnya, maka masyarakat akan menggelar pesta dan ritual
adat. Pada saat inilah masyarakat melakukan potong babi dan ayam.
Dagingnya
dipotong-potong, dibersihkan dan diolah menjadi kuliner khas Bali seperti lawar,
sate, jukut ares dan komoh. Semua proses pengolahan kuliner ini biasanya
memanfaatkan ruang rindang pohon bunut.
Kerindangan
pohon bunut juga menjadi ruang hiburan. Misalnya tempat bermain kartu seperti
ceki, spirit, dan dom-an pada hari-hari tertentu. Pun digunakan sebagai tes
tarung ayam kurungan (tanpa taji). Seringkali
para pemelihara ayam aduan juga memanfaatkan pohon bunut sebagai tempat mekipu ayam peliharaannya. Alas sangkar
bawahnya dilepas, kemudian ayam aduannya siap mekipu, seolah-olah merayakan kebebasannya.
Aktivitas
menumbuk jagung juga memanfaatkan kerindangan pohon bunut. Beberapa masyarakat
NP menaruh lesung dan lu di bawah
pohon bunut. Pagi atau sore hari, ibu-ibu atau para gadis menumbuk jagung untuk
menghasilkan kelanan yang siap diolah
menjadi nasi jagung.
Aktivitas
sosial lainnya ialah kegiatan “mekutu”—menangkap kutu di sela-sela rambut
kepala. Kegiatan ini hampir setiap hari dijumpai di bawah kerindangan pohon
bunut. Pelakunya dari kalangan ibu-ibu. Aktivitas mekutu dilakukan seusai mengemban tugas domestik dan tugas tambahan
lainnya. Waktunya bisa ditebak yakni siang hari.
Para
ibu menghimpun diri di bawah pohon bunut dengan keluarga sekitar. Mereka duduk
berpasangan. Pencari kutu duduk di belakang, menghadap atas kulit kepala dengan
posisi duduk lebih tinggi daripada yang dicarikan kutu.
Tahap
persiapan dimulai dengan membuka pusungan
atau ikat rambut hingga lepas terburai. Dari sinilah pencarian kutu
dimulai. Jari-jari tangan mulai beraksi menyibakkan helai demi helai rambut.
Siapa tahu ada kutu atau telurnya yang menempel. Atau bisa saja tiba-tiba ada
kutu melintas di sela-sela pangkal helai rambut, di atas kulit kepala.
Dalam
mekutu, ketajaman mata dan kecakapan mingseg sangat diperlukan. Begitu kutu
ditangkap, maka kedua punggung kuku ibu jari spontan menjepit kutu atau telur
kutu hingga hancur.
Aktivitas
mekutu berlangsung santai, penuh
obrolan ringan. Seringkali obrolan itu kental dengan gosip. Bahkan tanpa gosip,
mekutu menjadi kurang asyik. Jadi
tidak aneh jika waktu mekutu bisa
berlangsung hingga sore hari. Tentu bukan karena tangkapan kutunya yang banyak.
Namun, topik gosipnya yang menarik, mengalir dan “genit” seperti rambut kutuan.
Meskipun
memiliki peran istimewa, bukan berarti pohon bunut mendapat perlakuan yang
setimpal di NP. Tidak ada upaya sengaja dari masyarakat untuk menanam apalagi
merawatnya. Pohon bunut tumbuh liar dari biji buah melalui perantara hewan seperti
burung atau kelelawar.
Karena
itu, pohon bunut bisa tumbuh di mana saja. Misalnya, pada tanah yang tebal,
tipis, di atas bebatuan bahkan di atas pohon sendiri atau pohon tumbuhan
lainnya.
Jadi,
bukan hanya istimewa karena perannya melainkan juga istimewa dalam
bertumbuh—meski tidak pernah mendapat perlakuan istimewa. Sebuah pelajaran
istimewa dari pohon bunut yang tak diistimewakan.
0 komentar:
Posting Komentar