Penggunaan Dialek NP Kurang Kental di Daerah
Pesisir Barat NP. Foto: I Ketut Serawan |
Dialek Nusa Penida (basa Nusa) memiliki kekhasan linguistik,
yang berbeda dengan bahasa induknya (bahasa Bali). Kekhasan ini dapat dilihat
dari fonologi, morfologi dan terutama kosakatanya. Sebut saja kata “eda”
(dibaca éda bukan eda) dan “kola”. Pronomina persona “eda” (kamu, anda)
dan “kola” (aku, saya) sama sekali tidak dijumpai dalam kamus bahasa Bali.
“Eda” merupakan pronomina persona pertama, sedangkan “kola” pronomina persona
kedua.
Pronomina persona “eda” dan
“kola” begitu
khas, tetapi sudah familiar. Kosakata ini
paling mudah didengar, diucapkan
dan ditirukan oleh penutur bahasa Bali (di luar penutur dialek Nusa Penida). Jika
ditanya soal dialek Nusa Penida, orang pasti latah (spontan) menyebut kata
“eda” dan “kola”. Mirip mungkin dengan pronomina persona “nani” (kamu, anda)
dan “aké”
(aku, saya) ketika menyinggung dialek Buleleng.
Karena khas, “eda” dan “kola” dianggap
sebagai makhluk kata yang aneh oleh penutur (terutama) di Bali daratan. Beberapa
penutur bahasa Bali (daratan), memanfaatkan aspek keanehan ini untuk berbagai
tujuan dan kepentingan. Misalnya, sebagai sekadar “latah linguistik”, bahan
candaan, ledekan, dan olok-olokan dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan
komunitas penutur bahasa Bali. Bahkan, lebih serius digunakan untuk “maaf” membangun
imaji stereotip terisolir.
Disadari atau tidak, kasus ini
tampaknya sudah lumrah terjadi di mana-mana. Penutur mayoritas memang memiliki
kecenderungan dan kekuatan ngewalek
(ngeledek) penutur minoritas. Penutur dialek Gianyar memiliki peluang ngewalek pendukung dialek Buleleng jika merasa
mayoritas. Sebaliknya, orang Buleleng memiliki peluang yang sama jika mereka berada
pada posisi mayoritas.
Karena itulah, sejak dulu
penutur “eda” dan “kola” (baca: dialek Nusa Penida) rentan terkena ledekan di
Bali (daratan). Selain dianggap minoritas, kekhasan dialek NP mungkin dianggap terlalu
berbeda dari standar baku bahasa Bali. Kosakata “eda” dan “kola” misalnya.
Mungkin terdengar terlalu berbeda dengan bahasa Bali (baku) yang terkena
pengaruh bahasa Jawa Pertengahan.
Sementara, dialek NP masih
kuat mempertahankan pengaruh bahasa Jawa Kuna (Darma Laksana, 2016). Laksana
menduga bahwa pemertahanan ini berkaitan dengan invansi kerajaan Majapahit
terhadap kerajaan Bali dan kerajaan Nusa Penida (yang disebut Gurun dalam
Sumpah Palapa). Ketika tunduk di tangan Gajah Mada (bersama laskarnya), bahasa
Jawa disinyalir memengaruhi kedua bahasa di daerah taklukannya.
Setelah menaklukan Bali dan
Nusa Penida, konon laskar Majapahit ini tidak ingin kembali ke Majapahit.
Mereka memilih menetap di Pulau Bali. Sebagian lagi memilih tinggal di Pulau Nusa
Penida. Menurut Zoetmulder, kemungkinan laskar Majapahit yang bukan bangsawan
inilah, yang masih mempertahankan bahasa Jawa Kuna di tempat tinggal barunya. Pengaruh
Jawa Kuna ini masih dirasakan kuat eksis di kalangan penutur dialek Nusa Penida hingga sekarang.
Filosofi “eda” dan “kola”
Dugaan Zoetmulder mungkin ada
benarnya ketika hendak menjelaskan pronomina persona “eda” dan “kola”. Saya
mencurigai bahwa kata “kola” berasal dari “kawula” atau “kula”. “Kawula” atau
“kula” bermakna hamba, aku, saya. Pronomina persona pertama, yang lumrah
digunakan untuk kalangan rakyat jelata.
Mengapa “kola” bukan “kula”?
Kecenderungan penutur dialek NP mengucapkan fonem (bunyi) /u/ dengan /o/.
Misalnya, /nusa/ menjadi /nosa/, /ubad/ menjadi /obad/, /usud/ menjadi /osud/.
Karena itu, saya menduga kata “kola “ telah mengalami adaptasi pengucapan ala
dialek NP. Adaptasi dari kata “kula” atau “Kawula” menjadi “kola” (dalam bahasa
Jawa dibaca “kulo”).
Penggunaan kata “kola” juga
mencerminkan bahwa masyarakat NP tidak mengenal stratifikasi sosial. Masyarakat
NP tidak mengenal kasta. Semua masyarakat memiliki strata/ kedudukan yang sama
(egaliter). Karena itu, dialek NP tidak mengenal sor singgih basa atau tingkatan bahasa. Dialek NP yang dianggap
kasar, digunakan untuk semua masyarakat tanpa terkecuali.
Bagaimana dengan “eda”? Dibaca
“éda” bukan “eda” (“eda”
artinya jangan atau tidak boleh). Kata ini agak sulit ditelusuri. Namun, banyak
masyarakat NP menduga kata ini berasal dari kata “ida”. “Ida” merupakan sebutan
penghormatan kepada orang yang memiliki status sosial tinggi. Berfungsi sebagai
pronomina persona ke-3. Misalnya, untuk menyebut personal sulinggih (orang
suci), keluarga raja (ningrat), keluarga brahmana dan bahkan menyebut sesuhunan.
Namun, dalam praktiknya, di
beberapa daerah seringkali kata “ida” digunakan sebagai pronomina persona ke-2.
Kata ini digunakan sebagai pronomina persona ke-2 untuk orang berkasta. Pun dialek
NP memperlakukan kata “ida” sebagai pronomina persona ke-2.
Silsilah kebenaran “eda”
berasal dari kata “ida” masih perlu kajian lebih dalam. Ini PR bagi para pakar
lingusitik. Akan tetapi, jika dilacak dari fonemnya, sangat mungkin “eda”
berasal dari kata “ida”. Dialek NP biasanya mengucapkan fonem /i/ menjadi /é/. Contohnya, kata /idup/ menjadi /édup/, /idih/ menjadi /édih/,
dan /inget/ menjadi /énget/.
Kuat dugaan bahwa “eda”
merupakan proses adaptasi pengucapan versi dialek NP dari kata “ida”. Namun, penggunaan
kata “ida” bergeser dari acuan aslinya. Aslinya, “ida” digunakan sebagai
pronomina persona ke-3 (dia, ia, beliau), tetapi pada dialek NP digunakan
sebagai pronomina persona ke-2 (kamu, anda). Entah apa yang
melatarbelakanginya.
Jika benar “kola” berasal dari
kata “kawula/ kula” dan “eda” dari “ida”, maka saya melihat (seolah-olah) ada
semacam kedudukan “rasa makna” yang paradoks. Pada kata “kola” terlintas rasa
makna merendahkan diri. Pembicara atau orang pertama menganggap diri terlalu
rendah. Sebaliknya, lawan bicara (orang ke-2) dianggap terlalu tinggi.
Auranya mirip kontak
komunikasi antara rakyat biasa dengan raja pada zaman dahulu. Padahal, realitanya
kontak komunikasi berlangsung antara orang yang sederajat. Mungkin saja, eks
laskar Majapahit yang bukan kalangan bangsawan (seperti yang disebutkan oleh
Zoetmulder) sudah terbiasa merendahkan diri. Sebaliknya, mereka terbiasa
meninggikan lawan bicara terutama ketika berhadapan dengan kalangan ningrat.
Jangan-jangan kebiasaan ini
sulit dihilangkan. Maksudnya, kebiasaan merendahkan diri dihadapan keluarga
ningrat (raja). Bisa jadi kebiasaan ini yang memunculkan karakter “kesadaran” merendahkan
diri dan terbiasa meninggikan lawan bicara (kalangan ningat).
Namun, dalam dinamikanya, kebiasaan
meninggikan lawan bicara tidak hanya berlaku kepada orang yang berdarah ningrat.
Perlakuan penghormatan ini juga berlaku kepada masyarakat umum, tanpa memandang
kelas sosial. Siapa pun lawan bicaranya, semua berhak dihormati.
Bukankah lebih terhormat
meninggikan lawan bicara (orang lain), dibandingkan diri sendiri? Mungkin
filosofi inilah yang hendak ditonjolkan dalam konteks pronomina persona “eda”
dan “kola”. Kita selalu diingatkan untuk meredam ego ke-aku-an. Kita tidak
diperkenankan mengumbar kesombongan kepada siapapun. Karena tanpa disadari,
sikap arogansi (ego) akan memunculkan kealpaan untuk menghargai orang lain.
Meskipun mengandung fiosofi yang
dalam, tetapi penggunaan pronomina persona “eda” dan “kola” tidak berlaku bagi
seluruh penutur bahasa Bali yang tinggal di wilayah Kecamatan Nusa Penida. Ada
beberapa wilayah yang tidak menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola”.
Kebanyakan di wilayah NP bagian barat. Misalnya, di Pulau Nusa Ceningan dan
Pulau Lembongan termasuk Jungutbatu. Mereka menggunakan pronomina persona ke-2
seperti ci atau cai dan cang, raga sebagai
pronomina persona pertama.
Di belahan Pulau Nusa Penida
(Nusa Gede), penutur yang tidak menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola”
ialah Desa Adat Nyuh Kukuh, Kampung Toya Pakeh, Desa Adat Sebunibus dan Desa
Adat Sakti. Biasanya mereka menggunakan pronomina persona kedua seperti ci, cai dan pronomina persona pertama
yakni cang, raga, eba, dan awak.
Sementara, di wilayah timur
Pulau Nusa Penida hanya kalangan dewa
dan ngakan yang tidak menggunakan
pronomina persona “eda” dan “kola”. Mereka menggunakan bahasa Bali yang
standar. Mereka menggunakan pronomina persona seperti tiang, ragane dan lain sebagainya.
Jika dicermati, kebanyakan
penutur wilayah pesisir barat NP tidak menggunakan pronomina persona “eda” dan
“kola”. Tampaknya, mereka lebih terkontaminasi oleh standar bahasa Bali. Hal
ini rasional mengingat (dulu) wilayah pesisir lebih intens melakukan kontak bahasa
dengan masyarakat Bali daratan. Frekuensi kontak inilah yang mungkin
menyebabkan mereka lebih berusaha mendekati standar bahasa Bali.
Hal inilah yang menyebabkan
sikap dan loyalitas berbahasa dialek NP mereka kurang optimal. Pada penutur
pesisir barat, kekentalan dialek NP-nya tampak berkurang. Kenyataan tersebut
mungkin berkaitan dengan dialek geografi. Wayan Jenda dkk (dalam Laksana, 1977)
mengelompokkan bahasa Bali menjadi dua yaitu Dialek Bahasa Bali Daratan dan
Dialek Bahasa Bali Pegunungan (Dialek Bali Aga).
Tampaknya, dialek NP juga
mengalami hal yang sama. Ada kelompok penutur daratan dan pegunungan. Mungkin
penutur pesisir barat NP dapat dikatakan sebagai penutur dialek daratan.
Sisanya, termasuk ke dalam kelompok penutur dialek pegunungan.
Terkait kasus ini, saya
teringat “peristiwa komunikasi” yang biasa terjadi di lingkungan desa saya
(Desa Adat Sebunibus). Jika ada penutur yang menggunakan dialek kental NP, maka
disebut basa gunung-gunung. Contohnya,
ketika menggunakan pronomina persona “eda” dan “kola”. Kosakata ini dikatakan basa gunung-gunung.
Ada kesan seolah-olah bahasa
pesisir dianggap lebih bermartabat. Bahasa yang dianggap lebih mendekati
standar bahasa Bali. Sementara basa
gunung-gunung (dialek NP) dianggap lebih rendah. Anggapan ini tentu sangat
egois. Anggapan yang lebih mendekati pada “pendekatan babad kawitan”—yang
mengagung-agungkan atau meninggikan diri (kelompok) tertentu.
Spirit anggapan yang bertingkat tersebut tentu bertolak belakang dengan filofosi “eda” dan “kola”. Belajarlah dari “eda” dan “kola”. Terus berusaha merendahkan diri dan jangan lupa untuk meninggikan (menghormati) orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar