Daun dan umbi gadung. Sumber
foto:inovasikampusunesa.com |
Masyarakat Nusa Penida (NP) memiliki mental survive dan kreatif yang tinggi. Mental ini teruji saat mereka menghadapi “gumi arig” (krisis pangan). Stok makanan pokok (jagung dan singkong) hampir habis, tetapi musim hujan tak kunjung datang. Dalam konteks inilah, mereka memanfaatkan umbi gadung sebagai alternatif pangan untuk bertahan hidup. Padahal, umbi gadung mengandung racun yang mematikan jika tidak diolah dengan tepat.
Krisis
pangan sudah menjadi cerita yang sangat populer di NP. Cerita ini familiar pada
era 90-an ke bawah. Zaman ketika masyarakat sangat dominan bekerja di sektor
agraris (ladang). Ke-survive-an
mereka sangat tergantung pada hasil ladang yaitu jagung dan singkong. Karena
jagung dan singkong menjadi benteng pangan (makanan pokok) masyarakat NP.
Cerita
krisis biasanya diawali dengan kasus cuaca yaitu kehadiran air hujan. Sistem
pertanian di NP sangat tergantung pada air hujan. Padahal, Pulau NP memiliki sumber
mata air yang berlimpah. Sayangnya, tidak ada satu pun mata air yang mengisi
lekuk tubuh sungai di NP. Semua mata air berada di tebing curam, berdekatan
dengan air laut sehingga alirannya langsung menuju ke lautan.
Karena
itu, air hujan menjadi hakim penentu keberadaan “benteng pangan” yaitu jagung
dan singkong. Jika tanaman jagung dan singkong tidak cukup air hujan, maka
terjadilah panen yang minim bahkan berujung pada keadaan gagal total.
Kejadian
gagal panen cukup rawan menimpa pertanian di NP. Pasalnya, curah hujan di NP
tergolong rendah. Lebih dominan mengalami musim kemarau panjang. Di tambah
lagi, kondisi geografis NP yang tandus dan gersang. Struktur tanahnya
didominasi oleh batu-batu kapur. Sementara lapisan tanahnya sangat tipis.
Dilihat
dari pengolahannya, sistem pertanian di NP masih sangat tradisional atau
konvensional. Sistem pertanian menggunakan “jongkrak” dan “tenggala” sebagai
alat pengembur tanah. Pemupukannya pun sangat sederhana. Para petani
menggunakan kotoran sapi dan babi sebagai pupuk utama. Kemudian, belakangan
mulai menggunakan pupuk kimia.
Kondisi
geografis yang tandus tersebut sangat riskan terhadap hasil panen. Jika tidak
didukung dengan air hujan yang cukup, dipastikan panen jagung dan singkong
sangat minim bahkan berujung gagal total.
Kondisi
geografis sangat mematangkan mental survive
masyarakat NP. Cerita gumi arig bukan
menjadi sebuah ancaman, tetapi menjadi tantangan untuk survive. Karena itu, ketika hasil panen jagung dan singkong di
ambang krisis, masyarakat NP selalu memiliki strategi kreatif untuk tetap
bertahan hidup. Salah satunya memanfaatkan umbi gadung sebagai alternatif pangan
untuk bertahan hidup.
Pemilihan
umbi gadung sebagai pangan alternatif sesungguhnya sangat berisiko. Bukan hanya
bisa menyebabkan mual dan pusing, tetapi juga dapat mengakibatkan kematian—jika
tidak diolah dengan tepat.
Gadung
merupakan tanaman perdu perambat (membelit). Tingginya bisa mencapai 5-10
meter. Batangnya berkayu, silindris, dan memiliki duri sepanjang permukaan
batangnya. Berdaun majemuk, bertangkai dan beranak daun tiga. Bunganya
berbentuk majemuk (harum), berbulir dan muncul dari ketiak daun. Bentuk umbinya bulat dan dipenuhi oleh
rambut akar yang besar serta kaku. Ciri umbi gadung yang siap dipanen ialah
muncul dekat ke permukaan tanah.
Gadung
termasuk tanaman liar di NP. Tumbuh di area semak belukar, di sekitar bawah
pohon juwet, mangga, kom, prasi dan lain sebagainya. Biasanya,
batangnya merambat (membelit) pada pohon yang ada di atasnya. Meskipun tidak
dibudidayakan, gadung tetap tumbuh subur di semak belukar.
Gadung
dapat dikatakan sebagai pangan “pecadang kuang” di NP. Umbinya dipanen jika
masyarakat NP mengalami “gumi arig”. Jika stok jagung dan singkong mencukupi,
masyarakat NP biasanya tidak melakukan panen tambahan (baca: panen umbi gadung).
Sistem
pertanian (ladang) di NP mengalami dua kali panen yaitu panen jagung dan
singkong (ngerih). Pasca ngerih terjadilah
vacuum of plants. Ladang-ladang
menjadi kosong sepanjang musim kemarau.
Proses
menanam dapat dilakukan lagi jika ada ada air hujan. Kehadiran air hujan cukup
sulit diprediksi. Sambil menunggu air hujan, maka masyarakat harus bertahan
dengan stok pangan jagung dan singkong. Apabila hasil panen minim (atau gagal)
dan kemarau berlangsung lama, maka masyarakat
NP terpaksa memanen umbi gadung.
Keterpaksaan
ini mungkin berkaitan dengan proses pengolahan umbi gadung yang dianggap cukup
rumit. Sebelum dikonsumsi, umbi gadung harus mengalami proses pengolahan yang
tepat agar aman dikonsumsi.
Pengolahan Umbi
Gadung
Selain
jagung dan singkong, gadung juga kaya dengan karbohidrat. Hasil beberapa penelitian
menyebutkan bahwa gadung mengandung karbohidrat sebesar 29,7 gram dalam setiap 100
gr gadung segar. Kandungan ini tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan
jagung yang hanya 21 gram.
Di
samping untuk memenuhi kebutuhan gizi, beberapa hasil penelitian juga
menyebutkan bahwa gadung berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit
seperti keputihan, kencing manis, sakit perut, nyeri empedu, rematik dan lain
sebagainya.
Sayangnya,
proses pengolahan gadung tergolong rumit. Dibutuhkan kejelian dan tindakan
esktra hati-hati. Sebab, gadung tergolong umbi yang beracun. Dari beberapa
sumber yang saya baca, umbi gadung mengandung HCN atau zat Alkaloid yang disebut
Dioscorin (C13 H19 O2N).
Zat
inilah yang menyebabkan panas
pada tenggorokan, mual, muntah, pusing, pandangan kabur, bahkan tidak sadarkan
diri. Itu pun kalau mengkonsumsi dalam kadar yang rendah sekali. Jika
umbi gadung dikonsumsi sebesar apel, bisa membunuh seorang pria dalam waktu 6
jam. Wah, bahaya banget, kan!
Karena
itu, masyarakat NP mengolahnya dengan sangat hati-hati dan tepat. Di kampung
saya, pengolahan umbi gadung ini harus mengalami proses inti yaitu “nabahang”. Umbi
gadung direndam ke dalam air laut selama beberapa jam.
Kata
“nabahang” mungkin berasal dari kata “tabah” yang bermakna tawar (menetralisasikan).
Jadi, “nabahang” bermakna kurang lebih membuat menjadi tawar. Maksudnya, menghilangkan
kandungan racun dalam umbi gadung.
Proses
“nabahang” diawali dengan kegiatan menguliti umbi gadung. Umbi gadung yang
dipanen dikupas kulitnya terlebih dahulu dengan menggunakan pisau. Kemudian,
diiris-iris tipis. Hasil irisan ini dijemur hingga kering. Jika panas terik
seharian, dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
Selanjutnya,
irisan umbi gadung yang kering dimasukkan ke dalam kantong beras (karung) atau “sondung”
(wadah kantong yang dianyam dari daun kelapa)—dan siap masuk ke proses
“nabahang”. Karung atau “sondung” yang berisi irisan umbi gadung kering siap
dibawa ke laut.
Sebelum
direndam ke dalam air laut, karung/ “sondung” terlebih dahulu diikat dengan
tali. Tujuannya agar kantong-kantong yang berisi irisan umbi gadung itu tidak
diseret arus air laut. Tali-tali inilah yang dipegang oleh sang penabahang. Kalau tidak dipegang,
biasanya diikat pada patok atau benda lainnya yang ada di darat. Yang penting
kantong tidak diseret air laut hingga lepas.
Proses
“nabahang” ini membutuhkan waktu kurang lebih 24 jam. Awalnya, gadung direndam
selama kurang lebih 15 jam tanpa diutak-atik. Proses berikutnya, umbi gadung
diaduk-aduk sambil diremas menggunakan jari tangan. Proses pengadukan-peremasan
ini bertujuan untuk menghilangkan racun gadung dengan cepat. Biasanya ditandai
dengan keluarnya warna putih keruh.
Tahap
pengadukan dan peremasan dilakukan berulang-ulang. Kantong ditarik ke pinggir
daratan, dibuka lalu umbi gadung diaduk sambil diremas-remas. Kemudian,
kantong-kantong direndam kembali ke dalam air laut. Tahap peremasan ini harus
dilaksanakan secara konsisten hingga mencapai total waktu kurang lebih 24 jam.
Proses
terakhir ialah penirisan. Kantong-kantong yang berisi umbi gadung diangkat ke
permukaan dalam waktu menitan. Tujuannya, agar air laut keluar dari
kantong-kantong bersama sisa-sisa unsur selama proses “nabahang”. Selanjutnya,
gadung siap diangkut ke rumah dan siap dikonsumsi.
Di
kampung saya, umbi gadung yang sudah di-tabahang
biasanya diolah menjadi penganan yang sederhana. Yang paling populer ialah
dikukus. Irisan-irisan umbi gadung dikukus hingga matang. Kemudian, disajikan
hampir sama dengan jajan Bali pada umumnya.
Umbi
gadung di tempatkan ke dalam wadah tertentu (misalnya piring, mangkuk, tekor, dan lain sebagainya) bersama parutan
daging kelapa. Di atasnya, ditaburi dengan gula ganting (gula merah yang sudah dicairkan).
Jangan
tanya rasanya! Jeg pasti mbak nyuss. Apalagi disuguhkan bersama
minuman pendamping seperti kopi atau teh hangat. Ciri khas daging umbi gadung NP
ialah tekstur dagingnya kenyal. Kenyalnya seperti mental survive masyarakat NP dalam menghadapi gumi arig atau krisis pangan.
0 komentar:
Posting Komentar