Sungai
menjadi arena “tapa mentas” di Nusa Penida. Foto: I Ketut Serawan |
Era 90-an ke bawah,
momen hujan bagi anak-anak di kampung saya mengundang dua tafsir rasa yang
kontradiktif yaitu kesenangan dan ketakutan. Kesenangan, karena anak-anak dapat
bebas bermain hujan-hujanan. Ketakutan, karena hujan dijadikan momen oleh
“tapa” (perwujudan naga) untuk melintasi sungai-sungai di Nusa Penida. “Tapa”
ini sering meminta korban manusia (pengiring)
sebagai pengikutnya. Konon, korbannya terhipnotis begitu saja lalu menceburkan
diri ke sungai dan terseret arus deras bersama sang “tapa”.
Menurut
almarhum Kakek Kamasan (kakek saya), “tapa” adalah seekor naga besar. Seluruh
permukaan kulitnya dipenuhi dengan sisik berwarna kuning keemasan. Bahkan,
gelung atau mahkotanya pun mengkilap berwarna keemasan.
Konon,
“tapa” itu adalah manifestasi atau perwujudan seorang pertapa yang hendak naik
kasta ke bangsa dewa. Sebelum sempurna “meraga” (berwujud) dewa, maka sang
pertapa harus melewati proses panjang yakni bertapa di Puncak Bukit Mundi,
puncak tertinggi di Nusa Penida.
Salah
satu tahapan proses yang harus dilewati oleh sang pertapa adalah perubahan
fisik. Ya, mungkin semacam metamorfosis fisik. Entah hitungan hari ke berapa,
tubuh sang pertapa berubah menjadi seekor naga besar.
Selanjutnya,
naga emas ini menunggu momen “mentas” (turun gunung/ bukit). Momen mentas ini tidak boleh sembarangan. Jika
sembarangan, maka prosesi “mentas” dari sang “tapa” bisa jadi gagal total.
Dulu
sekali, konon pernah ada kejadian “tapa” gagal “mentas”. Ketika “mentas” dari
Puncak Bukit Mundi, di tengah perjalanan badan sang “tapa” dalam kondisi kandasan. Air sungai tidak cukup dalam
dan kekuatan arusnya lemah. Hal ini membuat tubuh sang ”tapa” tersangkut di
suatu tempat tertentu dan tidak berhasil mencapai lautan.
Prosesi
“mentas” seperti itu dianggap gagal. Artinya, peluang sang pertapa untuk naik
kasta ke bangsa dewa dipastikan gagal. Sia-sialah proses pertapaan yang
dilakukan oleh sang pertapa selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau
bertahun-tahun di Puncak Bukit Mundi.
Karena
itu, momen “mentas” oleh sang “tapa” harus betul-betul mempertimbangkan kondisi
alam. Setidak-tidaknya, harus memperhatikan dua faktor penting yaitu kedalaman
air sungai dan kekuatan arusnya. Tubuh naga yang besar harus dipastikan dapat
terdorong atau terseret oleh arus air sungai. Tidak boleh ada benda-benda lain
yang bisa menghambat laju tubuh naga itu.
Tubuh
naga harus melaju melewati setiap lekuk sungai hingga mencapai titik terakhir
yaitu laut. Ya, lautan! Atas pertimbangan ini, maka konon sang “tapa” lebih
memilih “mentas” pada saat blabar agung
(banjir besar). Bisa dibayangkan volume dan kekuatan air sungainya. Pasti dalam
dan deras. Kondisi ini akan mempercepat dan memuluskan perjalanan sang “tapa”
mencapai tujuan (baca: lautan).
Selain
kelancaran prosesi “mentas”, konon sang “tapa” juga membutuhkan pengiring (pengikut) untuk mendampingi
perjalanannya menuju lautan. Pengikut itu bisa hewan seperti sapi, babi, anjing
dan termasuk manusia. Korban manusia inilah yang terdengar paling mengerikan,
terutama di telinga anak-anak.
Karena
itu, anak-anak tahun 90-an ke bawah sangat patuh dan tunduk dengan cerita sang
“tapa” tersebut. Para orang tua melarang anak-anaknya bermain hujan-hujanan jika
hujan turun dengan lebat. Apalagi hujan lebat itu turun seharian atau
berhari-hari. Anak-anak harus tinggal di rumah. Tidak boleh bermain ke luar,
apalagi sampai mendekati sungai. Terlebih lagi melintasi sungai. Tidak boleh!
Misteri Cerita “Tapa”
Cerita
“tapa” melekat dan membentuk imaji yang begitu kuat di otak bawah sadar
anak-anak. Hujan deras selalu menyimpan keraguan bagi anak-anak. Di satu sisi,
ada keinginan kuat untuk keluar bermain hujan-hujanan. Di sisi lain,
bayang-bayang “tapa mentas” setiap saat membangunkan memori ketakutan mereka.
Perang
keraguan tersebut seolah-olah menjadi pertarungan batin bagi anak-anak. Bahkan,
tanpa disadari sudah mendarah daging. Namun, bukan berarti riak-riak perlawanan
itu nihil. Ketika saya SD kelas 5 (tahun 1991), riak perlawanan atau
pengingkaran mulai muncul cukup kuat. Entah dari mana datangnya. Dalam hati,
pokoknya saya kurang meyakini kejadian cerita itu sebagai realitas.
Mungkin
karena selama masa kanak-kanak hingga saya SD, tidak pernah kudengar lagi
masyarakat mengalami seperti yang dituturkan oleh Kakek kamasan. Faktor ini
perlahan-lahan mengikis keyakinan saya terhadap cerita “tapa” itu. Sampai
akhirnya, saya berkesimpulan bahwa cerita “tapa” itu hanya hayalan (fiksi)
belaka.
Namun,
belum “sempurna bulat” pengingkaran saya terhadap cerita “tapa” itu, kakak
sepupu saya membobolnya dengan realitas. Sekitar tahun 1992, ia hampir menjadi pengiring sang “tapa”—kalau tidak
diselamatkan oleh nenek Semi (istri dari kakak kakek saya).
Kejadiannya
kira-kira pukul 18.00 sore. Ketika menyeberangi Tukad Lanjang, persis di atas jembatan, kakak sepupu saya tiba-tiba
berhenti. Ia setengah berteriak kepada nenek Semi, ketika di depannya (sebelah
barat) melintas seekor naga emas. Kakak sepupu saya yang masih remaja waktu itu,
tiba-tiba hendak menceburkan diri ke sungai.
Dengan
kekuatan penuh, kedua tangan nenek Semi memegang kuat lengan kakak sepupu saya,
lalu menyeretnya melewati jembatan tersebut. Sempat terjadi adegan
tarik-menarik antara nenek Semi dan kakak sepupu saya, dalam hitungan beberapa
menit. Namun, adegan itu dimenangkan oleh nenek Semi.
Entah
kekuatan apa yang merasuki nenek Semi. Padahal, secara umur, fisik dan tenaga
nenek Semi jauh di bawah kakak sepupu saya. Ajaibnya, nenek Semi berhasil menarik
dan menggiring kakak sepupu saya berjalan hingga selamat sampai ke rumah (dimel).
Sebetulnya,
perjalanan mereka tidak mendapat restu dari keluarga di jumah desa. Keluarga jumah
desa sudah melarang mereka pulang ke rumah (kamel, ke kubu), sebab hujan deras terjadi dari malam dini hari
hingga keesokan harinya. Kemudian, hujan mereda menjelang sore harinya.
Karena
dianggap sudah reda, kakak sepupu saya dan nenek Semi nekad jalan kaki pulang
ke rumah. Tindakan nekad ini hampir berujung maut pada kakak sepupu saya.
Beruntung, Tuhan (melalui tangan nenek Semi) berhasil menyelamatkan kakak
sepupu saya dari tragedi maut itu.
Kejadian
ini membuat gempar warga di kampung saya. Orang-orang pakrimik (ngegosip) menceritakan kejadian itu secara
estafet, dari satu mulut ke mulut yang lainnya, dari rumah ke rumah, dari
ladang ke ladang hingga tempat pergumulan sosial. Aura cerita ini membuat
anak-anak kembali pada ketakutan purba. Mereka meyakini eksistensi “tapa” itu
nyata adanya. Tak ada celah penyangkalan.
Sebaliknya,
para orang tua berusaha mencari celah penyangkalan atas kejadian tersebut.
Andai saja kejadian itu dialami oleh anak-anak, mereka yakin cerita itu hanya
bualan semata. Akan tetapi, kejadian ini dialami oleh seorang gadis dan seorang
nenek. Dari sini, warga menjadi bimbang. Karena sangat kecil peluangnya seorang
nenek Semi (istri Jro Mangku) membuat cerita rekayasa.
Orang-orang
di kampung saya menjadi tunduk. Beberapa yang hendak menyangkal, hanya bergumam
dalam hati. Mereka biarkan pertanyaan-pertanyaan penyangkalannya mengendap dalam
sanubarinya masing-masing. Sebagian lagi, membiarkan rasa keraguannya berhembus
bersama angin esok yang terus bergerak. Hingga waktu meninggalkan cerita itu
hampir 29 tahun lamanya.
Modernisasi
kian menggerus kampung saya. Cerita “tapa” yang dialami kakak sepupu saya
semakin tenggelam dari permukaan. Tak laku untuk diceritakan karena kalah jauh
dengan cerita-cerita di dunia maya (medsos), yang setiap detik bisa berubah
kisah.
Meskipun
demikian, cerita “tapa” dari kakek saya dan kejadian yang dialami oleh kakak
sepupu saya tetap saja menyimpan misteri hingga sekarang. Bahkan, misteri yang
dikandungnya cukup unik. Ganda. Bukan hanya cerita tapa-nya, melainkan kejadian yang dialami kakak sepupu saya, juga menyimpan
misteri yang menarik.
Aspek
misterius inilah yang mungkin membuat mitos selalu menarik untuk diceritakan.
Namun celakanya, seringkali masyarakat sekarang membenturkan mitos (cerita) dengan
fakta. Pernah mendengar ungkapan “Mitos atau fakta?” Dalam konteks ini, mitos seolah-olah
dianggap sebagai pecundang, tidak benar, bohong, tidak masuk akal (halu).
Padahal,
sebagai sebuah karya sastra, mitos tidak lahir dari kekosongan sosial. Begitu
juga dengan cerita “tapa”. Setidaknya, ia lahir dari denyut atau riuh sosial
(masa lampau) yang pernah terjadi di Nusa Penida. Kemudian, riuh atau
fakta-fakta sosial ini yang ditafsirkan dan diolah menjadi cerita (mitos) yang
sarat pesan moral.
Saya
menduga bahwa cerita “tapa” itu berkaitan dengan tragedi banjir besar yang
memakan korban jiwa di NP. Bisa jadi (dulu) pernah ada kejadian orang NP
terseret air sungai akibat banjir besar. Fakta ini sangat mungkin karena
jembatan penyeberangan sungai zaman dulu tentu sangat sederhana, tidak
secanggih sekarang.
Artinya,
potensi orang hanyut atau diseret arus deras sungai sangat besar. Mengapa harus
dikaitkan dengan hujan deras? Pertama, karena hujan deras menyebabkan volume
air sungai menjadi bertambah tinggi. Kedua, sungai di NP termasuk sungai tadah
hujan. Sungai akan terisi air apabila curah hujan cukup lebat. Kalau tidak,
maka sungai menjadi kering kerontang.
Mengapa
“tapa” disimbolkan dengan naga? Mungkin karena lekuk fisik sungai memang
menyerupai ular. Panjang berkelok-kelok. Jika dilihat dari kejauhan, bentuk air
sungai tak ubahnya seperti ular raksasa.
Pesan Moral Cerita “Tapa”
Lalu,
pesan moral apa yang hendak disampaikan dalam cerita “tapa” itu? Pesan moral
yang dikandungnya cukup jelas. Kejelasan pesan ini tampak dari sosok “tapa” itu
sendiri. Dilihat dari esensi katanya, “tapa” merupakan bentuk dasar dari metapa (bertapa). “Tapa” bermakna kurang
lebih menahan hawa nafsu/ keinginan.
Lewat
esensi tokoh “tapa”, cerita ini ingin mengedukasi masyarakat agar bertapa
tatkala hujan deras. Maksudnya, masyarakat diharapkan menunda keingingan
bepergian jika hujan turun deras, apalagi sampai menimbulkan banjir besar.
Pesan
tersebut sangat rasional, karena hujan deras (banjir besar) sangat berbahaya
bagi makhluk hidup seperti hewan dan termasuk manusia. Titik paling berbahaya
ketika banjir besar tentu areal sungai. Sungai merupakan tempat berkumpulnya
air hujan. Jika dalam kondisi begini, manusia tetap ingin menyeberangi, risiko
diseret air sungai sangat besar.
Dari
cerita “tapa” ini juga tersimpan pesan agar manusia dapat menjalin harmonisasi
dengan alam. Manusia diharapkan menghargai proses kerja alam. Alam memiliki
waktu dan cara tersendiri dalam menjaga keseimbangannya. Ketika daratan
dipenuhi dengan air hujan, alam memiliki cara yakni mengirim debit air hujan ke
laut melalui sungai. Cara kerja alam ini harus dihargai oleh manusia, dengan
cara tidak bepergian melintasi sungai.
Selain
itu, cerita “tapa” juga mengandung unsur alarm (peringatan) kepada generasi
berikutnya bahwa pernah terjadi korban banjir ketika hujan lebat. Tragedi ini
jangan sampai terulang lagi pada hari-hari mendatang. Kalau tidak nihil,
minimal korban dapat diminalisasikan. Karena itu, sebaiknya batalkan rencana
keinginan bepergian ketika hujan lebat (apalagi berefek banjir besar).
Jadi, cerita “tapa” merupakan tonggak peringatan bahaya dan sekaligus sebagai bel kewaspadaan. Dari cerita ini, masyarakat hendak disadarkan agar selalu eling terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh hujan lebat. Kewaspadaan adalah kunci penting agar selamat dari marabahaya banjir. Dan yang paling penting lagi yakni meredam ego bepergian dengan cara bertapa, menunda rencana bepergian ketika hujan lebat turun berhari-hari.
Karena itu, kepatuhan anak-anak tidak melampiaskan ego bermain hujan-hujanan ketika hujan lebat juga merupakan bentuk tapa. Tapa agar terhindar dari marabahaya. Biarkan hujan lebat menjadi pelampiasan abadi bagi sang “tapa” melintasi sungai sendirian, tanpa pengikut. Karena “tapa” sesungguhnya air sungai itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar