![]() |
Orang NP menyebut "raden" untuk babi jantan (spesialis yang mengawini bangkung) |
Siapa bilang kata “raden” hanya dikenal di Pulau Jawa? Di Pulau Nusa Penida juga mengenal kata “raden”. Namun, makna dan referensinya (acuan) berbeda. Kata raden dalam kebudayaan Jawa mengacu pada gelar kebangsawanan (keturunan raja). Sedangkan di NP mengacu kepada babi yaitu spesialis pejantan yang mengawini babi betina (bangkung).
Saya
sudah menanyakan kepada beberapa tetua di kampung saya perihal lema “raden”
ini. Mengapa disebut raden? Apa latar
belakangnya? Semuanya kompak memberikan jawaban yang sama. “Nak mula hento
uling pidan ta” (memang begitu adanya dari dulu).
Saya
hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, menerima klise jawaban tersebut.
Walaupun dalam hati, saya tetap ingin jawaban silsilah. Setidaknya, ada sejarahnya-lah.
Atau sejenis mitos yang berkaitan dengan penamaan atau istilah “raden”
tersebut.
Daripada
ruwet-ruwet berpikir, saya langsung membongkar
ilmu lingusitik zaman kuliah dulu. Ilmu linguistik yang berkaitan dengan proses
pembentukan kata/ istilah dalam suatu bahasa. Salah satu prosesnya disebutkan
bersifat arbitrer (manasuka). Tidak diketahui proses pembentukan kata atau
istilah tersebut. Artinya, pembentukan kata oleh kelompok penutur adakalanya (bahasa) bersifat “suka-suka gue”.
Mengapa
penutur bahasa Indonesia menyebut “burung” (kode) untuk binatang berkaki dua,
bersayap, yang biasa terbang? Lalu, mengapa penutur bahasa Bali menyebutnya
dengan kata “kedis”? Pada kasus arbitrer, perbedaan sebutan ini tidak perlu
dipersoalkan. Pun tidak penting apa alasan di balik penentuan kata itu.
Prinsip
arbitrer memberikan kebebasan seluas-luasnya (otoritas) kepada kelompok penutur
bahasa tertentu untuk menentukan istilah (kode) tersendiri. Yang penting,
penentuan kata/ istilah itu sudah menjadi konsensus (kesepakatan) bersama oleh
kelompok penutur tertentu. Artinya, antara kata (kode), makna kata dan acuan
benda yang dimaksud (referensi) sudah diketahui bersama-sama.
Mungkinkah
istilah “raden” oleh penutur bahasa Bali dialek Nusa Penida termasuk kasus
arbitrer? Sangat mungkin. Ya, karena pendukung penutur dialek Nusa Penida tidak
dapat menjelaskan latar belakang penentuan kata raden tersebut. Pun belum
pernah saya baca penelitian linguistik yang menjelaskan tentang kasus kata “raden”
ini.
Jadi,
sepanjang tidak bisa dijelaskan alasan atau latar belakang di balik penentuan
istilah “raden”, maka ia dimasukkan ke kantong kasus arbitrer . Lalu, bagaimana
jika sewaktu-waktu ada orang yang dapat menjelaskan latar belakang penentuan kata
itu? Masihkah kata itu dimasukkan ke ranah arbitrer?
Mungkin
saja akan gugur secara otomatis. Hal ini berarti status “ke-arbitrer-an” kata tertentu
dapat saja sewaktu-waktu berubah. Begitu juga dengan kata “raden”. Saya
mencurigai penentuan kata “raden” memiliki dasar pilihan. Bahkan, dasar
pilihannya bisa jadi berkorelasi dengan kata raden Jawa yang mengacu pada gelar
darah kebangsawan (darah keturunan raja).
Korelasi Kosakata Raden
Sebelum
membahas titik temu kedua kosakata raden ini, ada baiknya saya jelaskan
deskripsi tentang raden NP terlebih dahulu. Pada umumnya, raden NP berasal dari
jenis babi lokal (Bali) dan memiliki karakter yang sangat kuat. Dalam dunia
“per-babi-an di NP, raden sangat ditakuti dan segani oleh kelas babi manapun.
Semua babi betina/ jantan baik kecil maupun yang besar pasti takut dengan
raden.
Artinya,
raden NP memiliki potensi energi power (berkuasa), mendominasi dan
menghegemoni. Aura power (kuasa) inilah yang mungkin membuat nyali babi-babi
lain menjadi ciut. Anak-anak babi (yang lepas) pasti memilih berlari menjauh jika
melihat seekor raden. Sementara, babi-babi yang terikat di bawah pohon akan meronta-ronta
ketakutan melihat raden. Mereka meronta-ronta hendak melepaskan diri dari
ikatan tali yang ada di pangkal leher atau kakinya.
Secara
fisik, raden memiliki bodi yang berbeda dengan babi pada umumnya. Raden
memiliki dua taring yang cukup panjang dan tajam, Ia juga memiliki bulu-bulu panjang
yang jering (berdiri) dari leher
hingga sepanjang punggungnya. Bodinya gede
ganggas (tinggi besar), memiliki testis (dua buah pelir) yang lengkap, suaranya
khas (berpower) dan memiliki sorot mata yang menggetarkan (tajam).
Tampilan
fisik tersebut tidak hanya menggetarkan “bangsa” babi, termasuk beberapa hewan peliharaan
lainnya. Bahkan, bangsa manusia pun gentar melihat penampilan fisik dari sang
raden. Jika dibandingkan dengan hewan peliharaan lainnya di NP, raden memang
termasuk hewan yang paling ditakuti.
Selain
tampilan fisik yang menggetarkan, raden juga memiliki karakter buas, pemberani,
egois dan tidak suka diatur atau dilawan. Jangankan orang lain, tuan pemilik
raden pun harus hati-hati terhadap karakter raden ini. Jika tidak sesuai dengan
kemamauannya, raden tidak segan-segan menyerang siapa pun termasuk tuannya.
Namun,
di balik kebuasannya, raden memiliki tugas utama yaitu mengawini babi betina
yang libido. Raden mempunyai kuasa penuh mengawini babi betina manapun. Sebagai
upah mengawini, raden memiliki kuasa penuh atas satu anak bangkung yang dikawininya. Mungkin semacam upeti yaitu persembahan
untuk jasa si raden. Upeti ini diterima oleh tuan sang raden.
Di
kampung saya, perihal perkawinan raden ini sudah diatur sejak dahulu kala.
Peraturan ini dirumuskan secara lisan melalui konsensus di kalangan masyarakat.
Semua masyarakat tunduk dan menjunjung tinggi peraturan tersebut.
Dalam
sekali perkawinan, pihak pemilik raden berhak memperoleh “bebinjat” (anak
bangkung) dari pemilik bangkung. Bebinjat ini diserahkan oleh pemilik bangkung setelah berumur 3 bulan.
Kemudian,
pemberian jenis kelamin bebinjat juga
diatur sedemikian rupa. Apabila pengguna jasa raden memberikan bebinjat jantan, maka mendapatkan free sekali. Artinya, penggunaan yang kedua kalinya
berarti gratis. Begitu seterusnya. Sebaliknya, jika menyerahkan bebinjat betina, tidak ada istilah gratis. Setiap penggunaan jasa raden,
pemilik bangkung wajib memberikan bebinjat betina.
Sekitar
awal tahun 2000-an, perihal bebinjat ini
mulai dihapuskan. Pola pikir modern menyebabkan masyarakat ingin hasil instan.
Pemilik raden tidak sabar menunggu hasil bebinjat
selama 3 bulan. Karena itu, sistem bebinjat
diganti dengan uang kontan. Setiap melakukan perkawinan, pemilik bangkung memberikan upah uang sebesar Rp
100.000.
Pemberian
jasa Rp 100.000 ini berlaku tanpa pengecualian. Berhasil atau tidak pembuahan
sang raden, pemilik bangkung harus
tetap membayar. Sedangkan, sistem bebinjat
menganut pengecualian. Jika hasil pembuahan sang raden gagal (bangkung tidak punya anak), maka sistem bebinjat otomatis gugur (tidak berlaku).
Lantas,
di mana titik temu raden Jawa dan raden NP? Jika mencermati sekilas tentang deskripsi
raden di atas, maka raden NP tergolong sosok yang istimewa, berbeda dengan babi
pada umumnya.
Raden
NP memiliki ciri (tampilan) fisik yang berbeda dengan babi lainnya. Ciri fisik ini
menyebabkan raden sangat ditakuti oleh bangsa babi, hewan lain dan termasuk
manusia. Begitu juga dengan raja zaman dulu. Raja biasanya memiliki tampilan
berbeda dengan bawahan apalagi rakyatnya. Hal ini berarti raden memiliki aura
seperti raja. Disegani dan ditakuti oleh bangsanya, bahkan oleh bangsa lainnya.
Raden
NP juga memiliki karakter buas, pemberani, egois, dan tidak suka dilawan.
Mungkin karakter ini juga dimiliki oleh para raja zaman dulu. Raja dianggap
sebagai manusia setengah dewa bahwa titisan dewa. Karena itu, titah raja tidak
boleh dilanggar atau dilawan.
Semua
ego raja harus dituruti. Raja merupakan penentu segalanya termasuk nyawa
seseorang. Jika raja tidak suka dengan individu atau sekelompok orang, raja
bisa saja menjelma menjadi orang bengis (buas, kejam). Raden dianggap memiliki
kemiripan karakter dengan raja.
Jika
raja pasti memiliki kekuasaan penuh, raden NP pun memiliki kekuasaan penuh. Ia
berkuasa mengawini babi betina manapun dan termasuk berkuasa atas bebinjat. Persembahan salah satu anak
hasil perkawinannya dengan si bangkung.
Saya
mencurigai bahwa kemiripan keunikan tampilan, karakter dan kuasa inilah yang
menjadi dasar istilah “raden” disematkan kepada spesialis pejantan yang
mengawini bangkung ini.
Kemiripan-kemiripan ensensial ini mungkin yang menguatkan raden NP dianggap
seperti raja. Ada darah (baca: kemiripan karakter) raja mengalir pada “raden”
NP.
Apakah
analisa ini hanya “cocoklogi”? Terserah Anda! Mungkin Anda mempunyai analisa
lain? Silakan. Atau Anda berpikir, “Males, ah! Nggak usah berpikir
ruwet-ruwet.” Artinya, Anda ingin memvonis raden NP dengan palu “arbitrer”.
0 komentar:
Posting Komentar