Ular Tangga
Oleh
Kanaka
Saraswati
Foto ilustrasi: misterisejarahhin.blogspot.com |
Aku bersila di atas kasurku. Di kelilingi papan ular tangga usang, rapuh, dan hamburan dadu serta bidak yang mulai rusak. Dadu di samping papan menunjukan angka 6. Ada 4 bidak di sekelilingnya. Bidak itu berwarna merah, biru, hijau, dan kuning. Semuanya terlihat kusam.
Saat melihat papan itu, pikiranku selalu diseret ke masa lampau. Masa-masa bersama ayahku. Dulu, setiap pulang sekolah aku selalu pergi ke sawah. Membawakan makan siang untuk ayahku sambil membawa papan ular tangga. Sembari melepas letih, aku dan ayah sering bermain ular tangga.
Setiap kali bermain, ayahku selalu menyisipkan
nasihat-nasihat kecil.
"Yaah… dapat angka satu," keluhku karena mendapat
angka dadu yang bernilai satu.
"Jangan mengeluh seperti itu! Kita harus mensyukuri apa
yang sudah kita dapatkan karena rezeki yang kita dapatkan adalah nasib kita dan
kehendak yang kuasa," ujar ayahku.
Itulah ayahku. Dia selalu menjadikan ular tangga sebagai
cermin untuk kehidupan. Dia selalu memberikan nasihat bijak kepadaku. Karena
itu, aku jadi lebih mengerti tentang kehidupan lewat ular tangga.
Seusai bermain, aku membantu ayah bekerja di sawah. Jika
tidak ada pekerjaan, aku akan bermain di tepi sawah. Aku selalu bermain
perahu-perahuan di selokan irigasi sawah.
Perahu mainanku kubuat dari daun pisang. Kupotong daun
pisang yang sudah agak tua. Aku memotongnya menggunakan pisau ayahku. Lalu, aku
memisahkan daun itu dengan tulang daunnya. Tulang daun pisang yang sudah
terpisah dari daunnya, kubagi menjadi tiga bagian lalu aku potong. Selanjutnya,
aku rakit dan kusambung ketiganya dengan lidi. Bagian yang paling besar
kujadikan badan perahu dan sisanya untuk
lengan di samping perahu. Perahuku pun jadi dan aku memainkannya sendiri.
Meski bentuknya tidak mirip dengan perahu sungguhan, aku
tetap bermain dengan gembira. Aku membayangkan diriku sebagai nahkoda perahu
itu. Hal itu karena aku memang bercita-cita menjadi seorang nahkoda kapal.
Bersama ayah, hari-hariku berlalu dengan penuh warna dan
tidak membosankan. Selalu ada kejutan-kejutan nasihat dari ayah. Suatu hari, ketika
bermain ular tangga dengan ayah, aku mendapatkan angka enam pada dadu. Setelah
aku menjalankan bidakku, ayah menyuruhku mengocok dadu sekali lagi.
"Yeay, aku dapat enam."
"Jangan terlalu gembira. Hidup itu harus dijalani
dengan tenang dan tidak berlebihan. Karena semua pasti akan merasakan susah,
senang, hidup dan mati. Semua yang berlebihan itu selalu membawa
penyesalan," balas ayahku.
Kata-kata singkatku menjadi bahan oleh ayah untuk memberikan
nasihat kehidupan padaku. Papan ular tangga dan bidak yang berada di tempatnya
hanya menjadi penonton setia saat ayahku berceramah.
"Sekarang giliranmu lagi."
"Ayah, kenapa setiap mendapat nilai enam pada dadu kita
mengocok dua kali?"
"Itu karena dalam permainan ular tangga enam adalah
nilai tertinggi. Jadi, jika kita mendapat enam kita bisa mengocok dadu sekali
lagi."
"Tapi ayah, enam kan sudah banyak kenapa diberi
kesempatan lagi? Seharusnya saat kita mendapat nilai satu kita diberi
kesempatan kedua untuk mendapatkan nilai yang lebih besar," balasku.
"Jika kau mendapat nilai kecil saat ulangan di sekolah,
apakah kau mendapat hadiah?"
"Tidak."
"Ular tangga juga sama. Saat kau mendapat nilai besar
kau akan diberi hadiah. Hadiahnya adalah giliran tambahan," jelas ayahku.
Itulah hal yang selalu kulakukan bersama ayahku. Tapi ada
satu hal yang aku herankan dari ayahku. Sebenarnya, uang ayah cukup untuk
membeli papan permainan ular tangga, bahkan lebih dari cukup. Namun, ayah tidak
pernah mau mengganti papan tua itu dengan yang baru.
"Saya yakin, ayah mampu membeli papan ular tangga baru.
Tapi, kenapa ayah tidak mau mengganti papan ini?" tanyaku.
"Ada yang istimewa dari papan ini nak," balas ayah
penuh teka-teki.
"Apa istimewanya papan tua seperti ini, Yah?"
"Kita tidak boleh memandang sesuatu dari bentuk luarnya
saja. Kita harus mengetahui makna di balik itu," jelas ayah.
"Huh, ayah selalu mengalihkan pertanyaannya dengan nasihat."
"Ayah melakukan itu untukmu."
"Iya.. , aku tahu itu."
Hari menjelang senja. Aku dan ayah segera membereskan barang
dan pulang ke rumah. Di perjalanan, aku masih memikirkan alasan ayah
mengistimewakan papan tua itu. Kira-kira apa alasannya, ya? Aku benar-benar
bingung dan penasaran.
Sampai sekarang aku tidak tahu alasannya. Kini ayahku sudah
tiada. Aku tak bisa bertanya pada siapa pun.
Namun, suatu hari, saat aku pulang kerja, aku melepaskan
pakaian kerjaku dengan topi nahkoda yang kukenakan. Ya, aku telah mencapai
cita-citaku yang dulu kuimpikan. Sekarang, aku sudah menjadi seorang nahkoda. Hasil
dari uang tabungan ayahku dulu.
Aku membuka pintu kamar ayahku dengan perlahan-lahan. Saat
dibuka, pintu tua itu mengeluarkan suara. Kamar ayahku masih rapi. Aku melihat
ke arah lemari tua milik ayahku. Baju di dalam lemari masih tertata rapi. Aku
membuka laci di dalam lemari dan kulihat papan ular tangga yang dulu sering kumainkan
dengan ayahku.
Aku mengambil papan itu. Di bawah papan tua itu kulihat
sebuah foto usang. Foto itu terlihat kuno dan berwarna hitam putih. Sosok
seorang pria tua bersama anak laki-laki. Aku membalikkan foto itu dan kubaca
tulisan di baliknya. "Hanya ini yang bisa bapak berikan kepadamu,
nak".
Aku memeluk foto itu dan meneteskan air mata. Aku berlari ke
kamarku dan melompat ke kasur dengan cepat. “Aku merindukanmu, Ayah.”
Seharian aku bersedih di kamar. Tak ada seorang pun yang tahu. Aku mengusap foto itu dan mengambil sebuah bingkai kecil. Bingkai itu berwarna coklat muda keemasan. Aku membingkai foto tua itu dan memajangnya di dinding kamarku. Aku memajangnya tepat di hadapan tempat tidurku. Hari itu berlalu. Aku memejamkan mata untuk hari-hari selanjutnya. (Editor, I Ketut Serawan)
0 komentar:
Posting Komentar