Jumat, 18 Juni 2021

 

Ada Manusia Pingin Mati

Oleh

Komang Andika Prasetya


Ilustrasi gambar: https://pixabay.com

            Ada manusia yang pingin mati. Namanya Mronges. Sejak sebulan belakangan, keinginannya untuk mati begitu kuat. Entah apa yang merasukinya? Pokoknya ia tidak ingin hidup. Ingin mati titik.

Berbagai usaha sudah ditempuhnya. Ia sudah mencoba menabrakkan dirinya di tengah keramaian lalu lalang kendaraan di kota. Namun, gagal. Kemudian, dia mencoba meloncat dari jembatan layang, tower, dan gedung pencakar langit. Hasilnya, nihil. Ia tetap selamat dan hidup.

Ia terus berdoa, memohon ketidakselamatan. Akhirnya, doanya terjawab. Sebuah gempa dahsyat melanda tempat tinggalnya. Orang-orang berlarian keluar gedung mencari titik aman. Sementara, rumah-rumah warga hancur rata.

Mronges senang. Ia berharap kejadian ini akan menghabisi hidupnya. Karena itu, ia memilih diam seorang diri di rumahnya. Sementara itu, atap, dinding, dan jendela rumahnya roboh mengubur dirinya. Sekali lagi, ia tetap saja selamat. Hanya bermandikan debu, tetapi sama sekali tidak mengalami luka.

Para warga di kampung Mronges menjadi heran dan sekaligus kebingungan. Banyak warga mengatakan bahwa Mronges merupakan orang sinting. Banyak pula yang mengatakan Mronges sedang memperdalam ilmu kebal. Sebagian lagi mengatakan Mrogres dilanda stres berat.

“Saya yakin Mronges pasti belum bisa menerima kejadian 5 tahun yang lalu,” kata Bli Kenyat sambil bergotong-royong membersihkan puing-puing bangunan bersama para warga lainnya.

“Sudah pastilah, Bli!” jawab Bli Sengap menimpali. Para warga lain hanya mengangguk-anggukan kepala, seolah-olah merasa kasihan dengan nasib yang menimpa Mrongres.

Mronges harus kehilangan tanah 1 hektar plus setengah karang rumahnya. Tanahnya sudah menjadi milik sebuah perusahaan (investor) air mineral. Padahal, Mronges tidak pernah menjual tanah itu. Tiba-tiba saja, segerombolan preman dan aparat kepolisian memasang pagar beton pembatas pada tanah yang menjadi warisan leluhurnya Mrongres.

Mronges marah. Ia hendak menghancurkan tembok pembatas itu. Namun, apa daya. Satu berbanding puluhan preman dan ratusan polisi, membuat Mrogres mati kutu. Karena itu, ia berlari menuju kantor desa, minta petunjuk kenapa tanahnya dirampas begitu saja. Pak kades mengatakan sudah sesuai dengan prosedur penjualan.

Satu-satunya cara melaporkan kepada pihak kepolisian. Mronges bersengketa dengan pihak perusahaan dalam sidang pengadilan. Hasilnya, mudah ditebak. Mrongres dinyatakan kalah. Tanah tersebut milik perusahaan air mineral.

Setelah kejadian itu, Mronges sering ngamuk-ngamuk di rumah. Kemudian, perusahaan merasa terganggu, lalu melaporkan Mronges ke kepolisian, hingga berujung pengadilan yang kedua bagi Mronges. Mronges dinyatakan bersalah dan mendekam di penjara.

Keluar dari penjara, jadilah Mronges yang sekarang. Mronges yang dikenal warga sebagai orang yang bosan hidup.

“Kenapa harus minta mati, Mrongres?” tanya Bli Kenyat

“Aku ingin cepat ketemu Tuhan,” jawab Mronges singkat.

“Kenapa harus ketemu Tuhan?” ujar Bli Sengap menimpali.

“Aku pingin keadilan. Hanya Tuhan yang maha adil,” Mronges menjawab dengan pandangan kosong ke arah tanah, yang kini bukan jadi miliknya lagi.

            Orang-orang menjadi paham tentang kondisi Mrongres. Satu sisi, orang kasihan melihat tingkah laku Mrongres. Namun di sisi lain, para warga juga jengkel dengan kelakukan Mronges, karena dianggap memberikan inspirasi kepada warga lain untuk bunuh diri.

            “Kita harus usir Mrongres dari kampung, sebelum orang-orang di kampung kita terinspirasi untuk bunuh diri.” Begitulah, hasil rapat para warga. Kelian Adat, Kelian Dusun, dan Kepala Desa sangat setuju. Maka, dibantu oleh perusahaan air mineral, Mronges ditangkap paksa. Ia dibawa ke sebuah hutan lebat oleh orang-orang bercadar.

            Kampung Mronges menjadi aman. Tidak ada lagi teror-teror bunuh diri. Setahun pasca kejadian itu, perusahaan air mineral kembali melebarkan cabang perusahaan di kampung Mrongres. Banyak warga terkena kasus yang sama seperti Mrongres. Tanahnya tiba-tiba pindah tangan menjadi milik perusahaan tersebut. Warga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali ngamuk-ngamuk, kemudian berujung pada penjara. Akhirnya, mereka juga ikut-ikutan ingin mati.

           Semakin hari, jumlah warga yang pingin mati kian bertambah. Perusahaan semakin terganggu. Pasalnya, orang-orang ingin mati itu berlompatan di atas tembok-tembok pembatas perusahan yang berisi kawat berduri. Mereka berharap ketajaman kawat berduri itu dapat melukai mereka, lalu menyebabkan pendarahan hebat dan mati. Atau jatuh dari tembok-tombok raksasa itu, kemudian tergeletak tak bergerak di atas tanah.

            Nyatanya, tidak. Mereka tetap hidup. Bahkan, semenjak kedatangan Mrongres ke kampung halaman, tembok-tembok raksasa milik perusahaan menjadi tren bunuh diri. Di bawah komando Mronges, orang senasib dengan dirinya, sangat senang membenturkan diri ke tembok, melompat dari atas tembok, dan menancapkan tubuhnya pada kawat berduri tajam. Namun, tak satu pun yang mengalami terluka apalagi mati.

            Pihak perusahaan menjadi jengkel. Mereka menambah jumlah satpam untuk menjaga tembok perbatasan. Mereka menyewa beberapa preman dan termasuk polisi. Semuanya dilengkapi dengan persenjataan yang canggih dan lengkap. Hal ini untuk menjaga-jaga, jika sewaktu-waktu barisan yang ingin mati itu menerobos masuk ke areal perusahaan.

            Kekhawatiran perusahaan terbukti. Mronges dan kawan-kawan tetap saja menjadikan tembok perbatasan itu sebagai teror bunuh diri. Akibatnya, kesabaran pihak perusahaan habis. Mereka memerintahkan satpam, preman, dan polisi sewaan untuk menembak siapa saja yang bermain-main di tembok perbatasan.

            “Bubar…bubar…bubar! Kalian tidak boleh menyentuh tembok itu lagi,” ujar seorang komando berpakaian lengkap kepolisian.

            “Kalau nekad, maka terpaksa kalian akan kami tembak mati sekarang,” ujar yang lainnya. Pasukan sewaan perusahaan itu tampak gagah dan perkasa, lengkap dengan senjata laras panjang.

            “Apa? Mati?” sahut Mrongres.

            “Horeee…Sebentar lagi kita akan bertemu dengan Tuhan,” ujar teman-teman Mrongres kegirangan.

            “Ayo, tembak kami sekarang juga! Kami sudah lama merindukan mati!” tantang Mrongres dan kawan-kawan.

            Tanpa menunggu komando, pasukan perusahaan air mineral itu menembakan berkali-kali peluru dalam senjata laras panjang ke arah Mrongres dan kawan-kawan. Mulai dari kaki, badan, hingga kepala. Namun, tak satu pun yang mati. Pasukan sewaan itu tak patah semangat. Mereka terus melesatkan peluru, tetapi tak ada  yang menembus tubuh Mronges dan kawan-kawan. Ketakutan muncul di pihak pasukan perusahaan. Sementara Mronges dan kawan-kawan malah makin senang melompat dari tembok, lalu mendekatkan diri dengan corong laras panjang itu.    

            “Door…doorrr…dooorrrrr!” suara laras panjang bersahutan tak henti-hentinya. Mrongres dkk tetap saja menerobos maju, seperti film India. Bahkan, tak terasa sudah memasuki areal perusahaan. Sementara pasukan perusahaan, kian bergerak mundur.

            “Stooop!” Seorang pria tiba-tiba muncul dalam hujan peluru itu. Pria paruh baya, tinggi tegap, pakaian necis, dan berwibawa.

            “Siapa kamu?” tanya Mrongres

Laki-laki itu hanya terdiam.

“Dia pasti Tuhan. Horeee….Berarti kita sudah mati,” teriak kawan-kawan Mrongres serentak.

“Ya, kita sudah mati. Saatnya kita minta keadilan pada dia,” sambung kawan-kawan Mronges yang lainnya.

Laki-laki itu tetap diam seribu bahasa. Ia pandangi Mrongres dkk. satu per satu. Sejam kemudian, ia pun angkat bicara.

“Bukan. Aku bukan Tuhan. Aku pemilik perusahaan ini,” sahutnya sambil memerintahkan pasukannya menembakkan peluru ke arah Mrongres dkk. Peluru kembali menghujani Mrongres dkk.

Mrongres bergerak maju, menikmati lesatan-lesatan peluru sambil membayangkan kematian. Namun, peluru-peluru itu tak sedikit pun dapat menembus kulitnya. Tubuhnya segar bugar. Cuman ia merasakan sakit yang dalam di ulu hatinya. Sakit itu seperti sakit masa lalu. Sakit ketika ia harus kehilangan tanah 1 hektar plus setengah tanah karang. (Editor, I Ketut Serawan)                   

 

0 komentar:

Posting Komentar