Ada
Manusia Pingin Mati
Oleh
Komang
Andika Prasetya
Ilustrasi gambar: https://pixabay.com
Ada manusia yang pingin mati. Namanya Mronges. Sejak sebulan belakangan, keinginannya untuk mati begitu kuat. Entah apa yang merasukinya? Pokoknya ia tidak ingin hidup. Ingin mati titik.
Berbagai usaha
sudah ditempuhnya. Ia sudah mencoba menabrakkan dirinya di tengah keramaian
lalu lalang kendaraan di kota. Namun, gagal. Kemudian, dia mencoba meloncat
dari jembatan layang, tower, dan gedung pencakar langit. Hasilnya, nihil. Ia
tetap selamat dan hidup.
Ia terus
berdoa, memohon ketidakselamatan. Akhirnya, doanya terjawab. Sebuah gempa
dahsyat melanda tempat tinggalnya. Orang-orang berlarian keluar gedung mencari
titik aman. Sementara, rumah-rumah warga hancur rata.
Mronges
senang. Ia berharap kejadian ini akan menghabisi hidupnya. Karena itu, ia
memilih diam seorang diri di rumahnya. Sementara itu, atap, dinding, dan
jendela rumahnya roboh mengubur dirinya. Sekali lagi, ia tetap saja selamat.
Hanya bermandikan debu, tetapi sama sekali tidak mengalami luka.
Para warga di
kampung Mronges menjadi heran dan sekaligus kebingungan. Banyak warga
mengatakan bahwa Mronges merupakan orang sinting. Banyak pula yang mengatakan
Mronges sedang memperdalam ilmu kebal. Sebagian lagi mengatakan Mrogres dilanda
stres berat.
“Saya yakin
Mronges pasti belum bisa menerima kejadian 5 tahun yang lalu,” kata Bli Kenyat
sambil bergotong-royong membersihkan puing-puing bangunan bersama para warga
lainnya.
“Sudah
pastilah, Bli!” jawab Bli Sengap menimpali. Para warga lain hanya mengangguk-anggukan
kepala, seolah-olah merasa kasihan dengan nasib yang menimpa Mrongres.
Mronges harus
kehilangan tanah 1 hektar plus setengah karang rumahnya. Tanahnya sudah menjadi
milik sebuah perusahaan (investor) air mineral. Padahal, Mronges tidak pernah
menjual tanah itu. Tiba-tiba saja, segerombolan preman dan aparat kepolisian
memasang pagar beton pembatas pada tanah yang menjadi warisan leluhurnya Mrongres.
Mronges
marah. Ia hendak menghancurkan tembok pembatas itu. Namun, apa daya. Satu
berbanding puluhan preman dan ratusan polisi, membuat Mrogres mati kutu. Karena
itu, ia berlari menuju kantor desa, minta petunjuk kenapa tanahnya dirampas
begitu saja. Pak kades mengatakan sudah sesuai dengan prosedur penjualan.
Satu-satunya
cara melaporkan kepada pihak kepolisian. Mronges bersengketa dengan pihak
perusahaan dalam sidang pengadilan. Hasilnya, mudah ditebak. Mrongres
dinyatakan kalah. Tanah tersebut milik perusahaan air mineral.
Setelah
kejadian itu, Mronges sering ngamuk-ngamuk di rumah. Kemudian, perusahaan
merasa terganggu, lalu melaporkan Mronges ke kepolisian, hingga berujung
pengadilan yang kedua bagi Mronges. Mronges dinyatakan bersalah dan mendekam di
penjara.
Keluar dari
penjara, jadilah Mronges yang sekarang. Mronges yang dikenal warga sebagai
orang yang bosan hidup.
“Kenapa harus
minta mati, Mrongres?” tanya Bli Kenyat
“Aku ingin
cepat ketemu Tuhan,” jawab Mronges singkat.
“Kenapa harus
ketemu Tuhan?” ujar Bli Sengap menimpali.
“Aku pingin
keadilan. Hanya Tuhan yang maha adil,” Mronges menjawab dengan pandangan kosong
ke arah tanah, yang kini bukan jadi miliknya lagi.
Orang-orang
menjadi paham tentang kondisi Mrongres. Satu sisi, orang kasihan melihat tingkah
laku Mrongres. Namun di sisi lain, para warga juga jengkel dengan kelakukan
Mronges, karena dianggap memberikan inspirasi kepada warga lain untuk bunuh
diri.
“Kita
harus usir Mrongres dari kampung, sebelum orang-orang di kampung kita
terinspirasi untuk bunuh diri.” Begitulah, hasil rapat para warga. Kelian Adat,
Kelian Dusun, dan Kepala Desa sangat setuju. Maka, dibantu oleh perusahaan air
mineral, Mronges ditangkap paksa. Ia dibawa ke sebuah hutan lebat oleh
orang-orang bercadar.
Kampung
Mronges menjadi aman. Tidak ada lagi teror-teror bunuh diri. Setahun pasca
kejadian itu, perusahaan air mineral kembali melebarkan cabang perusahaan di
kampung Mrongres. Banyak warga terkena kasus yang sama seperti Mrongres.
Tanahnya tiba-tiba pindah tangan menjadi milik perusahaan tersebut. Warga tidak
bisa berbuat apa-apa, kecuali ngamuk-ngamuk, kemudian berujung pada penjara.
Akhirnya, mereka juga ikut-ikutan ingin mati.
Semakin
hari, jumlah warga yang pingin mati kian bertambah. Perusahaan semakin
terganggu. Pasalnya, orang-orang ingin mati itu berlompatan di atas
tembok-tembok pembatas perusahan yang berisi kawat berduri. Mereka berharap
ketajaman kawat berduri itu dapat melukai mereka, lalu menyebabkan pendarahan
hebat dan mati. Atau jatuh dari tembok-tombok raksasa itu, kemudian tergeletak
tak bergerak di atas tanah.
Nyatanya,
tidak. Mereka tetap hidup. Bahkan, semenjak kedatangan Mrongres ke kampung
halaman, tembok-tembok raksasa milik perusahaan menjadi tren bunuh diri. Di bawah
komando Mronges, orang senasib dengan dirinya, sangat senang membenturkan diri
ke tembok, melompat dari atas tembok, dan menancapkan tubuhnya pada kawat
berduri tajam. Namun, tak satu pun yang mengalami terluka apalagi mati.
Pihak
perusahaan menjadi jengkel. Mereka menambah jumlah satpam untuk menjaga tembok
perbatasan. Mereka menyewa beberapa preman dan termasuk polisi. Semuanya
dilengkapi dengan persenjataan yang canggih dan lengkap. Hal ini untuk
menjaga-jaga, jika sewaktu-waktu barisan yang ingin mati itu menerobos masuk ke
areal perusahaan.
Kekhawatiran
perusahaan terbukti. Mronges dan kawan-kawan tetap saja menjadikan tembok
perbatasan itu sebagai teror bunuh diri. Akibatnya, kesabaran pihak perusahaan
habis. Mereka memerintahkan satpam, preman, dan polisi sewaan untuk menembak
siapa saja yang bermain-main di tembok perbatasan.
“Bubar…bubar…bubar!
Kalian tidak boleh menyentuh tembok itu lagi,” ujar seorang komando berpakaian
lengkap kepolisian.
“Kalau
nekad, maka terpaksa kalian akan kami tembak mati sekarang,” ujar yang lainnya.
Pasukan sewaan perusahaan itu tampak gagah dan perkasa, lengkap dengan senjata
laras panjang.
“Apa?
Mati?” sahut Mrongres.
“Horeee…Sebentar
lagi kita akan bertemu dengan Tuhan,” ujar teman-teman Mrongres kegirangan.
“Ayo,
tembak kami sekarang juga! Kami sudah lama merindukan mati!” tantang Mrongres
dan kawan-kawan.
Tanpa
menunggu komando, pasukan perusahaan air mineral itu menembakan berkali-kali
peluru dalam senjata laras panjang ke arah Mrongres dan kawan-kawan. Mulai dari
kaki, badan, hingga kepala. Namun, tak satu pun yang mati. Pasukan sewaan itu
tak patah semangat. Mereka terus melesatkan peluru, tetapi tak ada yang menembus tubuh Mronges dan kawan-kawan.
Ketakutan muncul di pihak pasukan perusahaan. Sementara Mronges dan kawan-kawan
malah makin senang melompat dari tembok, lalu mendekatkan diri dengan corong
laras panjang itu.
“Door…doorrr…dooorrrrr!”
suara laras panjang bersahutan tak henti-hentinya. Mrongres dkk tetap saja
menerobos maju, seperti film India. Bahkan, tak terasa sudah memasuki areal
perusahaan. Sementara pasukan perusahaan, kian bergerak mundur.
“Stooop!”
Seorang pria tiba-tiba muncul dalam hujan peluru itu. Pria paruh baya, tinggi
tegap, pakaian necis, dan berwibawa.
“Siapa
kamu?” tanya Mrongres
Laki-laki itu
hanya terdiam.
“Dia pasti
Tuhan. Horeee….Berarti kita sudah mati,” teriak kawan-kawan Mrongres serentak.
“Ya, kita
sudah mati. Saatnya kita minta keadilan pada dia,” sambung kawan-kawan Mronges
yang lainnya.
Laki-laki itu
tetap diam seribu bahasa. Ia pandangi Mrongres dkk. satu per satu. Sejam kemudian,
ia pun angkat bicara.
“Bukan. Aku
bukan Tuhan. Aku pemilik perusahaan ini,” sahutnya sambil memerintahkan
pasukannya menembakkan peluru ke arah Mrongres dkk. Peluru kembali menghujani
Mrongres dkk.
Mrongres bergerak maju, menikmati lesatan-lesatan peluru sambil membayangkan kematian. Namun, peluru-peluru itu tak sedikit pun dapat menembus kulitnya. Tubuhnya segar bugar. Cuman ia merasakan sakit yang dalam di ulu hatinya. Sakit itu seperti sakit masa lalu. Sakit ketika ia harus kehilangan tanah 1 hektar plus setengah tanah karang. (Editor, I Ketut Serawan)
0 komentar:
Posting Komentar