Perlengkapan "nyundih" di Nusa Penida |
Bagi masyarakat
pesisir Nusa Penida, purnama-tilem tidak hanya dianggap sebagai hari suci
(sakral) tetapi juga dijadikan momen spesial mengais rezeki yaitu “nyundih” (nyuluh). “Nyundih” merupakan kegiatan
mencari (menangkap) ikan, gurita, udang, kepiting dan lain sebagainya pada
malam hari di laut. Karena itu, aktivitas “nyundih” biasanya dilakukan dua atau
tiga hari pasca purnama-tilem. Karena pada hitungan hari inilah, air laut
mengalami puncak surut pada malam hari.
“Nyundih”
berasal kata dasar “sundih” yang maknanya kurang lebih yaitu alat penerang.
Artinya, aktivitas “nyundih” tidak bisa dilepaskan dari alat penerang. Alat
penerang inilah yang menjadi kunci utamanya. Karena “nyundih” dilakukan pada
malam hari.
Karena
aktivitasnya di laut, maka “penyundih” harus memahami waktu surut air laut pada
malam hari. Walaupun masyarakat di kampung saya tidak pernah mempelajari
tentang oseanografi (ilmu kelautan), tetapi mereka sangat paham dengan kondisi
(waktu) pasang-surut air laut.
Patokan
mereka adalah momen purnama dan tilem. Biasanya, rentang 2-3 hari sebelum
purnama-tilem mulai ada kondisi surut air laut. Jika waktu surutnya terjadi
pada sore hari, maka semakin ke depan akan terus bergerak telat mendekati
malam.
Misalnya,
3 hari sebelum purnama-tilem surut dimulai pada pukul 15.00 wita, maka keesokan
harinya akan lebih telat, mungkin sekitar 15.30 atau 16.00. Esoknya lebih telat
lagi. Bisa diprediksi pasca 2-3 hari purnama-tilem surut dimulai pada malam
hari. Inilah momen yang paling tepat dimanfaatkan warga untuk kegiatan
“nyundih”.
Esensi dan Dinamika “Nyundih”
Sebetulnya,
tidak semua orang di kampung saya menangkap ikan pada malam hari. Beberapa ada
yang melakukan penangkapan di luar malam hari. Misalnya, mereka menangkap ikan
ketika air surut pada pagi atau sore hari. Orang-orang di kampung saya menyebutnya
dengan istilah “noba”. Padahal, perlengkapan dan teknis penangkapan sama persis
dengan “nyundih”. Perbedaannya hanya terletak pada waktu dan kehadiran alat
penerang.
Baik
“noba” maupun “nyundih” biasanya membawa perlengkapan meliputi alat penangkap
dan wadah hasil tangkapan. Alat-alat penangkap yang dibawa biasanya sederhana
berupa poke (tombak panak bermata
satu), sambleng (tombak panah bermata
lebih dari satu), dan seser/ sawu.
Sementara itu, wadah hasil tangkapan umumnya berupa dungki atau ember plastik.
Kelebihan
perlengkapan “nyundih” terletak pada alat penerang. Tahun 80-an hingga 90-an,
alat penerang yang populer digunakan ialah lampu strongking/ petromaks. Warga
di kampung saya menyebutnya dengan istilah “damar kaos”. Bahan bakar utamanya
ialah minyak tanah, tetapi awal penyalaannya dibantu menggunakan bahan stimulus
lain yaitu spritus.
Lampu
petomaks memiliki titik nyala pada kantong (kaos) tipis berjaring. Letaknya
ditengah-tengah, dibentengi oleh bilah-bilah kaca yang rapat, tebal, menyerupai
bentuk tabung. Kaca-kaca ini mungkin berfungsi untuk melindungi nyala kaos tipis
itu dari sentuhan benda lain yang sifatnya merusak. Pun melindungi nyala kaos
tipis dari serangan angin.
Di
dalam benteng kaca, persisnya di bawah kantong tipis, ada wadah kecil menaruh
spritus. Ketika spritus bersentuhan dengan api, maka api sedikit demi sedikit
membakar bagian permukaan kaos. Begitu kaos terbakar, api dari sumber spritus
mati (karena spritus habis). Pada saat inilah, pompa lampu petromaks yang
terletak di bagian tangki bawah dimainkan naik-turun. Sesekali, spuyer lampu juga ikut diputar ke arah
kanan-kiri. Alat berbentuk bunder pipih ini berfungsi mengatur tekanan bahan
bakar.
Lampu
petromaks inilah yang dipanggul dengan sanan
bersama benda berat lainnya (diikat pada ujung), sebagai penyeimbang. Agar
cahaya lampu lebih terfokus, biasanya petromaks dilengkapi dengan tedung (seperti
piringan agak melengkung ke bawah). Tedung ini membatasi kumpulan cahaya
sehingga ikan-ikan tertarik lebih dekat dengan para “penyundih”. Bahkan,
beberapa ikan seperti ikan lamat
(anak-anak ikan) sangat menyukai dan memburu cahaya petromaks.
Pembatasan
cahaya dan efek cahaya lampu menyebabkan ikan, udang, kepiting, gurita menjadi
lebih jinak. Di tambah lagi dengan kondisi air laut yang dangkal sehingga
binatang laut menjadi terbatas geraknya. Kebanyakan binatang laut ini terjebak
dalam kubangan-kubangan air laut yang dangkal. Kondisi ini memudahkan para
“penyundih” menangkap hewan-hewan laut tersebut.
Ikan,
kepiting, gurita memiliki penyelamatan dengan bersembunyi di balik terumbu
karang atau batu karang dasar laut lainnya. Akan tetapi, senjata poke siap menghunjami mereka dari atas.
Jika keluar dan memilih bersembunyi di balik rumput laut liar atau lumpur, maka
sambleng siap menusuk dari atas. Dan
jika hendak berlari ke tempat terbuka, sawu
siap menjaringnya.
Era
80-an dan awal 90-an, lampu petromaks tidak hanya populer di kalangan para
“penyundih” tetapi menjadi tumpuan dan andalan penerangan dalam berbagai
kegiatan di kampung saya. Peran penting lampu petromaks ini sangat terasa
karena kampung saya belum tersentuh listrik. Semua kegiatan sosial seperti
piodalan, tiga bulanan, acara balih-balihan
mengandalkan lampu petromaks sebagai penerang kala itu.
Lampu
petromaks mengalami puncak kejayaan ketika drama gong sedang booming di kampung
saya. Saya yakin generasi penggila drama gong pasti tidak bisa melupakan
pregina-pregina legendaris di kampung, kisah-kisah dramatisnya, dan tentu saja peran
lampu penerang “petromaks” saat pertunjukan.
Kepemilikan
atas lampu petromaks juga tidak sembarang. Tidak semua warga di kampung saya
memiliki lampu petromaks. Hanya orang-orang tertentu (ekonominya cukup) yang
bisa memiliki lampu ini. Lampu petromaks seolah-olah menjadi citra status sosial
di kampung saya kala itu.
Sebelum
lampu petromaks merajai dunia “persundihan” di kampung saya, konon tradisi
“nyundih” dulu menggunakan “prarak” sebagai alat penerang. Daun kering dari
kelapa dilepaskan dari tulang daunnya, kemudian diikat segenggam tangan orang
dewasa. Menurut paman saya, para “penyundih” membawa beberapa ikat “prarak”
sesuai kebutuhan. “Prarak” inilah yang dibakar dengan korek api dan digunakan
sebagai penerang saat “nyundih”.
Alat
penerang “prarak” tentu murah meriah. Tidak membutuhkan biaya operasional
semahal lampu petromaks. Keberadaannya juga melimpah dan gampang didapat.
Karena itu, “prarak” tetap populer digunakan sebagai alat penerang mencari kleted oleh anak-anak zaman saya.
Kleted
adalah sejenis serangga (kumbang) berukuran kecil, empat kali lipat lebih kecil
dari kumbang kotoran sapi (beduda), warnanya coklat mengkilap, dan pemakan
daun-daunan. Kleted tergolong kumbang
nokturnal. Siangnya, menimbun diri di dalam tanah, dengan ciri gundukan tanah
kecil dan halus di atasnya. Malam harinya, mereka keluar beraktivitas mencari
makan. Mereka memakan berbagai jenis daun seperti daun sawo, mangga, jambu, dan
terutama daun pisang.
Cara
menangkapnya mudah. Jika bertengger pada daun yang rendah, kita cukup
mengambilnya dengan tangan. Namun, jika bertengger pada daun yang agak tinggi,
maka “prarak” diangkat lebih tinggi. Ujung “prarak” yang menyala didekatkan
dengan badan “kleted”. Rasa panas api menyebabkan “kleted” terjatuh ke tanah.
Selanjutnya, kleted tinggal dipungut
dan dimasukkan ke dalam bumbung.
Era
saya kecil, kleted menjadi lauk
populer di kampung saya. Cara mengolahnya sederhana. Cukup digoreng hingga matang.
Kemudian, dimakan dengan atau tanpa nasi. Keberadaan “kleted” bersifat musiman.
Serangga ini biasanya eksis bersamaan dengan musim tanam jagung.
Begitu
juga dengan “nyundih”. Aktivitas “nyundih” dilakukan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan lauk di dapur. Jarang sekali ada warga sampai menjual hasil
tangkapan “nyundih”. Biasanya, hasil tangkapan digunakan murni untuk
dikonsumsi. Berbeda dengan nelayan. Orientasinya ialah menjual hasil tangkapan.
Berbicara
soal hasil tangkapan “nyundih”, seingat saya makin ke depan hasil tangkapannya
kurang maksimal. Waktu kecil (tahun 80-an), saya ingat hasil tangkapan
“nyundih” dari ayah saya sangat maksimal. Satu dungki besar bisa penuh.
Belum lagi, ember lain juga penuh. Jenis tangkapannya pun bervariasi, misalnya
ikan, gurita, udang (lobster), siput, belut laut, kepiting dan lain sebagainya.
Ya,
mungkin waktu itu ekosistem laut masih terjaga dengan baik. Terumbu karang,
rumput laut liar, lumut, batu-batu karang dasar laut, dan lain-lainnya masih
terpelihara dengan baik. Namun, ketika budidaya rumput laut mulai merambah
sekitar tahun 90-an, masyarakat berebut mencari lahan (petak) untuk ditanami
rumput laut. Karang-karang dasar laut dan termasuk terumbu karang harus
dibersihkan dari areal petak rumput laut. Dari sinilah, keberadaan biodata laut
mulai sedikit terganggu.
Penguasaan
petak-petak (lahan) oleh petani rumput laut menyebabkan arena “nyundih” semakin
sempit. Populasi ikan dan jenis hewan laut lainnya juga dirasakan berkurang.
Mungkin faktor inilah salah satu yang menjadi penyebab semakin berkurangnya
hasil tangkapan “nyundih” dari warga.
Padahal,
era kejayaan budi daya rumput laut orang semakin jarang melakukan aktivitas
“nyundih”. Ya, mungkin kebanyakan petani rumput laut lelah karena seharian
melakukan aktivitas bertani rumput laut. Selain itu, banyak yang beranggapan
bahwa kebutuhan terhadap lauk dapat dipenuhi dengan cara membeli dari para
nelayan. Karena perekonomian masyarakat pesisir waktu itu cukup baik.
Dampaknya,
aktivitas “nyundih” kian berkurang pendukungnya. Pasca runtuhnya rumput laut
(awal tahun 2000-an), aktivitas “nyundih” juga lerlihat sepi. Kesepian ini
berlanjut ketika pariwisata berkembang di NP mulai sekitar tahun 2016.
Aktivitas “nyundih” menemui titik nadir.
Namun,
di penghujung tahun 2019 pariwisata NP anjlok dilanda pandemi Covid-19. Ekonomi
masyarakat di kampung saya mulai kedodoran.
Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan lauk dirasakan sangat sulit. Kondisi ini menyebabkan
aktivitas “nyundih” mendapat dukungan kembali. Beberapa anak milenial mulai
melakukan aktivitas “nyundih” untuk memenuhi keperluan lauk dapurnya.
Namun,
ada perubahan “nyundih” masa kini dengan masa sebelumnya, terutama pada alat
penerangnya. Ketika lampu petromaks sudah masuk museum, maka muncul alat
penerang yang lebih praktis dan portabel yaitu lampu senter (charger) dengan
berbagai tipe. Umumnya, tipe yang paling digandrungi oleh masyarakat ialah
lampu senter yang diletakkan di atas kepala.
Bukan
hanya berbeda soal alat penerang, “nyundih” dulu dan sekarang juga memiliki
spirit yang tak sama. Dulu, “nyundih”
menjadi ketulusan untuk menghadapi kenyataan (kebutuhan) hidup. Akan tetapi,
sekarang “nyundih” tak ubahnya sebagai sebuah spirit pelarian kenyataan hidup.
0 komentar:
Posting Komentar