Minggu, 07 Mei 2023

 


Sumber foto: http://verapraraous.blogspot.com/2012/09/mawar-merah.html

Aku baru saja pindah ke rumah tua. Rumah yang halaman depannya dipenuhi rumput ilalang. Di sela-selanya, juga tumbuh rambatan bunga liar. Beberapa rambatan bunga itu menyelinap masuk pada kaca-kaca rumah yang berdebu. “Sungguh rumah yang tidak terawat,” pikirku.

Aku mencoba melangkah masuk lebih dalam, melewati beberapa ruangan dan berfokus pada pintu belakang. Aku berhenti sejenak dan memegang gagang pintu itu. Aku membukanya perlaha-lahan dan sontak perasaanku dipenuhi rasa kagum. Aku melihat taman yang dihiasi berbagai spesies bunga mawar.

Indah menghiasi indra penglihatanku. Harum bunga-bunga itu seolah membelai emosiku. Taman yang cukup luas. Terdapat gazebo kecil di kelilingi bunga mawar. Rumput rumput juga menambah kesan hijau. Sangat memanjakan mata. Sebenarnya, aku kurang suka mawar karena durinya tajam dan siap melukai orang yang lalai.

Tetapi entah mengapa aku merasa seperti ditarik ke tempat ini. Aku menjadi teringat dengan mitos rumah ini. Dikatakan bahwa hantu perempuan sering mewujudkan dirinya. Lebih tepatnya di taman mawar ini.

Hantu itu memakai gaun putih lusuh bersimbah darah. Di lehernya terdapat sayatan tak beraturan. Ada juga tusukan yang tepat di jantungnya. Surai hitam bergelombang ikut menambah kesan seram. Konon, ia akan datang di malam purnama. Dia akan menghantui manusia yang tinggal di rumah ini.

Namun, mitos tetaplah mitos. Hanyalah takhayul yang dipercaya, pikirku. Tak terasa waktuku terkuras habis di taman ini. Kini pikiranku kembali pada rumah itu. Kulangkahkan kakiku menuju rumah. Kemudian, melanjutkan membersihkan rumah lalu tidur.

Aku terbangun dari tidurku di tengah malam. Nyanyian merdu seolah menuntunku untuk bangun. Siapa yang bernyanyi”, tanyaku sendiri. Seketika aku tertuju pada jendela di sebelah kiriku. Rintik hujan bergema. Mendadak petir mengaum buas. Gelap dan seram. Nyanyian itu menambah ketakutanku. Dengan segenap keberanian, aku bangun dari kasurku. Kulihat keluar jendela.

Aku melihat seorang wanita. Tidak terlihat jelas karena ia membelakangiku. Bergaun putih menyentuh tanah. Bernyanyi sembari membelai bunga. Satu demi satu dibelainya. Surai hitam panjang dibasahi hujan hampir menutupi seluruh punggung wanita itu. Heran dan kaget. Itulah yang kurasakan. Nyanyian wanita itu berhenti. Dengan perlahan wanita itu membalikkan badannya.

Aku membelalakkan mataku. Suaraku seakan dibungkam. Wanita itu sama persis seperti di mitos. Gaun putih lusuh. Luka sayatan dileher. Tusukan yang tepat di jantung. Semua sama persis. Seluruh tubuhku bergetar. Aku baru ingat. Hari ini adalah hari purnama. Aku melihat wanita itu menyeringai. Seolah ditujukan padaku. Begitu mengerikan. Darah ada dimana-mana.

Aku mengedipkan mataku. Seketika wanita itu menghilang. Belum sempat aku menenangkan jantungku. Wanita itu muncul di depanku. Wajahnya tepat di depan wajahku. Matanya merah menyala. Berlumuran darah dan belatung di sekujur mukanya. “Darah...” Wanita itu setengah berbisik. Air mataku tak terbendung. Akhirnya, penglihatanku berubah gelap.

Aku terbangun dengan kicauan burung-burung. Rupanya sudah pagi. Aku mendapati diriku tergeletak di dekat jendela. Masih shock dengan kejadian malam itu. Aku mencoba bangun. Lalu melihat keluar jendela. Tidak ada yang berubah. Tidak ada darah. Aku merasa kebingungan. Akankah yang kulihat malam itu nyata?

Dengan segala kebingungan, aku mencoba melupakan hal itu. Aku keluar dari kamar. Menuju kamar mandi yang ada di sebelah kamarku. Berlanjut dengan membersihkan diriku. Lalu mengerjakan pekerjaan rumah. Sesekali aku melihat ke arah taman itu.

Hari yang cukup tenang. Semua berjalan lancar. Hingga malam tiba. Aku kembali terbangun oleh nyanyian. Apakah wanita itu lagi? Entahlah. Aku tak berani beranjak. Namun, malam ini bukan malam purnama. Aku terdiam, mencerna apa saja yang terjadi. Keheningan terpecah ketika ada yang mengetuk jendela kamarku.

Sangat terdengar jelas. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Air mata membasahi pipiku. Sesekali terdengar bisikan yang mengatakan “Darah...”. Aku menutupi diriku dengan selimut. Berharap pagi segera tiba. Kini aku mengakui mitos itu benar adanya. Tanpa sadar diriku tertidur.

Sang Surya telah tiba. Burung-burung berkicau. Aku terbangun dari kasurku. Aku mengambil gadget yang tergeletak di atas laci. Lalu membuka maps. Ya, aku mencari tempat orang yang mengerti dengan hal-hal gaib. Tak menunggu lama. Aku mendapati bahwa ada dukun di lingkungan sekitarku. Aku beranjak dan bersiap-siap. Mandi lalu ganti baju dan berangkat menggunakan sepeda.

Sepeda hitam pemberian almarhum ayahku dulu. Terdapat keranjang di depannya. Kadang kugunakan untuk menaruh barangku. Sepeda ini kugunakan untuk pergi sekolah. Namun, tidak sempat kugunakan. Karena untuk beberapa saat ini aku libur.

Tibalah aku di rumah dukun itu. Aku memarkirkan sepedaku di halaman rumah itu. Rumahnya sepertinya sudah sangat lama. Bahkan rumah itu masih menggunakan anyaman bambu. Ada beberapa tiang penyangga di teras rumahnya. Aku berjalan dan berhenti di pintu rumah dukun itu.

Kuketuk sopan pintu itu. Lalu tak lama pintu itu terbuka. Decitan pintu yang nyaring menampilkan kakek berpakaian ala dukun. Tanpa sepatah kata dukun itu menyuruhku masuk. Lalu ia menyuruhku duduk. “Ada apa?” kata dukun itu dengan suara yang serak dan berat. Aku menceritakan segalanya. Mulai dari nyanyian. Hingga ketukan yang kemarin malam kualami.

Dukun itu menghela napasnya. Lalu bercerita padaku. Sebenarnya, rumah itu dulu ditinggali oleh sepasang kekasih. Tetapi, mereka selalu bertengkar. Sang istri sangat menyukai bunga mawar. Hingga dibuatlah taman mawar di belakang rumah itu. Dan dibuat juga gazebo kecil agar sang istri bisa duduk menikmati bunga. Terkadang dia juga menyanyikan sebuah lagu.

Mereka bertengkar hampir setiap hari. Sampai sang suami berani untuk selingkuh. Hingga suatu saat, sang istri mengetahui hal itu. Tidak kuat, ia menampar sang suami. Kemarahan sang suami pun meluap. Hingga mencapai klimaks. Sang suami mengambil pisau. Lalu membunuh istrinya sendiri.

Ia menyayat leher sang istri. Menusuk jantungnya dengan pisau. Aroma mayat tersebar di seluruh ruangan. Karena takut sang suami memikirkan cara. Akhirnya, ia menyeret mayat istrinya menuju taman mawar. Darah masih mengucur keluar mewarnai gaun putih sang istri.

Jalanan yang dilalui penuh dengan darah. Mawar-mawar semua bersimbah darah. Tragedi yang sangat mengerikan. Tragedi ini juga dikenal dengan tragedi “Bunga Mawar Bersimbah Darah”. Perasaan tulus sang istri dikhianati begitu saja. Ketidakadilan. Itulah yang ia rasakan sang istri. Semua bercampur aduk. Hingga membuat arwah sang istri tak tenang.

Aku terdiam mendengar perkataan sang dukun. Emosiku bercampur. Haruskah aku takut? Haruskah aku kasihan? Aku juga tidak tahu. Namun, di pikiranku hanya satu. Cara agar bisa lepas dari semua ini. Setelah diam beberapa saat, aku membuka mulutku. Aku menanyakan hal yang sama kepada sang dukun.

Dukun itu menjawab. Ia mengatakan bahwa solusinya hanya ada satu. Aku harus mengorbankan darahku di salah satu bunga mawar. Bunga mawar itu harus berwarna putih dan kembang sempurna di malam purnama. Namun, darah yang dikorbankan tidak hanya setetes atau dua tetes. Namun, harus cukup menutupi mahkota yang kembang sempurna itu.

Aku tercengang mendengar solusi itu. Namun, aku tidak bisa mengatakan apa apa. Karena hanya itu satu-satunya cara. Dengan mental apa adanya, aku mencoba menerima semua itu. Sangat tidak masuk akal. Aku berdiri lalu mengucapkan terima kasih kepada sang dukun.

Sang dukun tersenyum. Aku pun kembali beranjak pulang. Aku ambil sepedaku yang kuparkirkan tepat di halaman. Selama perjalanan aku merasa dilema. Haruskah aku melakukan hal itu atau tidak. Rasanya ingin menangis saja.

Ketika tiba di rumah, aku langsung masuk ke dalam. Langit sudah mulai gelap. Aku menyalakan lampu lalu duduk di sofa ruang tamu. Sofa yang berwarna cream. Pikiranku kacau. Aku mencoba mendinginkan kepalaku hampir 30 menit. Kemudian, dengan segala keberanian yang kupunya, kuputuskan untuk melakukan hal itu.

Aku menyusun segala yang aku perlukan hingga gelap gulita bertahta di luar. Aku mengakhiri kegiatanku hari ini. Berlanjut dengan mandi, makan, dan tidur. Aku kembali terbangun dari tidurku di tengah malam. Sama seperti biasanya, ada nyanyian yang berasal dari taman mawar. Aku mencoba mengabaikannya. Aku menutupi diriku dengan selimut.

Pagi pun tiba. Kulalui hal seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah. Sesekali aku mencari dimana bunga mawar putih itu berada. Aku baru menyadari. Dari banyaknya bunga mawar di sini, hanya satu yang berwarna putih. Namun, aku tetap pada pendirianku. Mengumpulkan keberanian hingga purnama tiba.

Tak terasa hari yang ditunggu pun tiba. Aku sudah menyusun semua yang kuperlukan. Malam sudah muncul. Aku keluar dengan pisau dan senter di tanganku. Sangat gelap hanya cahaya senter yang menerangi. Dingin dan sunyi. Aku berdiri tepat di depan bunga mawar putih itu. Mawar yang kembang sempurna. Diterangi cahaya bulan. Mahkotanya cukup besar dan mengkilap.

Aku menjatuhkan senterku. Lalu mengangkat tanganku. Sebenarnya, aku sangat takut melakukan hal ini. Namun, tidak ada cara lain. Aku menyayat tanganku hingga keluar darah. Seperti kata dukun, darah itu harus menutupi semua bagian mawar. Perih dan sangat sakit. Aku menahan isak tangisku. Beberapa kali aku meringis. Akhirnya, selesai sudah ritual itu.

Ingin pingsan rasanya. Tiba-tiba kulihat mawar itu lenyap begitu saja. Aku membalikkan badan dan terkejut. Rupanya hantu itu ada di belakangku. Ia menyeringai seram. Seperti ada arti di baliknya. Ia pun perlahan ikut menghilang. Selesai sudah, pikirku. Sangat lega dan tenang.

Aku kembali masuk ke rumah dan mengobati lukaku. Tidak ada nyanyian. Tidak ada ketukan seperti malam biasa. Biasanya, aku akan menutupi diriku dengan selimut saat ini. Namun, sekarang sudah tidak perlu lagi. Kini aku bisa tidur tenang. Sudah tidak kuat, aku merebahkan diriku. Aku menghela napasku hingga tertidur.

Hari-hari berjalan dengan tenang dan aman. Tanpa gangguan sedikitpun. Semua berjalan seperti biasa. Tak terasa malam purnama kembali tiba. Aku bangun di tengah malam kembali. Mendengar nyanyian seorang wanita dari arah taman mawar. Aku beranjak dari kasurku dan melihat ke arah luar jendela. Sangat kaget aku dibuatnya. Wanita itu muncul kembali. “Daraaah…,” gumamnya sembari menyeringai ke arahku. (Kadek Nadya Nursyadi Suker) 

Senin, 13 Februari 2023


Gede Naya Adipradnya dan Kadek Bina Adipradnya berpose dengan medali-piagamnya 

SMP Cipta Dharma berhasil meraih medali perunggu dalam lomba inovasi (Thailand Inventor's Day 2023) kategori IPITEx di Thailand (2-6 Februari 2023) kemarin. Prestasi ini diraih oleh kembar Gede Naya Adipradnya dan Kadek Bina Adipradnya. Naya-Bina menyabet perunggu berkat temuan inovatifnya berupa “Social Distancing Bag”, tas canggih yang dilengkapi komponen sensor jarak.

Menurut Naya-Bina, tas ciptaan timnya dapat mengeluarkan suara (sejenis alarm) ketika berada pada posisi maksimal 1 m dengan orang lain. Suaranya kurang lebih berbunyi, “Please keep distance from one meter ”. Suara sensor otomatis itu diseting dalam bahasa Inggris.

Tas ransel canggih ciptaan Naya-Bina dkk. tersebut sebetulnya karya yang lahir pada masa pandemi Covid-19 dan terus mengalami moditifikasi. Awalnya, hanya berfungsi sebagai alarm jaga jarak semata, tetapi belakangan dilengkapi dengan pelindung kepala, power bank dan charger.

Social Distancing Bag berhasil menyisihkan karya inovatif dari beberapa belahan negara lain. Hal ini membuat pihak Naya-Bina merasa senang. “Ya, banggalah. Meski cuma perunggu. Pasalnya, ini kali pertama saya ikut dan diberikan kesempatan mempresentasikan karya tingkat internasional dengan bahasa Inggris,” terang Naya, yang kini duduk di bangku kelas IXA SMP Cipta Dharma ini.

Raihan prestasi perunggu kemarin sekaligus melecut keinginan Naya-Bina untuk terus berinovasi dan mencipta. Mereka berharap dapat menemukan inovasi-inovasi baru yang bermanfaat bagi masyarakat nantinya.

Good job, ya, Bina-Naya. Semoga karakter inovatifnya semakin tumbuh dan berkembang lebih optimal ke depan. (I Ketut Serawan)

Rabu, 08 Februari 2023


Gambar Guru SD Mengajar. Sumber foto: SekolahDasar.Net


 Siapa bilang mengajar itu sulit? Gampang, kok! Coba intip keseharian guru mengajar di sekolah. Cukup menyuruh siswa mengerjakan soal-soal latihan di buku paket atau LKS secara kontinu sampai titik penghabisan, dengan mantra sakti nan gaib. Begini bunyi kalimat mantranya, “Buka halaman sekian! Kerjakan! Lanjutkan!” Kok, kayak Mbah Dukun, ya. Hee…hee…

Apakah semua guru? Tentu saja tidak. Namun, saya ingin menegaskan bahwa guru bergaya Mbah Dukun (MD) itu memang “realitas”. Nyata adanya. Dari saya menjadi siswa tahun 1990-an, kemudian menjadi guru tahun 2004, hingga sekarang.

Sayangnya, saya belum pernah membaca research (referensi) tentang persentase guru bergaya MD itu. Berapa persentasenya di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi maupun nasional. Namun, sebagai guru, saya berkeyakinan bahwa di beberapa sekolah pasti ada model guru MD. Memang, saya tak punya data yang legitimasi tentang hal tersebut.

Modal saya hanya pengamatan dan sharing. Pengamatan di lingkungan sekitar sekolah, sharing dengan teman guru lintas sekolah, para siswa, beberapa ortu, dan teman-teman penulis. Dari hasil pengamatan dan sharing yang tidak sah itu, saya mendapatkan realitas guru bergaya MD yang “awet”. Tetap bergaya MD lintas zaman meskipun kurikulum sudah bergonta-ganti.  

Jika dihitung sejak saya sekolah, sudah terjadi beberapa pergantian kurikulum dari kurikulum 1994 plus suplemen kurikulum 1999, KBK 2004, KTSP 2006 hingga Kurikulum 2013. Toh, kurikulum tidak mengubah gaya mengajar guru tipekal MD ini. Akankah awet sampai Kurikulum Merdeka nanti?

Sebelum dijawab, ada baiknya kita mengungkap apa di balik awetnya eksistensi guru MD itu. Minus usaha? Bisa jadi. Minus profesional? Mungkin juga. Minus pedagogik? Sangat mungkin.

 

Candu Buku Paket/ LKS

Faktor minus-minus itulah yang menyebabkan guru model MD menjadikan buku paket/ LKS sebagai candu. Minus usaha (malas) menyebabkan guru memilih cara gampang/ instan. Minus profesional membuat guru kurang optimistis dengan kemampuan bidangnya. Minus pedagogik memicu guru kurang PD meramu pembelajaran.

Akhirnya, buku paket/ LKS dijadikan sandaran ketergantungan. Seolah-olah semua perkara pembelajaran dapat diakomodir dengan 2 buku itu. Guru tinggal bermain “mantra” dengan legalitas, power dan hegemoni yang dimilikinya.

Guru tipekal MD percaya bahwa buku paket merupakan turunan (tafsir) kurikulum yang sempurna tanpa celah reinterpretasi. Sementara, LKS dianggap sebagai shortcutnya. Shortcut untuk mentransfer ilmu, mengkarbit ranah kognitif siswa, menghabiskan materi yang kompleks, dan sekaligus untuk mengdisrupsi usaha kreatif dan inovasi pembelajaran. 

Dari sinilah distorsi pembelajaran dimulai. Pembelajaran hanya ritual untuk menggiring siswa kepada “tahu apa” (teoretis) bukan “bisa apa” (praktis). Para siswa tahu teorinya, tetapi tidak bisa mengkonkretkan/ mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Orientasi guru terfokus pada pembangunan siswa berkarakter teoretis—miskin sikap kritis, kreatif dan inovatif. Cek asesmen kompetensi yang dibuat oleh guru misalnya. Soal-soal ulangan, ujian sekolah bahkan UN (sebelum dihapus) hanya mengukur kemampuan teoretis siswa.

Skill praktik (konret) apa yang didapat siswa hanya dengan menjawab soal-soal objektif atau uraian singkat? Saya pikir tidak ada. Belajar hanya menjadi kebutuhan jangka pendek, semu dan tendensius bagi siswa. Dibutuhkan untuk menjawab soal-soal sesaat demi meraih angka-angka yang diawetkan dalam raport atau ijazah.  

Dokumentasi angkanya awet, tetapi kemampuan siswa menghilang ditiup angin esok. Tidak ada bukti karya (proyek) siswa. Tidak ada jejak makna di balik torehan angka-angka tersebut. Habis penilaian, habis perkara. Pembelajaran kehilangan hakikinya.


Spirit Kurikulum Merdeka

Fenomena tipekal guru MD yang awet merupakan alarm bahwa pergantian kurikulum tidak serta-merta mengubah strategi pembelajaran guru secara sigfinikan. Padahal, materi dalam kurikulum terus mengalami perampingan sejak KBK 2004, dirampingkan lagi dalam KTSP 2006 dan menjadi lebih langsing dalam K-13. 

Namun, seri-seri perampingan kurikulum itu tetap berorientasi pada penghabisan materi. Guru-guru berpacu menuntaskan materi. Tak peduli pembelajaran terdistorsi. Pribadi siswa terjebak di lingkaran teori, minus kreativitas (karya nyata).

Karena itulah, lahir ke permukaan Kurikulum Merdeka (KM). Kurikulum yang rencananya diterapkan secara bertahap per tahun 2022 ini dirancang lebih ramping, lebih longgar, dan tidak mengharuskan target penghabisan materi. Jargon andalannya ialah pembelajaran berbasis proyek.

Filosofinya, pembelajaran tidak lagi soal menguasai materi (teori) semata, tetapi bagaimana siswa dapat mengimplementasikannya dalam proyek konkret yaitu produk intra mapel maupun lintas mapel (proyek Profil Pelajar Pancasila). 

KM ingin membentuk pribadi siswa yang praktis, kreatif dan produktif. Hal ini pernah ditegaskan oleh Indra Charismiadji, Dewan Pertimbangan Kepresidenan Bidang Pendidikan dalam workshop Kurikulum Merdeka di Denpasar-Bali (23/2/22). Ia mengungkapkan bahwa ekspektasi KM ialah mencipta” (C6)—puncak tertinggi HOTS yang dikemukakan dalam taksonomi Bloom.

Interpretasi Charismiadji sangat rasional dan penting. Pasalnya, pendidikan kita selama ini lebih berkutat di kubangan menghapal, mengerti, dan memahami teori. Jika dikaitkan dengan teori taksonomi Bloom, masih berada pada level rendah (C1, C2, C3). Bisa jadi, orientasi pembelajaran model inilah yang menciptakan pribadi personal berkarakter pasif dan konsumtif.

Ketika bangsa-bangsa lain berkompetisi merebut panggung pasar global dengan produktivitasnya, kita masih menjadi penonton, gagap dan bangga sebagai pengkonsumsi brand-brand luar negeri. 

KM ingin meretas secara perlahan-lahan persoalan tersebut. KM memberikan harapan bahwa ke depan bangsa ini harus memiliki optimisme sebagai bangsa yang produktif. Optimisme ini harus dibangun dari dunia pendidikan (sekolah). Sekolah diharapkan mampu menjadi rumah kreatif. Rumah untuk membangun karakter “mencipta” sejak dini. 

Akankah ekspektasi KM dapat terwujud nantinya? Kunci utamanya ada di tangan guru. Prof. Dantes, pakar pendidikan Undiksha pernah mengatakan bahwa guru yang baik jauh lebih bagus ketimbang kurikulum yang baik karena guru yang baik bisa menjadikan kurikulum yang kurang baik menjadi baik. Statemen ini ingin menegaskan bahwa pada akhirnya gurulah yang menjadi penentu kualitas pendidikan. 

Artinya, jika ingin mengoptimalkan iklim “mencipta” di sekolah, KM mesti ditopang oleh guru yang berkualitas yakni memiliki kompetensi profesional, pedagogik, dan usaha yang baik. Kemampuan elementer inilah yang akan menciptakan pribadi merdeka (baca: mandiri) pada guru. Merdeka dalam mengambil tindakan/ keputusan pembelajaran yang bermanfaat praktis dan bermakna bagi siswa. Pun merdeka dalam merancang pembelajaran yang kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan berbagai referensi, berbasis IT, dan tidak terpaku pada referensi buku paket/ LKS.  

Masalah krusial muncul ketika KM disandingkan dengan guru tipekal MD. Di tangan guru bergaya MD, ekspektasi KM tentu sulit untuk diwujudkan karena guru tipekal MD sesungguhnya guru yang “terjajah”. Mereka tidak memiliki kemandirian tindakan pembelajaran. Lalu, bagaimana pribadi “terjajah” dapat memberikan kemerdekaan pada siswa? 

Jika tidak mau meningkatkan usaha, mengoptimalkan kemampuan profesional dan pedagogiknya, maka jangan heran kalau mereka tetap awet dalam riuh implementasi KM nantinya. Mereka akan menunggu buku paket/ LKS, kemudian melakukan ritual pembelajaran dengan mengulang mantra-mantra yang sama.

Jadi, apapun kurikulumnya, kompetensi guru harus terus diupgrade. Guru harus memiliki niat serius (intern) untuk meningkatkan kompetensi diri secara kontinu. Disamping itu, harus ada stimulus ekstern untuk mengkondisikan guru meningkatkan kompetensi. Misalnya, dengan mengikuti kegiatan seminar, berdiskusi dalam komunitas dan yang paling penting mengikuti pelatihan-pelatihan dalam jangka panjang yang berkelanjutan. 

Sebetulnya, peluang-peluang mengupgrade diri itu terbuka lebar. Bentuk aktivitas paling kecil ialah supervisi pembelajaran oleh kepala sekolah setiap semester. Semestinya, kegiatan supervisi dapat diberdayakan guru sebagai momen meningkatkan kompetensi diri secara kontinu. Namun, syaratnya kepsek harus menguasai tentang dinamika kompetensi profesional dan pedagogik. Jadi, bukan hanya untuk kepentingan administrasi saja. 

Begitu juga dengan komunitas MGMP sekolah dan MGMP kabupaten/ provinsi. Sayangnya, komunitas ini hanya menjadi wadah mengutak-atik RPP untuk kepentingan administratif semata. Sangat jarang dioptimalkan untuk kepentingan meningkatkan kompetensi esensial guru. Misalnya, membahas masalah isu profesional dan pedagogik. 

Sudah saatnya, eksistensi MGMP itu harus direvitalisasi, terutama mulai dari struktur kepengurusan. Sebaiknya, formasi kepengurusan diisi oleh guru-guru visioner dan revolusioner. Guru yang memiliki semangat, kreatif dan inovatif sehingga MGMP dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kompetensi guru.

Selain itu, pemerintah harus memiliki program konkret meningkatkan kompetensi guru dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Semacam lokakarya, pelatihan-pelatihan, seminar dan atau kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi lainnya. Kalau bisa, kegiatan ini dikalkulasikan dalam bentuk sistem kredit. Angka kredit itu dapat dijadikan persyarat tertentu (administrasi) agar semakin kuat legalitasnya.

Kegiatan-kegiatan upgrade kompetensi seperti program guru penggerak sebagai persiapan menyongsong implementasi KM (oleh pemerintah) sudah sangat bagus. Begitu juga PPG. Sangat bagus untuk meningkatkan kompetensi profesional dan pedagogik guru. Sayangnya, hanya bersifat musiman dan terkesan berbau proyek. Semestinya, ada program jangka panjang peningkatan kompetensi guru secara jelas, terarah dan berkelanjutan minimal sekali dalam setahun misalnya. 

Untuk menguji update peningkatan kompetensi, penting juga adanya kompetisi berjenjang (lomba) di kalangan guru secara rutin. Guru harus diberi ruang berkompetisi terkait dengan bidang profesional maupun pedagogiknya. Ruang kompetisi ini sebagai pemantik semangat guru berkarya. Jadi, sebelum mengajarkan siswa berkarya alangkah baiknya guru menjadi contoh berkarya terlebih dahulu.

Bukan zamannya lagi, guru hanya pandai berkotbah di muka kelas, tunduk dengan satu referensi, menggelar ritual pembelajaran monoton dan meniupkan mantra pembelajaran ala Mbah Dukun. Sudah tak relevan lagi dalam konteks implementasi KM. KM tidak membutuhkan tipekal guru “terjajah”. KM membutuhkan guru merdeka. Mandiri secara usaha, mandiri secara profesional, dan mandiri secara pedagogik—sehingga siap mewujudkan sikap kritis, tindakan kreatif dan inovatif bukan hanya kepada siswa termasuk kepada dirinya sendiri. 

 


Kamis, 02 Februari 2023

 

Jegeg Bulan. Sumber foto: detik.com

Siapa yang nggak kenal dengan lagu koplo Care Bebek? Lagu yang dinyanyikan oleh Jegeg Bulan ini sangat viral sekarang. Lagu ini menjadi salah satu penguasa backsound  video di media sosial seperti TikTok, Instagram, Snack Video hingga Facebook. Lalu, siapa sih sosok si Jegeg Bulan ini sesungguhnya?

Jegeg Bulan adalah nama panggung Ari Bulan Tribuana Prameswari. Wanita asal Denpasar yang lahir pada 8 September 2002 ini ternyata pernah bersekolah di SMP Cipta Dharma, lo. Ia tercatat sebagai siswa SMP Cipta Dharma angkatan 2015.

Ketika SMP, ia tergabung dalam ekstrakurikuler Paduan Suara yang dibina oleh I Putu Suparmayasa, S.Pd. “Waktu SMP Bulan memang menonjol dalam hal tarik suara. Ia sangat aktif. Prestasi kolektif yang ia torehkan ialah ketika tim padus SMP Cipta Juara 3 Lomba Paduan Suara tingkat Kota Denpasar 2018,” ujar Suparmayasa.

Bakat bernyanyi Bulan diwariskan dari kedua orang tuanya, yang juga seorang seniman. Jegeg Bulan masih tergolong pendatang baru di belantika musik nasional tahun ini. Namun, kemampuannya tidak perlu diragukan lagi.

Lagu Care Bebek di awal perilisan tidak hanya viral di dalam negeri, tapi sempat trending di Thailand dan Vietnam. Pada tanggal 9 Desember 2022, lagu ini tembus trending nomor 1 di Youtube Indonesia. Selain itu, pada hari yang sama di Kuala Lumpur, lagu ini juga trending nomor 1.

Care Bebek merupakan single ketujuh yang baru dirilis 5 Oktober 2022. Lagu Cara Bebek menceritakan tentang seorang wanita yang selalu diatur oleh pasangannya dan sering diberikan janji palsu. Lagu Care Bebek sendiri merupakan ciptaan Nathaswara Production. (Jyotiasha, Editor I ketut Serawan)

Sabtu, 28 Januari 2023

 

Pemberian bingkisan dari Bu Kadek Yeni (bendahara yayasan) kepada guru purnabakti

SMP Cipta Dharma (Ceedha) melaksanakan acara temu kangen guru purnabakti pada tanggal 16 Desember 2022. Temu kangen ini merupakan kali pertama selama berdirinya SMP Ceedha. Tujuannya ialah untuk menghargai para guru purnabakti yang telah berjasa memajukan SMP Ceedha hingga eksis sampai sekarang.

“Tanpa jasa mereka (guru purnabakti), tidak mungkin ada SMP Ceedha yang kompetitif dan eksis sampai sekarang,” terang Dra. Ni Luh Susilawati, M.Pd. ketika ditanya alasan temu kangen itu.

Walaupun dikemas sederhana, acara temu kangen tersebut disambut baik oleh para guru purnabakti. “Pertemuan ini adalah penghargaan luar biasa bagi kami. Obat sehat dan panjang umur untuk lansia,” terang I Made Kartu salah satu guru purnabakti yang hadir kemarin.

Acara temu kangen dimulai pada pukul 11.00 wita dengan sambutan-sambutan, pemberian bingkisan dari yayasan kepada guru purnabakti, pemberian bingkisan kepsek kepada semua guru SMP Ceedha, tukar kado di aula. Selanjutnya, ditutup dengan acara ramah-tamah yaitu makan bersama di depan ruang guru plus karaoke dari Pak Bendesa, sekretaris yayasan Ceedha.  

Acara temu kangen ini dihadiri oleh Lucia Margaretha (mantan kepsek SMP Ceedha), I Wayan Sudiasa (mantan guru olahraga), Drs. I Made Rai Yasa (wakil kepsek), dan I Made Kartu Arsana (guru bahasa Inggris dan Seni Rupa). (Kiken, Editor : I Ketut Serawan)

 

Para siswa sedang serius mengerjakan soal-soal SAS semester ganjil


SMP Cipta Dharma (Ceedha) nyelenggarain Sumatif Akhir Semester (SAS) Ganjil tahun pelajaran 2022/ 2023 kemarin (28 November s.d. 2 Desember 2022). SAS diselenggarakan secara offline, tetapi soalnya berbasis online. Semua siswa mengerjakan soal-soal melalui gadgetnya masing-masing. Model online inilah yang dimanfaatin oleh sejumlah oknum siswa untuk bekerja sama hingga membobol soal SAS.

Kasus pembobolan soal terjadi pada hari pertama pelaksanaan SAS. Sejumlah siswa sudah mengetahui soal mapel tertentu sehingga memudahkan mereka dalam menjawabnya. Untungnya, kasus ini segera tercium oleh pihak panitia penyelenggara.

Karena itu, mulai hari kedua dan selanjutnya, panitia mengutak-otak kode keamanan soal agar tidak dapat dibobol lagi. Tindakan panitia tersebut membuahkan hasil. Mulai hari kedua sampai terakhir, pelaksanaan SAS dapat berjalan dengan aman dan lancar.

“Berawal dari isu. Kemudian, pengawas menjumpai anak-anak terlihat santai dan cepat mengerjakan soal-soal. Terus, diceklah rekapan nilainya. Ternyata nilainya besar-besar,” terang Putu Eka Putra ketika menanggapi isu pembobolan itu.

Menurut waka kurikulum dan sekaligus ketua panitia SAS SMP Ceedha ini, kasus pembobolan itu memberikan pelajaran terhadap pelaksanaan SAS berikutnya. “Pasti kami format lebih ketat di masa yang akan datang supaya tujuan SAS dapat tercapai optimal,” ujarnya. (Gek Praba, Editor: I Ketut Serawan)

 

Wali Kelas membagikan raport di dalam kelas masing-masing

Apa yang kalian rasakan jika nilai raportmu bagus atau meningkat? Pasti senang, kan. Bagaimana kalau kurang bagus atau menurun? Ya, kecewalah. Ah, itu mah biasa dalam suasana penerimaan raport. Lalu, bagaimana jika nilai kalian salah input? Nah, kasus inilah terjadi pada kegiatan “raport-an” semester ganjil di SMP Cipta Dharma-Ceedha (16/12/22).

Kasus salah input nilai ini terjadi pada salah satu siswa kelas 8 yang tidak mau disebutkan namanya. Menurutnya, dirinya kaget ketika menemukan nilai mapel tertentu turun drastis. Padahal, anak ini tegolong siswa yang pintar di kelasnya. Usut punya usut, ternyata terjadi kesalahan input nilai terhadap dirinya.

“Sebetulnya, itu bukan nilaiku. Namun, karena kesalahan input, nilai itu masuk ke namaku. Terang saja aku kaget. Rankingku menjadi melorot,” terangnya dengan nada sedikit kecewa.

Walaupun tidak banyak, kasus ini harus mendapat perhatian lebih dari pihak sekolah. Setidaknya, wali kelas harus mengecek dengan detail nilai siswa sebelum dicetak ke dalam bentuk raport. Hal inilah yang disampaikan oleh Dra. Ni Luh Susilawati, M.Pd. “Padahal, kami sudah mengingatkan wali agar selalu mengecek dengan detail nilai siswa sebelum dicetak ke raport. Namun, tetap saja masih dijumpai kasus tersebut. Mungkin ini kasus human error yang harus kita kawal terus,” terang Susilawati.

Karena itu, Susilawati menyarankan agar siswa selalu kroscek nilainya dengan pihak wali. Jika dijumpai kasus salah input, ia meminta siswa melaporkan ke wali masing-masing untuk memperbaiki dan mencetak ulang raport. (Rara, Editor: Ketut Serawan)