Rabu, 08 Februari 2023


Gambar Guru SD Mengajar. Sumber foto: SekolahDasar.Net


 Siapa bilang mengajar itu sulit? Gampang, kok! Coba intip keseharian guru mengajar di sekolah. Cukup menyuruh siswa mengerjakan soal-soal latihan di buku paket atau LKS secara kontinu sampai titik penghabisan, dengan mantra sakti nan gaib. Begini bunyi kalimat mantranya, “Buka halaman sekian! Kerjakan! Lanjutkan!” Kok, kayak Mbah Dukun, ya. Hee…hee…

Apakah semua guru? Tentu saja tidak. Namun, saya ingin menegaskan bahwa guru bergaya Mbah Dukun (MD) itu memang “realitas”. Nyata adanya. Dari saya menjadi siswa tahun 1990-an, kemudian menjadi guru tahun 2004, hingga sekarang.

Sayangnya, saya belum pernah membaca research (referensi) tentang persentase guru bergaya MD itu. Berapa persentasenya di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi maupun nasional. Namun, sebagai guru, saya berkeyakinan bahwa di beberapa sekolah pasti ada model guru MD. Memang, saya tak punya data yang legitimasi tentang hal tersebut.

Modal saya hanya pengamatan dan sharing. Pengamatan di lingkungan sekitar sekolah, sharing dengan teman guru lintas sekolah, para siswa, beberapa ortu, dan teman-teman penulis. Dari hasil pengamatan dan sharing yang tidak sah itu, saya mendapatkan realitas guru bergaya MD yang “awet”. Tetap bergaya MD lintas zaman meskipun kurikulum sudah bergonta-ganti.  

Jika dihitung sejak saya sekolah, sudah terjadi beberapa pergantian kurikulum dari kurikulum 1994 plus suplemen kurikulum 1999, KBK 2004, KTSP 2006 hingga Kurikulum 2013. Toh, kurikulum tidak mengubah gaya mengajar guru tipekal MD ini. Akankah awet sampai Kurikulum Merdeka nanti?

Sebelum dijawab, ada baiknya kita mengungkap apa di balik awetnya eksistensi guru MD itu. Minus usaha? Bisa jadi. Minus profesional? Mungkin juga. Minus pedagogik? Sangat mungkin.

 

Candu Buku Paket/ LKS

Faktor minus-minus itulah yang menyebabkan guru model MD menjadikan buku paket/ LKS sebagai candu. Minus usaha (malas) menyebabkan guru memilih cara gampang/ instan. Minus profesional membuat guru kurang optimistis dengan kemampuan bidangnya. Minus pedagogik memicu guru kurang PD meramu pembelajaran.

Akhirnya, buku paket/ LKS dijadikan sandaran ketergantungan. Seolah-olah semua perkara pembelajaran dapat diakomodir dengan 2 buku itu. Guru tinggal bermain “mantra” dengan legalitas, power dan hegemoni yang dimilikinya.

Guru tipekal MD percaya bahwa buku paket merupakan turunan (tafsir) kurikulum yang sempurna tanpa celah reinterpretasi. Sementara, LKS dianggap sebagai shortcutnya. Shortcut untuk mentransfer ilmu, mengkarbit ranah kognitif siswa, menghabiskan materi yang kompleks, dan sekaligus untuk mengdisrupsi usaha kreatif dan inovasi pembelajaran. 

Dari sinilah distorsi pembelajaran dimulai. Pembelajaran hanya ritual untuk menggiring siswa kepada “tahu apa” (teoretis) bukan “bisa apa” (praktis). Para siswa tahu teorinya, tetapi tidak bisa mengkonkretkan/ mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Orientasi guru terfokus pada pembangunan siswa berkarakter teoretis—miskin sikap kritis, kreatif dan inovatif. Cek asesmen kompetensi yang dibuat oleh guru misalnya. Soal-soal ulangan, ujian sekolah bahkan UN (sebelum dihapus) hanya mengukur kemampuan teoretis siswa.

Skill praktik (konret) apa yang didapat siswa hanya dengan menjawab soal-soal objektif atau uraian singkat? Saya pikir tidak ada. Belajar hanya menjadi kebutuhan jangka pendek, semu dan tendensius bagi siswa. Dibutuhkan untuk menjawab soal-soal sesaat demi meraih angka-angka yang diawetkan dalam raport atau ijazah.  

Dokumentasi angkanya awet, tetapi kemampuan siswa menghilang ditiup angin esok. Tidak ada bukti karya (proyek) siswa. Tidak ada jejak makna di balik torehan angka-angka tersebut. Habis penilaian, habis perkara. Pembelajaran kehilangan hakikinya.


Spirit Kurikulum Merdeka

Fenomena tipekal guru MD yang awet merupakan alarm bahwa pergantian kurikulum tidak serta-merta mengubah strategi pembelajaran guru secara sigfinikan. Padahal, materi dalam kurikulum terus mengalami perampingan sejak KBK 2004, dirampingkan lagi dalam KTSP 2006 dan menjadi lebih langsing dalam K-13. 

Namun, seri-seri perampingan kurikulum itu tetap berorientasi pada penghabisan materi. Guru-guru berpacu menuntaskan materi. Tak peduli pembelajaran terdistorsi. Pribadi siswa terjebak di lingkaran teori, minus kreativitas (karya nyata).

Karena itulah, lahir ke permukaan Kurikulum Merdeka (KM). Kurikulum yang rencananya diterapkan secara bertahap per tahun 2022 ini dirancang lebih ramping, lebih longgar, dan tidak mengharuskan target penghabisan materi. Jargon andalannya ialah pembelajaran berbasis proyek.

Filosofinya, pembelajaran tidak lagi soal menguasai materi (teori) semata, tetapi bagaimana siswa dapat mengimplementasikannya dalam proyek konkret yaitu produk intra mapel maupun lintas mapel (proyek Profil Pelajar Pancasila). 

KM ingin membentuk pribadi siswa yang praktis, kreatif dan produktif. Hal ini pernah ditegaskan oleh Indra Charismiadji, Dewan Pertimbangan Kepresidenan Bidang Pendidikan dalam workshop Kurikulum Merdeka di Denpasar-Bali (23/2/22). Ia mengungkapkan bahwa ekspektasi KM ialah mencipta” (C6)—puncak tertinggi HOTS yang dikemukakan dalam taksonomi Bloom.

Interpretasi Charismiadji sangat rasional dan penting. Pasalnya, pendidikan kita selama ini lebih berkutat di kubangan menghapal, mengerti, dan memahami teori. Jika dikaitkan dengan teori taksonomi Bloom, masih berada pada level rendah (C1, C2, C3). Bisa jadi, orientasi pembelajaran model inilah yang menciptakan pribadi personal berkarakter pasif dan konsumtif.

Ketika bangsa-bangsa lain berkompetisi merebut panggung pasar global dengan produktivitasnya, kita masih menjadi penonton, gagap dan bangga sebagai pengkonsumsi brand-brand luar negeri. 

KM ingin meretas secara perlahan-lahan persoalan tersebut. KM memberikan harapan bahwa ke depan bangsa ini harus memiliki optimisme sebagai bangsa yang produktif. Optimisme ini harus dibangun dari dunia pendidikan (sekolah). Sekolah diharapkan mampu menjadi rumah kreatif. Rumah untuk membangun karakter “mencipta” sejak dini. 

Akankah ekspektasi KM dapat terwujud nantinya? Kunci utamanya ada di tangan guru. Prof. Dantes, pakar pendidikan Undiksha pernah mengatakan bahwa guru yang baik jauh lebih bagus ketimbang kurikulum yang baik karena guru yang baik bisa menjadikan kurikulum yang kurang baik menjadi baik. Statemen ini ingin menegaskan bahwa pada akhirnya gurulah yang menjadi penentu kualitas pendidikan. 

Artinya, jika ingin mengoptimalkan iklim “mencipta” di sekolah, KM mesti ditopang oleh guru yang berkualitas yakni memiliki kompetensi profesional, pedagogik, dan usaha yang baik. Kemampuan elementer inilah yang akan menciptakan pribadi merdeka (baca: mandiri) pada guru. Merdeka dalam mengambil tindakan/ keputusan pembelajaran yang bermanfaat praktis dan bermakna bagi siswa. Pun merdeka dalam merancang pembelajaran yang kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan berbagai referensi, berbasis IT, dan tidak terpaku pada referensi buku paket/ LKS.  

Masalah krusial muncul ketika KM disandingkan dengan guru tipekal MD. Di tangan guru bergaya MD, ekspektasi KM tentu sulit untuk diwujudkan karena guru tipekal MD sesungguhnya guru yang “terjajah”. Mereka tidak memiliki kemandirian tindakan pembelajaran. Lalu, bagaimana pribadi “terjajah” dapat memberikan kemerdekaan pada siswa? 

Jika tidak mau meningkatkan usaha, mengoptimalkan kemampuan profesional dan pedagogiknya, maka jangan heran kalau mereka tetap awet dalam riuh implementasi KM nantinya. Mereka akan menunggu buku paket/ LKS, kemudian melakukan ritual pembelajaran dengan mengulang mantra-mantra yang sama.

Jadi, apapun kurikulumnya, kompetensi guru harus terus diupgrade. Guru harus memiliki niat serius (intern) untuk meningkatkan kompetensi diri secara kontinu. Disamping itu, harus ada stimulus ekstern untuk mengkondisikan guru meningkatkan kompetensi. Misalnya, dengan mengikuti kegiatan seminar, berdiskusi dalam komunitas dan yang paling penting mengikuti pelatihan-pelatihan dalam jangka panjang yang berkelanjutan. 

Sebetulnya, peluang-peluang mengupgrade diri itu terbuka lebar. Bentuk aktivitas paling kecil ialah supervisi pembelajaran oleh kepala sekolah setiap semester. Semestinya, kegiatan supervisi dapat diberdayakan guru sebagai momen meningkatkan kompetensi diri secara kontinu. Namun, syaratnya kepsek harus menguasai tentang dinamika kompetensi profesional dan pedagogik. Jadi, bukan hanya untuk kepentingan administrasi saja. 

Begitu juga dengan komunitas MGMP sekolah dan MGMP kabupaten/ provinsi. Sayangnya, komunitas ini hanya menjadi wadah mengutak-atik RPP untuk kepentingan administratif semata. Sangat jarang dioptimalkan untuk kepentingan meningkatkan kompetensi esensial guru. Misalnya, membahas masalah isu profesional dan pedagogik. 

Sudah saatnya, eksistensi MGMP itu harus direvitalisasi, terutama mulai dari struktur kepengurusan. Sebaiknya, formasi kepengurusan diisi oleh guru-guru visioner dan revolusioner. Guru yang memiliki semangat, kreatif dan inovatif sehingga MGMP dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kompetensi guru.

Selain itu, pemerintah harus memiliki program konkret meningkatkan kompetensi guru dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Semacam lokakarya, pelatihan-pelatihan, seminar dan atau kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi lainnya. Kalau bisa, kegiatan ini dikalkulasikan dalam bentuk sistem kredit. Angka kredit itu dapat dijadikan persyarat tertentu (administrasi) agar semakin kuat legalitasnya.

Kegiatan-kegiatan upgrade kompetensi seperti program guru penggerak sebagai persiapan menyongsong implementasi KM (oleh pemerintah) sudah sangat bagus. Begitu juga PPG. Sangat bagus untuk meningkatkan kompetensi profesional dan pedagogik guru. Sayangnya, hanya bersifat musiman dan terkesan berbau proyek. Semestinya, ada program jangka panjang peningkatan kompetensi guru secara jelas, terarah dan berkelanjutan minimal sekali dalam setahun misalnya. 

Untuk menguji update peningkatan kompetensi, penting juga adanya kompetisi berjenjang (lomba) di kalangan guru secara rutin. Guru harus diberi ruang berkompetisi terkait dengan bidang profesional maupun pedagogiknya. Ruang kompetisi ini sebagai pemantik semangat guru berkarya. Jadi, sebelum mengajarkan siswa berkarya alangkah baiknya guru menjadi contoh berkarya terlebih dahulu.

Bukan zamannya lagi, guru hanya pandai berkotbah di muka kelas, tunduk dengan satu referensi, menggelar ritual pembelajaran monoton dan meniupkan mantra pembelajaran ala Mbah Dukun. Sudah tak relevan lagi dalam konteks implementasi KM. KM tidak membutuhkan tipekal guru “terjajah”. KM membutuhkan guru merdeka. Mandiri secara usaha, mandiri secara profesional, dan mandiri secara pedagogik—sehingga siap mewujudkan sikap kritis, tindakan kreatif dan inovatif bukan hanya kepada siswa termasuk kepada dirinya sendiri. 

 


0 komentar:

Posting Komentar