Gambar Guru SD Mengajar. Sumber foto: SekolahDasar.Net |
Siapa bilang mengajar itu sulit? Gampang, kok! Coba intip keseharian guru mengajar di sekolah. Cukup menyuruh siswa mengerjakan soal-soal latihan di buku paket atau LKS secara kontinu sampai titik penghabisan, dengan mantra sakti nan gaib. Begini bunyi kalimat mantranya, “Buka halaman sekian! Kerjakan! Lanjutkan!” Kok, kayak Mbah Dukun, ya. Hee…hee…
Apakah semua guru?
Tentu saja tidak. Namun, saya ingin menegaskan bahwa guru bergaya Mbah Dukun
(MD) itu memang “realitas”. Nyata adanya. Dari saya menjadi siswa tahun
1990-an, kemudian menjadi guru tahun 2004, hingga sekarang.
Sayangnya, saya
belum pernah membaca research
(referensi) tentang persentase guru bergaya MD itu. Berapa persentasenya di
tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi maupun nasional. Namun,
sebagai guru, saya berkeyakinan bahwa di beberapa sekolah pasti ada model guru
MD. Memang, saya tak punya data yang
legitimasi tentang hal tersebut.
Modal saya hanya
pengamatan dan sharing. Pengamatan di
lingkungan sekitar sekolah, sharing
dengan teman guru lintas sekolah, para siswa, beberapa ortu, dan teman-teman
penulis. Dari hasil pengamatan dan sharing
yang tidak sah itu, saya mendapatkan realitas guru bergaya MD yang “awet”.
Tetap bergaya MD lintas zaman meskipun kurikulum sudah bergonta-ganti.
Jika dihitung sejak
saya sekolah, sudah terjadi beberapa pergantian kurikulum dari kurikulum 1994
plus suplemen kurikulum 1999, KBK 2004, KTSP 2006 hingga Kurikulum 2013. Toh, kurikulum tidak mengubah gaya
mengajar guru tipekal MD ini. Akankah awet sampai Kurikulum Merdeka nanti?
Sebelum dijawab, ada
baiknya kita mengungkap apa di balik awetnya eksistensi guru MD itu. Minus
usaha? Bisa jadi. Minus profesional? Mungkin juga. Minus pedagogik? Sangat
mungkin.
Candu Buku Paket/ LKS
Faktor minus-minus
itulah yang menyebabkan guru model MD menjadikan buku paket/ LKS sebagai candu.
Minus usaha (malas) menyebabkan guru memilih cara gampang/ instan. Minus
profesional membuat guru kurang optimistis dengan kemampuan bidangnya. Minus
pedagogik memicu guru kurang PD meramu pembelajaran.
Akhirnya, buku
paket/ LKS dijadikan sandaran ketergantungan. Seolah-olah semua perkara
pembelajaran dapat diakomodir dengan 2 buku itu. Guru tinggal bermain “mantra”
dengan legalitas, power dan hegemoni yang dimilikinya.
Guru tipekal MD
percaya bahwa buku paket merupakan turunan (tafsir) kurikulum yang sempurna
tanpa celah reinterpretasi. Sementara, LKS dianggap sebagai shortcutnya. Shortcut untuk mentransfer ilmu, mengkarbit ranah kognitif siswa,
menghabiskan materi yang kompleks,
dan sekaligus untuk mengdisrupsi usaha kreatif dan inovasi pembelajaran.
Dari sinilah
distorsi pembelajaran dimulai. Pembelajaran hanya ritual untuk menggiring siswa
kepada “tahu apa” (teoretis) bukan “bisa apa”
(praktis). Para siswa tahu teorinya, tetapi tidak bisa mengkonkretkan/
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Orientasi guru
terfokus pada pembangunan siswa berkarakter teoretis—miskin sikap kritis,
kreatif dan inovatif. Cek asesmen kompetensi yang dibuat oleh guru misalnya.
Soal-soal ulangan, ujian sekolah bahkan UN (sebelum dihapus) hanya mengukur
kemampuan teoretis siswa.
Skill praktik
(konret) apa yang didapat siswa hanya dengan menjawab soal-soal objektif atau
uraian singkat? Saya pikir tidak ada. Belajar hanya menjadi kebutuhan jangka
pendek, semu dan tendensius bagi siswa. Dibutuhkan untuk menjawab soal-soal
sesaat demi meraih angka-angka yang diawetkan dalam raport atau ijazah.
Dokumentasi angkanya
awet, tetapi kemampuan siswa menghilang ditiup angin esok. Tidak ada bukti
karya (proyek) siswa. Tidak ada jejak makna di balik torehan angka-angka
tersebut. Habis penilaian, habis perkara. Pembelajaran kehilangan hakikinya.
Spirit
Kurikulum Merdeka
Fenomena tipekal
guru MD yang awet merupakan alarm bahwa pergantian kurikulum tidak serta-merta
mengubah strategi pembelajaran guru secara sigfinikan. Padahal, materi dalam kurikulum terus mengalami perampingan sejak
KBK 2004, dirampingkan lagi dalam KTSP 2006 dan menjadi lebih langsing dalam
K-13.
Namun, seri-seri
perampingan kurikulum itu tetap berorientasi pada penghabisan materi. Guru-guru
berpacu menuntaskan materi. Tak peduli pembelajaran terdistorsi. Pribadi siswa
terjebak di lingkaran teori, minus kreativitas (karya nyata).
Karena itulah, lahir
ke permukaan Kurikulum Merdeka (KM). Kurikulum yang rencananya diterapkan
secara bertahap per tahun 2022 ini dirancang lebih ramping, lebih longgar, dan
tidak mengharuskan target penghabisan materi. Jargon andalannya ialah
pembelajaran berbasis proyek.
Filosofinya,
pembelajaran tidak lagi soal menguasai materi (teori) semata, tetapi bagaimana
siswa dapat mengimplementasikannya dalam proyek konkret yaitu produk intra
mapel maupun lintas mapel (proyek Profil Pelajar Pancasila).
KM ingin membentuk
pribadi siswa yang praktis, kreatif dan
produktif. Hal ini pernah ditegaskan oleh Indra Charismiadji, Dewan
Pertimbangan Kepresidenan Bidang Pendidikan dalam workshop Kurikulum Merdeka di
Denpasar-Bali (23/2/22). Ia mengungkapkan bahwa ekspektasi KM ialah “mencipta” (C6)—puncak tertinggi HOTS
yang dikemukakan dalam taksonomi Bloom.
Interpretasi
Charismiadji sangat rasional dan penting. Pasalnya, pendidikan kita selama ini
lebih berkutat di kubangan menghapal, mengerti, dan memahami teori. Jika
dikaitkan dengan teori taksonomi Bloom, masih berada pada level rendah (C1, C2,
C3). Bisa jadi, orientasi pembelajaran model inilah yang menciptakan pribadi
personal berkarakter pasif dan konsumtif.
Ketika bangsa-bangsa
lain berkompetisi merebut panggung pasar global dengan produktivitasnya, kita
masih menjadi penonton, gagap dan bangga sebagai pengkonsumsi brand-brand luar negeri.
KM ingin meretas
secara perlahan-lahan persoalan tersebut. KM memberikan harapan bahwa ke depan
bangsa ini harus memiliki optimisme sebagai bangsa yang produktif. Optimisme
ini harus dibangun dari dunia pendidikan (sekolah). Sekolah diharapkan mampu
menjadi rumah kreatif. Rumah untuk membangun karakter “mencipta” sejak
dini.
Akankah ekspektasi
KM dapat terwujud nantinya? Kunci utamanya ada di tangan guru. Prof. Dantes,
pakar pendidikan Undiksha pernah mengatakan bahwa guru yang baik jauh lebih
bagus ketimbang kurikulum yang baik karena guru yang baik bisa menjadikan
kurikulum yang kurang baik menjadi baik. Statemen ini ingin menegaskan bahwa
pada akhirnya gurulah yang menjadi penentu kualitas pendidikan.
Artinya, jika ingin
mengoptimalkan iklim “mencipta” di sekolah, KM mesti ditopang oleh guru yang
berkualitas yakni memiliki kompetensi profesional, pedagogik, dan usaha yang
baik. Kemampuan elementer inilah yang akan menciptakan pribadi merdeka (baca:
mandiri) pada guru. Merdeka dalam mengambil tindakan/ keputusan pembelajaran
yang bermanfaat praktis dan bermakna bagi siswa. Pun merdeka dalam merancang
pembelajaran yang kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan berbagai referensi,
berbasis IT, dan tidak terpaku pada referensi buku paket/ LKS.
Masalah krusial
muncul ketika KM disandingkan dengan guru tipekal MD. Di tangan guru bergaya
MD, ekspektasi KM tentu sulit untuk diwujudkan karena guru tipekal MD
sesungguhnya guru yang “terjajah”. Mereka tidak memiliki kemandirian tindakan
pembelajaran. Lalu, bagaimana pribadi “terjajah” dapat memberikan kemerdekaan
pada siswa?
Jika tidak mau
meningkatkan usaha, mengoptimalkan kemampuan profesional dan pedagogiknya, maka
jangan heran kalau mereka tetap awet dalam riuh implementasi KM nantinya.
Mereka akan menunggu buku paket/ LKS, kemudian melakukan ritual pembelajaran
dengan mengulang mantra-mantra yang sama.
Jadi, apapun
kurikulumnya, kompetensi guru harus terus diupgrade.
Guru harus memiliki niat serius (intern) untuk meningkatkan kompetensi diri
secara kontinu. Disamping itu, harus ada stimulus ekstern untuk mengkondisikan
guru meningkatkan kompetensi. Misalnya, dengan mengikuti kegiatan seminar,
berdiskusi dalam komunitas dan yang paling penting mengikuti
pelatihan-pelatihan dalam jangka panjang yang berkelanjutan.
Sebetulnya,
peluang-peluang mengupgrade diri itu
terbuka lebar. Bentuk aktivitas paling kecil ialah supervisi pembelajaran oleh
kepala sekolah setiap semester. Semestinya, kegiatan supervisi dapat
diberdayakan guru sebagai momen meningkatkan kompetensi diri secara kontinu.
Namun, syaratnya kepsek harus menguasai tentang dinamika kompetensi profesional
dan pedagogik. Jadi, bukan hanya untuk kepentingan administrasi saja.
Begitu juga dengan
komunitas MGMP sekolah dan MGMP kabupaten/ provinsi. Sayangnya, komunitas ini
hanya menjadi wadah mengutak-atik RPP untuk kepentingan administratif semata.
Sangat jarang dioptimalkan untuk kepentingan meningkatkan kompetensi esensial
guru. Misalnya, membahas masalah isu profesional dan pedagogik.
Sudah saatnya, eksistensi
MGMP itu harus direvitalisasi, terutama mulai dari struktur kepengurusan.
Sebaiknya, formasi kepengurusan diisi oleh guru-guru visioner dan revolusioner.
Guru yang memiliki semangat, kreatif dan inovatif sehingga MGMP dapat
dioptimalkan untuk meningkatkan kompetensi guru.
Selain itu,
pemerintah harus memiliki program konkret meningkatkan kompetensi guru dalam
jangka panjang dan berkelanjutan. Semacam lokakarya, pelatihan-pelatihan,
seminar dan atau kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi lainnya. Kalau bisa,
kegiatan ini dikalkulasikan dalam bentuk sistem kredit. Angka kredit itu dapat
dijadikan persyarat tertentu (administrasi) agar semakin kuat legalitasnya.
Kegiatan-kegiatan upgrade kompetensi seperti program guru
penggerak sebagai persiapan menyongsong implementasi KM (oleh pemerintah) sudah
sangat bagus. Begitu juga PPG. Sangat bagus untuk meningkatkan kompetensi
profesional dan pedagogik guru. Sayangnya, hanya bersifat musiman dan terkesan
berbau proyek. Semestinya, ada program jangka panjang peningkatan kompetensi
guru secara jelas, terarah dan berkelanjutan minimal sekali dalam setahun
misalnya.
Untuk menguji update peningkatan kompetensi, penting
juga adanya kompetisi berjenjang (lomba) di kalangan guru secara rutin. Guru
harus diberi ruang berkompetisi terkait dengan bidang profesional maupun
pedagogiknya. Ruang kompetisi ini sebagai pemantik semangat guru berkarya.
Jadi, sebelum mengajarkan siswa berkarya alangkah baiknya guru menjadi contoh
berkarya terlebih dahulu.
Bukan zamannya lagi,
guru hanya pandai berkotbah di muka kelas, tunduk dengan satu referensi,
menggelar ritual pembelajaran monoton dan meniupkan mantra pembelajaran ala
Mbah Dukun. Sudah tak relevan lagi dalam konteks implementasi KM. KM tidak
membutuhkan tipekal guru “terjajah”. KM membutuhkan guru merdeka. Mandiri
secara usaha, mandiri secara profesional, dan mandiri secara pedagogik—sehingga
siap mewujudkan sikap kritis, tindakan kreatif dan inovatif bukan hanya kepada
siswa termasuk kepada dirinya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar