Selasa, 22 Juni 2021

        Sungai menjadi arena “tapa mentas” di Nusa Penida. Foto: I Ketut Serawan


Era 90-an ke bawah, momen hujan bagi anak-anak di kampung saya mengundang dua tafsir rasa yang kontradiktif yaitu kesenangan dan ketakutan. Kesenangan, karena anak-anak dapat bebas bermain hujan-hujanan. Ketakutan, karena hujan dijadikan momen oleh “tapa” (perwujudan naga) untuk melintasi sungai-sungai di Nusa Penida. “Tapa” ini sering meminta korban manusia (pengiring) sebagai pengikutnya. Konon, korbannya terhipnotis begitu saja lalu menceburkan diri ke sungai dan terseret arus deras bersama sang “tapa”.

Menurut almarhum Kakek Kamasan (kakek saya), “tapa” adalah seekor naga besar. Seluruh permukaan kulitnya dipenuhi dengan sisik berwarna kuning keemasan. Bahkan, gelung atau mahkotanya pun mengkilap berwarna keemasan.

Konon, “tapa” itu adalah manifestasi atau perwujudan seorang pertapa yang hendak naik kasta ke bangsa dewa. Sebelum sempurna “meraga” (berwujud) dewa, maka sang pertapa harus melewati proses panjang yakni bertapa di Puncak Bukit Mundi, puncak tertinggi di Nusa Penida.

Salah satu tahapan proses yang harus dilewati oleh sang pertapa adalah perubahan fisik. Ya, mungkin semacam metamorfosis fisik. Entah hitungan hari ke berapa, tubuh sang pertapa berubah menjadi seekor naga besar.

Selanjutnya, naga emas ini menunggu momen “mentas” (turun gunung/ bukit). Momen mentas ini tidak boleh sembarangan. Jika sembarangan, maka prosesi “mentas” dari sang “tapa” bisa jadi gagal total.

Dulu sekali, konon pernah ada kejadian “tapa” gagal “mentas”. Ketika “mentas” dari Puncak Bukit Mundi, di tengah perjalanan badan sang “tapa” dalam kondisi kandasan. Air sungai tidak cukup dalam dan kekuatan arusnya lemah. Hal ini membuat tubuh sang ”tapa” tersangkut di suatu tempat tertentu dan tidak berhasil mencapai lautan.

Prosesi “mentas” seperti itu dianggap gagal. Artinya, peluang sang pertapa untuk naik kasta ke bangsa dewa dipastikan gagal. Sia-sialah proses pertapaan yang dilakukan oleh sang pertapa selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bertahun-tahun di Puncak Bukit Mundi.

Karena itu, momen “mentas” oleh sang “tapa” harus betul-betul mempertimbangkan kondisi alam. Setidak-tidaknya, harus memperhatikan dua faktor penting yaitu kedalaman air sungai dan kekuatan arusnya. Tubuh naga yang besar harus dipastikan dapat terdorong atau terseret oleh arus air sungai. Tidak boleh ada benda-benda lain yang bisa menghambat laju tubuh naga itu.

Tubuh naga harus melaju melewati setiap lekuk sungai hingga mencapai titik terakhir yaitu laut. Ya, lautan! Atas pertimbangan ini, maka konon sang “tapa” lebih memilih “mentas” pada saat blabar agung (banjir besar). Bisa dibayangkan volume dan kekuatan air sungainya. Pasti dalam dan deras. Kondisi ini akan mempercepat dan memuluskan perjalanan sang “tapa” mencapai tujuan (baca: lautan).

Selain kelancaran prosesi “mentas”, konon sang “tapa” juga membutuhkan pengiring (pengikut) untuk mendampingi perjalanannya menuju lautan. Pengikut itu bisa hewan seperti sapi, babi, anjing dan termasuk manusia. Korban manusia inilah yang terdengar paling mengerikan, terutama di telinga anak-anak.

Karena itu, anak-anak tahun 90-an ke bawah sangat patuh dan tunduk dengan cerita sang “tapa” tersebut. Para orang tua melarang anak-anaknya bermain hujan-hujanan jika hujan turun dengan lebat. Apalagi hujan lebat itu turun seharian atau berhari-hari. Anak-anak harus tinggal di rumah. Tidak boleh bermain ke luar, apalagi sampai mendekati sungai. Terlebih lagi melintasi sungai. Tidak boleh!

Misteri Cerita “Tapa”

Cerita “tapa” melekat dan membentuk imaji yang begitu kuat di otak bawah sadar anak-anak. Hujan deras selalu menyimpan keraguan bagi anak-anak. Di satu sisi, ada keinginan kuat untuk keluar bermain hujan-hujanan. Di sisi lain, bayang-bayang “tapa mentas” setiap saat membangunkan memori ketakutan mereka.

Perang keraguan tersebut seolah-olah menjadi pertarungan batin bagi anak-anak. Bahkan, tanpa disadari sudah mendarah daging. Namun, bukan berarti riak-riak perlawanan itu nihil. Ketika saya SD kelas 5 (tahun 1991), riak perlawanan atau pengingkaran mulai muncul cukup kuat. Entah dari mana datangnya. Dalam hati, pokoknya saya kurang meyakini kejadian cerita itu sebagai realitas.

Mungkin karena selama masa kanak-kanak hingga saya SD, tidak pernah kudengar lagi masyarakat mengalami seperti yang dituturkan oleh Kakek kamasan. Faktor ini perlahan-lahan mengikis keyakinan saya terhadap cerita “tapa” itu. Sampai akhirnya, saya berkesimpulan bahwa cerita “tapa” itu hanya hayalan (fiksi) belaka.

Namun, belum “sempurna bulat” pengingkaran saya terhadap cerita “tapa” itu, kakak sepupu saya membobolnya dengan realitas. Sekitar tahun 1992, ia hampir menjadi pengiring sang “tapa”—kalau tidak diselamatkan oleh nenek Semi (istri dari kakak kakek saya).

Kejadiannya kira-kira pukul 18.00 sore. Ketika menyeberangi Tukad Lanjang, persis di atas jembatan, kakak sepupu saya tiba-tiba berhenti. Ia setengah berteriak kepada nenek Semi, ketika di depannya (sebelah barat) melintas seekor naga emas. Kakak sepupu saya yang masih remaja waktu itu, tiba-tiba hendak menceburkan diri ke sungai.

Dengan kekuatan penuh, kedua tangan nenek Semi memegang kuat lengan kakak sepupu saya, lalu menyeretnya melewati jembatan tersebut. Sempat terjadi adegan tarik-menarik antara nenek Semi dan kakak sepupu saya, dalam hitungan beberapa menit. Namun, adegan itu dimenangkan oleh nenek Semi.

Entah kekuatan apa yang merasuki nenek Semi. Padahal, secara umur, fisik dan tenaga nenek Semi jauh di bawah kakak sepupu saya. Ajaibnya, nenek Semi berhasil menarik dan menggiring kakak sepupu saya berjalan hingga selamat sampai ke rumah (dimel).

Sebetulnya, perjalanan mereka tidak mendapat restu dari keluarga di jumah desa. Keluarga jumah desa sudah melarang mereka pulang ke rumah (kamel, ke kubu), sebab hujan deras terjadi dari malam dini hari hingga keesokan harinya. Kemudian, hujan mereda menjelang sore harinya.

Karena dianggap sudah reda, kakak sepupu saya dan nenek Semi nekad jalan kaki pulang ke rumah. Tindakan nekad ini hampir berujung maut pada kakak sepupu saya. Beruntung, Tuhan (melalui tangan nenek Semi) berhasil menyelamatkan kakak sepupu saya dari tragedi maut itu.

Kejadian ini membuat gempar warga di kampung saya. Orang-orang pakrimik  (ngegosip) menceritakan kejadian itu secara estafet, dari satu mulut ke mulut yang lainnya, dari rumah ke rumah, dari ladang ke ladang hingga tempat pergumulan sosial. Aura cerita ini membuat anak-anak kembali pada ketakutan purba. Mereka meyakini eksistensi “tapa” itu nyata adanya. Tak ada celah penyangkalan.

Sebaliknya, para orang tua berusaha mencari celah penyangkalan atas kejadian tersebut. Andai saja kejadian itu dialami oleh anak-anak, mereka yakin cerita itu hanya bualan semata. Akan tetapi, kejadian ini dialami oleh seorang gadis dan seorang nenek. Dari sini, warga menjadi bimbang. Karena sangat kecil peluangnya seorang nenek Semi (istri Jro Mangku) membuat cerita rekayasa.

Orang-orang di kampung saya menjadi tunduk. Beberapa yang hendak menyangkal, hanya bergumam dalam hati. Mereka biarkan pertanyaan-pertanyaan penyangkalannya mengendap dalam sanubarinya masing-masing. Sebagian lagi, membiarkan rasa keraguannya berhembus bersama angin esok yang terus bergerak. Hingga waktu meninggalkan cerita itu hampir 29 tahun lamanya.

Modernisasi kian menggerus kampung saya. Cerita “tapa” yang dialami kakak sepupu saya semakin tenggelam dari permukaan. Tak laku untuk diceritakan karena kalah jauh dengan cerita-cerita di dunia maya (medsos), yang setiap detik bisa berubah kisah.

Meskipun demikian, cerita “tapa” dari kakek saya dan kejadian yang dialami oleh kakak sepupu saya tetap saja menyimpan misteri hingga sekarang. Bahkan, misteri yang dikandungnya cukup unik. Ganda. Bukan hanya cerita tapa-nya, melainkan kejadian yang dialami kakak sepupu saya, juga menyimpan misteri yang menarik.

Aspek misterius inilah yang mungkin membuat mitos selalu menarik untuk diceritakan. Namun celakanya, seringkali masyarakat sekarang membenturkan mitos (cerita) dengan fakta. Pernah mendengar ungkapan “Mitos atau fakta?” Dalam konteks ini, mitos seolah-olah dianggap sebagai pecundang, tidak benar, bohong, tidak masuk akal (halu).

Padahal, sebagai sebuah karya sastra, mitos tidak lahir dari kekosongan sosial. Begitu juga dengan cerita “tapa”. Setidaknya, ia lahir dari denyut atau riuh sosial (masa lampau) yang pernah terjadi di Nusa Penida. Kemudian, riuh atau fakta-fakta sosial ini yang ditafsirkan dan diolah menjadi cerita (mitos) yang sarat pesan moral.

Saya menduga bahwa cerita “tapa” itu berkaitan dengan tragedi banjir besar yang memakan korban jiwa di NP. Bisa jadi (dulu) pernah ada kejadian orang NP terseret air sungai akibat banjir besar. Fakta ini sangat mungkin karena jembatan penyeberangan sungai zaman dulu tentu sangat sederhana, tidak secanggih sekarang.

Artinya, potensi orang hanyut atau diseret arus deras sungai sangat besar. Mengapa harus dikaitkan dengan hujan deras? Pertama, karena hujan deras menyebabkan volume air sungai menjadi bertambah tinggi. Kedua, sungai di NP termasuk sungai tadah hujan. Sungai akan terisi air apabila curah hujan cukup lebat. Kalau tidak, maka sungai menjadi kering kerontang.

Mengapa “tapa” disimbolkan dengan naga? Mungkin karena lekuk fisik sungai memang menyerupai ular. Panjang berkelok-kelok. Jika dilihat dari kejauhan, bentuk air sungai tak ubahnya seperti ular raksasa.

Pesan Moral Cerita “Tapa”

Lalu, pesan moral apa yang hendak disampaikan dalam cerita “tapa” itu? Pesan moral yang dikandungnya cukup jelas. Kejelasan pesan ini tampak dari sosok “tapa” itu sendiri. Dilihat dari esensi katanya, “tapa” merupakan bentuk dasar dari metapa (bertapa). “Tapa” bermakna kurang lebih menahan hawa nafsu/ keinginan.  

Lewat esensi tokoh “tapa”, cerita ini ingin mengedukasi masyarakat agar bertapa tatkala hujan deras. Maksudnya, masyarakat diharapkan menunda keingingan bepergian jika hujan turun deras, apalagi sampai menimbulkan banjir besar.

Pesan tersebut sangat rasional, karena hujan deras (banjir besar) sangat berbahaya bagi makhluk hidup seperti hewan dan termasuk manusia. Titik paling berbahaya ketika banjir besar tentu areal sungai. Sungai merupakan tempat berkumpulnya air hujan. Jika dalam kondisi begini, manusia tetap ingin menyeberangi, risiko diseret air sungai sangat besar.

Dari cerita “tapa” ini juga tersimpan pesan agar manusia dapat menjalin harmonisasi dengan alam. Manusia diharapkan menghargai proses kerja alam. Alam memiliki waktu dan cara tersendiri dalam menjaga keseimbangannya. Ketika daratan dipenuhi dengan air hujan, alam memiliki cara yakni mengirim debit air hujan ke laut melalui sungai. Cara kerja alam ini harus dihargai oleh manusia, dengan cara tidak bepergian melintasi sungai.

Selain itu, cerita “tapa” juga mengandung unsur alarm (peringatan) kepada generasi berikutnya bahwa pernah terjadi korban banjir ketika hujan lebat. Tragedi ini jangan sampai terulang lagi pada hari-hari mendatang. Kalau tidak nihil, minimal korban dapat diminalisasikan. Karena itu, sebaiknya batalkan rencana keinginan bepergian ketika hujan lebat (apalagi berefek banjir besar).

Jadi, cerita “tapa” merupakan tonggak peringatan bahaya dan sekaligus sebagai bel kewaspadaan. Dari cerita ini, masyarakat hendak disadarkan agar selalu eling terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh hujan lebat. Kewaspadaan adalah kunci penting agar selamat dari marabahaya banjir. Dan yang paling penting lagi yakni meredam ego bepergian dengan cara bertapa, menunda rencana bepergian ketika hujan lebat turun berhari-hari.

Karena itu, kepatuhan anak-anak tidak melampiaskan ego bermain hujan-hujanan ketika hujan lebat juga merupakan bentuk tapa. Tapa agar terhindar dari marabahaya. Biarkan hujan lebat menjadi pelampiasan abadi bagi sang “tapa” melintasi sungai sendirian, tanpa pengikut. Karena “tapa” sesungguhnya air sungai itu sendiri.

Sabtu, 19 Juni 2021

 

Perlengkapan "nyundih" di Nusa Penida


Bagi masyarakat pesisir Nusa Penida, purnama-tilem tidak hanya dianggap sebagai hari suci (sakral) tetapi juga dijadikan momen spesial mengais rezeki yaitu “nyundih” (nyuluh). “Nyundih” merupakan kegiatan mencari (menangkap) ikan, gurita, udang, kepiting dan lain sebagainya pada malam hari di laut. Karena itu, aktivitas “nyundih” biasanya dilakukan dua atau tiga hari pasca purnama-tilem. Karena pada hitungan hari inilah, air laut mengalami puncak surut pada malam hari.

“Nyundih” berasal kata dasar “sundih” yang maknanya kurang lebih yaitu alat penerang. Artinya, aktivitas “nyundih” tidak bisa dilepaskan dari alat penerang. Alat penerang inilah yang menjadi kunci utamanya. Karena “nyundih” dilakukan pada malam hari.

Karena aktivitasnya di laut, maka “penyundih” harus memahami waktu surut air laut pada malam hari. Walaupun masyarakat di kampung saya tidak pernah mempelajari tentang oseanografi (ilmu kelautan), tetapi mereka sangat paham dengan kondisi (waktu) pasang-surut air laut.

Patokan mereka adalah momen purnama dan tilem. Biasanya, rentang 2-3 hari sebelum purnama-tilem mulai ada kondisi surut air laut. Jika waktu surutnya terjadi pada sore hari, maka semakin ke depan akan terus bergerak telat mendekati malam.

Misalnya, 3 hari sebelum purnama-tilem surut dimulai pada pukul 15.00 wita, maka keesokan harinya akan lebih telat, mungkin sekitar 15.30 atau 16.00. Esoknya lebih telat lagi. Bisa diprediksi pasca 2-3 hari purnama-tilem surut dimulai pada malam hari. Inilah momen yang paling tepat dimanfaatkan warga untuk kegiatan “nyundih”.

Esensi dan Dinamika “Nyundih”

Sebetulnya, tidak semua orang di kampung saya menangkap ikan pada malam hari. Beberapa ada yang melakukan penangkapan di luar malam hari. Misalnya, mereka menangkap ikan ketika air surut pada pagi atau sore hari. Orang-orang di kampung saya menyebutnya dengan istilah “noba”. Padahal, perlengkapan dan teknis penangkapan sama persis dengan “nyundih”. Perbedaannya hanya terletak pada waktu dan kehadiran alat penerang.

Baik “noba” maupun “nyundih” biasanya membawa perlengkapan meliputi alat penangkap dan wadah hasil tangkapan. Alat-alat penangkap yang dibawa biasanya sederhana berupa poke (tombak panak bermata satu), sambleng (tombak panah bermata lebih dari satu), dan seser/ sawu. Sementara itu, wadah hasil tangkapan umumnya berupa dungki atau ember plastik.

Kelebihan perlengkapan “nyundih” terletak pada alat penerang. Tahun 80-an hingga 90-an, alat penerang yang populer digunakan ialah lampu strongking/ petromaks. Warga di kampung saya menyebutnya dengan istilah “damar kaos”. Bahan bakar utamanya ialah minyak tanah, tetapi awal penyalaannya dibantu menggunakan bahan stimulus lain yaitu spritus.

Lampu petomaks memiliki titik nyala pada kantong (kaos) tipis berjaring. Letaknya ditengah-tengah, dibentengi oleh bilah-bilah kaca yang rapat, tebal, menyerupai bentuk tabung. Kaca-kaca ini mungkin berfungsi untuk melindungi nyala kaos tipis itu dari sentuhan benda lain yang sifatnya merusak. Pun melindungi nyala kaos tipis dari serangan angin.

Di dalam benteng kaca, persisnya di bawah kantong tipis, ada wadah kecil menaruh spritus. Ketika spritus bersentuhan dengan api, maka api sedikit demi sedikit membakar bagian permukaan kaos. Begitu kaos terbakar, api dari sumber spritus mati (karena spritus habis). Pada saat inilah, pompa lampu petromaks yang terletak di bagian tangki bawah dimainkan naik-turun. Sesekali, spuyer lampu juga ikut diputar ke arah kanan-kiri. Alat berbentuk bunder pipih ini berfungsi mengatur tekanan bahan bakar.

Lampu petromaks inilah yang dipanggul dengan sanan bersama benda berat lainnya (diikat pada ujung), sebagai penyeimbang. Agar cahaya lampu lebih terfokus, biasanya petromaks dilengkapi dengan tedung (seperti piringan agak melengkung ke bawah). Tedung ini membatasi kumpulan cahaya sehingga ikan-ikan tertarik lebih dekat dengan para “penyundih”. Bahkan, beberapa ikan seperti ikan lamat (anak-anak ikan) sangat menyukai dan memburu cahaya petromaks.

Pembatasan cahaya dan efek cahaya lampu menyebabkan ikan, udang, kepiting, gurita menjadi lebih jinak. Di tambah lagi dengan kondisi air laut yang dangkal sehingga binatang laut menjadi terbatas geraknya. Kebanyakan binatang laut ini terjebak dalam kubangan-kubangan air laut yang dangkal. Kondisi ini memudahkan para “penyundih” menangkap hewan-hewan laut tersebut.

Ikan, kepiting, gurita memiliki penyelamatan dengan bersembunyi di balik terumbu karang atau batu karang dasar laut lainnya. Akan tetapi, senjata poke siap menghunjami mereka dari atas. Jika keluar dan memilih bersembunyi di balik rumput laut liar atau lumpur, maka sambleng siap menusuk dari atas. Dan jika hendak berlari ke tempat terbuka, sawu siap menjaringnya.

Era 80-an dan awal 90-an, lampu petromaks tidak hanya populer di kalangan para “penyundih” tetapi menjadi tumpuan dan andalan penerangan dalam berbagai kegiatan di kampung saya. Peran penting lampu petromaks ini sangat terasa karena kampung saya belum tersentuh listrik. Semua kegiatan sosial seperti piodalan, tiga bulanan, acara balih-balihan mengandalkan lampu petromaks sebagai penerang kala itu.

Lampu petromaks mengalami puncak kejayaan ketika drama gong sedang booming di kampung saya. Saya yakin generasi penggila drama gong pasti tidak bisa melupakan pregina-pregina legendaris di kampung, kisah-kisah dramatisnya, dan tentu saja peran lampu penerang “petromaks” saat pertunjukan.

Kepemilikan atas lampu petromaks juga tidak sembarang. Tidak semua warga di kampung saya memiliki lampu petromaks. Hanya orang-orang tertentu (ekonominya cukup) yang bisa memiliki lampu ini. Lampu petromaks seolah-olah menjadi citra status sosial di kampung saya kala itu.

Sebelum lampu petromaks merajai dunia “persundihan” di kampung saya, konon tradisi “nyundih” dulu menggunakan “prarak” sebagai alat penerang. Daun kering dari kelapa dilepaskan dari tulang daunnya, kemudian diikat segenggam tangan orang dewasa. Menurut paman saya, para “penyundih” membawa beberapa ikat “prarak” sesuai kebutuhan. “Prarak” inilah yang dibakar dengan korek api dan digunakan sebagai penerang saat “nyundih”.

Alat penerang “prarak” tentu murah meriah. Tidak membutuhkan biaya operasional semahal lampu petromaks. Keberadaannya juga melimpah dan gampang didapat. Karena itu, “prarak” tetap populer digunakan sebagai alat penerang mencari kleted oleh anak-anak zaman saya.

Kleted adalah sejenis serangga (kumbang) berukuran kecil, empat kali lipat lebih kecil dari kumbang kotoran sapi (beduda), warnanya coklat mengkilap, dan pemakan daun-daunan. Kleted tergolong kumbang nokturnal. Siangnya, menimbun diri di dalam tanah, dengan ciri gundukan tanah kecil dan halus di atasnya. Malam harinya, mereka keluar beraktivitas mencari makan. Mereka memakan berbagai jenis daun seperti daun sawo, mangga, jambu, dan terutama daun pisang.

Cara menangkapnya mudah. Jika bertengger pada daun yang rendah, kita cukup mengambilnya dengan tangan. Namun, jika bertengger pada daun yang agak tinggi, maka “prarak” diangkat lebih tinggi. Ujung “prarak” yang menyala didekatkan dengan badan “kleted”. Rasa panas api menyebabkan “kleted” terjatuh ke tanah. Selanjutnya, kleted tinggal dipungut dan dimasukkan ke dalam bumbung.

Era saya kecil, kleted menjadi lauk populer di kampung saya. Cara mengolahnya sederhana. Cukup digoreng hingga matang. Kemudian, dimakan dengan atau tanpa nasi. Keberadaan “kleted” bersifat musiman. Serangga ini biasanya eksis bersamaan dengan musim tanam jagung.

Begitu juga dengan “nyundih”. Aktivitas “nyundih” dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan lauk di dapur. Jarang sekali ada warga sampai menjual hasil tangkapan “nyundih”. Biasanya, hasil tangkapan digunakan murni untuk dikonsumsi. Berbeda dengan nelayan. Orientasinya ialah menjual hasil tangkapan.

Berbicara soal hasil tangkapan “nyundih”, seingat saya makin ke depan hasil tangkapannya kurang maksimal. Waktu kecil (tahun 80-an), saya ingat hasil tangkapan “nyundih” dari ayah saya sangat maksimal. Satu dungki  besar bisa penuh. Belum lagi, ember lain juga penuh. Jenis tangkapannya pun bervariasi, misalnya ikan, gurita, udang (lobster), siput, belut laut, kepiting dan lain sebagainya.

Ya, mungkin waktu itu ekosistem laut masih terjaga dengan baik. Terumbu karang, rumput laut liar, lumut, batu-batu karang dasar laut, dan lain-lainnya masih terpelihara dengan baik. Namun, ketika budidaya rumput laut mulai merambah sekitar tahun 90-an, masyarakat berebut mencari lahan (petak) untuk ditanami rumput laut. Karang-karang dasar laut dan termasuk terumbu karang harus dibersihkan dari areal petak rumput laut. Dari sinilah, keberadaan biodata laut mulai sedikit terganggu.

Penguasaan petak-petak (lahan) oleh petani rumput laut menyebabkan arena “nyundih” semakin sempit. Populasi ikan dan jenis hewan laut lainnya juga dirasakan berkurang. Mungkin faktor inilah salah satu yang menjadi penyebab semakin berkurangnya hasil tangkapan “nyundih” dari warga.

Padahal, era kejayaan budi daya rumput laut orang semakin jarang melakukan aktivitas “nyundih”. Ya, mungkin kebanyakan petani rumput laut lelah karena seharian melakukan aktivitas bertani rumput laut. Selain itu, banyak yang beranggapan bahwa kebutuhan terhadap lauk dapat dipenuhi dengan cara membeli dari para nelayan. Karena perekonomian masyarakat pesisir waktu itu cukup baik.

Dampaknya, aktivitas “nyundih” kian berkurang pendukungnya. Pasca runtuhnya rumput laut (awal tahun 2000-an), aktivitas “nyundih” juga lerlihat sepi. Kesepian ini berlanjut ketika pariwisata berkembang di NP mulai sekitar tahun 2016. Aktivitas “nyundih” menemui titik nadir.

Namun, di penghujung tahun 2019 pariwisata NP anjlok dilanda pandemi Covid-19. Ekonomi masyarakat di kampung saya mulai kedodoran. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan lauk dirasakan sangat sulit. Kondisi ini menyebabkan aktivitas “nyundih” mendapat dukungan kembali. Beberapa anak milenial mulai melakukan aktivitas “nyundih” untuk memenuhi keperluan lauk dapurnya.

Namun, ada perubahan “nyundih” masa kini dengan masa sebelumnya, terutama pada alat penerangnya. Ketika lampu petromaks sudah masuk museum, maka muncul alat penerang yang lebih praktis dan portabel yaitu lampu senter (charger) dengan berbagai tipe. Umumnya, tipe yang paling digandrungi oleh masyarakat ialah lampu senter yang diletakkan di atas kepala.

Bukan hanya berbeda soal alat penerang, “nyundih” dulu dan sekarang juga memiliki spirit yang tak sama. Dulu,  “nyundih” menjadi ketulusan untuk menghadapi kenyataan (kebutuhan) hidup. Akan tetapi, sekarang “nyundih” tak ubahnya sebagai sebuah spirit pelarian kenyataan hidup.

Jumat, 18 Juni 2021

 

Ada Manusia Pingin Mati

Oleh

Komang Andika Prasetya


Ilustrasi gambar: https://pixabay.com

            Ada manusia yang pingin mati. Namanya Mronges. Sejak sebulan belakangan, keinginannya untuk mati begitu kuat. Entah apa yang merasukinya? Pokoknya ia tidak ingin hidup. Ingin mati titik.

Berbagai usaha sudah ditempuhnya. Ia sudah mencoba menabrakkan dirinya di tengah keramaian lalu lalang kendaraan di kota. Namun, gagal. Kemudian, dia mencoba meloncat dari jembatan layang, tower, dan gedung pencakar langit. Hasilnya, nihil. Ia tetap selamat dan hidup.

Ia terus berdoa, memohon ketidakselamatan. Akhirnya, doanya terjawab. Sebuah gempa dahsyat melanda tempat tinggalnya. Orang-orang berlarian keluar gedung mencari titik aman. Sementara, rumah-rumah warga hancur rata.

Mronges senang. Ia berharap kejadian ini akan menghabisi hidupnya. Karena itu, ia memilih diam seorang diri di rumahnya. Sementara itu, atap, dinding, dan jendela rumahnya roboh mengubur dirinya. Sekali lagi, ia tetap saja selamat. Hanya bermandikan debu, tetapi sama sekali tidak mengalami luka.

Para warga di kampung Mronges menjadi heran dan sekaligus kebingungan. Banyak warga mengatakan bahwa Mronges merupakan orang sinting. Banyak pula yang mengatakan Mronges sedang memperdalam ilmu kebal. Sebagian lagi mengatakan Mrogres dilanda stres berat.

“Saya yakin Mronges pasti belum bisa menerima kejadian 5 tahun yang lalu,” kata Bli Kenyat sambil bergotong-royong membersihkan puing-puing bangunan bersama para warga lainnya.

“Sudah pastilah, Bli!” jawab Bli Sengap menimpali. Para warga lain hanya mengangguk-anggukan kepala, seolah-olah merasa kasihan dengan nasib yang menimpa Mrongres.

Mronges harus kehilangan tanah 1 hektar plus setengah karang rumahnya. Tanahnya sudah menjadi milik sebuah perusahaan (investor) air mineral. Padahal, Mronges tidak pernah menjual tanah itu. Tiba-tiba saja, segerombolan preman dan aparat kepolisian memasang pagar beton pembatas pada tanah yang menjadi warisan leluhurnya Mrongres.

Mronges marah. Ia hendak menghancurkan tembok pembatas itu. Namun, apa daya. Satu berbanding puluhan preman dan ratusan polisi, membuat Mrogres mati kutu. Karena itu, ia berlari menuju kantor desa, minta petunjuk kenapa tanahnya dirampas begitu saja. Pak kades mengatakan sudah sesuai dengan prosedur penjualan.

Satu-satunya cara melaporkan kepada pihak kepolisian. Mronges bersengketa dengan pihak perusahaan dalam sidang pengadilan. Hasilnya, mudah ditebak. Mrongres dinyatakan kalah. Tanah tersebut milik perusahaan air mineral.

Setelah kejadian itu, Mronges sering ngamuk-ngamuk di rumah. Kemudian, perusahaan merasa terganggu, lalu melaporkan Mronges ke kepolisian, hingga berujung pengadilan yang kedua bagi Mronges. Mronges dinyatakan bersalah dan mendekam di penjara.

Keluar dari penjara, jadilah Mronges yang sekarang. Mronges yang dikenal warga sebagai orang yang bosan hidup.

“Kenapa harus minta mati, Mrongres?” tanya Bli Kenyat

“Aku ingin cepat ketemu Tuhan,” jawab Mronges singkat.

“Kenapa harus ketemu Tuhan?” ujar Bli Sengap menimpali.

“Aku pingin keadilan. Hanya Tuhan yang maha adil,” Mronges menjawab dengan pandangan kosong ke arah tanah, yang kini bukan jadi miliknya lagi.

            Orang-orang menjadi paham tentang kondisi Mrongres. Satu sisi, orang kasihan melihat tingkah laku Mrongres. Namun di sisi lain, para warga juga jengkel dengan kelakukan Mronges, karena dianggap memberikan inspirasi kepada warga lain untuk bunuh diri.

            “Kita harus usir Mrongres dari kampung, sebelum orang-orang di kampung kita terinspirasi untuk bunuh diri.” Begitulah, hasil rapat para warga. Kelian Adat, Kelian Dusun, dan Kepala Desa sangat setuju. Maka, dibantu oleh perusahaan air mineral, Mronges ditangkap paksa. Ia dibawa ke sebuah hutan lebat oleh orang-orang bercadar.

            Kampung Mronges menjadi aman. Tidak ada lagi teror-teror bunuh diri. Setahun pasca kejadian itu, perusahaan air mineral kembali melebarkan cabang perusahaan di kampung Mrongres. Banyak warga terkena kasus yang sama seperti Mrongres. Tanahnya tiba-tiba pindah tangan menjadi milik perusahaan tersebut. Warga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali ngamuk-ngamuk, kemudian berujung pada penjara. Akhirnya, mereka juga ikut-ikutan ingin mati.

           Semakin hari, jumlah warga yang pingin mati kian bertambah. Perusahaan semakin terganggu. Pasalnya, orang-orang ingin mati itu berlompatan di atas tembok-tembok pembatas perusahan yang berisi kawat berduri. Mereka berharap ketajaman kawat berduri itu dapat melukai mereka, lalu menyebabkan pendarahan hebat dan mati. Atau jatuh dari tembok-tombok raksasa itu, kemudian tergeletak tak bergerak di atas tanah.

            Nyatanya, tidak. Mereka tetap hidup. Bahkan, semenjak kedatangan Mrongres ke kampung halaman, tembok-tembok raksasa milik perusahaan menjadi tren bunuh diri. Di bawah komando Mronges, orang senasib dengan dirinya, sangat senang membenturkan diri ke tembok, melompat dari atas tembok, dan menancapkan tubuhnya pada kawat berduri tajam. Namun, tak satu pun yang mengalami terluka apalagi mati.

            Pihak perusahaan menjadi jengkel. Mereka menambah jumlah satpam untuk menjaga tembok perbatasan. Mereka menyewa beberapa preman dan termasuk polisi. Semuanya dilengkapi dengan persenjataan yang canggih dan lengkap. Hal ini untuk menjaga-jaga, jika sewaktu-waktu barisan yang ingin mati itu menerobos masuk ke areal perusahaan.

            Kekhawatiran perusahaan terbukti. Mronges dan kawan-kawan tetap saja menjadikan tembok perbatasan itu sebagai teror bunuh diri. Akibatnya, kesabaran pihak perusahaan habis. Mereka memerintahkan satpam, preman, dan polisi sewaan untuk menembak siapa saja yang bermain-main di tembok perbatasan.

            “Bubar…bubar…bubar! Kalian tidak boleh menyentuh tembok itu lagi,” ujar seorang komando berpakaian lengkap kepolisian.

            “Kalau nekad, maka terpaksa kalian akan kami tembak mati sekarang,” ujar yang lainnya. Pasukan sewaan perusahaan itu tampak gagah dan perkasa, lengkap dengan senjata laras panjang.

            “Apa? Mati?” sahut Mrongres.

            “Horeee…Sebentar lagi kita akan bertemu dengan Tuhan,” ujar teman-teman Mrongres kegirangan.

            “Ayo, tembak kami sekarang juga! Kami sudah lama merindukan mati!” tantang Mrongres dan kawan-kawan.

            Tanpa menunggu komando, pasukan perusahaan air mineral itu menembakan berkali-kali peluru dalam senjata laras panjang ke arah Mrongres dan kawan-kawan. Mulai dari kaki, badan, hingga kepala. Namun, tak satu pun yang mati. Pasukan sewaan itu tak patah semangat. Mereka terus melesatkan peluru, tetapi tak ada  yang menembus tubuh Mronges dan kawan-kawan. Ketakutan muncul di pihak pasukan perusahaan. Sementara Mronges dan kawan-kawan malah makin senang melompat dari tembok, lalu mendekatkan diri dengan corong laras panjang itu.    

            “Door…doorrr…dooorrrrr!” suara laras panjang bersahutan tak henti-hentinya. Mrongres dkk tetap saja menerobos maju, seperti film India. Bahkan, tak terasa sudah memasuki areal perusahaan. Sementara pasukan perusahaan, kian bergerak mundur.

            “Stooop!” Seorang pria tiba-tiba muncul dalam hujan peluru itu. Pria paruh baya, tinggi tegap, pakaian necis, dan berwibawa.

            “Siapa kamu?” tanya Mrongres

Laki-laki itu hanya terdiam.

“Dia pasti Tuhan. Horeee….Berarti kita sudah mati,” teriak kawan-kawan Mrongres serentak.

“Ya, kita sudah mati. Saatnya kita minta keadilan pada dia,” sambung kawan-kawan Mronges yang lainnya.

Laki-laki itu tetap diam seribu bahasa. Ia pandangi Mrongres dkk. satu per satu. Sejam kemudian, ia pun angkat bicara.

“Bukan. Aku bukan Tuhan. Aku pemilik perusahaan ini,” sahutnya sambil memerintahkan pasukannya menembakkan peluru ke arah Mrongres dkk. Peluru kembali menghujani Mrongres dkk.

Mrongres bergerak maju, menikmati lesatan-lesatan peluru sambil membayangkan kematian. Namun, peluru-peluru itu tak sedikit pun dapat menembus kulitnya. Tubuhnya segar bugar. Cuman ia merasakan sakit yang dalam di ulu hatinya. Sakit itu seperti sakit masa lalu. Sakit ketika ia harus kehilangan tanah 1 hektar plus setengah tanah karang. (Editor, I Ketut Serawan)                   

 

 

 Ular Tangga

Oleh

Kanaka Saraswati

Foto ilustrasi: misterisejarahhin.blogspot.com

    Aku bersila di atas kasurku. Di kelilingi papan ular tangga usang, rapuh, dan hamburan dadu serta bidak yang mulai rusak. Dadu di samping papan menunjukan angka 6. Ada 4 bidak di sekelilingnya. Bidak itu berwarna merah, biru, hijau, dan kuning. Semuanya terlihat kusam.

Saat melihat papan itu, pikiranku selalu diseret ke masa lampau. Masa-masa bersama ayahku. Dulu, setiap pulang sekolah aku selalu pergi ke sawah. Membawakan makan siang untuk ayahku sambil membawa papan ular tangga. Sembari melepas letih, aku dan ayah sering bermain ular tangga.

Setiap kali bermain, ayahku selalu menyisipkan nasihat-nasihat kecil.

"Yaah… dapat angka satu," keluhku karena mendapat angka dadu yang bernilai satu.

"Jangan mengeluh seperti itu! Kita harus mensyukuri apa yang sudah kita dapatkan karena rezeki yang kita dapatkan adalah nasib kita dan kehendak yang kuasa," ujar ayahku.

Itulah ayahku. Dia selalu menjadikan ular tangga sebagai cermin untuk kehidupan. Dia selalu memberikan nasihat bijak kepadaku. Karena itu, aku jadi lebih mengerti tentang kehidupan lewat ular tangga.

Seusai bermain, aku membantu ayah bekerja di sawah. Jika tidak ada pekerjaan, aku akan bermain di tepi sawah. Aku selalu bermain perahu-perahuan di selokan irigasi sawah.  

Perahu mainanku kubuat dari daun pisang. Kupotong daun pisang yang sudah agak tua. Aku memotongnya menggunakan pisau ayahku. Lalu, aku memisahkan daun itu dengan tulang daunnya. Tulang daun pisang yang sudah terpisah dari daunnya, kubagi menjadi tiga bagian lalu aku potong. Selanjutnya, aku rakit dan kusambung ketiganya dengan lidi. Bagian yang paling besar kujadikan  badan perahu dan sisanya untuk lengan di samping perahu. Perahuku pun jadi dan aku memainkannya sendiri.

Meski bentuknya tidak mirip dengan perahu sungguhan, aku tetap bermain dengan gembira. Aku membayangkan diriku sebagai nahkoda perahu itu. Hal itu karena aku memang bercita-cita menjadi seorang nahkoda kapal.

Bersama ayah, hari-hariku berlalu dengan penuh warna dan tidak membosankan. Selalu ada kejutan-kejutan nasihat dari ayah. Suatu hari, ketika bermain ular tangga dengan ayah, aku mendapatkan angka enam pada dadu. Setelah aku menjalankan bidakku, ayah menyuruhku mengocok dadu sekali lagi.

"Yeay, aku dapat enam."

"Jangan terlalu gembira. Hidup itu harus dijalani dengan tenang dan tidak berlebihan. Karena semua pasti akan merasakan susah, senang, hidup dan mati. Semua yang berlebihan itu selalu membawa penyesalan," balas ayahku.

Kata-kata singkatku menjadi bahan oleh ayah untuk memberikan nasihat kehidupan padaku. Papan ular tangga dan bidak yang berada di tempatnya hanya menjadi penonton setia saat ayahku berceramah.

"Sekarang giliranmu lagi."

"Ayah, kenapa setiap mendapat nilai enam pada dadu kita mengocok dua kali?"

"Itu karena dalam permainan ular tangga enam adalah nilai tertinggi. Jadi, jika kita mendapat enam kita bisa mengocok dadu sekali lagi."

"Tapi ayah, enam kan sudah banyak kenapa diberi kesempatan lagi? Seharusnya saat kita mendapat nilai satu kita diberi kesempatan kedua untuk mendapatkan nilai yang lebih besar," balasku.

"Jika kau mendapat nilai kecil saat ulangan di sekolah, apakah kau mendapat hadiah?"

"Tidak."

"Ular tangga juga sama. Saat kau mendapat nilai besar kau akan diberi hadiah. Hadiahnya adalah giliran tambahan," jelas ayahku.

Itulah hal yang selalu kulakukan bersama ayahku. Tapi ada satu hal yang aku herankan dari ayahku. Sebenarnya, uang ayah cukup untuk membeli papan permainan ular tangga, bahkan lebih dari cukup. Namun, ayah tidak pernah mau mengganti papan tua itu dengan yang baru.

"Saya yakin, ayah mampu membeli papan ular tangga baru. Tapi, kenapa ayah tidak mau mengganti papan ini?" tanyaku.

"Ada yang istimewa dari papan ini nak," balas ayah penuh teka-teki.

"Apa istimewanya papan tua seperti ini, Yah?"

"Kita tidak boleh memandang sesuatu dari bentuk luarnya saja. Kita harus mengetahui makna di balik itu," jelas ayah.

"Huh, ayah selalu mengalihkan pertanyaannya dengan nasihat."

"Ayah melakukan itu untukmu."

"Iya.. , aku tahu itu."

Hari menjelang senja. Aku dan ayah segera membereskan barang dan pulang ke rumah. Di perjalanan, aku masih memikirkan alasan ayah mengistimewakan papan tua itu. Kira-kira apa alasannya, ya? Aku benar-benar bingung dan penasaran.

Sampai sekarang aku tidak tahu alasannya. Kini ayahku sudah tiada. Aku tak bisa bertanya pada siapa pun.

Namun, suatu hari, saat aku pulang kerja, aku melepaskan pakaian kerjaku dengan topi nahkoda yang kukenakan. Ya, aku telah mencapai cita-citaku yang dulu kuimpikan. Sekarang, aku sudah menjadi seorang nahkoda. Hasil dari uang tabungan ayahku dulu.

Aku membuka pintu kamar ayahku dengan perlahan-lahan. Saat dibuka, pintu tua itu mengeluarkan suara. Kamar ayahku masih rapi. Aku melihat ke arah lemari tua milik ayahku. Baju di dalam lemari masih tertata rapi. Aku membuka laci di dalam lemari dan kulihat papan ular tangga yang dulu sering kumainkan dengan ayahku.

Aku mengambil papan itu. Di bawah papan tua itu kulihat sebuah foto usang. Foto itu terlihat kuno dan berwarna hitam putih. Sosok seorang pria tua bersama anak laki-laki. Aku membalikkan foto itu dan kubaca tulisan di baliknya. "Hanya ini yang bisa bapak berikan kepadamu, nak".

Aku memeluk foto itu dan meneteskan air mata. Aku berlari ke kamarku dan melompat ke kasur dengan cepat. “Aku merindukanmu, Ayah.”

Seharian aku bersedih di kamar. Tak ada seorang pun yang tahu. Aku mengusap foto itu dan mengambil sebuah bingkai kecil. Bingkai itu berwarna coklat muda keemasan. Aku membingkai foto tua itu dan memajangnya di dinding kamarku. Aku memajangnya tepat di hadapan tempat tidurku. Hari itu berlalu. Aku memejamkan mata untuk hari-hari selanjutnya.  (Editor, I Ketut Serawan)                                                       


Senin, 14 Juni 2021

 

Orang NP menyebut "raden" untuk babi jantan (spesialis yang mengawini bangkung


Siapa bilang kata “raden” hanya dikenal di Pulau Jawa? Di Pulau Nusa Penida juga mengenal kata “raden”. Namun, makna dan referensinya (acuan) berbeda. Kata raden dalam kebudayaan Jawa mengacu pada gelar kebangsawanan (keturunan raja). Sedangkan di NP mengacu kepada babi yaitu spesialis pejantan yang mengawini babi betina (bangkung).

Saya sudah menanyakan kepada beberapa tetua di kampung saya perihal lema “raden” ini. Mengapa disebut raden? Apa latar belakangnya? Semuanya kompak memberikan jawaban yang sama. “Nak mula hento uling pidan ta” (memang begitu adanya dari dulu).

Saya hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, menerima klise jawaban tersebut. Walaupun dalam hati, saya tetap ingin jawaban silsilah. Setidaknya, ada sejarahnya-lah. Atau sejenis mitos yang berkaitan dengan penamaan atau istilah “raden” tersebut.

Daripada ruwet-ruwet berpikir, saya langsung membongkar ilmu lingusitik zaman kuliah dulu. Ilmu linguistik yang berkaitan dengan proses pembentukan kata/ istilah dalam suatu bahasa. Salah satu prosesnya disebutkan bersifat arbitrer (manasuka). Tidak diketahui proses pembentukan kata atau istilah tersebut. Artinya, pembentukan kata oleh kelompok penutur  adakalanya (bahasa) bersifat “suka-suka gue”.

Mengapa penutur bahasa Indonesia menyebut “burung” (kode) untuk binatang berkaki dua, bersayap, yang biasa terbang? Lalu, mengapa penutur bahasa Bali menyebutnya dengan kata “kedis”? Pada kasus arbitrer, perbedaan sebutan ini tidak perlu dipersoalkan. Pun tidak penting apa alasan di balik penentuan kata itu.

Prinsip arbitrer memberikan kebebasan seluas-luasnya (otoritas) kepada kelompok penutur bahasa tertentu untuk menentukan istilah (kode) tersendiri. Yang penting, penentuan kata/ istilah itu sudah menjadi konsensus (kesepakatan) bersama oleh kelompok penutur tertentu. Artinya, antara kata (kode), makna kata dan acuan benda yang dimaksud (referensi) sudah diketahui bersama-sama.

Mungkinkah istilah “raden” oleh penutur bahasa Bali dialek Nusa Penida termasuk kasus arbitrer? Sangat mungkin. Ya, karena pendukung penutur dialek Nusa Penida tidak dapat menjelaskan latar belakang penentuan kata raden tersebut. Pun belum pernah saya baca penelitian linguistik yang menjelaskan tentang kasus kata “raden” ini.

Jadi, sepanjang tidak bisa dijelaskan alasan atau latar belakang di balik penentuan istilah “raden”, maka ia dimasukkan ke kantong kasus arbitrer . Lalu, bagaimana jika sewaktu-waktu ada orang yang dapat menjelaskan latar belakang penentuan kata itu? Masihkah kata itu dimasukkan ke ranah arbitrer?

Mungkin saja akan gugur secara otomatis. Hal ini berarti status “ke-arbitrer-an” kata tertentu dapat saja sewaktu-waktu berubah. Begitu juga dengan kata “raden”. Saya mencurigai penentuan kata “raden” memiliki dasar pilihan. Bahkan, dasar pilihannya bisa jadi berkorelasi dengan kata raden Jawa yang mengacu pada gelar darah kebangsawan (darah keturunan raja).

Korelasi Kosakata Raden

Sebelum membahas titik temu kedua kosakata raden ini, ada baiknya saya jelaskan deskripsi tentang raden NP terlebih dahulu. Pada umumnya, raden NP berasal dari jenis babi lokal (Bali) dan memiliki karakter yang sangat kuat. Dalam dunia “per-babi-an di NP, raden sangat ditakuti dan segani oleh kelas babi manapun. Semua babi betina/ jantan baik kecil maupun yang besar pasti takut dengan raden.

Artinya, raden NP memiliki potensi energi power (berkuasa), mendominasi dan menghegemoni. Aura power (kuasa) inilah yang mungkin membuat nyali babi-babi lain menjadi ciut. Anak-anak babi (yang lepas) pasti memilih berlari menjauh jika melihat seekor raden. Sementara, babi-babi yang terikat di bawah pohon akan meronta-ronta ketakutan melihat raden. Mereka meronta-ronta hendak melepaskan diri dari ikatan tali yang ada di pangkal leher atau kakinya.

Secara fisik, raden memiliki bodi yang berbeda dengan babi pada umumnya. Raden memiliki dua taring yang cukup panjang dan tajam, Ia juga memiliki bulu-bulu panjang yang jering (berdiri) dari leher hingga sepanjang punggungnya. Bodinya gede ganggas (tinggi besar), memiliki testis (dua buah pelir) yang lengkap, suaranya khas (berpower) dan memiliki sorot mata yang menggetarkan (tajam).

Tampilan fisik tersebut tidak hanya menggetarkan “bangsa” babi, termasuk beberapa hewan peliharaan lainnya. Bahkan, bangsa manusia pun gentar melihat penampilan fisik dari sang raden. Jika dibandingkan dengan hewan peliharaan lainnya di NP, raden memang termasuk hewan yang paling ditakuti.

Selain tampilan fisik yang menggetarkan, raden juga memiliki karakter buas, pemberani, egois dan tidak suka diatur atau dilawan. Jangankan orang lain, tuan pemilik raden pun harus hati-hati terhadap karakter raden ini. Jika tidak sesuai dengan kemamauannya, raden tidak segan-segan menyerang siapa pun termasuk tuannya.

Namun, di balik kebuasannya, raden memiliki tugas utama yaitu mengawini babi betina yang libido. Raden mempunyai kuasa penuh mengawini babi betina manapun. Sebagai upah mengawini, raden memiliki kuasa penuh atas satu anak bangkung yang dikawininya. Mungkin semacam upeti yaitu persembahan untuk jasa si raden. Upeti ini diterima oleh tuan sang raden.

Di kampung saya, perihal perkawinan raden ini sudah diatur sejak dahulu kala. Peraturan ini dirumuskan secara lisan melalui konsensus di kalangan masyarakat. Semua masyarakat tunduk dan menjunjung tinggi peraturan tersebut.

Dalam sekali perkawinan, pihak pemilik raden berhak memperoleh “bebinjat” (anak bangkung) dari pemilik bangkung. Bebinjat ini diserahkan oleh pemilik bangkung setelah berumur 3 bulan.

Kemudian, pemberian jenis kelamin bebinjat juga diatur sedemikian rupa. Apabila pengguna jasa raden memberikan bebinjat jantan, maka mendapatkan free sekali.  Artinya, penggunaan yang kedua kalinya berarti gratis. Begitu seterusnya. Sebaliknya, jika menyerahkan bebinjat betina, tidak ada  istilah gratis. Setiap penggunaan jasa raden, pemilik bangkung wajib memberikan bebinjat betina.

Sekitar awal tahun 2000-an, perihal bebinjat ini mulai dihapuskan. Pola pikir modern menyebabkan masyarakat ingin hasil instan. Pemilik raden tidak sabar menunggu hasil bebinjat selama 3 bulan. Karena itu, sistem bebinjat diganti dengan uang kontan. Setiap melakukan perkawinan, pemilik bangkung memberikan upah uang sebesar Rp 100.000.

Pemberian jasa Rp 100.000 ini berlaku tanpa pengecualian. Berhasil atau tidak pembuahan sang raden, pemilik bangkung harus tetap membayar. Sedangkan, sistem bebinjat menganut pengecualian. Jika hasil pembuahan sang raden gagal (bangkung tidak punya anak), maka sistem bebinjat otomatis gugur (tidak berlaku).

Lantas, di mana titik temu raden Jawa dan raden NP? Jika mencermati sekilas tentang deskripsi raden di atas, maka raden NP tergolong sosok yang istimewa, berbeda dengan babi pada umumnya.

Raden NP memiliki ciri (tampilan) fisik yang berbeda dengan babi lainnya. Ciri fisik ini menyebabkan raden sangat ditakuti oleh bangsa babi, hewan lain dan termasuk manusia. Begitu juga dengan raja zaman dulu. Raja biasanya memiliki tampilan berbeda dengan bawahan apalagi rakyatnya. Hal ini berarti raden memiliki aura seperti raja. Disegani dan ditakuti oleh bangsanya, bahkan oleh bangsa lainnya.

Raden NP juga memiliki karakter buas, pemberani, egois, dan tidak suka dilawan. Mungkin karakter ini juga dimiliki oleh para raja zaman dulu. Raja dianggap sebagai manusia setengah dewa bahwa titisan dewa. Karena itu, titah raja tidak boleh dilanggar atau dilawan.

Semua ego raja harus dituruti. Raja merupakan penentu segalanya termasuk nyawa seseorang. Jika raja tidak suka dengan individu atau sekelompok orang, raja bisa saja menjelma menjadi orang bengis (buas, kejam). Raden dianggap memiliki kemiripan karakter dengan raja.

Jika raja pasti memiliki kekuasaan penuh, raden NP pun memiliki kekuasaan penuh. Ia berkuasa mengawini babi betina manapun dan termasuk berkuasa atas bebinjat. Persembahan salah satu anak hasil perkawinannya dengan si bangkung.

Saya mencurigai bahwa kemiripan keunikan tampilan, karakter dan kuasa inilah yang menjadi dasar istilah “raden” disematkan kepada spesialis pejantan yang mengawini bangkung ini. Kemiripan-kemiripan ensensial ini mungkin yang menguatkan raden NP dianggap seperti raja. Ada darah (baca: kemiripan karakter) raja mengalir pada “raden” NP.

Apakah analisa ini hanya “cocoklogi”? Terserah Anda! Mungkin Anda mempunyai analisa lain? Silakan. Atau Anda berpikir, “Males, ah! Nggak usah berpikir ruwet-ruwet.” Artinya, Anda ingin memvonis raden NP dengan palu “arbitrer”.

 

Minggu, 06 Juni 2021

 


Sarana Masambetan: suna dan jangu. Foto: Kiken Prapti P

Jika saya menderita sakit panas (waktu kecil), orang tua saya tidak pernah terlalu cemas. Tidak seperti orang tua zaman sekarang. Sungguh. Kedua ortu saya tak pernah  panik mencarikan obat penurun panas apalagi mengantar saya ke medis. Mereka cukup mengajak saya masambetan (pengobatan tradisional) ke balian. Sorenya masambetan, tengah malam atau pagi harinya, panas langsung ambyar (turun). Saya pun dapat beraktivitas seperti semula.

Bukan sulap, bukan sihir. Anak-anak kampung di Nusa Penida, dekade 90-an ke bawah pasti merasakan jasa tukang sambet (balian) tersebut. Pasti pernah menggunakan jasa tukang sambet untuk menurunkan sakit panasnya—dan merasakan betapa dahsyatnya efek masambetan dalam menurunkan sakit panas.

Padahal, metode pengobatannya sangat sederhana. Cukup menggunakan sarana suna (bawang putih) dan jangu, yang dibawa oleh keluarga pasien. Kemudian, suna jangu dikunyah oleh sang balian sampai halus. Hasil kunyahan ini disimbuhkan (disemburkan) di atas kepala si pasien. Persisnya di atas ubun-ubun dan sekitarnya.

Selanjutnya, sang balian memegang kepala sang pasien sedikit kuat sambil memejamkan mata seperti berkonsentrasi penuh. Sementara, bibirnya berkomat-kamit mengucapkan mantra setengah berbisik.

Akhir mantra ditandai dengan gerakan memijat-mijat (oleh kedua tangan sang balian) hampir ke seluruh bagian kepala si pasien. Gerakan memijatnya bervariasi mulai dari tekanan halus/ ringan, sedang hingga berpower (cukup kuat). Prosesi memijat ini berlangsung dalam hitungan menit.

Jadi, tidak ada ritual memasukan sesuatu (obat) ke dalam tubuh si pasien. Misalnya meminum sejenis loloh atau ramuan yang lain. Sama sekali tidak ada. Dari pengalaman dan pengamatan saya, murni menggunakan teknik pengobatan luar yaitu kombinasi simbuh, mantra dan pijatan.

Namun, efeknya tidak diragukan lagi. Dalam hitungan beberapa jam, sakit panas langsung turun. “Ya, paling karena faktor sugestilah.” Awalnya, saya juga berpikir demikian. Lama-kelamaan, saya malah berpikir lain. Saya meyakini bahwa ada korelasi ilmiah (rasionalitas) antara metode mesambetan dalam menyembuhkan sakit panas.

Sayangnya, sampai sekarang saya belum menemukan korelasi ilmiah tersebut. Saya malah berpikir bahwa kasus ini cocoknya dikaji (PR) oleh kaum peneliti terutama dari kalangan pakar usadha, ahli saint, dan agama. Mereka pasti dapat menemukan titik temu antara kandungan suna jangu, energi mantra dan efek pemijatan di kepala dalam menurunkan sakit panas. 

Jika dilihat dari tekniknya, tradisi masambetan ini sangat aman karena tidak ada ritual atau prosesi yang aneh-aneh kepada pasien. Tidak ada prosesi memasukan sesuatu ke dalam tubuh si pasien. Tidak ada rangkaian proses yang mengancam atau membahayakan si pasien. Pun praktik dalam mengeksekusi pasien bersifat terbuka.

Biasanya, sang balian mengobati pasiennya di amben atau halaman rumah secara terbuka. Semua keluarga pasien yang hadir dapat menyaksikan secara penuh. Karena itulah, prosesi mesambetan biasanya pada sore hingga malam hari. Namun, ada juga beberapa keluarga pasien mendatangi sang balian pada pagi hari.

Di tempat saya, pekerjaan tukang sambet murni “mapitulung”. Sang balian sama sekali tidak mendapatkan penghasilan dari jasanya. Bayangkan, semua keluarga pasien yang datang berobat hanya membawa sarana simbuh saja. Tidak ada yang membawa canang sari apalagi sesari.

Meskipun murni pelayan sosial, keberadaannya cukup banyak. Hampir di setiap kompleks perumahan atau perkampungan di NP, ada saja orang yang bisa “nyambetin”. Mereka biasanya dari kalangan yang tahu sastra (baca-tulis), umumnya jero mangku. Namun, ada pula dari kalangan masyarakat biasa, bahkan dari kalangan orang yang sama sekali tidak mengenal sastra (di kampung saya disebut balian petengan).

Pengkaderannya juga tergolong cukup stabil. Artinya, tidak pernah sampai putus regenerasi. Ada saja generasi-generasi tumbuh sebagai penerus balian sambet ini. Saya tidak tahu persis bagaimana generasi balian sambet ini bertumbuh. Apakah ada kaitannya dengan faktor keturunan, perguruan, pawisik, otodidak atau kombinasi lebih dari satu faktor.

Yang jelas eksistensinya kuat di tengah masyarakat. Penggunaan jasanya oleh masyarakat sangat tinggi. Puncaknya sekitar akhir tahun 90-an. Padahal, praktik bidan, mantri/ perawat dan dokter sudah ada di NP—tetapi eksistensinya masih terbatas.

Tradisi Masambetan Kian Meredup

Memasuki tahun 2000-an, tradisi masambetan mulai meredup. Penggunaan jasa balian sambetan ini, semakin berkurang. Ego modernitas masyarakat NP mulai menggeliat. Metode tradisional mesambetan kian ditinggalkan pendukungnya. Mungkin dianggap kuno, kolot, premitif, syirik, klenik, kurang higienis, kurang praktis dan sejenisnya.

Karena itu, ketertarikan masyarakat terhadap tradisi mesambetan kian memudar. Ketika sakit panas, masyarakat lebih memilih pergi ke puskesmas, praktik mantri atau praktik dokter. Atau membeli obat penurun panas di warung-warung obat terdekat. Dari sinilah, awal mulanya praktik mesambetan semakin tak populer.

Redupnya pamor tradisi masambetan bertambah parah ketika puskesmas-puskesmas di NP terus mengalami revitalisasi dari pemerintah. Pemerintah terus mendorong pemodernan fasilitas medis, SDM, pelayanan, termasuk sistem dan lain sebagainya.

Revitalisasi dan pemodernan ini kian menggeser mindset masyarakat ke pengobatan modern. Segala jenis penyakit termasuk sakit panas di bawa ke medis. Masyarakat seolah-olah meragukan metode mesambetan. Sebaliknya, metode pengobatan medis semakin mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Dominasi kepercayaan masyarakat ini terus mengalami progres positif seiring dengan stimulus revitalisasi puskesmas di NP. Belakangan, kian dipertajam lagi dengan keberadaan Rumah Sakit Pratama Gema Santi di NP. Rumah sakit yang berdiri pada penghujung tahun 2017 ini mendapat sambutan baik dari masyarakat NP.

Sebagai kecamatan kepulauan, keberadaan rumah sakit sudah lama menjadi impian masyarakat NP. Karena itu, eksistensi rumah sakit Pratama Gema Santi dianggap cukup representatif. Apalagi, kini rumah sakit Pratama sudah naik kasta menjadi RSUD Gema Santi Nusa Penida. Ke depan, tentu pencapaian ini akan menstimulus pemda Klungkung, Dinas Kesehatan dan pihak rumah sakit untuk menggapai tipe yang diidealkan.

Keberadaan puskesmas dan rumah sakit yang representatif tersebut setidaknya lebih menguatkan eksistensi pengobatan modern (medis) dan sekaligus kian memodernkan “pola pikir berobat” masyarakat NP.

Karena itu, tradisi mesambetan nyaris hilang dan dilupakan oleh pendukungnya. Walaupun beberapa generasi tua hingga sekarang masih menggunakan jasa masambetan, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Ilmu pengobatan warisan leluhur ini tinggal menunggu waktu lenyap dari permukaan.

Tentu tidak lama. Sebab hingga kini, saya belum melihat ada upaya penyelamatan terhadap warisan leluhur ini. Penyelamatan bukan berarti ajeg mempertahankan kemurnian metodenya. Justru mesti ada tindakan pemodernan terhadap metode dan teknik mesambetan tersebut. Tekniknya mesti dikembangkan dan diadaptasikan sehingga dapat diterima oleh masyarakat modern sekarang.

Mungkin tukang sambet, masyarakat dan terutama desa adat di NP sudah memiliki pemikiran ke arah tersebut. Ah, Anda mungkin menganggap pemikiran ini lucu. Tak apalah. Akan tetapi, apa salahnya jika tradisi mesambetan tetap eksis berdampingan dengan metode pengobatan medis. Tentu akan menjadi variatif, bukan?

Masyarakat ditawarkan lebih dari satu opsi atau alternatif pengobatan. Namun, otoritas pilihan tetap ada di tangan masyarakat. Bukankah ini lebih baik? Dibandingkan membiarkan warisan mesambetan ini punah oleh pola pikir masyarakat modern NP yang sesungguhnya liberal.