Rabu, 04 Desember 2019


Andai Pariwisata Tak Merasuki,
Siapa Yang Peduli Sampah Plastik di Nusa Penida?

I Ketut Serawan



Andai pariwisata tidak berkembang di Nusa Penida, saya yakin tidak akan ada yang peduli dengan sampah plastik. Sampah-sampah itu pasti berserakan baik di tegalan, sungai kering, tambak-tambak, di pinggir jalan raya, pantai maupun di lautan. Syukurnya, pariwisata cepat merasuki pulau ini. Edukasi dan kesadaran tentang sampah plastik dari warga Nusa Penida mulai sedikit menggeliat. Pasalnya, isu lingkungan (sampah plastik)berdampak langsung dengan citra daerah destinasi.
Karena itu, belakangan mulai muncul (komunitas) gerakan-gerakan peduli sampah plastik. Gerakan ini masih bersifat sporadis, dilakukan oleh segelintir praktisi pariwisata, kalangan milenial. Jumlahnya pun tidak begitu banyak.
Dari akun-akun pribadi maupun grup tentang Nusa Penida yang saya ikuti, isu sampah plastik kurang menyedot perhatian orang banyak. Boleh dikatakan, hampir tidak mendapat respon serius dari masyarakat Nusa Penida. Coba kalau menyangkut isu tentang minimnya infrastruktur, maka respon netizen mendadak sengit. Seluruh pelosok-pelosok sosmed (ketog semprong) mengeluarkan diri untuk unjuk komentar. Komentar-komentarnya pun sangat bervariatif. Ada yang serius memberi solusi, ada yang sekadar nyeleneh, ngumpat-ngumpat (memaki-maki), provokatif, hingga membully pemda.
Jika kita buka kembali halaman-halaman akun pribadi (atau grup Nusa Penida), maka lebih banyak kita jumpai tentang keluhan air, listrik, dan kondisi jalan. Kedua, tentang sopir yang ugal-ugalan, kemacetan, situasi keramaian wisatawan. Sisanya, tentang status “ngetrip”, promo akomodasi, ribut soal retribusi, dan belakangan kontroversi soal rencana pemda Klungkung dalam penataan sertifikat tanah pinggir pantai di Nusa Penida.
Sementara itu, halaman-halaman tentang peduli sampah plastik kurang mendapat respon dari masyarakat. Kalau toh ada yang mengunggah status bersih-bersih sampah plastik, biasanya sepi komentar. Jarang para netizen mau keluar dari sarang persembunyiannya. Mereka lebih nyaman memilih diam. Yaa, mungkin karena diam adalah emas (Aah, bercanda kali).
Di samping sering “dikacangin”, unggahan bersih-bersih sampah plastik tak jarang dianggap sebagai pencintraan. Mungkin dari beberapa komunitas itu, memang ada yang sekadar pencintraan (kali, ya). Akan tetapi, menurut saya pencintraan atau murni, mereka telah nyata berbuat. Merekalah yang pantas kita jadikan teladan atau inspirasi untuk berbuat nyata. Atau setidaknya, para peduli lingkungan ini akan dapat menginspirasi lahirnya komunitas-komunitas sosial lingkungan yang baru.
Untuk saat ini, komunitas-komunitas pencinta lingkungan masih stagnan. Masih dihuni oleh segelintir anak milenial. Sisanya, lebih memilih apatis sama seperti masyarakat umum (old). Mereka pura-pura tidak peduli dan benar-benar tidak peduli.
Bagi masyarakat Nusa Penida, peduli (bermusuhan) dengan sampah plastik merupakan budaya baru. Budaya yang sulit dilakukan, karena mereka telanjur bersahabat dengan plastik puluhan tahun. Mereka memanfaatkan plastik dalam berbagai keperluan sehari-hari, termasuk dalam ritual adat dan keagamaan. Pemanfaatannya cukup masif. Akan tetapi, limbahnya (sampah) dibuang begitu saja.
Sampah plastik menciptakan masalah baru. Namun, belum menimbulkan gagasan, kesadaran, dan solusi kreatif dari kalangan masyarakat. Di Nusa Penida misalnya, belum ada budaya memilah-milah sampah, proses daur ulang apalagi solusi baru lainnya. Penanganan sampah plastik masih konvensional yakni dibakar di lahan yang kosong. Bagi petani, biasanya sampah plastik dibakar bersama sampah organik lainnya di ladang kosong, ketika musim kemarau. Di samping mengurangi, pembakaran sampah plastik sekaligus dimanfaatkan sebagai pupuk.

TOSS, No List, dan Nyawa Pariwisata
Hingga sekarang, cara-cara konvensional ini masih diterapkan oleh masyarakat di Nusa Penida. Padahal, pemda Klungkung sudah merintis pengolahan sampah dengan sistem TOSS (Tempat Olah Sampah Sementara) pada penghujung tahun 2017. Program kerjasama dengan  Sekolah Tinggi Teknik Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan PLN (STT-PLN) Jakarta dan Indonesia Power ini dipercaya menjadi solusi modern dalam menangani sampah, terutama sampah plastik. Karena sistem TOSS dapat mengolah sampah (kecuali besi dan kaca) secara langsung menjadi briket dan pelet yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses memasak dan energi listrik.
Sistem TOSS mengolah sampah secara langsung melalui proses peuyeumisasi, briketisasi/peletisasi, dan gasifikasi dengan menggunakan bio activator. Mekanisme pengolahan TOSS ini dapat menghilangkan bau sampah dalam waktu tiga hari dan dapat mengurangi volume sampah dalam waktu 10 hari. Selanjutnya, hasil olahan (briket dan pelet) nantinya dijual sebagai bahan bakar/pembangkit listrik ke pihak Indonesia Power. (bali.tribunnews.com).
Rencananya, pemda Klungkung akan menerapkan konsep TOSS ini di setiap desa/kelurahan. Namun, hingga saat ini program TOSS masih berkutat di tempat terbatas di TPA Sente dan Lepang, di Klungkung daratan. Belum terdengar kabar melebar ke Pulau Nusa Penida. Padahal, sebagai daerah yang melejit pariwisatanya, Nusa Penida sangat membutuhkan terobosan sistem TOSS ini, sebagai solusi alternatif atas keberadaan sampah plastik yang sangat sensitif dengan daerah pariwisata.
Saya pikir, pemda Klungkung pasti menyadari bahwa isu lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap citra daerah pariwisata, karena akan berimbas langsung pada jumlah kunjungan wisatawan. Lebih parah lagi, isu lingkungan bisa menjadi sandungan suatu daerah wisata tidak layak untuk dikunjungi. Situasi inilah yang melanda pariwisata Bali sekarang.
Baru-baru ini media ternama asal Amerika Serikat, Fodor's Travel, merilis daftar destinasi yang tak layak dikunjungi pada 2020. Dari daftar Fodor’s No List 2020 itu, Bali masuk dalam 13 destinasi yang dipertimbangkan untuk tidak dikunjungi. Salah satu pertimbangannya ialah soal isu sampah. Bali dinyatakan sebagai kawasan darurat sampah lantaran banyaknya sampah plastik di perairan dan pantai. Dikutip dari Fodor’s Travel, Badan Lingkungan Hidup di Bali mencatat bahwa pulau Bali menghasilkan 3.800 ton sampah setiap hari, dengan hanya 60 persen berakhir di tempat pembuangan sampah (travel.kompas.com).
Apa pun kepentingan Fodor’s Travel, kita harus menanggapi positif, sebagai catatan introspeksi diri. Catatan untuk bebas dari kasus sampah yang melilit Bali. Karena faktanya, persoalan sampah plastik di Bali, khususnya Nusa Penida, memang belum ada solusinya.
Sampah plastik tidak cukup hanya diselesaikan dengan regulasi-regulasi formal seperti pergub, perda atau “per-per” lainnya. Apalagi “per-per” yang lahir hanya bersifat himbauan,  tidak ada sikap tegas dari pemerintah. Padahal, ketegasan, konsistensi, dan kontinyuitas dari pemerintah dibutuhkan sebelum Bali benar-benar ditimbun oleh sampah plastik.
Selain itu, regulasi-regulasi formal tersebut dianjurkan tidak berdiri sendiri. Optimalisasi pelaksanaan harus menggandeng desa pekraman, sebab masyarakat Bali masih dominan bermental desa pekraman. Regulasi-regulasi formal (dinas) biasanya berjarak dengan krama Bali, terutama yang tua-tua. Masyarakat Bali cenderung lebih percaya dan tunduk dengan awig-awig desa pekraman. Sanksi-sanksi desa pekraman dirasakan lebih mengikat dan “meranen” bagi masyarakat Bali.
Karena itu, ada baiknya pemerintah merangkul desa pekraman di Nusa Penida dalam memerangi sampah plastik. Regulasi penanggulangan sampak plastik produk pemerintah dipresentasikan dan disinkronkan ke desa pekraman. Kemudian, dampingi desa pekraman menerjemahkannya ke dalam awig-awig. Misalnya, desa pekraman membuat awig-awig pembatasan (tidak boleh) secara bertahap tentang penggunaan plastik sehari-hari di rumah maupun dalam ritual upacara adat dan keagamaan di wilayah desa pekraman.
Untuk memotivasi desa pekraman konsisten dalam memerangi sampah plastik, pemerintah juga dapat membuat lomba-lomba desa pekraman bebas sampah plastik. Lomba ini dilaksanakan secara kontinyu untuk menstimulus krama dalam memerangi sampah plastik. Di samping itu, pemerintah juga bisa merancang penghargaan desa pekraman dan tokoh lingkungan krama peduli sampah plastik. Siapa tahu dari gagasan ini, masyarakat termotivasi untuk menjadi semakin peduli dengan sampah plastik (palemahan) secara mandiri.
Namun demikian, pemerintah tetap harus aktif mendorong program peduli sampah plastik dengan menjadi teladan, fasilitator, dan mediator bagi krama desa pekraman—sehingga pelan tapi pasti masyarakat terus teredukasi. Harapannya ke depan, akan tumbuh kesadaran krama tentang lingkungan (peduli sampah plastik), yang menjadi tabungan untuk memperpanjang nyawa pariwisata di Nusa Penida.


Pariwisata dan Geliat Pebisnis Lokal di Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

        Pesatnya perkembangan pariwisata di Pulau Nusa Penida membuat masyarakat lokal tidak tinggal diam. Mereka berlomba-lomba membangun peluang usaha pariwisata mulai dari jasa sewa kendaraan, travel agent, jasa snorkeling, hingga bisnis akomodasi seperti rumah makan dan penginapan. Respon ini merupakan langkah konkret masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif menjadi pelaku pariwisata, bukan sebagai penonton.
          Maraknya bisnis pariwisata ini sangat terlihat (secara kasat mata), terutama dalam bidang perakomodasian. Pertumbuhannya kini sangat signifikan. Rumah makan dan penginapan mulai bermunculan. Kian hari, jumlahnya terus bertambah. Tidak hanya di daerah pesisir, termasuk sepanjang jalan utama, perbukitan, lahan pertanian atau ladang-ladang bahkan di daerah pemukiman penduduk.
Peta pertumbuhannya pun hampir merata di 3 belahan Pulau Nusa Penida yaitu wilayah timur, barat, dan selatan. Ketiga wilayah ini dikepung oleh eksistensi rumah makan dan penginapan. Warung makan, restoran, hotel, hostel, villa, home stay, cottage dan lain-lainnya semakin bertambah. Namun, jumlahnya belum dapat dipastikan, karena hingga kini penelitian-penelitian tentang keberadaan jumlah akomodasi di Pulau Nusa Penida masih sangat langka.
Satu-satunya yang pernah saya baca adalah penelitan (Tugas Akhir) yang dilakukan oleh Dwipayanti dkk. pada tahun 2017. Penelitan ini menyinggung tentang keberadaan (jumlah) akomodasi, tetapi subjeknya masih terbatas pada 4 (empat) desa yaitu Desa Sakti, Desa Ped, Desa Kutampi Kaler, dan Desa Batununggul. Sedangkan, lokasi penelitiannya tersebar di pantai, pelabuhan, daya tarik wisata, pusat desa, dan sekitar area akomodasi.
Uraian hasil penelitian ini berpijak dari temuan Nusa Penida Media (tahun 2017) yang memaparkan bahwa jumlah akomodasi di Nusa Penida pada tahun 2016 masih sebanyak 30 akomodasi (villa, hotel, bungalow, resort, guest house, home stay) dengan persebaran 10 akomodasi di Desa Sakti, 10 di Desa Ped, 3 di Desa Kutampi Kaler, dan 7 akomodasi di Desa Batununggul. Lebih lanjut, Dwipayanti memaparkan bahwa tahun 2017 timnya menemukan beberapa pendirian akomodasi di 4 desa itu yang sedang dalam proses penggarapan. Sayangnya, tidak dijelaskan jumlahnya secara pasti sebagai gambaran jumlah pada tahun-tahun berikutnya.
Di luar akomodasi di atas, hasil penelitian Dwipayanti juga menemukan bahwa sampai Juli 2017 terdapat 17 usaha rumah makan yang sudah beroperasi di Nusa Penida. Semua rumah makan tersebut merupakan usaha milik masyarakat lokal.
Keterbatasan subjek, lokasi, dan waktu penelitian yang dilakukan Dwipayanti dkk. tentu membuat data temuannya menjadi kurang update sekarang. Pasalnya, kondisi nyata pertumbuhan akomodasi di Pulau Nusa Penida dalam kurun 2 tahun (2018-2019) terlihat begitu cepat dan marak. Bukan hanya secara kasat mata (gedung fisik akomodasi), termasuk maraknya sirkulasi bahan bangunan dari Bali daratan ke Nusa Penida. Ditambah belakangan, terjadi krisis tukang bangunan di pulau ini (keberadaan jumlah tukang bangunan tak seimbang dengan pembangunan akomodasi).
Namun kondisi ini tak menyurutkan semangat masyarakat lokal dalam mengembangkan usaha akomodasi pariwisata. Mereka tampak begitu semangat, sumringah, dan bangga dengan daerahnya yang kini diserbu oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tidak tanggung-tanggung, pulau yang berluas 202,84 km2 ini (termasuk Pulau Lembongan dan Ceningan) rata-rata dikunjungi oleh ratusan ribu wisatawan per harinya.

Geliat Pebisnis, Denyut Pinjaman, dan Denyut Jantung
Karena itulah, warga lokal terus berbenah membangun bisnis akomodasi dengan berbagai cara. Pada umumnya, masyarakat lokal membangun bisnis akomodasi dengan modal perseorangan atau join modal (gotong royong). Mereka yang memilih perseorangan adalah kalangan yang memang mampu, memiliki aset yang memadai. Kedua, ada pula dari modal jual aset (tanah misalnya) atau mengontrakan tanah. Kemudian, uangnya diolah untuk membangun penginapan. Ketiga, meminjam uang dengan jaminan tanah atau aset lainnya.
Sementara itu, yang modalnya terbatas biasanya memilih join saham (gotong royong) dalam membangun akomodasi. Join ini menggandeng keluarga terdekat misalnya saudara kandung, sepupu, ipar, bibi, paman dan bapak. Join ini dirasakan meringankan pebisnis, tetapi pemasukan tentu tidak sepenuh modal perseorangan.
Tidak hanya jumlah bangunan fisik, geliat pebisnis lokal ini juga tampak dari denyut pinjaman di lembaga perbankan, misalnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Belakangan, kantor LPD lebih sibuk melayani nasabah yang meminjam uang untuk usaha penginapan atau warung makan. Pasalnya, jumlah nasabah (peminjam) terus mengalami peningkatan hingga lebih dari 50 %. Data ini dibenarkan oleh salah satu mantan pengawas LPD Desa Pekraman Sebunibus (sekaligus salah satu owner Batan Sabo Cottage), Pande Bagus Gde Guna Sesana.
Sebelumnya, menurut Guna, jumlah peminjam biasanya sangat sedikit. Hampir tidak pernah mencapai target standar minimal, karena jumlah peminjam bisa dihitung dengan jari. Berbeda dengan sekarang, ketika bisnis penginapan ramai di wilayah Desa Pakraman Sebunibus, LPD menjadi ramai dikerumuni nasabah (peminjam). Mereka rela antri dan berdesak-desakan demi mendapatkan pinjaman.
Di samping LPD, titik perburuan pinjaman juga terjadi di BRI dan BPD yang ada di Nusa Penida. Kedua bank milik pemerintah ini menjadi ladang peminjaman dari para pebisnis lokal sebagai modal. Hiruk-pikuk nasabahnya pun meningkat tajam. Kondisi ini tentu sangat menarik jika dijadikan penelitian oleh calon-calon sarjana ekonomi.
Jika kita telesuri kalangan pebisnis lokal di Nusa Penida, mereka merupakan SDM lokal yang cukup andal. Kebanyakan berasal dari pelaku pariwisata yang pernah mengenyam asam garam pariwisata (guide, karyawan/ staf hotel, restoran, villa, bungalow, dsb.) baik di Bali daratan (lokal), nasional, hingga internasional (TKI-kapal pesiar). Sepak terjangnya dalam dunia pariwisata cukup mumpuni dijadikan modal dalam membangun usaha akomodasi di Nusa Penida. Sisanya, dari kalangan pebisnis tulen, guru, dosen, dokter, pejabat pemerintahan, sopir, tukang, petani, dan lain sebagainya.
Apa pun latar belakangnya, meningkatnya geliat bisnis penginapan dan denyut pinjaman di perbankan merupakan indikator bahwa pariwisata memberikan efek dan perspektif positif bagi masyarakat lokal. Beberapa efek dan perspektif yang dimaksud, antara lain pariwisata dapat menstimulus “spirit spekulan” kepada masyarakat lokal untuk berbisnis, menjadi ruang belajar berbisnis secara konkret, dan memacu warga lokal menjadi boss/ owner untuk menciptakan lapangan pekerjaan (tidak semata-mata menjadi karyawan/ tenaga kerja). Selain itu, pariwisata juga dipandang dapat meningkatkan ekonomi, kesejahteraan, dan menghilangkan stereotip terisolir bagi masyarakat lokal.
Dengan kata lain, maraknya bisnis akomodasi merupakan realisasi atas efek dan perspektif masyarakat lokal terhadap dunia pariwisata, yang melingkupinya. Respon ini patut kita acungi jempol. Karena, kita memang berharap peran pebisnis lokal terus meningkat. Kita berharap jiwa-jiwa spekulan dan keberaniannya terus bertumbuh, sehingga nanti muncul pebisnis-pebisnis baru lainnya.
Semakin banyak jumlah pebisnis lokal berperan aktif, semakin optimal masyarakat lokal menikmati kue pariwisata daerahnya. Di samping itu, masyarakat akan lebih leluasa bisa mengatur sosiokultural daerahnya. Yang tak kalah pentingnya pula ialah masyarakat lokal akan memiliki prestise sosial, karena derajat individu maupun kolektif masyarakat lokal dapat terangkat, sehingga tidak dipandang remeh oleh masyarakat luar.
Namun, bukan berarti kita anti dengan investor asing. Masyarakat Nusa Penida tentu membutuhkan perannya. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika keberadaannya tidak terlalu mendominasi dan mendikte masyarakat lokal. Karena itulah, diperlukan pula dukungan dari pemerintah untuk terus menggenjot lahirnya pebisnis-pebisnis lokal. Misalnya, lewat perlindungan regulasi bisnis pro masyarakat lokal, dukungan dana (pinjaman lunak/ bunga ringan) dan pelatihan-pelatihan entrepreneur (wirausahawan) kepada masyarakat lokal.
Regulasi, support dana, dan pelatihan-pelatihan SDM lokal pasti akan menciptakan iklim bisnis yang menarik. Masyarakat lokal pasti akan semakin banyak tertarik untuk terjun ke dunia bisnis pariwisata. Cepat dan pasti, bisnis akomodasi akan berjamuran di Pulau Nusa Penida. Konsekuensinya, persaingan tentu akan menjadi semakin kompetitif.
Kompetisi yang ketat cenderung memunculkan iklim persaingan tidak sehat. Para owner biasanya berlomba-lomba menurunkan harga secara sepihak. Penurunan harga ini akan menguntungkan pihak tertentu dalam jangka pendek. Sementara, pihak lainnya akan mengalami gonjang-ganjing dan ujung-ujungnya bakal bangkrut. Konon, cerita (kasus) ini pernah melanda pariwisata di daerah Kintamani dan Candidasa.
Karena itu, penting para owner penginapan membentuk semacam organisasi yang dapat bertugas mengatur harga. Organisasi yang legitimate inilah yang tugasnya merumuskan, mengatur, dan mengontrol harga melalui regulasi yang ditetapkan. Jika dilanggar, maka owner tersebut akan dikenai sanksi sesuai regulasi yang disepakati.
Keberadaan organisasi ini tentu akan membuat denyut pembangunan akomodasi berdetak  stabil, denyut cicilan stabil, dan denyut jantung pebisnis juga menjadi stabil.

Kolam renang di atau di dekat Batan Sabo Cottage
Batan Sabo Cottage, milik warga lokal (Guna, Apel, Kobers, dan Supradnya)
                   




Batan Sabo Cottage, milik warga lokal (Guna, Apel, Kober, dan Supradnya)


Imbas Pariwisata, Nusa Penida Mendadak “Kebule-Bulenan”
Oleh
I Ketut Serawan

          Tidak perlu menunggu lama, pariwisata sangat “cespleng” memberikan pengaruh terhadap kelokalan di Nusa Penida. Salah satunya ialah perkara (kosakata bahasa) penamaan suata tempat yaitu objek wisata. Misalnya, Broken Beach, Angel’s Billabong, Crystal Bay, Diamond, Thousand Island, dan lain sebagainya. Nama yang begitu keren, namun sulit diucapkan oleh lidah lokal, warga Nusa Penida. Karena hingga sekarang, lidah mereka masih “slimputan” mengucapkan deretan nama-nama tersebut.
          Berbeda dengan Bali daratan, nama-nama lokal masih tetap ajeg (kukuh dipertahankan). Contohnya, Kuta Beach, Nusa Dua Beach, Sanur Beach, dan lain-lainnya. Hingga sekarang pun, kita masih menjumpai nama-nama ini di Bali Selatan. Padahal, daerah-daerah tersebut telah lama berdampingan dengan pariwisata dunia.
            Saya tidak tahu, apakah penamaan asing ini sebagai trik dalam mempercepat promosi sebuah destinasi pariwisata? Entahlah. Jawabannya tentu harus dibuktikan dengan penelitian-penelitian terlebih dahulu. Harus ada bukti-bukti research yang valid untuk mempertemukan korelasi penamaan dengan kecepatan promosi.
Selama ini, saya belum pernah membaca research tentang keterkaitan ini. Jangan-jangan ada, tetapi saya tidak tahu alias belum membaca. Lalu, bagaimana dengan kecepatan promosi objek wisata di Nusa Penida? Hanya dalam tempo kurang lebih 4 tahun, beberapa objek wisata di Nusa Penida dikenal cepat ke seluruh dunia. Indikatornya, para wisatawan baik domestik maupun mancanegara terus berduyun-duyun mendatangi objek-objek wisata yang ada di Nusa Penida. Data tahun 2018 memperlihatkan bahwa jumlah realisasi kunjungan wisatawan mencapai 253.472 orang per hari dari target semula 343.979. Itulah sebabnya, tahun 2019 ini pemda Klungkung menargetkan jumlah kunjungan mencapai  543.979 (radarbali.jawapost.com).
Sekali lagi, adakah karena embel-embel penamaan asing itu? Saya pikir tidak. Popularitas objek-objek wisata di Nusa Penida dipengaruhi oleh promosi yang gencar dari berbagai pihak, baik dari pemerintah (pemda Klungkung), pihak swasta (baik secara kolektif/ individual), praktisi pariwisata, masyarakat, para wisatawan, dan lain sebagainya. Para pelaku inilah yang menyebarluaskan profil-profil objek wisata Nusa Penida secara berantai di media online.
Karena itu, sarana online juga sangat berjasa mempercepat (pesan) promosi kepada masyarakat di dunia. Pemanfaatan youtube, facebook, twitter, dan aplikasi lainnya sebagai media promosi dirasakan jauh lebih efisien dan cepat. Berbeda mungkin dengan promo awal pariwisata di daerah Kuta, Sanur, dan Nusa Dua. Zaman itu, media promosi tidak semutakhir sekarang.
Jika kita masih jumawa menyebut faktor penamaan asing sebagai pendorong kecepatan promosi, maka kita pantas menyanggahnya. Coba cek ranking prestasi objek wisata di Nusa Penida. Ranking teratas justru diduduki oleh objek wisata dengan nama nasional yaitu Pantai Kelingking. Kelingking Beach masuk daftar ranking ke-9 pantai tercantik di asia versi CNN Travel, dan ranking ke-19 pantai tercantik sedunia versi TripAdvisor (Kompas.com).
Tentu prestasi ini sangat realistis. Tidak berkaitan dengan perkara penamaan, tetapi, sesuai dengan kondisi konkret objek tersebut. Dalam konteks ini, mungkin William Shakespeare benar. “Apalah arti sebuah nama.” Tapi tunggu dulu! Nama barangkali tetap diperlukan, termasuk Anda, kan?
Lalu, mengapa harus mengusik penamaan asing yang melekat pada objek-objek wisata di Nusa Penida? Bukankah itu sesuatu yang “lebay”? Sebagai warga Nusa, saya merasa tidak nyaman dengan penamaan asing itu. Ada semacam rongrongan jati diri sebagai orang Nusa. Saya yakin beberapa warga yang lain merasakan hal sama, karena saya tahu bahwa orang Nusa Penida dikenal sebagai orang yang fanatik dalam mempertahankan jati dirinya. Contohnya, dalam hal berbahasa Nusa. Walaupun sedikit berbeda idiolek dan kosakatanya dengan bahasa Bali standar, orang Nusa tidak pernah merasa malu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Nusa. Ini adalah modal dasar untuk mempertahankan identitas orang Nusa Penida. Cuma saya tidak mengerti, mengapa ketika nama-nama objek wisata berbahasa asing tidak ada yang berani bersuara (maaf, mungkin saya baperan, ya).
Pertama, mungkin bahasa Inggris (dunia) dianggap terlalu keren, simbol global, dan simbol modernisasi. Simbol-simbol inilah yang barangkali dianggap memberikan efek pencintraan positif. Pencitraan untuk menendang stereotip terisolir yang lama disematkan kepada daerah Nusa Penida. Masyarakat Nusa Penida ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa daerah Nusa Penida sudah mengglobal sekarang, dapat bersentuhan secara terbuka dengan siapa pun di dunia.
Kedua, mungkin nama-nama asing itu sengaja dibiarkan untuk memudahkan lidah para wisatawan asing melafalkan nama objek di Nusa Penida. Meskipun terkesan dipaksakan, nama-nama asing itu menjadi akrab dilidah para wisatawan asing. Saya tidak tahu, apakah memanjakan lidah (bicara) seperti ini bagian dari sebuah servis atau ketaklukan.
Ketiga, penamaan asing-asing itu akhirnya memunculkan rasa kebanggaan baru kepada masyarakat Nusa. Kebanggaan global, melebihi fanatisme sebagai orang Nusa. Namun, tanpa disadari, kebanggaan global ini perlahan-lahan akan mengikis spirit identitas ke-Nusa-an mereka.

Kesadaran Identitas
            Indikasi pengikisan identitas Nusa ini pantas dipersoalkan, mengingat bangsa-bangsa di dunia konon sedang gencar membangun identitasnya. Mereka mempertahankan karakteristiknya dari kepungan budaya global. Kondisi inilah yang mungkin mendorong lahirnya konsep ajeg Bali--respek Bali sebagai bagian dari dunia global. Terlebih lagi, Bali menjadi destinasi pariwisata dunia (nomor satu lagi di dunia) yang berkarakter (identias) dan unik, yang rawan terhadap penundukkan identitas (budaya).
Karena itu, Bali berjibaku menjaga kehormatan (identitas) itu dengan cara melestarikan dan memodifikasinya sesuai dengan dinamika zaman. Belakangan, spirit ajeg Bali ini kian mendapat penguatan dari Gubernur Bali, Wayan Koster. Pemda Bali menerbitkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali secara serentak di seluruh Bali. Pemda memandang bahwa membangun dan mempertahankan identitas itu merupakan persoalan serius.
Dalam konteks inilah, masyarakat Nusa Penida pantas mulat sarira tentang kesejatian dirinya. Masyarakat Nusa Penida semestinya merawat kelokalannya (identitas dirinya). Salah satunya ialah identitas bahasa Nusa Penida. Kosakata-kosakata lokal itu semestinya dipertahankan, tetapi bukan bermaksud kaku apalagi menutup diri. Kosakata-kosakata asing tetap kita butuhkan untuk perkembangan (penambahan pembendaharaan) bahasa Nusa. Akan tetapi, kosakata asing jangan sampai menghegemoni bahasa lokal. Lama kelamaan, otomatis bahasa lokal tunduk dan musnah mengenaskan.
Promosi destinasi wisata jangan hanya mengejar rating kunjungan, lalu mengambil sebesar-besarnya dari keuntungan itu. Promosi harus dapat memperkenalkan objek-objek wisata termasuk identitas-identitas kelokalan daerah itu. Mulailah dari hal kecil, misalnya fanatik menggunakan bahasa-bahasa lokal. Penggunaan bahasa-bahasa lokal ini merupakan bentuk kesadaran untuk mengangkat derajat kita di mata dunia. Sambil promosi objek, sekaligus promosi budaya (bahasa) kita, bahasa Nusa Penida.
Fanatisme penggunaan bahasa lokal merupakan bagian otoritas kita sebagai daerah tujuan. Sebagai tuan rumah, biarkan tamu (wisatawan) menyesusaikan diri dengan karakter daerah dan budaya kita, termasuk dalam pengucapan bahasa lokal Nusa. Biarkan mereka bertamasya, sekaligus belajar ilmu kosakata lokal.
Kita membutuhkan pariwisata untuk kemajuan, tetapi tidak mengikis identitas masyarakat lokal. Kita mendukung pariwisata sebagai partner mengangkat derajat masyarakat lokal, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita tidak membutuhkan pariwisata dalam bingkai hubungan superior dan inferior, karena pariwisata akan memberangus identitas masyarakat lokal.
Untuk menguatkan pemertahanan identitas Nusa, mesti ada dukungan dari berbagai pihak terutama pemda Klungkung. Misalnya, pemda Klungkung mengeluarkan regulasi berkaitan dengan penamaan lokal Nusa, sesuai spirit pergub Bali. Mulailah dari regulasi bahasa atau penataan nama-nama objek dengan bahasa Nusa. Ke depan, mungkin regulasi-regulasi lain yang bertujuan menjaga (integritas) identitas masyarakat Nusa Penida.
        Jadi, kalau masyarakat ingin membangun stereotip modernisasi tidak mesti menjadi dia (bule/ barat). Lalu, kita menghamba dan kehilangan jati diri. Kalau memang kulit kita sawo matang, jangan memaksakan putih-putihlah. Nanti, pasti kelihatan belang-belang alias “kebule-bulenan”.


Related image
Diamond Beach (sumber: lifestyle.okezone.com)

Related image
Diamond Beach (sumber: thenusapenida.com)

Kamis, 14 November 2019


Ekspansi Pariwisata Atas “Rompok-Rompok” (Ruang Agraris) di Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

Semenjak melejit 4 tahun belakangan, ekspansi sektor pariwisata atas ruang agraris kian tak terbendung di Pulau Nusa Penida. Pemandangan (wujud) ekspansi-ekspansi ini tampak nyata mulai dari teritorial pesisir, dataran hingga perbukitan. Rompok-rompok (rumah sangat sederhana untuk mendukung aktivitas pertanian) sebagai simbol kejayaan agraris, kini tumbang (habis) menjadi penginapan seperti hotel, hostel, cottage, villa dan lain sebagainya.
Ekspansi di daerah pesisir tampak sangat agresif. Hampir tidak ada sisa rompok-rompok berdiri di sepanjang pesisir pantai utara Nusa Penida. Berbeda dengan tahun 80-an hingga tahun 200-an, rompok-rompok berjejer memenuhi lekuk garis pesisir pantai. Bangunan dengan dinding bedeg dan atap daun kelapa ini sangat mendominasi.
Awalnya, deretan bangunan ini didominasi oleh rompok-rompok nelayan. Namun, ketika budidaya rumput laut meroket, rompok nelayan seolah-olah tenggelam. Diganti dengan, rompok-rompok petani rumput laut bak jamur di musim hujan. Berjejer, berhimpitan, dan berdesak-desakan. Rompok-rompok inilah yang pernah mengangkat martabat petani di Nusa Penida.
Hasil pertanian rumput laut jauh lebih menjanjikan daripada petani konvensional (ladang dan ternak). Jika petani konvensional memetik hasil dalam setahun, maka petani rumput laut cukup membutuhkan waktu panen rata-rata per 35-40 hari. Di samping singkat, hasil panen rumput laut jauh lebih besar daripada hasil panen petani konvensional.
Hasil panen rumput laut tidak hanya mampu menutupi biaya dapur, biaya sosial, biaya religius bahkan mampu menyokong biaya yang fundamental yakni biaya pendidikan. Awalnya, masyarakat hanya mampu bersekolah pada tingkat SD. Namun, kedigjayaan rumput laut mampu secara masif mengangkat derajat warga (terutama pesisir) untuk mengenyam pendidikan hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Testimoni inilah yang mendorong ruang pesisir kian dijamuri rompok-rompok petani rumput laut, dengan sisa ruang (lahan) kosong untuk menjemur rumput laut.
Memasuki akhir tahun 2004, keberadaan budidaya rumput laut mulai goyang. Entah karena faktor apa, rumput laut tidak bisa berkembang dengan baik. Ranting-rantingnya selalu membusuk, lalu mudah disapu ombak dan gerusan air laut. Akibatnya, petani terus gagal panen. Petani mengalami kerugian bertubi-tubi, hingga akhirnya tidak dapat bertani rumput laut lagi.
Sejak itulah, rompok-rompok pesisir menjadi sepi. Aktivitas pertanian rumput laut menjadi mati. Rompok-rompok ditinggalkan oleh pendukungnya. Jadilah rompok-rompok itu sebagai hunian memedi. Kesunyian ini berlangsung kurang lebih 12 tahunan.
Baru memasuki tahun 2016, aktivitas pesisir pantai mulai menggeliat lagi. Akan tetapi, aktivitas ini tidak berkaitan dengan kegiatan bertani rumput laut melainkan bertani dollar. Satu per satu rompok-rompok ditumbangkan, diratakan, dan disulap menjadi penginapan. Memedi mulai terusik. Puncaknya, tahun  2018 dan 2019, rompok-rompok dan memedi betul-betul lenyap ditelan perubahan.
Sepanjang pesisir pantai utara, kini sudah berjejer akomodasi penginapan mengikuti lekuk tubuh pantai. Jika malam, penginapan-penginapan ini bermandikan cahaya, berbeda dengan rompok yang gelap gulita.
Bukan hanya pesisir pantai, ekspansi pariwisata juga terjadi di laut. Laut yang semula sebagai tempat menanam rumput laut, melabuhkan sampan-sampan petani rumput laut dan nelayan, kini juga merasakan kejamnya ekspansi itu. Bekas-bekas petak (lahan) rumput laut sudah menjadi lintasan diving dan wahana air untuk wisatawan. Sementara itu, lahan parkir (berlabuh) sampan-sampan atau jukung petani rumput laut dan nelayan makin terhimpit. Sekarang, lahan-lahan laut itu sudah dicaplok oleh speed boat, sampan, dan jukung untuk diving.
Selain pesisir (lautan), kepungan ekspansi juga melanda wilayah perbukitan di Nusa Penida. Bangunan-bangunan penginapan terus menyerang rompok-rompok petani konvensional. Hampir setiap hari, alat-alat berat excavator terus menderu--meratakan batu-batu kapur perbukitan. Penginapan-penginapan dengan berbagai style tak terbendung, mulai dari model tradisional (rumah panggung, jineng) hingga bangunan modern. Pun bermunculan cabang jalan-jalan baru (diaspal/ dibeton) menuju akses penginapan. Jalan yang tentu lebih mulus daripada era rompok-rompok terdahulu.
Jika dicermati, keberadaan bangunan-bangunan penginapan ini jauh lebih banyak daripada jumlah rompok-rompok sebelumnya. Perbukitan dengan berbagai view (terutama view laut), berjejer penginapan dengan penataan yang lebih rapi, mulai dari belahan timur Pulau Nusa Penida, belahan utara, hingga belahan barat. Kondisi ini tampak jelas kalau dilihat dari permukaan air laut.
Tak kalah gencarnya, serangan pendirian akomodasi penginapan juga terjadi di dataran (tegal) pedalaman hingga menusuk ke perkampungan rumah-rumah warga. Serangan ini ditandai dengan laju excavator yang tak henti-hentinya merobohkan rompok-rompok petani konvensional. Lahan-lahan produktif tempat menanam palawija dibelah dengan akses jalan.
Fenomena pendirian akomodasi penginapan ini telah merampas kemerdekaan ruang agraris di Nusa Penida. Dalam 5-10 tahun ke depan, ruang dan aktivitas agraris akan betul-betul menemui ajalnya. Para generasi petani tulen (baik konvensional maupun rumput laut) sudah memasuki usia renta. Sementara generasi milenial, yang gagap bertani, sudah telanjur sumringah dengan gemerlap industri pariwisata. Karena itulah, kebijakan pemda Klungkung untuk merevitalisasi budidaya rumput laut di Nusa Penida menjadi kurang populis. Kebijakan ini akan menjadi hiburan bagi pesakitan para petani, yang telah menjadi pecundang transisi pariwisata.
Bagi generasi milenial Nusa Penida, terjun ke dunia lumpur (baca: bertani) rasanya sangat berat. Apalagi, dengan metode yang bersifat tradisional. Mengulang cara-cara tradisional tentu tidak sesuai dengan karakter milenial yang kreatif. Di samping membosankan, juga tak memberikan penghasilkan yang menjanjikan. Belum lagi, perspektif kaum milenial yang memandang remeh citra pekerjaan petani. Karena kaum milenial sekarang memang tidak disiapkan untuk menjadi petani. Kalaupun ada sekolah pertanian atau kampus jurusan pertanian, hingga saat ini belum mampu mengangkat martabat petani. Jurusan ini hanya menjadi pelengkap dan sepi peminat.
Berdasarkan konteks di atas, maka ide revitalisasi budidaya rumput laut menjadi tak laku dan terkesan terlambat. Kaum milenial dipastikan tidak tertarik dengan ide bertani rumput laut. Apalagi, ide ini muncul justru ketika sektor pariwisata sedang melangit dan dipandang menjanjikan di Nusa Penida. Jangankan kaum milenial, kaum tua pun sudah telanjur beralih ke sektor pariwisata.
Walaupun kajian akademis mengungkapkan bahwa budidaya rumput laut masih potensial di Nusa Penida, tidak serta merta akan mengubah mindset warga beralih ke sektor agraris (petani rumput laut). Kalau ingin serius, barangkali pemda Klungkung dapat melakukan sejumlah langkah-langkah mendasar, antara lain: pendataan pendukung atau warga yang mau bertani rumput laut, perlu adanya stimulus subsidi modal, jaminan pemasaran,  potensi keberlangsungannya, metode bertaninya, kepastian penghasilan, dan potensi estafet generasi pendukungnya.
Itu pun tidak menjamin, karena kepungan sektor pariwisata terlalu kuat saat ini. Jikalaupun ada beberapa yang mau terjun menjadi petani rumput laut, mereka akan tetap menjadi semacam komunitas yang marginal. Kekuatan marginal ini tentu tidak akan mampu menyaingi sektor pariwisata. Malah yang terjadi nanti adalah aktivitas budidaya rumput laut akan takluk dan dimanfaatkan oleh sektor pariwisata sebagai ekspansi baru.
Praktisi-praktisi pariwisata akan mengemas aktivitas budidaya rumput laut sebagai “drama”. Drama paket wisata yang akan dijual kepada para wisatawan. Mereka, para (pelaku) petani rumput laut diberikan panggung bertani di laut. Selanjutnya, para pelaku pariwisata mengajak wisatawan untuk menonton “drama budidaya” itu. Ujung-ujungnya, sektor pariwisata semakin melebarkan ekspansinya. Pelaku wisata memiliki paket alternatif baru, selain keindahan alam Nusa Penida. Sebaliknya, petani tetap saja menjadi budak (menghamba) kepada kolonial pariwisata.
Kalau ini terjadi, maka ekspansi pariwisata tidak berhenti pada rompok-rompok petani (ekspansi fisik agraris), namun ke depan akan merambah kepada ekspansi mental para petani. (Penulis, Guru Bahasa Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar)




                                           


Minggu, 10 November 2019


Pariwisata Nusa Penida,
Menggeser Perspektif Ternak Kaki Empat Menjadi Roda Empat
Oleh
I Ketut Serawan

         
Foto: Tribunnews.com

Tidak hanya perubahan fisik, perkembangan industri pariwisata juga mengubah perspektif hidup masyarakat secara radikal. Kasus inilah yang dialami masyarakat Nusa Penida sekarang. Sejumlah paradigma yang mapan awalnya, tiba-tiba bergeser menjadi runtuh dan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu contoh konkret yang paling kontekstual (menonjol) untuk menjelaskan kasus ini ialah soal longsornya perspektif beternak kaki empat (sapi)ke roda empat (mobil).

Dulu (di bawah tahun 90-an), masyarakat Nusa Penida menjadikan aktivitas beternak kaki empat (sapi) sebagai kewajiban. Pelakunya mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Karena itu, semua generasi tahun 90-an ke bawah sangat detail memahami bagaimana mengurus sapi. Mereka sangat paham tentang cara memandikan dan memberi minum sapi di cubang-cubang atau ceruk-ceruk batu kapur. Pun memahami bagaimana mencari atau memberi makan sapi, mengikat tali sapi, dan termasuk menggembalakan sapi.

Bagi anak-anak dan remaja, aktivitas beternak sapi merupakan rutinitas yang lebih rutin dari kegiatan sekolah. Pagi, siang, dan sore adalah kewajiban bagi mereka untuk mengadakan pakan sapi, tanpa mengenal kondisi cuaca dan hari libur. Sementara, waktu bermain dan bersosialisasi dimanfaatkan di sela-sela kewajiban mencari makanan sapi dan belajar.

Jumlah sapi yang dipelihara biasanya bervariasi antara warga satu dengan yang lainnya. Umumnya, jumlah ternak ini disesuaikan dengan ketersediaan makanan yang ada pada ladang yang dimiliki warga. Pasalnya, sumber makanan sapi-sapi di Nusa Penida sepenuhnya berasal dari tumbuhan-tumbuhan di ladang (tanpa campuran pakan instan). Karena itulah, biasanya sapi akan tampak gemuk (berbobot) ketika memasuki musim penghujan. Logikanya, pada musim ini ketersediaan sumber makanan menjadi lebih berlimpah, terutama keberadaan rumput liar, pohon pisang, daun gamal, dan tanaman jagung.

Sebaliknya, musim kemarau menjadi kecemasan bagi para peternak sebab keberadaan makanan terbatas. Apalagi jika kemarau panjang, biasanya warga menyambung nyawa ternak dengan daun ketela pohon, daun gamal dan kulitnya. Jika habis, maka warga memberi makan sapi dengan daun bunut, daun nangka, dan daun kelapa (slepan).

Bagi warga Nusa Penida, beternak sapi dianggap sebagai tabungan hidup. Sapi adalah aset tahunan untuk mengantisipasi keperluan (biaya) bersifat dadakan dan prediktif dalam jumlah yang besar. Misalnya, biaya pendidikan (sekolah), biaya membangun/ renovasi rumah, modal berbisnis, biaya bermasyarakat (biaya peturunan), biaya ritual upakara (ngaben, potong gigi) dan lain sebagainya.

Aset sapi menjadi andalan utama untuk mengantisipasi kompleksitas biaya hidup, ketika sektor agraris menjadi tumpuan di wilayah Nusa Penida. Karena hasil pertanian tanah tandus (batu kapur) di Nusa Penida tidak dapat memberikan pendapatan atau finansial yang menjanjikan. Biasanya, hasil pertanian bumi Nusa Penida digunakan sebagai konsumsi sehari-hari. Jagung, ketela pohon, kacang-kacangan, dan buah-buahan diprioritaskan untuk memenuhi dapur harian. Jika jumlahnya mengalami kelebihan, baru dapat dijual untuk membeli keperluan harian lainnya.

Sektor agraris Nusa Penida mengalami masa kejayaan yang begitu panjang karena berbagai faktor. Pertama, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Nusa Penida rendah. Tahun 80-an dan 90-an, gelombang urbanisasi masyarakat Nusa Penida ke kota Bali seberang begitu tinggi. Rata-rata para urban ini berpendidikan SD. Sisanya, tidak tamat dan banyak yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan. Mereka menyebar menjadi pembantu rumah tangga (perempuan), sedangkan laki-laki menjadi buruh perusahaan. Kondisi ini mengakibatkan mental kemajuan masyarakat menjadi terpuruk. Mereka tak memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan, karena mental “meburuh” (kerja kasar dan rendahan) telanjur begitu kuat.

Kedua, pembangunan infrastruktur di Nusa Penida tidak pernah digarap secara optimal. Hal ini disebabkan oleh wilayah pemda Klungkung yang kecil, miskin PAD, dan ditambah mental stakeholder yang miskin pula. Akibatnya, Nusa Penida lama terbengkalai menjadi daerah terisolir. Fasilitas jalan utama kecil penuh ukiran (alias rusak). Pembangunan transportasi laut sebagai jalur penting untuk memudahkan kran kelancaran ekonomi tersumbat, karena tak ada aliran dana dari pemda. Pasokan air bersih mengandalkan sumur-sumur tadah hujan warga masing-masing. Listrik hanya bisa menjangkau daerah-daerah tertentu (tidak merata).

Ketiga, faktor geografis juga memicu Nusa Penida menjadi daerah terbelakang. Dibutuhkan dana yang besar untuk membangun daerah Nusa Penida. Pasalnya, kondisi geografis yang terpisah lautan menyebabkan operasional pembangunan menjadi membengkak (tinggi). Di satu sisi, PAD Klungkung sangat minim. Maka, tak ada pilihan, kecuali membiarkan Nusa Penida menjadi terisolir berlarut-larut.

Sama halnya dengan pilihan pekerjaan masyarakatnya. Pilihan sektor agrarislah yang paling luas dan kuat pada zaman itu. Inilah yang menjebak masyarakat Nusa Penida menjadi nyaman bekerja di sektor pertanian dan salah satunya beternak kaki empat (sapi).

Runtuhnya Sektor Agraris

Memasuki akhir tahun 2013, sektor agraris Nusa Penida mulai mengalami tanda-tanda oleng. Momen ini ditandai dengan naiknya orang dari Nusa Penida (I Nyoman Suwirta) sebagai bupati di Klungkung tahun 2013. Sebagai  orang pertama asal Nusa Penida yang menduduki singgasana kursi Bupati di Klungkung, Suwirta langsung menggenjot sektor pariwisata di pulau ini. Lobi-lobi dan langkah-langkah promosi dari pihak pemda dan swasta (mulai dari tingkat daerah, nasional maupun internasional) ampuh menggaet para wisatawan datang ke Nusa Penida.

Dalam 4 tahun belakangan, sektor pariwisata Nusa Penida langsung berkembang pesat. Akibatnya, regenerasi peternak sapi terus meredup. Pelan tapi pasti kian kehilangan pendukungnya. Sebaliknya, para generasi milenial yang peka dengan perubahan itu langsung merespon dengan cepat. Mereka menjual sapi-sapinya sebagai modal (DP) atau sebagai pelunasan pembelian mobil.

Para generasi milenial sadar bahwa pekerjaan ternak sapi membuat laju ekonomi bergerak lambat. Beternak sapi dianggap tidak responsif mendongkrak pendapatan di tengah kompleksitas kebutuhan sekarang. Karena itu, para generasi milenial berlomba-lomba menggantungkan tali kaki empat. Mereka berlomba-lomba khusus atau belajar menyetir untuk mengembalakan roda empatnya di jalanan—menjemput para wisatawan di titik-titik pelabuhan, mengangkutnya di atas jalanan terjal nan berkelok-kelok, lalu melepasnya ke objek wisata di Nusa Penida.

Berbeda dengan sapi, beternak roda empat dapat mendatangkan penghasilan yang sangat menjanjikan. Rata-rata perhari dapat meraup penghasilan Rp 500.000 (sebagai sopir, pemilik mobil, dan sekaligus guide). Sebagai pelaku driver saja, dapat meraup uang aman berkisar Rp 200.000 perhari. Belum terhitung jika mengambil paket tirta yatra, minimal Rp 600.000 pasti masuk ke kantong per harinya. Sebuah gambaran penghasilan yang tentu jauh berbeda dengan beternak kaki empat.

Kesempatan ini membuat kalangan generasi tahun 70a-an dan 80-an juga ikut  tergiur. Mereka, yang semula sebagai eks rantauan di Bali daratan (seberang), turut angkat koper, pulang kampung menikmati manisnya pariwisata di Nusa Penida. Mereka merupakan generasi pioner perantauan di tanah Bali seberang. Generasi yang tak bisa bertahan dengan sektor agraris (dan beternak sapi) pada zamannya, lalu memilih hijrah dan merantau ke Bali seberang.

Jumlahnya tidak sedikit. Dari tahun 70-an dan puncaknya (tahun 80-an, 90-an, 200-an), orang-orang Nusa Penida memilih merantau di Bali seberang dengan dua alasan penting yakni bersekolah dan mencari pekerjaan/ bekerja. Bahkan, bermula dari sekolah/ kuliah lalu sekaligus bekerja hingga berumah tangga di Bali seberang. Begitu juga dengan yang murni mencari pekerjaan. Mereka bekerja, lalu berumah tangga, dan kemudian menatap di rantauan. Inilah yang menyebabkan populasi masyarakat Nusa Penida menjadi berkurang signifikan di Nusa Penida.

Akhirnya, momen pariwisata menggiring beberapa generasi perantau kembali ke kampung asalnya. Namun, kepulangannya tidak untuk menjalankan masa lalunya sebagai peternak kaki empat (sapi). Mereka tidak lagi mengembalakan sapi-sapi di ladang datar atau perbukitan, tetapi mengembalakan roda empat di jalanan hitam nan keras.

Inilah perspektif baru, produk dari industri pariwisata. Perspektif yang tidak dapat ditolak, karena zaman terus bergerak. Bergerak untuk menggilas kaki empat, lalu mengangkat kejayaan ternak roda empat.

Menyoal Attitude Wisatawan di Nusa Penida:
Dari Drama Komplain, Abai, Bengkung Hingga Isu Moratorium
oleh 
I Ketut Serawan

Foto: www.kompasiana.com

Hampir semua pelaku pariwisata pernah mengalami komplain dari customernya (tamu/ wisatawan). Biasanya, para tamu komplain karena merasa dirugikan atau mendapat servis yang kurang optimal. Hal ini wajar saja, asalkan sesuai dengan kenyataan. Namun, apa jadinya jika komplain sengaja diciptakan oleh tamu (tertentu) lalu menimpa Anda?
Kasus inilah yang kerapkali dialami oleh pelaku pariwisata di Pulau Nusa Penida. Di penghujung tagihan (akan Check out), ada wisatawan (asing) tiba-tiba melontarkan amarahnya karena kehilangan uang di kamar penginapan. Lalu, si tamu menyemprotkan amarahnya kepada karyawan penginapan (villa) hingga kepada pemiliknya (owner). Ia menuduh lingkungan penginapan tidak aman, dihuni orang-orang dengan attitude yang kurang baik, hingga berkesimpulan penginapan tersebut tidak layak untuk dioperasikan lagi.
Tidak cukup sampai di sini, ia juga mencoba menarik perhatian tamu lain dengan cara meningkatkan akting marahnya secara profesional. Ekspresi muka, kata-kata yang dilontarkan, dan gesture tubuhnya meyakinkan bahwa si tamu benar-benar telah menjadi korban kemalingan.
Kondisi ini membuat karyawan dan owner villa tertegun. Bengong harus berbuat apa, kecuali cuma tertunduk lesu, sambil mendengarkan, menonton akting si tamu dan sesekali melontarkan kata maaf. Namun, kata-kata maaf tidak memiliki kekuatan karena tidak dapat meredakan amarah si tamu. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh si tamu untuk memenuhi akal bulusnya, yakni misi gratis.
Bermodalkan akting dan pressure, si tamu tidak perlu berkeringat untuk membayar sepeser pun. Padahal, kasus kehilangan merupakan murni rekayasa. Rekayasa komplain untuk mendapatkan penginapan gratis, makan gratis, mandi gratis dan bersantai gratis. Selain minta gratisan, ada pula tamu memaksa (minta) ganti rugi berupa uang kepada pihak penginapan.
Walaupun tidak banyak, tipekal tamu-tamu model ini nyata adanya. Model attitude tamu yang tak terpuji. Tipekal yang mengedepankan cara-cara culas (menipu, berbohong), berlagak preman, dan aji mumpung. Menurut Denham ada tiga tipe pelanggan yang melakukan komplain. Pertama, active complainers, yang memahami haknya, asertif, percaya diri, dan tahu persis cara menyampaikan komplain. Mereka cenderung menginformasikan dan mencari solusi atas setiap komplain yang mereka rasakan, sehingga kita berpeluang melakukan perbaikan dan memuaskan mereka. Kedua, inactive complainers, yang lebih suka menyampaikan keluhan kepada orang lain daripada langsung kepada perusahaan yang bersangkutan. Namun, cenderung langsung berganti pemasok dan tidak pernah kembali lagi ke perusahaan yang mengecewakan mereka. Ketiga, hyperactive complainers,  yang selalu komplain terhadap apa pun (chronic complainers), yang kadang kala berlaku kasar dan agresif. Mereka hampir tidak mungkin dipuaskan karena tujuan komplainnya lebih dilatarbelakangi keinginan untuk mencari untung (https://hosteko.com/blog/tipe-tipe-pelanggan-yang-komplain).
Terkait mencari untung, ada pula tamu (wisatawan) yang bermain dengan ancaman “senjata”review buruk. Mereka menawar (memaksa) harga penginapan dengan sangat murah (di bawah harga standar). Kalau tidak dipenuhi, maka mereka mengancam akan membuat review yang buruk terhadap penginapan tersebut. Ancaman review buruk ini cukup ampuh membuat pemilik penginapan menjadi takut dan khawatir. Terbukti, beberapa penginapan sudah cukup banyak menjadi korban dari si tamu.
Perilaku-perilaku aji mumpung dari si tamu patut diwaspadai, disikapi, dan dicarikan solusinya oleh pelaku pariwisata. Kalau tidak, sangat mungkin akan dijadikan inspirasi oleh tamu yang berattitude kurang baik untuk berlibur di Nusa Penida. Tamu-tamu model seperti ini bukannya mendatangkan keuntungan, tetapi malah membuat para pelaku pariwisata menjadi buntung.
Belum lagi, perilaku-perilaku buruk tamu yang lainnya, misalnya dalam hal menyewa transportasi (roda dua). Kasus ini paling rentan dan paling banyak dijumpai di Nusa Penida. Si tamu menyewa sepeda motor, tetapi kurang bertanggung jawab. Jika motor dianggap kurang nyaman, mengalami kerusakan, maka mereka tidak segan-segan untuk meninggalkan begitu saja. Entah memarkir sembarangan di pinggir jalan atau dibuang di tegalan/ ladang atau jurang. Pun jika motor mengalami kerusakan (lecet) akibat dijatuhkan si penyewa, maka tidak ada istilah ganti rugi. Semua dibebani kepada pemilik atau pihak yang menyewakan.

Attitude, Kecelakaan, dan Moratorium
Kasus-kasus kecelakaan yang menimpa beberapa tamu di Nusa Penida juga tidak lepas dari attitude tamu yang kurang baik. Kasus kecelakaan dalam diving misalnya. Beberapa tamu yang tenggelam dalam aktivitas diving, banyak dipicu oleh attitude  negatif tersebut. Pada umumnya, mereka tidak mematuhi regulasi dan imbauan dari pemandunya. Si tamu sering bengkung, hanya mengikuti keinginannya sendiri.
Begitu juga dengan kasus selfie yang berujung maut di beberapa objek wisata di Nusa Penida (seperti di Devil Tears-Lembongan, Pantai Angel Billabong-Nusa Penida, Tebing Dream Beach-Lembongan, dll.). Semua bermula dari attitude kurang baik dari si tamu. Padahal, larangan-larangan dan regulasi di areal objek sudah ada baik secara tertulis maupun lisan. Kemudian, dipertegas lagi oleh pemandu wisata. Toh, pelanggaran-pelanggaran tetap saja terjadi pada mereka (tamu) yang memiliki perilaku kurang baik.
Selain faktor attitude, kekurangkesiapan pemda setempat juga menjadi pemicu lainnya. Selama ini, belum ada tim juru selamat khusus dari pemda Klungkung untuk mengantisipasi kasus kecelakaan di lokasi objek wisata. Nihilnya “tim juru selamat khusus” ini, membuat kecelakaan tamu di lokasi wisata menjadi semakin riskan.
Jika tidak segera dicarikan solusinya, maka ke depan akan mengancam kelangsungan eksistensi industri pariwisata di Nusa Penida. Tumpukan-tumpukan kasus kecelakaan ini nantinya akan menganggu kenyamanan tamu berwisata ke Nusa Penida. Padahal, kenyaman merupakan faktor utama yang menentukan nyawa industri pariwisata. Karena itu, tidak salah jika Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali kemarin sempat mengancam isu moratorium. Sesungguhnya, isu moratorium tersebut merupakan rambu-rambu bahwa keselamatan tamu di Nusa Penida harus terjamin.
Namun demikian, harus disadari bahwa jaminan keselamatan tidak boleh hanya dibebankan kepada pihak eksternal (pemerintah, insfrastruktur, dan lain sebagainya). Pada beberapa kasus kecelakaan tamu, yang berujung maut di Pulau Nusa Penida, justru dominan bersumber dari faktor internal yakni attitude si tamu. Si tamu lebih mengutamakan syahwat kesenangannya, lalu mengindahkan regulasi yang ada.
Kasus attitude  tamu ini merupakan persoalan serius. Persoalan yang harus diatasi untuk meminimalisir kasus kecelakaan di objek wisata. Karena itulah, pentingnya mengedepankan sikap kooperatif antara pihak wisatawan dengan pihak yang berwenang (pemandu, penanggung jawab). Sebisa mungkin, para pemandu melakukan pendekatan (kompromi, briefing) dengan wisatawan yang bengkung, sambil memantaunya dengan cermat. Jika terjadi pelanggaran, pemandu jangan segan-segan untuk mengingatkan. Bahkan bila diperlukan, pemandu dapat bertindak tegas terhadap wisatawan tersebut.
Komproni-kompromi terhadap para wisatawan yang berattitude kurang baik itu, sangat urgen. Sikap kompromi ini tidak hanya bermanfaat untuk menyelamatkan diri wisatawan, tetapi juga bermanfaat untuk menyelamatkan nasib pelaku pariwisata, dan terutama kelangsungan industri pariwisata di Nusa Penida. Dari sikap komproni inilah, kita berharap cerita kecelakaan wisatawan di Nusa Penida kian dapat diminilisir, sehingga mimpi buruk moratorium (dari sang eksukutor HPI Bali) tak lagi menjadi hantu jalanan.





Tentang Penulis
Description: C:\Users\Win\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\IMG_20160612_142232.jpg
I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar.
HP, WA, Telegram          : 081338584553.
Facebook                            :  Ketut Serawan.
Alamat email                    : wanwansolusion@gmail.com