Kamis, 14 November 2019


Ekspansi Pariwisata Atas “Rompok-Rompok” (Ruang Agraris) di Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

Semenjak melejit 4 tahun belakangan, ekspansi sektor pariwisata atas ruang agraris kian tak terbendung di Pulau Nusa Penida. Pemandangan (wujud) ekspansi-ekspansi ini tampak nyata mulai dari teritorial pesisir, dataran hingga perbukitan. Rompok-rompok (rumah sangat sederhana untuk mendukung aktivitas pertanian) sebagai simbol kejayaan agraris, kini tumbang (habis) menjadi penginapan seperti hotel, hostel, cottage, villa dan lain sebagainya.
Ekspansi di daerah pesisir tampak sangat agresif. Hampir tidak ada sisa rompok-rompok berdiri di sepanjang pesisir pantai utara Nusa Penida. Berbeda dengan tahun 80-an hingga tahun 200-an, rompok-rompok berjejer memenuhi lekuk garis pesisir pantai. Bangunan dengan dinding bedeg dan atap daun kelapa ini sangat mendominasi.
Awalnya, deretan bangunan ini didominasi oleh rompok-rompok nelayan. Namun, ketika budidaya rumput laut meroket, rompok nelayan seolah-olah tenggelam. Diganti dengan, rompok-rompok petani rumput laut bak jamur di musim hujan. Berjejer, berhimpitan, dan berdesak-desakan. Rompok-rompok inilah yang pernah mengangkat martabat petani di Nusa Penida.
Hasil pertanian rumput laut jauh lebih menjanjikan daripada petani konvensional (ladang dan ternak). Jika petani konvensional memetik hasil dalam setahun, maka petani rumput laut cukup membutuhkan waktu panen rata-rata per 35-40 hari. Di samping singkat, hasil panen rumput laut jauh lebih besar daripada hasil panen petani konvensional.
Hasil panen rumput laut tidak hanya mampu menutupi biaya dapur, biaya sosial, biaya religius bahkan mampu menyokong biaya yang fundamental yakni biaya pendidikan. Awalnya, masyarakat hanya mampu bersekolah pada tingkat SD. Namun, kedigjayaan rumput laut mampu secara masif mengangkat derajat warga (terutama pesisir) untuk mengenyam pendidikan hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Testimoni inilah yang mendorong ruang pesisir kian dijamuri rompok-rompok petani rumput laut, dengan sisa ruang (lahan) kosong untuk menjemur rumput laut.
Memasuki akhir tahun 2004, keberadaan budidaya rumput laut mulai goyang. Entah karena faktor apa, rumput laut tidak bisa berkembang dengan baik. Ranting-rantingnya selalu membusuk, lalu mudah disapu ombak dan gerusan air laut. Akibatnya, petani terus gagal panen. Petani mengalami kerugian bertubi-tubi, hingga akhirnya tidak dapat bertani rumput laut lagi.
Sejak itulah, rompok-rompok pesisir menjadi sepi. Aktivitas pertanian rumput laut menjadi mati. Rompok-rompok ditinggalkan oleh pendukungnya. Jadilah rompok-rompok itu sebagai hunian memedi. Kesunyian ini berlangsung kurang lebih 12 tahunan.
Baru memasuki tahun 2016, aktivitas pesisir pantai mulai menggeliat lagi. Akan tetapi, aktivitas ini tidak berkaitan dengan kegiatan bertani rumput laut melainkan bertani dollar. Satu per satu rompok-rompok ditumbangkan, diratakan, dan disulap menjadi penginapan. Memedi mulai terusik. Puncaknya, tahun  2018 dan 2019, rompok-rompok dan memedi betul-betul lenyap ditelan perubahan.
Sepanjang pesisir pantai utara, kini sudah berjejer akomodasi penginapan mengikuti lekuk tubuh pantai. Jika malam, penginapan-penginapan ini bermandikan cahaya, berbeda dengan rompok yang gelap gulita.
Bukan hanya pesisir pantai, ekspansi pariwisata juga terjadi di laut. Laut yang semula sebagai tempat menanam rumput laut, melabuhkan sampan-sampan petani rumput laut dan nelayan, kini juga merasakan kejamnya ekspansi itu. Bekas-bekas petak (lahan) rumput laut sudah menjadi lintasan diving dan wahana air untuk wisatawan. Sementara itu, lahan parkir (berlabuh) sampan-sampan atau jukung petani rumput laut dan nelayan makin terhimpit. Sekarang, lahan-lahan laut itu sudah dicaplok oleh speed boat, sampan, dan jukung untuk diving.
Selain pesisir (lautan), kepungan ekspansi juga melanda wilayah perbukitan di Nusa Penida. Bangunan-bangunan penginapan terus menyerang rompok-rompok petani konvensional. Hampir setiap hari, alat-alat berat excavator terus menderu--meratakan batu-batu kapur perbukitan. Penginapan-penginapan dengan berbagai style tak terbendung, mulai dari model tradisional (rumah panggung, jineng) hingga bangunan modern. Pun bermunculan cabang jalan-jalan baru (diaspal/ dibeton) menuju akses penginapan. Jalan yang tentu lebih mulus daripada era rompok-rompok terdahulu.
Jika dicermati, keberadaan bangunan-bangunan penginapan ini jauh lebih banyak daripada jumlah rompok-rompok sebelumnya. Perbukitan dengan berbagai view (terutama view laut), berjejer penginapan dengan penataan yang lebih rapi, mulai dari belahan timur Pulau Nusa Penida, belahan utara, hingga belahan barat. Kondisi ini tampak jelas kalau dilihat dari permukaan air laut.
Tak kalah gencarnya, serangan pendirian akomodasi penginapan juga terjadi di dataran (tegal) pedalaman hingga menusuk ke perkampungan rumah-rumah warga. Serangan ini ditandai dengan laju excavator yang tak henti-hentinya merobohkan rompok-rompok petani konvensional. Lahan-lahan produktif tempat menanam palawija dibelah dengan akses jalan.
Fenomena pendirian akomodasi penginapan ini telah merampas kemerdekaan ruang agraris di Nusa Penida. Dalam 5-10 tahun ke depan, ruang dan aktivitas agraris akan betul-betul menemui ajalnya. Para generasi petani tulen (baik konvensional maupun rumput laut) sudah memasuki usia renta. Sementara generasi milenial, yang gagap bertani, sudah telanjur sumringah dengan gemerlap industri pariwisata. Karena itulah, kebijakan pemda Klungkung untuk merevitalisasi budidaya rumput laut di Nusa Penida menjadi kurang populis. Kebijakan ini akan menjadi hiburan bagi pesakitan para petani, yang telah menjadi pecundang transisi pariwisata.
Bagi generasi milenial Nusa Penida, terjun ke dunia lumpur (baca: bertani) rasanya sangat berat. Apalagi, dengan metode yang bersifat tradisional. Mengulang cara-cara tradisional tentu tidak sesuai dengan karakter milenial yang kreatif. Di samping membosankan, juga tak memberikan penghasilkan yang menjanjikan. Belum lagi, perspektif kaum milenial yang memandang remeh citra pekerjaan petani. Karena kaum milenial sekarang memang tidak disiapkan untuk menjadi petani. Kalaupun ada sekolah pertanian atau kampus jurusan pertanian, hingga saat ini belum mampu mengangkat martabat petani. Jurusan ini hanya menjadi pelengkap dan sepi peminat.
Berdasarkan konteks di atas, maka ide revitalisasi budidaya rumput laut menjadi tak laku dan terkesan terlambat. Kaum milenial dipastikan tidak tertarik dengan ide bertani rumput laut. Apalagi, ide ini muncul justru ketika sektor pariwisata sedang melangit dan dipandang menjanjikan di Nusa Penida. Jangankan kaum milenial, kaum tua pun sudah telanjur beralih ke sektor pariwisata.
Walaupun kajian akademis mengungkapkan bahwa budidaya rumput laut masih potensial di Nusa Penida, tidak serta merta akan mengubah mindset warga beralih ke sektor agraris (petani rumput laut). Kalau ingin serius, barangkali pemda Klungkung dapat melakukan sejumlah langkah-langkah mendasar, antara lain: pendataan pendukung atau warga yang mau bertani rumput laut, perlu adanya stimulus subsidi modal, jaminan pemasaran,  potensi keberlangsungannya, metode bertaninya, kepastian penghasilan, dan potensi estafet generasi pendukungnya.
Itu pun tidak menjamin, karena kepungan sektor pariwisata terlalu kuat saat ini. Jikalaupun ada beberapa yang mau terjun menjadi petani rumput laut, mereka akan tetap menjadi semacam komunitas yang marginal. Kekuatan marginal ini tentu tidak akan mampu menyaingi sektor pariwisata. Malah yang terjadi nanti adalah aktivitas budidaya rumput laut akan takluk dan dimanfaatkan oleh sektor pariwisata sebagai ekspansi baru.
Praktisi-praktisi pariwisata akan mengemas aktivitas budidaya rumput laut sebagai “drama”. Drama paket wisata yang akan dijual kepada para wisatawan. Mereka, para (pelaku) petani rumput laut diberikan panggung bertani di laut. Selanjutnya, para pelaku pariwisata mengajak wisatawan untuk menonton “drama budidaya” itu. Ujung-ujungnya, sektor pariwisata semakin melebarkan ekspansinya. Pelaku wisata memiliki paket alternatif baru, selain keindahan alam Nusa Penida. Sebaliknya, petani tetap saja menjadi budak (menghamba) kepada kolonial pariwisata.
Kalau ini terjadi, maka ekspansi pariwisata tidak berhenti pada rompok-rompok petani (ekspansi fisik agraris), namun ke depan akan merambah kepada ekspansi mental para petani. (Penulis, Guru Bahasa Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar)




                                           


0 komentar:

Posting Komentar