Ekspansi
Pariwisata Atas “Rompok-Rompok” (Ruang Agraris) di Nusa Penida
Oleh
I
Ketut Serawan
Semenjak
melejit 4 tahun belakangan, ekspansi sektor pariwisata atas ruang agraris kian
tak terbendung di Pulau Nusa Penida. Pemandangan (wujud) ekspansi-ekspansi ini
tampak nyata mulai dari teritorial pesisir, dataran hingga perbukitan. Rompok-rompok (rumah sangat sederhana
untuk mendukung aktivitas pertanian) sebagai simbol kejayaan agraris, kini
tumbang (habis) menjadi penginapan seperti hotel, hostel, cottage, villa dan
lain sebagainya.
Ekspansi di daerah
pesisir tampak sangat agresif. Hampir tidak ada sisa rompok-rompok berdiri di sepanjang pesisir pantai utara Nusa Penida.
Berbeda dengan tahun 80-an hingga tahun 200-an, rompok-rompok berjejer memenuhi lekuk garis pesisir pantai. Bangunan
dengan dinding bedeg dan atap daun
kelapa ini sangat mendominasi.
Awalnya, deretan
bangunan ini didominasi oleh rompok-rompok
nelayan. Namun, ketika budidaya rumput laut meroket, rompok nelayan seolah-olah tenggelam. Diganti dengan, rompok-rompok petani rumput laut bak
jamur di musim hujan. Berjejer, berhimpitan, dan berdesak-desakan. Rompok-rompok inilah yang pernah
mengangkat martabat petani di Nusa Penida.
Hasil pertanian
rumput laut jauh lebih menjanjikan daripada petani konvensional (ladang dan
ternak). Jika petani konvensional memetik hasil dalam setahun, maka petani
rumput laut cukup membutuhkan waktu panen rata-rata per 35-40 hari. Di samping
singkat, hasil panen rumput laut jauh lebih besar daripada hasil panen petani konvensional.
Hasil panen rumput
laut tidak hanya mampu menutupi biaya dapur, biaya sosial, biaya religius bahkan
mampu menyokong biaya yang fundamental yakni biaya pendidikan. Awalnya,
masyarakat hanya mampu bersekolah pada tingkat SD. Namun, kedigjayaan rumput
laut mampu secara masif mengangkat derajat warga (terutama pesisir) untuk mengenyam
pendidikan hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Testimoni
inilah yang mendorong ruang pesisir kian dijamuri rompok-rompok petani rumput laut, dengan sisa ruang (lahan) kosong untuk
menjemur rumput laut.
Memasuki akhir tahun
2004, keberadaan budidaya rumput laut mulai goyang. Entah karena faktor apa,
rumput laut tidak bisa berkembang dengan baik. Ranting-rantingnya selalu
membusuk, lalu mudah disapu ombak dan gerusan air laut. Akibatnya, petani terus
gagal panen. Petani mengalami kerugian bertubi-tubi, hingga akhirnya tidak dapat
bertani rumput laut lagi.
Sejak itulah, rompok-rompok pesisir menjadi sepi.
Aktivitas pertanian rumput laut menjadi mati. Rompok-rompok ditinggalkan oleh pendukungnya. Jadilah rompok-rompok itu sebagai hunian memedi. Kesunyian ini berlangsung kurang
lebih 12 tahunan.
Baru memasuki tahun
2016, aktivitas pesisir pantai mulai menggeliat lagi. Akan tetapi, aktivitas ini
tidak berkaitan dengan kegiatan bertani rumput laut melainkan bertani dollar.
Satu per satu rompok-rompok
ditumbangkan, diratakan, dan disulap menjadi penginapan. Memedi mulai terusik. Puncaknya, tahun 2018 dan 2019, rompok-rompok dan memedi
betul-betul lenyap ditelan perubahan.
Sepanjang pesisir pantai
utara, kini sudah berjejer akomodasi penginapan mengikuti lekuk tubuh pantai.
Jika malam, penginapan-penginapan ini bermandikan cahaya, berbeda dengan rompok yang gelap gulita.
Bukan hanya pesisir
pantai, ekspansi pariwisata juga terjadi di laut. Laut yang semula sebagai
tempat menanam rumput laut, melabuhkan sampan-sampan petani rumput laut dan
nelayan, kini juga merasakan kejamnya ekspansi itu. Bekas-bekas petak (lahan) rumput laut sudah menjadi
lintasan diving dan wahana air untuk
wisatawan. Sementara itu, lahan parkir (berlabuh) sampan-sampan atau jukung
petani rumput laut dan nelayan makin terhimpit. Sekarang, lahan-lahan laut itu
sudah dicaplok oleh speed boat,
sampan, dan jukung untuk diving.
Selain pesisir (lautan),
kepungan ekspansi juga melanda wilayah perbukitan di Nusa Penida. Bangunan-bangunan
penginapan terus menyerang rompok-rompok
petani konvensional. Hampir setiap hari, alat-alat berat excavator terus menderu--meratakan batu-batu kapur perbukitan. Penginapan-penginapan
dengan berbagai style tak terbendung,
mulai dari model tradisional (rumah panggung, jineng) hingga bangunan modern. Pun
bermunculan cabang jalan-jalan baru (diaspal/ dibeton) menuju akses penginapan.
Jalan yang tentu lebih mulus daripada era rompok-rompok
terdahulu.
Jika dicermati,
keberadaan bangunan-bangunan penginapan ini jauh lebih banyak daripada jumlah rompok-rompok sebelumnya. Perbukitan
dengan berbagai view (terutama view laut), berjejer penginapan dengan
penataan yang lebih rapi, mulai dari belahan timur Pulau Nusa Penida, belahan
utara, hingga belahan barat. Kondisi ini tampak jelas kalau dilihat dari
permukaan air laut.
Tak kalah gencarnya,
serangan pendirian akomodasi penginapan juga terjadi di dataran (tegal)
pedalaman hingga menusuk ke perkampungan rumah-rumah warga. Serangan ini
ditandai dengan laju excavator yang
tak henti-hentinya merobohkan rompok-rompok
petani konvensional. Lahan-lahan produktif tempat menanam palawija dibelah
dengan akses jalan.
Fenomena pendirian akomodasi
penginapan ini telah merampas kemerdekaan ruang agraris di Nusa Penida. Dalam
5-10 tahun ke depan, ruang dan aktivitas agraris akan betul-betul menemui
ajalnya. Para generasi petani tulen (baik konvensional maupun rumput laut)
sudah memasuki usia renta. Sementara generasi milenial, yang gagap bertani,
sudah telanjur sumringah dengan gemerlap industri pariwisata. Karena itulah,
kebijakan pemda Klungkung untuk merevitalisasi budidaya rumput laut di Nusa
Penida menjadi kurang populis. Kebijakan ini akan menjadi hiburan bagi
pesakitan para petani, yang telah menjadi pecundang transisi pariwisata.
Bagi generasi
milenial Nusa Penida, terjun ke dunia lumpur (baca: bertani) rasanya sangat
berat. Apalagi, dengan metode yang bersifat tradisional. Mengulang cara-cara
tradisional tentu tidak sesuai dengan karakter milenial yang kreatif. Di
samping membosankan, juga tak memberikan penghasilkan yang menjanjikan. Belum
lagi, perspektif kaum milenial yang memandang remeh citra pekerjaan petani.
Karena kaum milenial sekarang memang tidak disiapkan untuk menjadi petani.
Kalaupun ada sekolah pertanian atau kampus jurusan pertanian, hingga saat ini
belum mampu mengangkat martabat petani. Jurusan ini hanya menjadi pelengkap dan
sepi peminat.
Berdasarkan konteks
di atas, maka ide revitalisasi budidaya rumput laut menjadi tak laku dan
terkesan terlambat. Kaum milenial dipastikan tidak tertarik dengan ide bertani
rumput laut. Apalagi, ide ini muncul justru ketika sektor pariwisata sedang
melangit dan dipandang menjanjikan di Nusa Penida. Jangankan kaum milenial,
kaum tua pun sudah telanjur beralih ke sektor pariwisata.
Walaupun kajian
akademis mengungkapkan bahwa budidaya rumput laut masih potensial di Nusa
Penida, tidak serta merta akan mengubah mindset
warga beralih ke sektor agraris (petani rumput laut). Kalau ingin serius,
barangkali pemda Klungkung dapat melakukan sejumlah langkah-langkah mendasar,
antara lain: pendataan pendukung atau warga yang mau bertani rumput laut, perlu
adanya stimulus subsidi modal, jaminan pemasaran, potensi keberlangsungannya, metode bertaninya,
kepastian penghasilan, dan potensi estafet generasi pendukungnya.
Itu pun tidak
menjamin, karena kepungan sektor pariwisata terlalu kuat saat ini. Jikalaupun
ada beberapa yang mau terjun menjadi petani rumput laut, mereka akan tetap
menjadi semacam komunitas yang marginal. Kekuatan marginal ini tentu tidak akan
mampu menyaingi sektor pariwisata. Malah yang terjadi nanti adalah aktivitas
budidaya rumput laut akan takluk dan dimanfaatkan oleh sektor pariwisata
sebagai ekspansi baru.
Praktisi-praktisi
pariwisata akan mengemas aktivitas budidaya rumput laut sebagai “drama”. Drama
paket wisata yang akan dijual kepada para wisatawan. Mereka, para (pelaku)
petani rumput laut diberikan panggung bertani di laut. Selanjutnya, para pelaku
pariwisata mengajak wisatawan untuk menonton “drama budidaya” itu.
Ujung-ujungnya, sektor pariwisata semakin melebarkan ekspansinya. Pelaku wisata
memiliki paket alternatif baru, selain keindahan alam Nusa Penida. Sebaliknya, petani
tetap saja menjadi budak (menghamba) kepada kolonial pariwisata.
Kalau ini terjadi,
maka ekspansi pariwisata tidak berhenti pada rompok-rompok petani (ekspansi fisik agraris), namun ke depan akan
merambah kepada ekspansi mental para petani. (Penulis, Guru Bahasa Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar)
0 komentar:
Posting Komentar