Pariwisata
Nusa Penida,
Menggeser
Perspektif Ternak Kaki Empat Menjadi Roda Empat
Oleh
I
Ketut Serawan
Foto: Tribunnews.com |
Tidak hanya perubahan fisik, perkembangan industri pariwisata juga mengubah perspektif hidup masyarakat secara radikal. Kasus inilah yang dialami masyarakat Nusa Penida sekarang. Sejumlah paradigma yang mapan awalnya, tiba-tiba bergeser menjadi runtuh dan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu contoh konkret yang paling kontekstual (menonjol) untuk menjelaskan kasus ini ialah soal longsornya perspektif beternak kaki empat (sapi)ke roda empat (mobil).
Dulu (di bawah tahun
90-an), masyarakat Nusa Penida menjadikan aktivitas beternak kaki empat (sapi)
sebagai kewajiban. Pelakunya mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Karena
itu, semua generasi tahun 90-an ke bawah sangat detail memahami bagaimana mengurus
sapi. Mereka sangat paham tentang cara memandikan dan memberi minum sapi di cubang-cubang atau ceruk-ceruk batu
kapur. Pun memahami bagaimana mencari atau memberi makan sapi, mengikat tali
sapi, dan termasuk menggembalakan sapi.
Bagi anak-anak dan
remaja, aktivitas beternak sapi merupakan rutinitas yang lebih rutin dari
kegiatan sekolah. Pagi, siang, dan sore adalah kewajiban bagi mereka untuk
mengadakan pakan sapi, tanpa mengenal kondisi cuaca dan hari libur. Sementara,
waktu bermain dan bersosialisasi dimanfaatkan di sela-sela kewajiban mencari
makanan sapi dan belajar.
Jumlah sapi yang
dipelihara biasanya bervariasi antara warga satu dengan yang lainnya. Umumnya,
jumlah ternak ini disesuaikan dengan ketersediaan makanan yang ada pada ladang
yang dimiliki warga. Pasalnya, sumber makanan sapi-sapi di Nusa Penida
sepenuhnya berasal dari tumbuhan-tumbuhan di ladang (tanpa campuran pakan
instan). Karena itulah, biasanya sapi akan tampak gemuk (berbobot) ketika
memasuki musim penghujan. Logikanya, pada musim ini ketersediaan sumber makanan
menjadi lebih berlimpah, terutama keberadaan rumput liar, pohon pisang, daun
gamal, dan tanaman jagung.
Sebaliknya, musim
kemarau menjadi kecemasan bagi para peternak sebab keberadaan makanan terbatas.
Apalagi jika kemarau panjang, biasanya warga menyambung nyawa ternak dengan daun
ketela pohon, daun gamal dan kulitnya. Jika habis, maka warga memberi makan
sapi dengan daun bunut, daun nangka, dan daun kelapa (slepan).
Bagi warga Nusa
Penida, beternak sapi dianggap sebagai tabungan hidup. Sapi adalah aset tahunan
untuk mengantisipasi keperluan
(biaya) bersifat dadakan dan prediktif dalam jumlah yang besar. Misalnya, biaya
pendidikan (sekolah), biaya membangun/ renovasi rumah, modal berbisnis, biaya
bermasyarakat (biaya peturunan), biaya ritual upakara (ngaben, potong gigi) dan
lain sebagainya.
Aset sapi menjadi
andalan utama untuk mengantisipasi kompleksitas biaya hidup, ketika sektor
agraris menjadi tumpuan di wilayah Nusa Penida. Karena hasil pertanian tanah
tandus (batu kapur) di Nusa Penida tidak dapat memberikan pendapatan atau
finansial yang menjanjikan. Biasanya, hasil pertanian bumi Nusa Penida
digunakan sebagai konsumsi sehari-hari. Jagung, ketela pohon, kacang-kacangan,
dan buah-buahan diprioritaskan untuk memenuhi dapur harian. Jika jumlahnya
mengalami kelebihan, baru dapat dijual untuk membeli keperluan harian lainnya.
Sektor agraris Nusa
Penida mengalami masa kejayaan yang begitu panjang karena berbagai faktor.
Pertama, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Nusa Penida rendah. Tahun
80-an dan 90-an, gelombang urbanisasi masyarakat Nusa Penida ke kota Bali
seberang begitu tinggi. Rata-rata para urban ini berpendidikan SD. Sisanya,
tidak tamat dan banyak yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan. Mereka
menyebar menjadi pembantu rumah tangga (perempuan), sedangkan laki-laki menjadi
buruh perusahaan. Kondisi ini mengakibatkan mental kemajuan masyarakat menjadi
terpuruk. Mereka tak memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan, karena mental
“meburuh” (kerja kasar dan rendahan) telanjur begitu kuat.
Kedua, pembangunan
infrastruktur di Nusa Penida tidak pernah digarap secara optimal. Hal ini
disebabkan oleh wilayah pemda Klungkung yang kecil, miskin PAD, dan ditambah mental
stakeholder yang miskin pula. Akibatnya,
Nusa Penida lama terbengkalai menjadi daerah terisolir. Fasilitas jalan utama
kecil penuh ukiran (alias rusak). Pembangunan transportasi laut sebagai jalur
penting untuk memudahkan kran kelancaran ekonomi tersumbat, karena tak ada
aliran dana dari pemda. Pasokan air bersih mengandalkan sumur-sumur tadah hujan
warga masing-masing. Listrik hanya bisa menjangkau daerah-daerah tertentu
(tidak merata).
Ketiga, faktor
geografis juga memicu Nusa Penida menjadi daerah terbelakang. Dibutuhkan dana
yang besar untuk membangun daerah Nusa Penida. Pasalnya, kondisi geografis yang
terpisah lautan menyebabkan operasional pembangunan menjadi membengkak (tinggi).
Di satu sisi, PAD Klungkung sangat minim. Maka, tak ada pilihan, kecuali
membiarkan Nusa Penida menjadi terisolir berlarut-larut.
Sama halnya dengan
pilihan pekerjaan masyarakatnya. Pilihan sektor agrarislah yang paling luas dan
kuat pada zaman itu. Inilah yang menjebak masyarakat Nusa Penida menjadi nyaman
bekerja di sektor pertanian dan salah satunya beternak kaki empat (sapi).
Runtuhnya
Sektor Agraris
Memasuki akhir tahun
2013, sektor agraris Nusa Penida mulai mengalami tanda-tanda oleng. Momen ini
ditandai dengan naiknya orang dari Nusa Penida (I Nyoman Suwirta) sebagai
bupati di Klungkung tahun 2013. Sebagai orang pertama asal Nusa Penida yang menduduki
singgasana kursi Bupati di Klungkung, Suwirta langsung menggenjot sektor
pariwisata di pulau ini. Lobi-lobi dan langkah-langkah promosi dari pihak pemda
dan swasta (mulai dari tingkat daerah, nasional maupun internasional) ampuh
menggaet para wisatawan datang ke Nusa Penida.
Dalam 4 tahun
belakangan, sektor pariwisata Nusa Penida langsung berkembang pesat. Akibatnya,
regenerasi peternak sapi terus meredup. Pelan tapi pasti kian kehilangan
pendukungnya. Sebaliknya, para generasi milenial yang peka dengan perubahan itu
langsung merespon dengan cepat. Mereka menjual sapi-sapinya sebagai modal (DP)
atau sebagai pelunasan pembelian mobil.
Para generasi
milenial sadar bahwa pekerjaan ternak sapi membuat laju ekonomi bergerak
lambat. Beternak sapi dianggap tidak responsif mendongkrak pendapatan di tengah
kompleksitas kebutuhan sekarang. Karena itu, para generasi milenial berlomba-lomba
menggantungkan tali kaki empat. Mereka berlomba-lomba khusus atau belajar
menyetir untuk mengembalakan roda empatnya di jalanan—menjemput para wisatawan
di titik-titik pelabuhan, mengangkutnya di atas jalanan terjal nan
berkelok-kelok, lalu melepasnya ke objek wisata di Nusa Penida.
Berbeda dengan sapi,
beternak roda empat dapat mendatangkan penghasilan yang sangat menjanjikan. Rata-rata
perhari dapat meraup penghasilan Rp 500.000 (sebagai sopir, pemilik mobil, dan
sekaligus guide). Sebagai pelaku driver saja, dapat meraup uang aman berkisar
Rp 200.000 perhari. Belum terhitung jika mengambil paket tirta yatra, minimal
Rp 600.000 pasti masuk ke kantong per harinya. Sebuah gambaran penghasilan yang
tentu jauh berbeda dengan beternak kaki empat.
Kesempatan ini
membuat kalangan generasi tahun 70a-an dan 80-an juga ikut tergiur. Mereka, yang semula sebagai eks
rantauan di Bali daratan (seberang), turut angkat koper, pulang kampung
menikmati manisnya pariwisata di Nusa Penida. Mereka merupakan generasi pioner
perantauan di tanah Bali seberang. Generasi yang tak bisa bertahan dengan
sektor agraris (dan beternak sapi) pada zamannya, lalu memilih hijrah dan
merantau ke Bali seberang.
Jumlahnya tidak
sedikit. Dari tahun 70-an dan puncaknya (tahun 80-an, 90-an, 200-an),
orang-orang Nusa Penida memilih merantau di Bali seberang dengan dua alasan
penting yakni bersekolah dan mencari pekerjaan/ bekerja. Bahkan, bermula dari
sekolah/ kuliah lalu sekaligus bekerja hingga berumah tangga di Bali seberang.
Begitu juga dengan yang murni mencari pekerjaan. Mereka bekerja, lalu berumah
tangga, dan kemudian menatap di rantauan. Inilah yang menyebabkan populasi
masyarakat Nusa Penida menjadi berkurang signifikan di Nusa Penida.
Akhirnya, momen
pariwisata menggiring beberapa generasi perantau kembali ke kampung asalnya.
Namun, kepulangannya tidak untuk menjalankan masa lalunya sebagai peternak kaki
empat (sapi). Mereka tidak lagi mengembalakan sapi-sapi di ladang datar atau
perbukitan, tetapi mengembalakan roda empat di jalanan hitam nan keras.
Inilah perspektif
baru, produk dari industri pariwisata. Perspektif yang tidak dapat ditolak,
karena zaman terus bergerak. Bergerak untuk menggilas kaki empat, lalu
mengangkat kejayaan ternak roda empat.
0 komentar:
Posting Komentar