Menyoal
Attitude Wisatawan di Nusa Penida:
Dari
Drama Komplain, Abai, Bengkung Hingga
Isu Moratorium
oleh
I
Ketut Serawan
Hampir
semua pelaku pariwisata pernah mengalami komplain dari customernya (tamu/ wisatawan). Biasanya, para tamu komplain karena
merasa dirugikan atau mendapat servis yang kurang optimal. Hal ini wajar saja,
asalkan sesuai dengan kenyataan. Namun, apa jadinya jika komplain sengaja
diciptakan oleh tamu (tertentu) lalu menimpa Anda?
Kasus inilah yang
kerapkali dialami oleh pelaku pariwisata di Pulau Nusa Penida. Di penghujung tagihan
(akan Check out), ada wisatawan
(asing) tiba-tiba melontarkan amarahnya karena kehilangan uang di kamar
penginapan. Lalu, si tamu menyemprotkan amarahnya kepada karyawan penginapan
(villa) hingga kepada pemiliknya (owner). Ia menuduh lingkungan penginapan
tidak aman, dihuni orang-orang dengan attitude
yang kurang baik, hingga berkesimpulan penginapan tersebut tidak layak untuk
dioperasikan lagi.
Tidak cukup sampai
di sini, ia juga mencoba menarik perhatian tamu lain dengan cara meningkatkan
akting marahnya secara profesional. Ekspresi muka, kata-kata yang dilontarkan, dan
gesture tubuhnya meyakinkan bahwa si tamu benar-benar telah menjadi korban
kemalingan.
Kondisi ini membuat
karyawan dan owner villa tertegun.
Bengong harus berbuat apa, kecuali cuma tertunduk lesu, sambil mendengarkan, menonton
akting si tamu dan sesekali melontarkan kata maaf. Namun, kata-kata maaf tidak
memiliki kekuatan karena tidak dapat meredakan amarah si tamu. Situasi inilah yang
dimanfaatkan oleh si tamu untuk memenuhi akal bulusnya, yakni misi gratis.
Bermodalkan akting dan
pressure, si tamu tidak perlu
berkeringat untuk membayar sepeser pun. Padahal, kasus kehilangan merupakan
murni rekayasa. Rekayasa komplain untuk mendapatkan penginapan gratis, makan
gratis, mandi gratis dan bersantai gratis. Selain minta gratisan, ada pula tamu
memaksa (minta) ganti rugi berupa uang kepada pihak penginapan.
Walaupun tidak
banyak, tipekal tamu-tamu model ini nyata adanya. Model attitude tamu yang tak terpuji. Tipekal yang mengedepankan
cara-cara culas (menipu, berbohong), berlagak preman, dan aji mumpung. Menurut
Denham ada tiga tipe pelanggan yang melakukan komplain. Pertama, active complainers, yang memahami haknya, asertif,
percaya diri, dan tahu persis cara menyampaikan komplain. Mereka cenderung
menginformasikan dan mencari solusi atas setiap komplain yang mereka rasakan,
sehingga kita berpeluang melakukan perbaikan dan memuaskan mereka. Kedua, inactive
complainers, yang lebih suka menyampaikan keluhan kepada
orang lain daripada langsung kepada perusahaan yang bersangkutan. Namun, cenderung
langsung berganti pemasok dan tidak pernah kembali lagi ke perusahaan yang
mengecewakan mereka. Ketiga, hyperactive complainers,
yang selalu komplain terhadap apa pun (chronic
complainers), yang kadang kala berlaku kasar dan agresif. Mereka hampir
tidak mungkin dipuaskan karena tujuan komplainnya lebih dilatarbelakangi keinginan
untuk mencari untung (https://hosteko.com/blog/tipe-tipe-pelanggan-yang-komplain).
Terkait mencari
untung, ada pula tamu (wisatawan) yang bermain dengan ancaman “senjata”review buruk. Mereka menawar (memaksa)
harga penginapan dengan sangat murah (di bawah harga standar). Kalau tidak
dipenuhi, maka mereka mengancam akan membuat review yang buruk terhadap penginapan tersebut. Ancaman review buruk ini cukup ampuh membuat
pemilik penginapan menjadi takut dan khawatir. Terbukti, beberapa penginapan
sudah cukup banyak menjadi korban dari si tamu.
Perilaku-perilaku
aji mumpung dari si tamu patut diwaspadai, disikapi, dan dicarikan solusinya
oleh pelaku pariwisata. Kalau tidak, sangat mungkin akan dijadikan inspirasi oleh
tamu yang berattitude kurang baik
untuk berlibur di Nusa Penida. Tamu-tamu model seperti ini bukannya mendatangkan
keuntungan, tetapi malah membuat para pelaku pariwisata menjadi buntung.
Belum lagi, perilaku-perilaku
buruk tamu yang lainnya, misalnya dalam hal menyewa transportasi (roda dua).
Kasus ini paling rentan dan paling banyak dijumpai di Nusa Penida. Si tamu
menyewa sepeda motor, tetapi kurang bertanggung jawab. Jika motor dianggap
kurang nyaman, mengalami kerusakan, maka mereka tidak segan-segan untuk meninggalkan
begitu saja. Entah memarkir sembarangan di pinggir jalan atau dibuang di tegalan/ ladang atau jurang. Pun jika
motor mengalami kerusakan (lecet) akibat dijatuhkan si penyewa, maka tidak ada
istilah ganti rugi. Semua dibebani kepada pemilik atau pihak yang menyewakan.
Attitude, Kecelakaan, dan Moratorium
Kasus-kasus
kecelakaan yang menimpa beberapa tamu di Nusa Penida juga tidak lepas dari attitude tamu yang kurang baik. Kasus kecelakaan
dalam diving misalnya. Beberapa tamu
yang tenggelam dalam aktivitas diving, banyak
dipicu oleh attitude negatif tersebut. Pada umumnya, mereka
tidak mematuhi regulasi dan imbauan dari pemandunya. Si tamu sering bengkung, hanya mengikuti keinginannya
sendiri.
Begitu juga dengan
kasus selfie yang berujung maut di
beberapa objek wisata di Nusa Penida (seperti di Devil Tears-Lembongan, Pantai
Angel Billabong-Nusa Penida, Tebing Dream Beach-Lembongan, dll.). Semua bermula
dari attitude kurang baik dari si
tamu. Padahal, larangan-larangan dan regulasi di areal objek sudah ada baik
secara tertulis maupun lisan. Kemudian, dipertegas lagi oleh pemandu wisata.
Toh, pelanggaran-pelanggaran tetap saja terjadi pada mereka (tamu) yang
memiliki perilaku kurang baik.
Selain faktor attitude, kekurangkesiapan pemda
setempat juga menjadi pemicu lainnya. Selama ini, belum ada tim juru selamat
khusus dari pemda Klungkung untuk mengantisipasi kasus kecelakaan di lokasi
objek wisata. Nihilnya “tim juru selamat khusus” ini, membuat kecelakaan tamu
di lokasi wisata menjadi semakin riskan.
Jika tidak segera dicarikan
solusinya, maka ke depan akan mengancam kelangsungan eksistensi industri
pariwisata di Nusa Penida. Tumpukan-tumpukan kasus kecelakaan ini nantinya akan
menganggu kenyamanan tamu berwisata ke Nusa Penida. Padahal, kenyaman merupakan
faktor utama yang menentukan nyawa industri pariwisata. Karena itu, tidak salah
jika Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali kemarin sempat mengancam isu
moratorium. Sesungguhnya, isu moratorium tersebut merupakan rambu-rambu bahwa
keselamatan tamu di Nusa Penida harus terjamin.
Namun demikian,
harus disadari bahwa jaminan keselamatan tidak boleh hanya dibebankan kepada
pihak eksternal (pemerintah, insfrastruktur, dan lain sebagainya). Pada
beberapa kasus kecelakaan tamu, yang berujung maut di Pulau Nusa Penida, justru
dominan bersumber dari faktor internal yakni attitude si tamu. Si tamu lebih mengutamakan syahwat kesenangannya,
lalu mengindahkan regulasi yang ada.
Kasus attitude tamu ini merupakan persoalan serius. Persoalan
yang harus diatasi untuk meminimalisir kasus kecelakaan di objek wisata. Karena
itulah, pentingnya mengedepankan sikap kooperatif antara pihak wisatawan dengan
pihak yang berwenang (pemandu, penanggung jawab). Sebisa mungkin, para pemandu
melakukan pendekatan (kompromi, briefing)
dengan wisatawan yang bengkung,
sambil memantaunya dengan cermat. Jika terjadi pelanggaran, pemandu jangan
segan-segan untuk mengingatkan. Bahkan bila diperlukan, pemandu dapat bertindak
tegas terhadap wisatawan tersebut.
Komproni-kompromi
terhadap para wisatawan yang berattitude
kurang baik itu, sangat urgen. Sikap kompromi ini tidak hanya bermanfaat untuk menyelamatkan
diri wisatawan, tetapi juga bermanfaat untuk menyelamatkan nasib pelaku
pariwisata, dan terutama kelangsungan industri pariwisata di Nusa Penida. Dari
sikap komproni inilah, kita berharap cerita kecelakaan wisatawan di Nusa Penida
kian dapat diminilisir, sehingga mimpi buruk moratorium (dari sang eksukutor
HPI Bali) tak lagi menjadi hantu jalanan.
Tentang Penulis
I
Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta
Dharma Denpasar.
HP,
WA, Telegram : 081338584553.
Facebook : Ketut Serawan.
Alamat
email : wanwansolusion@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar