Senin, 16 September 2019


Legenda Pasih Uug (Broken Beach), Alarm Leluhur yang Tak Pernah Tidur
Oleh
I Ketut Serawan

Berwisata ke Pulau Nusa Penida tidak menjadi lengkap tanpa menikmati objek Pasih Uug (PU). Objek yang berlokasi di belahan barat Pulau Nusa Penida (Sompang) ini memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan objek-objek wisata lainnya. Ia tidak hanya memiliki pesona alam yang eksotis, tetapi juga menyimpan legenda (cerita) visioner, yang tidak dimiliki oleh objek-objek wisata lainnya. Legenda visioner yang tak pernah tidur, karena selalu kontekstual dengan dinamika kehidupan masyarakat Nusa Penida.
Bahkan dalam konteks sekarang, ketika kehidupan pariwisata kian melejit di Pulau Nusa Penida, eksistensi legenda Pasih Uug menjadi sangat penting. Legenda ini seolah-olah terjaga dan bangkit. Bangkit menjadi “alarm leluhur” bagi masyarakat Nusa Penida. Alarm agar kita senantiasa menjaga keharmonisan dengan lingkungan (alam).
Pesan harmonisasi itu tercermin dari kasus disharmonisasi dalam peristiwa legenda Pasih Uug. Legenda PU membeberkan tentang kebohongan warga demi kepuasan perut semata. Konon dulu, areal Pasih Uug merupakan sebuah perkampungan. Suatu hari, masyarakat setempat mendapat berkah yaitu seekor ular besar yang terjebak dalam perkampungan. Kemudian, ular itu ditangkap dan dibunuh beramai-ramai. Dagingnya, dimasak dengan berbagai olahan. Kenikmatan daging ular itulah yang membingkai warga dalam sebuah pesta. Anak-anak, remaja, dewasa hingga kakek-nenek berkumpul dalam satu tempat. Berpesta pora untuk melampiaskan syahwat perutnya.
Namun, pesta syahwat perut itu tidak berlangsung lama. Kerumunan pesta pora mendadak terganggu oleh kehadiran seorang kakek. Ia menanyakan jejak seekor ular raksasa di kampung itu. Namun, tak satu pun warga menjawab dengan jujur keberadan ular yang dimaksud. Padahal, ular sudah disantap secara massal oleh para warga.
Karena merasa sangsi, sang kakek pun menguji kejujuran warga dengan sebatang lidi. Ia menancapkan sebatang lidi di atas permukaan tanah. Selanjutnya, para warga diminta untuk mencabuti lidi itu. Sebuah tantangan yang dianggap remeh oleh para warga. Mereka berebutan mencabuti lidi itu, tetapi tidak ada yang berhasil. Akhirnya, sang kakek mencabuti lidi tersebut seorang diri dengan mudah. Bersamaan dengan itu, lubang bekas tancapan lidi mengeluarkan air. Para warga menjadi panik dan kaget, karena semakin lama, kian deras dan besar, hingga menenggelamkan perkampungan itu. 

Relevansi Legenda Pasih Uug
          Legenda Pasih Uug mengajarkan kita tiga hal penting yang berkolerasi erat. Pertama, soal eksploitasi alam yang berorientasi kepada perut. Kasus (korban) eksploitasi ini melekat pada ular besar. Ular merupakan representasi dari alam, yang mesti dijaga kelangsungan hidupnya. Namun, warga tidak menyadari hal itu. Mereka lebih memilih mengeksploitasi ular (alam) secara masif untuk perut generasi pada zamannya. Mereka tidak memikirkan kelangsungan hidup regenerasi berikutnya. Karena itu, mereka memilih membunuh ular itu, lalu mengolah dan menghidangkannya untuk memanjakan perut.
            Kedua, soal religiusitas manusia yang rendah. Pada masyarakat yang “perut-isme” (orientasi perut), nilai relegi cenderung diabaikan. Rasa empati, rasa cinta, welas asih dan kejujuran menjadi kurang penting. Sebaliknya, kepuasan duniawi (orientasi perut) merupakan kebutuhan prioritas yang segera dan harus terlampiaskan, meskipun pemenuhannya sering berlawanan dengan moral (berbohong). Tindakan inilah yang tergambar dalam legenda PU. Ujian daging ular adalah pembuktian betapa nilai relegiusitas warga sangat rendah. Mereka tergoda untuk menikmati dagingnya secara membabi buta. Daging yang sebetulnya bukan menjadi haknya (bukan peliharaan warga). Parahnya, para warga tidak pernah mengakui tindakannya. “Perut-isme” membuat warga khilaf, gelap, dan kehilangan kebijaksanaan. Mereka hanya mampu melihat secara terang soal “lapar” dan “kenyang”.
            Ketiga, melanggar kearifan lokal Bali yakni tri hita karana (parhyangan-hubungan manusia dengan Tuhan, pawongan-hubungan sesama manusia, dan palemahan-hubungan manusia dengan lingkungan/ alam). Eksploitasi ular (simbol alam) merupakan kegagalan manusia dalam menjaga keharmonisan dengan alam. Kegagalan ini berimbas kepada kearifan lokal Bali lain yaitu karmaphala (hukum sebab-akibat). Perbuatan (karma) yang kurang baik, pasti mendapat hasil (pahala) yang kurang baik. Sebaliknya, perbuatan yang baik, pasti mendapatkan hasil (dampak) yang baik pula.
            Aspek lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal dalam legenda PU merupakan cermin masa lampau. Cermin yang pantas dipakai masuluh oleh masyarakat Nusa Penida sekarang agar dapat menjaga harmonisasi dengan parhyangan, pawongan, dan terutama palemahan--dengan cara meningkatkan kepedulian lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal ke-Bali-an kita. Nilai-nilai kehidupan ini harus dijadikan fondasi mengingat “ular pariwisata” sudah berada di tengah perkampungan Pulau Nusa Penida.
            Lalu, bagaimana kita menyikapi “daging ular pariwisata” itu? Apakah kita akan membunuh dan menyantap dagingnya secara masif untuk memenuhi nafsu liar perut kita (“pariwisata perut”). Atau kita jaga, pelihara, dan nikmati seperlunya agar berkembang secara berkelanjutan dengan konsep “pariwisata otak”? Terserah. Masing-masing akan memiliki konsekuensi. “Pariwisata perut” akan membuat masyarakat berebut secara masif daging pariwisata untuk kepentingan (kenyang) sesaat. Kita akan berpesta dan mabuk mengeksploitasi alam. Lalu, tibalah sang kakek (simbol waktu) akan mencabut lidi itu dan menenggelamkan semuanya.
Sebaliknya, “pariwisata otak” akan membuat kita bijak dan visioner  menikmati seperlunya, sambil tetap menjaga perkembangan dan kelangsungan hidupnya. Inilah pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh para leluhur kita lewat legenda PU. Pesan ini menandakan bahwa para leluhur kita (dulu) hidup dari tatanan masyarakat yang visioner. Mereka sudah memiliki wawasan lingkungan jauh sebelum pakar lingkungan dan LSM-LSM lingkungan berjamuran seperti sekarang. Bahkan, mungkin jauh sebelum konsep tri hita karana membumi di Bali.
Artinya, legenda PU diciptakan dengan penuh pertimbangan dan kematangan. Ia merupakan alarm, yang bunyinya akhir-akhir ini semakin terdengar kencang. Sangat kencang di tengah serbuan pariwisata yang sporadis (belum tertata rapi) di Pulau Nusa Penida.  Apalagi mengingat pariwisata Nusa Penida mengandalkan basis alam yaitu pantai, laut, dan perbukitan.
Sumber-sumber potensial tersebut harus dijaga dengan kesadaran lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal. Dalam konteks inilah, gagasan legenda PU menjadi penting untuk terus diinterpretasikan dari perspektif zamannya (sekarang). Mungkin dalam tren sekarang, dapat menjadi cikal bakal konsep ekowisata.
Konsep ekowisata tidak hanya mementingkan tentang kelestarian alam (konservasi alam), termasuk memberdayakan masyarakat setempat dan melibatkan interpretasi serta pendidikan lingkungan. Konservasi alam adalah pelestarian alam agar memiliki nilai guna yang tinggi di masyarakat. Nilai guna pada konservasi alam dapat menjadikan lingkungan tersebut sebagai penghasil devisa bagi suatu daerah. Pemberdayaan masyarakat lokal berkaitan dengan keharusan masyarakat setempat (yang tinggal di sekitar kawasan lingkungan tempat wisata) mendapatkan pekerjaan yang merupakan dampak bagi lingkungan tempat wisata tersebut. Sementara itu, kesadaran lingkungan hidup bermakna memperhatikan ulah masyarakat setempat dan ulah pengunjung. Keduanya harus sama-sama memperhatikan keindahan lingkungan tempat wisata (https://dosengeografi.com/pengertian-ekowisata/).
Konsep ekowisata akan membangun kesadaran lingkungan warga sekitar dan pengunjung agar memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi sehingga kelestarian lingkungan dapat terlaksana dengan baik. Apabila masyarakat sekitar dan pengunjung tidak memperhatikan lingkungan sekitar tempat wisata maka yang terjadi adalah ketidakmampuan lingkungan dalam beradaptasi secara fisik. Kedua, membentuk pengalaman positif bagi pengunjung dan tuan rumah sehingga menciptakan hasrat untuk berkunjung kembali. Ketiga, menghargai keyakinan spiritual daerah tempat wisata sehingga pengunjung dapat menjaga sopan santun dan tata krama dalam bertamu sebagai bentuk menghargai keyakinan spiritual daerah sekitar tempat wisata.
Mengingat basis daya tarik Pulau Nusa Penida pada pesona alam, barangkali sangat cocok dikembangkan menjadi pariwisata berkarakter ekowisata, sambil mengedukasi warga setempat secara bertahap. Edukasi ini dimaksudkan agar rata-rata kualitas SDM dan kesadaran lingkungan warga setempat dapat terus meningkat signifikan.
Di samping itu, Pulau Nusa Penida tampaknya juga memenuhi kriteria sebagai pengembangan ekowisata. Daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata, baik di luar negeri maupun dalam negeri ialah (1) daerah atau wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan pada kawasan seperti Taman Wisata Pegunungan, Taman Wisata Danau, Taman Wisata Pantai, atau Taman Wisata Laut, (2) daerah atau zona pemanfaatan pada Kawasan Taman Nasional seperti Kebun Raya Bogor, Hutan Lindung, Cagar Alam, atau Hutan Raya, dan (3) daerah pemanfaatan untuk Wisata Berburu berdasarkan rencana pengelolaan Kawasan Taman Perburuan (https://studipariwisata.com/analisis/ecotourism-pariwisata-berwawasan-lingkungan/).
Jadi, ekowisata merupakan pariwisata yang “ber-periketuhanan”, berperikemanusiaan, dan “ber-perikelingkungan”. Konsep idealis ini sebetulnya sudah lama membiru bersama laut legenda Pasih Uug. Dan bersama debur ombak, legenda PU selalu membawa pesan perdamaian lingkungan. Kalau kita tidak bisa menangkap filosofis pesan itu, dan malah mengeksploitasi alam secara tak bermoral, maka sang kakek (tokoh legenda PU) sebagai simbol waktu akan siap mencabut lidi karmaphala itu. (Penulis adalah guru swasta di SMP Cipta Dharma Denpasar)

0 komentar:

Posting Komentar