Legenda
Pasih Uug (Broken Beach), Alarm Leluhur yang Tak Pernah Tidur
Oleh
I
Ketut Serawan
Berwisata
ke Pulau Nusa Penida tidak menjadi lengkap tanpa menikmati objek Pasih Uug
(PU). Objek yang berlokasi di belahan barat Pulau Nusa Penida (Sompang) ini memiliki
keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan objek-objek wisata lainnya. Ia
tidak hanya memiliki pesona alam yang eksotis, tetapi juga menyimpan legenda
(cerita) visioner, yang tidak dimiliki oleh objek-objek wisata lainnya. Legenda
visioner yang tak pernah tidur, karena selalu kontekstual dengan dinamika
kehidupan masyarakat Nusa Penida.
Bahkan dalam konteks
sekarang, ketika kehidupan pariwisata kian melejit di Pulau Nusa Penida, eksistensi
legenda Pasih Uug menjadi sangat penting. Legenda ini seolah-olah terjaga dan
bangkit. Bangkit menjadi “alarm leluhur” bagi masyarakat Nusa Penida. Alarm agar
kita senantiasa menjaga keharmonisan dengan lingkungan (alam).
Pesan harmonisasi
itu tercermin dari kasus disharmonisasi dalam peristiwa legenda Pasih Uug. Legenda
PU membeberkan tentang kebohongan warga demi kepuasan perut semata. Konon dulu,
areal Pasih Uug merupakan sebuah perkampungan. Suatu hari, masyarakat setempat
mendapat berkah yaitu seekor ular besar yang terjebak dalam perkampungan.
Kemudian, ular itu ditangkap dan dibunuh beramai-ramai. Dagingnya, dimasak
dengan berbagai olahan. Kenikmatan daging ular itulah yang membingkai warga
dalam sebuah pesta. Anak-anak, remaja, dewasa hingga kakek-nenek berkumpul
dalam satu tempat. Berpesta pora untuk melampiaskan syahwat perutnya.
Namun, pesta syahwat
perut itu tidak berlangsung lama. Kerumunan pesta pora mendadak terganggu oleh
kehadiran seorang kakek. Ia menanyakan jejak seekor ular raksasa di kampung
itu. Namun, tak satu pun warga menjawab dengan jujur keberadan ular yang
dimaksud. Padahal, ular sudah disantap secara massal oleh para warga.
Karena merasa
sangsi, sang kakek pun menguji kejujuran warga dengan sebatang lidi. Ia
menancapkan sebatang lidi di atas permukaan tanah. Selanjutnya, para warga diminta
untuk mencabuti lidi itu. Sebuah tantangan yang dianggap remeh oleh para warga.
Mereka berebutan mencabuti lidi itu, tetapi tidak ada yang berhasil. Akhirnya, sang
kakek mencabuti lidi tersebut seorang diri dengan mudah. Bersamaan dengan itu, lubang
bekas tancapan lidi mengeluarkan air. Para warga menjadi panik dan kaget,
karena semakin lama, kian deras dan besar, hingga menenggelamkan perkampungan
itu.
Relevansi
Legenda Pasih Uug
Legenda Pasih
Uug mengajarkan kita tiga hal penting yang berkolerasi erat. Pertama, soal
eksploitasi alam yang berorientasi kepada perut. Kasus (korban) eksploitasi ini
melekat pada ular besar. Ular merupakan representasi dari alam, yang mesti
dijaga kelangsungan hidupnya. Namun, warga tidak menyadari hal itu. Mereka
lebih memilih mengeksploitasi ular (alam) secara masif untuk perut generasi
pada zamannya. Mereka tidak memikirkan kelangsungan hidup regenerasi
berikutnya. Karena itu, mereka memilih membunuh ular itu, lalu mengolah dan
menghidangkannya untuk memanjakan perut.
Kedua,
soal religiusitas manusia yang rendah. Pada masyarakat yang “perut-isme”
(orientasi perut), nilai relegi cenderung diabaikan. Rasa empati, rasa cinta,
welas asih dan kejujuran menjadi kurang penting. Sebaliknya, kepuasan duniawi
(orientasi perut) merupakan kebutuhan prioritas yang segera dan harus
terlampiaskan, meskipun pemenuhannya sering berlawanan dengan moral (berbohong).
Tindakan inilah yang tergambar dalam legenda PU. Ujian daging ular adalah
pembuktian betapa nilai relegiusitas warga sangat rendah. Mereka tergoda untuk menikmati
dagingnya secara membabi buta. Daging yang sebetulnya bukan menjadi haknya
(bukan peliharaan warga). Parahnya, para warga tidak pernah mengakui
tindakannya. “Perut-isme” membuat warga khilaf, gelap, dan kehilangan kebijaksanaan.
Mereka hanya mampu melihat secara terang soal “lapar” dan “kenyang”.
Ketiga,
melanggar kearifan lokal Bali yakni tri hita karana (parhyangan-hubungan
manusia dengan Tuhan, pawongan-hubungan sesama manusia, dan palemahan-hubungan
manusia dengan lingkungan/ alam). Eksploitasi ular (simbol alam) merupakan
kegagalan manusia dalam menjaga keharmonisan dengan alam. Kegagalan ini
berimbas kepada kearifan lokal Bali lain yaitu karmaphala (hukum sebab-akibat).
Perbuatan (karma) yang kurang baik, pasti mendapat hasil (pahala) yang kurang
baik. Sebaliknya, perbuatan yang baik, pasti mendapatkan hasil (dampak) yang
baik pula.
Aspek
lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal dalam legenda PU merupakan cermin
masa lampau. Cermin yang pantas dipakai masuluh
oleh masyarakat Nusa Penida sekarang agar dapat menjaga harmonisasi dengan parhyangan,
pawongan, dan terutama palemahan--dengan cara meningkatkan kepedulian
lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal ke-Bali-an kita. Nilai-nilai
kehidupan ini harus dijadikan fondasi mengingat “ular pariwisata” sudah berada
di tengah perkampungan Pulau Nusa Penida.
Lalu,
bagaimana kita menyikapi “daging ular pariwisata” itu? Apakah kita akan membunuh
dan menyantap dagingnya secara masif untuk memenuhi nafsu liar perut kita (“pariwisata
perut”). Atau kita jaga, pelihara, dan nikmati seperlunya agar berkembang
secara berkelanjutan dengan konsep “pariwisata otak”? Terserah. Masing-masing
akan memiliki konsekuensi. “Pariwisata perut” akan membuat masyarakat berebut
secara masif daging pariwisata untuk kepentingan (kenyang) sesaat. Kita akan berpesta
dan mabuk mengeksploitasi alam. Lalu, tibalah sang kakek (simbol waktu) akan
mencabut lidi itu dan menenggelamkan semuanya.
Sebaliknya,
“pariwisata otak” akan membuat kita bijak dan visioner menikmati seperlunya, sambil tetap menjaga
perkembangan dan kelangsungan hidupnya. Inilah pesan sesungguhnya yang ingin
disampaikan oleh para leluhur kita lewat legenda PU. Pesan ini menandakan bahwa
para leluhur kita (dulu) hidup dari tatanan masyarakat yang visioner. Mereka sudah memiliki wawasan
lingkungan jauh sebelum pakar lingkungan dan LSM-LSM lingkungan berjamuran
seperti sekarang. Bahkan, mungkin
jauh sebelum konsep tri hita karana membumi di Bali.
Artinya, legenda PU
diciptakan dengan penuh pertimbangan dan kematangan. Ia merupakan alarm, yang
bunyinya akhir-akhir ini semakin terdengar kencang. Sangat kencang di tengah
serbuan pariwisata yang sporadis (belum tertata rapi) di Pulau Nusa Penida. Apalagi mengingat pariwisata Nusa Penida
mengandalkan basis alam yaitu pantai, laut, dan perbukitan.
Sumber-sumber
potensial tersebut harus dijaga dengan kesadaran lingkungan, relegiusitas, dan
kearifan lokal. Dalam konteks inilah, gagasan legenda PU menjadi penting untuk
terus diinterpretasikan dari perspektif zamannya (sekarang). Mungkin dalam tren
sekarang, dapat menjadi cikal bakal konsep ekowisata.
Konsep
ekowisata tidak hanya mementingkan tentang kelestarian alam (konservasi alam),
termasuk memberdayakan masyarakat setempat dan melibatkan interpretasi serta
pendidikan lingkungan. Konservasi alam
adalah pelestarian alam agar memiliki nilai guna yang tinggi di masyarakat.
Nilai guna pada konservasi alam dapat menjadikan lingkungan tersebut sebagai
penghasil devisa bagi suatu daerah. Pemberdayaan masyarakat
lokal berkaitan dengan keharusan masyarakat setempat (yang
tinggal di sekitar kawasan lingkungan tempat wisata) mendapatkan pekerjaan yang
merupakan dampak bagi lingkungan tempat wisata tersebut. Sementara itu, kesadaran lingkungan hidup bermakna memperhatikan
ulah masyarakat setempat dan ulah pengunjung. Keduanya harus sama-sama
memperhatikan keindahan lingkungan tempat wisata (https://dosengeografi.com/pengertian-ekowisata/).
Konsep ekowisata akan membangun kesadaran lingkungan
warga
sekitar dan pengunjung agar memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi sehingga kelestarian
lingkungan dapat terlaksana dengan baik. Apabila masyarakat sekitar dan
pengunjung tidak memperhatikan lingkungan sekitar tempat wisata maka yang
terjadi adalah ketidakmampuan lingkungan dalam beradaptasi secara fisik. Kedua,
membentuk pengalaman positif bagi pengunjung
dan tuan rumah sehingga menciptakan hasrat untuk berkunjung kembali.
Ketiga, menghargai keyakinan
spiritual daerah tempat wisata sehingga pengunjung dapat menjaga sopan
santun dan tata krama dalam bertamu sebagai bentuk menghargai keyakinan
spiritual daerah sekitar tempat wisata.
Mengingat
basis daya tarik Pulau Nusa Penida pada pesona alam, barangkali sangat cocok
dikembangkan menjadi pariwisata berkarakter ekowisata, sambil mengedukasi warga
setempat secara bertahap. Edukasi ini dimaksudkan agar rata-rata kualitas SDM
dan kesadaran lingkungan warga setempat dapat terus meningkat signifikan.
Di
samping itu, Pulau Nusa Penida tampaknya juga memenuhi kriteria sebagai
pengembangan ekowisata. Daerah
yang biasa dijadikan kawasan ekowisata, baik di luar negeri maupun dalam negeri
ialah (1) daerah atau wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan pemanfaatan
berdasarkan rencana pengelolaan pada kawasan seperti Taman Wisata Pegunungan,
Taman Wisata Danau, Taman Wisata Pantai, atau Taman Wisata Laut, (2) daerah
atau zona pemanfaatan pada Kawasan Taman Nasional seperti Kebun Raya Bogor,
Hutan Lindung, Cagar Alam, atau Hutan Raya, dan (3) daerah pemanfaatan untuk
Wisata Berburu berdasarkan rencana pengelolaan Kawasan Taman Perburuan (https://studipariwisata.com/analisis/ecotourism-pariwisata-berwawasan-lingkungan/).
Jadi, ekowisata
merupakan pariwisata yang “ber-periketuhanan”, berperikemanusiaan, dan
“ber-perikelingkungan”. Konsep idealis ini sebetulnya sudah lama membiru
bersama laut legenda Pasih Uug. Dan bersama debur ombak, legenda PU selalu
membawa pesan perdamaian lingkungan. Kalau kita tidak bisa menangkap filosofis
pesan itu, dan malah mengeksploitasi alam secara tak bermoral, maka sang kakek
(tokoh legenda PU) sebagai simbol waktu akan siap mencabut lidi karmaphala itu.
(Penulis adalah guru
swasta di SMP Cipta Dharma Denpasar)
0 komentar:
Posting Komentar