Pariwisata
Nusa Penida:
Antara
Broken Beach dan Broken-Broken
Lainnya
Oleh
I
Ketut Serawan
Foto: https://backpackerjakarta.com
Sektor
pariwisata di Pulau Nusa Penida kini kian melejit. Sejumlah penduduk lokal-asli
(yang semula rantauan di berbagai daerah), semakin sering bolak-balik mengurus
kepentingan bisnis pariwisata di tanah Nusa. Sementara, yang memiliki spekulasi
tinggi sudah memilih pulang kampung dan menetap di pulau ini. Para spekulan ini
berasal dari berbagai kalangan seperti sopir, tukang instalasi listrik, guide, pengusaha akomodasi pariwisata
dan lain sebagainya. Kehadiran para pelaku-pelaku (rantauan) ini secara
sistematis juga menstimulus kecepatan warga lainnya berkompetisi di dunia
perakomodasian. Akibatnya, laju sumringah warga menjadi tidak sebanding dengan
kesiapan infrastruktur yang ada di Nusa Penida.
Semakin hari
eksistensi akomodasi pariwisata (hotel, hostel, resort, cottage, villa, dll)
makin bertambah pesat. Kehadiran transportasi juga kian bertambah signifikan.
Tukang-tukang bangunan menyerbu Nusa Penida. Sebaliknya, infrastruktur
pendukung seperti jalan, lampu penerangan jalan, rumah sakit, air bersih,
listrik semakin keteteran. Kondisi ini menyebabkan Pemda Klungkung terus
berjibaku menggenjot pembangunan infrastruktur di Pulau Nusa Penida.
Selama ini, Pemda
Klungkung sudah berusaha maksimal memuluskan (hotmix) jalan secara bertahap,
bukan pelebaran. Karena potensi pelebaran jalan utama masih sangat terkendala
dengan berbagai faktor klasik. Akibatnya, jalanan yang sempit plus rusak
pinggir kiri/ kanan, tak mampu mengakomodir jumlah kendaraan yang ada. Jumlah
kendaraan dipastikan akan terus mengalami peningkatan mengingat jumlah
kunjungan wisatawan juga bertambah. Pada tahun 2018, jumlah realisasi kunjungan
wisatawan mencapai 253.472 orang per hari dari target semula 343.979. Pada
tahun 2019, pemda Klungkung menargetkan hingga 543.979
(radarbali.jawapost.com). Angka-angka ini
menyebabkan cerita macet bukan lagi monopoli kota metropolitan,
melainkan bagian dari Nusa Penida. Kondisi real ini dapat dilihat ketika
jam-jam penjemputan tamu dari pelabuhan menuju objek-objek wisata di Nusa
Penida. Begitu juga sebaliknya.
Waktu antar-jemput
tamu merupakan kekuasaan musiman dari para sopir atas badan jalan di Nusa
Penida. Mereka, para sopir travel atau personal menjadi penguasa tunggal. Hegemoni
ini (terutama) dimiliki oleh para sopir yang mengantar dengan sistem paket tour
sehari. Mereka (para sopir) harus berpacu dengan waktu agar sesuai dengan jam
balik speed boat dari Nusa menuju Bali
daratan. Alasan deadline, sering
membuat beberapa sopir (tidak semua sopir) mengabaikan “moral berkendaraan” di
jalan. Mereka sering mengabaikan keselamatan pejalan kaki dan pengendara lain
(terutama pengendara sepeda motor). Cukup banyak komplin masyarakat yang
diunggah di medsos terhadap ulah para sopir itu. Mulai dari “memakan” jalan secara
sepihak, menyerempet, hingga menimbulkan kecelakaan.
Namun,
komplin-komplin masyarakat tidak memiliki kekuatan mengubah mental berkendara
para sopir. Karena alasan on time dan “dewa dolar”, mungkin jauh lebih
berharga daripada keselamatan orang lain. Kondisi ini seolah-olah sudah menjadi
ikon maaf “broken lain” di Nusa Penida, selain Broken Beach. Dua broken yang tentu saja bertolak
belakang.
Broken
Beach dan Broken-broken lainnya
Broken Beach
menimbulkan pesona alam, menjadi magnet para wisatawan, dan menciptakan klangenan (rindu). Sebaliknya, “broken
sopir” justru menimbulkan ketaknyamanan tidak hanya bagi para wisatawan, pun
penduduk setempat. Kita berharap model broken
ini tidak berkembang dan menjadi parasit pariwisata di Nusa Penida. Karena
sebagai daerah yang baru berkembang, broken-broken
yang lainnya masih membayang-banyangi pulau ini. Misalnya, rumah sakit,
listrik, air bersih hingga kini masih saja menjadi broken lain di dunia perpariwisataan Nusa Penida.
Hingga kini eksistensi
rumah sakit setempat masih belum memadai. Tidak hanya minim secara sarana dan
prasarana fisik, termasuk sumber daya manusianya (tenaga medis). Listrik yang
sering padam (hanya mengandalkan listrik PLN) dan air PDAM yang kembang kempis
juga menjadi catatan broken lainnya.
Menyehatkan broken-broken
infrastruktur fisik ini tentu tidak segampang kita duga. Pasalnya, orientasi
anggaran masih mengandalkan APBD Klungkung, yang meskipun belakangan ini sudah
mengalami peningkatan seratus persen.
Pemda Klungkung
mengklaim bahwa kenaikan PAD 100% persen dapat tercapai dalam kurun waktu
kurang dari tiga tahun, melalui empat komponen utama yaitu pajak daerah,
pajak retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang disahkan dan komponen
lain-lain PAD yang sah (Tribunnews.com). Pada tahun 2017 di tahun
keempat kepemimpinan Bupati Suwirta, PAD Kabupaten Klungkung menunjukkan
angka senilai Rp 153,37 miliar, meningkat sebesar 127,5% dari tahun awal
kepemimpinan Bupati Suwirta. Perlu diketahui pada tahun 2013, PAD Klungkung hanya
sebesar Rp 67,4 miliar.
Terkait dengan pendapatan pajak dan retribusi daerah, dari
sektor pariwisata di Kecamatan Nusa Penida saja pada 2016 berhasil meraup
penghasilan sekitar Rp 17,2 miliar (sumber pendapatan berasal dari Pajak Hotel
Rp 6,6 miliar, Pajak Restoran Rp 7,4 miliar, Pajak Hiburan Rp 104,3 juta, Pajak
Air Bawah Tanah (ABT) Rp 186 juta, dan pendapatan Retribusi Tempat Rekreasi Rp
2,8 miliar). Pada tahun 2017 meningkat menjadi Rp 21 miliar dan meningkat
lagi menjadi Rp 25,8 miliar pada tahun 2018 (sumber: Antara).
Anggaran ini secara bertahap digunakan untuk pembangunan
infrastruktur dan penunjang lainnya di Nusa Penida, masing-masing sekitar Rp
95,4 miliar (2016), sekitar Rp 46,8 miliar (2017), dan 2018 sekitar Rp 38,1
miliar.
Sayangnya, kerja
keras pemda Klungkung ini sering kurang mendapat apresiasi dari masyarakat
setempat. Faktanya, minimnya infrastruktur ini sering memicu munculnya sensitivitas
terutama dari kalangan pelaku dan praktisi pariwisata. Karena mereka merasa
dirugikan. Rugi secara keuangan dan tentu saja menerima komplin dari para tamu.
Oleh karena itu, broken listrik, jalan,
dan air PDAM paling sering menghiasi dunia medsos. Bahkan, tak
tanggung-tanggung komplin langsung menyerang personal bupati, bukan instansi
terkait. Seolah-olah bupati adalah manusia superior. Yang simsimsalabin dapat memecahkan segala persoalan.
Komplin-komplin
langsung ke bupati, mungkin bagian dari broken
lainnya yaitu broken birokrasi. Anggota
dewan (DPRD Klungkung) seolah-olah dikangkangi. Kita tentu berharap keluhan
atau persoalan masyarakat dapat diakomodir atau disalurkan lewat anggota dewan,
terutama anggota dewan yang berasal dari Nusa Penida. Mereka (sebenarnya) tentu
lebih memahami kondisi konkret (karakter alam, karakter manusia, regulasi, dsb)
daerah yang diwakilkannya. Kita tentu berharap anggota dewan lebih pro aktif tidak
hanya ketika perlu suara masyarakat. Namun, justru ketika mereka menjadi
anggota dewan, mesti lebih aktif turun ke tengah masyarakat untuk mendengar, melihat,
dan menjemput masalah di lapangan.
Masalah broken lain ialah ekowisata terutama
soal sampah plastik. Kasus sampah plastik menjadi masalah klasik di Nusa
Penida. Rendahnya edukasi dan mental masyarakat tentang ekowisata membuat
sampah plastik menjadi kasus krusial. Kasus ini sangat potensial mengancam
perkembangan dan keberlangsungan pariwisata di Nusa Penida.
Padahal, keberlangsungan
pariwisata Nusa Penida merupakan harga mati. Dambaan semua masyarakat Nusa
Penida, termasuk masyarakat Klungkung daratan. Oleh karena itu, tidak ada cara
jitu selain meminimalisir “broken-broken lain” baik broken mental (karakter) maupun broken
fisik (infrastruktur). Pemerintah dan masyarakat mesti bersinergi untuk
saling memahami posisi secara proposional. Kasus retribusi untuk wisatawan per
Juli 2019 lalu dari pemda Klungkung adalah kebijakan yang pro untuk meminalisir
broken-broken fisik. Tentu
realitasnya akan ditunggu oleh masyarakat.
Begitu juga dengan
upaya pengolahan sampah dengan inovasi Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) yang
diluncurkan pemda Klungkung merupakan solusi kuratif yang pantas diacungi
jempol. Di samping itu, kerja sama masyarakat dengan pemda, kecamatan, desa,
desa pakraman juga penting dalam
memerangi sampah palstik. Kerja sama itu diharapkan bersifat edukatif secara
ketat lewat konkret regulasi formal. Regulasi formal (pemerintah) ini, kemudian
diturunkan ke dalam bentuk awig-awig, sehingga dapat menyentuh (mengedukasi)
mulai dari keluarga, banjar, desa pekraman dan masyarakat yang lebih luas. Jika
diterapkan dengan konsisten, bukan tidak mungkin sampah plastik dapat diperangi
(diminimalisir) secara perlahan-lahan.
Terobosan lain pemda
Klungkung yang pantas diapresiasi sekarang ialah menjadikan Kepulauan Nusa
Penida sebagai predikat Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Status
ini dapat ditafsirkan bahwa beban biaya infrastruktur di Kepulauan Nusa Penida
juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Momen ini sudah dimanfaatkan oleh
pemda bekerja sama dengan Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan
(Baperlitbang) untuk mengusulkan lima proyek ke pemerintah pusat yaitu jembatan
baru penghubung Nusa Ceningan dan Lembongan, Sistem Pengolahan Air Minum
(SPAM), jalan lingkar, tanggul pengamanan pantai dan pelabuhan segi tiga emas
yang berlokasi di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Dusun Sampalan, Desa
Batununggul, dan Bias Munjul Nusa Ceningan (Sosiawan/balipost).
Sambil menunggu
realisasi dari berbagai arah, pemda dan masyarakat harus terus mulat sarira.
Kedua belah pihak mesti saling instrospeksi diri, responsif dan bertindak
konkret untuk kemajuan dan keberlangsungan pariwisata di natah Dukuh Jumpungan,
Nusa Penida. Biarkan Broken Beach menjadi broken selamanya (permanen). Namun, broken-broken
lain harus terus dikaji, dianalisa, dan dibenahi sehingga pariwisata di Nusa
Penida tidak menjadi broken. (Penulis
adalah guru swasta di SMP Cipta Dharma Denpasar)
0 komentar:
Posting Komentar