Minggu, 07 Mei 2023

 


Sumber foto: http://verapraraous.blogspot.com/2012/09/mawar-merah.html

Aku baru saja pindah ke rumah tua. Rumah yang halaman depannya dipenuhi rumput ilalang. Di sela-selanya, juga tumbuh rambatan bunga liar. Beberapa rambatan bunga itu menyelinap masuk pada kaca-kaca rumah yang berdebu. “Sungguh rumah yang tidak terawat,” pikirku.

Aku mencoba melangkah masuk lebih dalam, melewati beberapa ruangan dan berfokus pada pintu belakang. Aku berhenti sejenak dan memegang gagang pintu itu. Aku membukanya perlaha-lahan dan sontak perasaanku dipenuhi rasa kagum. Aku melihat taman yang dihiasi berbagai spesies bunga mawar.

Indah menghiasi indra penglihatanku. Harum bunga-bunga itu seolah membelai emosiku. Taman yang cukup luas. Terdapat gazebo kecil di kelilingi bunga mawar. Rumput rumput juga menambah kesan hijau. Sangat memanjakan mata. Sebenarnya, aku kurang suka mawar karena durinya tajam dan siap melukai orang yang lalai.

Tetapi entah mengapa aku merasa seperti ditarik ke tempat ini. Aku menjadi teringat dengan mitos rumah ini. Dikatakan bahwa hantu perempuan sering mewujudkan dirinya. Lebih tepatnya di taman mawar ini.

Hantu itu memakai gaun putih lusuh bersimbah darah. Di lehernya terdapat sayatan tak beraturan. Ada juga tusukan yang tepat di jantungnya. Surai hitam bergelombang ikut menambah kesan seram. Konon, ia akan datang di malam purnama. Dia akan menghantui manusia yang tinggal di rumah ini.

Namun, mitos tetaplah mitos. Hanyalah takhayul yang dipercaya, pikirku. Tak terasa waktuku terkuras habis di taman ini. Kini pikiranku kembali pada rumah itu. Kulangkahkan kakiku menuju rumah. Kemudian, melanjutkan membersihkan rumah lalu tidur.

Aku terbangun dari tidurku di tengah malam. Nyanyian merdu seolah menuntunku untuk bangun. Siapa yang bernyanyi”, tanyaku sendiri. Seketika aku tertuju pada jendela di sebelah kiriku. Rintik hujan bergema. Mendadak petir mengaum buas. Gelap dan seram. Nyanyian itu menambah ketakutanku. Dengan segenap keberanian, aku bangun dari kasurku. Kulihat keluar jendela.

Aku melihat seorang wanita. Tidak terlihat jelas karena ia membelakangiku. Bergaun putih menyentuh tanah. Bernyanyi sembari membelai bunga. Satu demi satu dibelainya. Surai hitam panjang dibasahi hujan hampir menutupi seluruh punggung wanita itu. Heran dan kaget. Itulah yang kurasakan. Nyanyian wanita itu berhenti. Dengan perlahan wanita itu membalikkan badannya.

Aku membelalakkan mataku. Suaraku seakan dibungkam. Wanita itu sama persis seperti di mitos. Gaun putih lusuh. Luka sayatan dileher. Tusukan yang tepat di jantung. Semua sama persis. Seluruh tubuhku bergetar. Aku baru ingat. Hari ini adalah hari purnama. Aku melihat wanita itu menyeringai. Seolah ditujukan padaku. Begitu mengerikan. Darah ada dimana-mana.

Aku mengedipkan mataku. Seketika wanita itu menghilang. Belum sempat aku menenangkan jantungku. Wanita itu muncul di depanku. Wajahnya tepat di depan wajahku. Matanya merah menyala. Berlumuran darah dan belatung di sekujur mukanya. “Darah...” Wanita itu setengah berbisik. Air mataku tak terbendung. Akhirnya, penglihatanku berubah gelap.

Aku terbangun dengan kicauan burung-burung. Rupanya sudah pagi. Aku mendapati diriku tergeletak di dekat jendela. Masih shock dengan kejadian malam itu. Aku mencoba bangun. Lalu melihat keluar jendela. Tidak ada yang berubah. Tidak ada darah. Aku merasa kebingungan. Akankah yang kulihat malam itu nyata?

Dengan segala kebingungan, aku mencoba melupakan hal itu. Aku keluar dari kamar. Menuju kamar mandi yang ada di sebelah kamarku. Berlanjut dengan membersihkan diriku. Lalu mengerjakan pekerjaan rumah. Sesekali aku melihat ke arah taman itu.

Hari yang cukup tenang. Semua berjalan lancar. Hingga malam tiba. Aku kembali terbangun oleh nyanyian. Apakah wanita itu lagi? Entahlah. Aku tak berani beranjak. Namun, malam ini bukan malam purnama. Aku terdiam, mencerna apa saja yang terjadi. Keheningan terpecah ketika ada yang mengetuk jendela kamarku.

Sangat terdengar jelas. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Air mata membasahi pipiku. Sesekali terdengar bisikan yang mengatakan “Darah...”. Aku menutupi diriku dengan selimut. Berharap pagi segera tiba. Kini aku mengakui mitos itu benar adanya. Tanpa sadar diriku tertidur.

Sang Surya telah tiba. Burung-burung berkicau. Aku terbangun dari kasurku. Aku mengambil gadget yang tergeletak di atas laci. Lalu membuka maps. Ya, aku mencari tempat orang yang mengerti dengan hal-hal gaib. Tak menunggu lama. Aku mendapati bahwa ada dukun di lingkungan sekitarku. Aku beranjak dan bersiap-siap. Mandi lalu ganti baju dan berangkat menggunakan sepeda.

Sepeda hitam pemberian almarhum ayahku dulu. Terdapat keranjang di depannya. Kadang kugunakan untuk menaruh barangku. Sepeda ini kugunakan untuk pergi sekolah. Namun, tidak sempat kugunakan. Karena untuk beberapa saat ini aku libur.

Tibalah aku di rumah dukun itu. Aku memarkirkan sepedaku di halaman rumah itu. Rumahnya sepertinya sudah sangat lama. Bahkan rumah itu masih menggunakan anyaman bambu. Ada beberapa tiang penyangga di teras rumahnya. Aku berjalan dan berhenti di pintu rumah dukun itu.

Kuketuk sopan pintu itu. Lalu tak lama pintu itu terbuka. Decitan pintu yang nyaring menampilkan kakek berpakaian ala dukun. Tanpa sepatah kata dukun itu menyuruhku masuk. Lalu ia menyuruhku duduk. “Ada apa?” kata dukun itu dengan suara yang serak dan berat. Aku menceritakan segalanya. Mulai dari nyanyian. Hingga ketukan yang kemarin malam kualami.

Dukun itu menghela napasnya. Lalu bercerita padaku. Sebenarnya, rumah itu dulu ditinggali oleh sepasang kekasih. Tetapi, mereka selalu bertengkar. Sang istri sangat menyukai bunga mawar. Hingga dibuatlah taman mawar di belakang rumah itu. Dan dibuat juga gazebo kecil agar sang istri bisa duduk menikmati bunga. Terkadang dia juga menyanyikan sebuah lagu.

Mereka bertengkar hampir setiap hari. Sampai sang suami berani untuk selingkuh. Hingga suatu saat, sang istri mengetahui hal itu. Tidak kuat, ia menampar sang suami. Kemarahan sang suami pun meluap. Hingga mencapai klimaks. Sang suami mengambil pisau. Lalu membunuh istrinya sendiri.

Ia menyayat leher sang istri. Menusuk jantungnya dengan pisau. Aroma mayat tersebar di seluruh ruangan. Karena takut sang suami memikirkan cara. Akhirnya, ia menyeret mayat istrinya menuju taman mawar. Darah masih mengucur keluar mewarnai gaun putih sang istri.

Jalanan yang dilalui penuh dengan darah. Mawar-mawar semua bersimbah darah. Tragedi yang sangat mengerikan. Tragedi ini juga dikenal dengan tragedi “Bunga Mawar Bersimbah Darah”. Perasaan tulus sang istri dikhianati begitu saja. Ketidakadilan. Itulah yang ia rasakan sang istri. Semua bercampur aduk. Hingga membuat arwah sang istri tak tenang.

Aku terdiam mendengar perkataan sang dukun. Emosiku bercampur. Haruskah aku takut? Haruskah aku kasihan? Aku juga tidak tahu. Namun, di pikiranku hanya satu. Cara agar bisa lepas dari semua ini. Setelah diam beberapa saat, aku membuka mulutku. Aku menanyakan hal yang sama kepada sang dukun.

Dukun itu menjawab. Ia mengatakan bahwa solusinya hanya ada satu. Aku harus mengorbankan darahku di salah satu bunga mawar. Bunga mawar itu harus berwarna putih dan kembang sempurna di malam purnama. Namun, darah yang dikorbankan tidak hanya setetes atau dua tetes. Namun, harus cukup menutupi mahkota yang kembang sempurna itu.

Aku tercengang mendengar solusi itu. Namun, aku tidak bisa mengatakan apa apa. Karena hanya itu satu-satunya cara. Dengan mental apa adanya, aku mencoba menerima semua itu. Sangat tidak masuk akal. Aku berdiri lalu mengucapkan terima kasih kepada sang dukun.

Sang dukun tersenyum. Aku pun kembali beranjak pulang. Aku ambil sepedaku yang kuparkirkan tepat di halaman. Selama perjalanan aku merasa dilema. Haruskah aku melakukan hal itu atau tidak. Rasanya ingin menangis saja.

Ketika tiba di rumah, aku langsung masuk ke dalam. Langit sudah mulai gelap. Aku menyalakan lampu lalu duduk di sofa ruang tamu. Sofa yang berwarna cream. Pikiranku kacau. Aku mencoba mendinginkan kepalaku hampir 30 menit. Kemudian, dengan segala keberanian yang kupunya, kuputuskan untuk melakukan hal itu.

Aku menyusun segala yang aku perlukan hingga gelap gulita bertahta di luar. Aku mengakhiri kegiatanku hari ini. Berlanjut dengan mandi, makan, dan tidur. Aku kembali terbangun dari tidurku di tengah malam. Sama seperti biasanya, ada nyanyian yang berasal dari taman mawar. Aku mencoba mengabaikannya. Aku menutupi diriku dengan selimut.

Pagi pun tiba. Kulalui hal seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah. Sesekali aku mencari dimana bunga mawar putih itu berada. Aku baru menyadari. Dari banyaknya bunga mawar di sini, hanya satu yang berwarna putih. Namun, aku tetap pada pendirianku. Mengumpulkan keberanian hingga purnama tiba.

Tak terasa hari yang ditunggu pun tiba. Aku sudah menyusun semua yang kuperlukan. Malam sudah muncul. Aku keluar dengan pisau dan senter di tanganku. Sangat gelap hanya cahaya senter yang menerangi. Dingin dan sunyi. Aku berdiri tepat di depan bunga mawar putih itu. Mawar yang kembang sempurna. Diterangi cahaya bulan. Mahkotanya cukup besar dan mengkilap.

Aku menjatuhkan senterku. Lalu mengangkat tanganku. Sebenarnya, aku sangat takut melakukan hal ini. Namun, tidak ada cara lain. Aku menyayat tanganku hingga keluar darah. Seperti kata dukun, darah itu harus menutupi semua bagian mawar. Perih dan sangat sakit. Aku menahan isak tangisku. Beberapa kali aku meringis. Akhirnya, selesai sudah ritual itu.

Ingin pingsan rasanya. Tiba-tiba kulihat mawar itu lenyap begitu saja. Aku membalikkan badan dan terkejut. Rupanya hantu itu ada di belakangku. Ia menyeringai seram. Seperti ada arti di baliknya. Ia pun perlahan ikut menghilang. Selesai sudah, pikirku. Sangat lega dan tenang.

Aku kembali masuk ke rumah dan mengobati lukaku. Tidak ada nyanyian. Tidak ada ketukan seperti malam biasa. Biasanya, aku akan menutupi diriku dengan selimut saat ini. Namun, sekarang sudah tidak perlu lagi. Kini aku bisa tidur tenang. Sudah tidak kuat, aku merebahkan diriku. Aku menghela napasku hingga tertidur.

Hari-hari berjalan dengan tenang dan aman. Tanpa gangguan sedikitpun. Semua berjalan seperti biasa. Tak terasa malam purnama kembali tiba. Aku bangun di tengah malam kembali. Mendengar nyanyian seorang wanita dari arah taman mawar. Aku beranjak dari kasurku dan melihat ke arah luar jendela. Sangat kaget aku dibuatnya. Wanita itu muncul kembali. “Daraaah…,” gumamnya sembari menyeringai ke arahku. (Kadek Nadya Nursyadi Suker)