Sumber foto: http://verapraraous.blogspot.com/2012/09/mawar-merah.html
Aku
baru saja pindah ke rumah tua. Rumah yang halaman depannya dipenuhi rumput ilalang.
Di sela-selanya, juga tumbuh rambatan bunga
liar. Beberapa rambatan bunga itu menyelinap masuk pada kaca-kaca rumah yang berdebu. “Sungguh rumah yang tidak terawat,” pikirku.
Aku mencoba melangkah masuk lebih dalam, melewati
beberapa ruangan dan berfokus pada pintu belakang. Aku berhenti sejenak dan
memegang gagang pintu itu. Aku
membukanya perlaha-lahan dan sontak perasaanku dipenuhi rasa kagum.
Aku melihat taman yang
dihiasi berbagai spesies bunga mawar.
Indah menghiasi indra penglihatanku.
Harum bunga-bunga
itu seolah membelai emosiku. Taman yang cukup luas. Terdapat gazebo kecil di kelilingi bunga
mawar. Rumput rumput juga menambah kesan hijau. Sangat memanjakan mata. Sebenarnya,
aku kurang suka mawar karena durinya tajam
dan siap melukai orang yang lalai.
Tetapi entah mengapa
aku merasa seperti ditarik ke tempat ini. Aku menjadi teringat dengan mitos
rumah ini. Dikatakan bahwa hantu perempuan sering mewujudkan dirinya. Lebih
tepatnya di taman
mawar ini.
Hantu itu memakai
gaun putih lusuh bersimbah darah. Di lehernya terdapat sayatan tak
beraturan. Ada juga tusukan yang tepat di jantungnya. Surai hitam bergelombang
ikut menambah kesan seram. Konon, ia akan datang di malam purnama. Dia akan
menghantui manusia yang tinggal di rumah ini.
Namun,
mitos tetaplah mitos. Hanyalah takhayul yang
dipercaya, pikirku. Tak terasa waktuku terkuras habis di taman ini. Kini
pikiranku kembali pada rumah itu. Kulangkahkan kakiku menuju rumah. Kemudian, melanjutkan
membersihkan rumah lalu tidur.
Aku terbangun dari
tidurku di tengah
malam. Nyanyian merdu seolah menuntunku untuk bangun. “Siapa yang bernyanyi”, tanyaku sendiri. Seketika aku
tertuju pada jendela di sebelah
kiriku. Rintik hujan bergema. Mendadak
petir mengaum buas. Gelap dan seram. Nyanyian itu
menambah ketakutanku. Dengan segenap keberanian, aku bangun dari kasurku. Kulihat
keluar jendela.
Aku melihat seorang
wanita. Tidak terlihat jelas karena ia membelakangiku. Bergaun putih menyentuh
tanah. Bernyanyi sembari membelai bunga. Satu demi satu dibelainya. Surai hitam
panjang dibasahi hujan hampir menutupi seluruh punggung wanita itu. Heran dan kaget. Itulah yang
kurasakan. Nyanyian wanita itu berhenti. Dengan perlahan wanita itu membalikkan
badannya.
Aku membelalakkan
mataku. Suaraku seakan dibungkam. Wanita itu sama persis seperti di mitos. Gaun
putih lusuh. Luka sayatan dileher. Tusukan yang tepat di jantung. Semua sama
persis. Seluruh tubuhku bergetar. Aku baru ingat. Hari ini adalah hari purnama.
Aku melihat wanita itu menyeringai. Seolah ditujukan padaku. Begitu mengerikan.
Darah ada dimana-mana.
Aku mengedipkan
mataku. Seketika wanita itu menghilang. Belum sempat aku menenangkan jantungku.
Wanita itu muncul di depanku.
Wajahnya tepat di depan
wajahku. Matanya merah menyala. Berlumuran darah dan belatung di sekujur mukanya. “Darah...” Wanita itu setengah berbisik.
Air mataku tak terbendung. Akhirnya, penglihatanku
berubah gelap.
Aku terbangun dengan
kicauan burung-burung.
Rupanya sudah pagi. Aku mendapati diriku tergeletak di dekat jendela. Masih
shock dengan kejadian malam itu. Aku
mencoba bangun. Lalu melihat keluar jendela. Tidak ada yang berubah. Tidak ada
darah. Aku merasa kebingungan. Akankah yang kulihat malam itu nyata?
Dengan segala
kebingungan,
aku mencoba melupakan hal itu. Aku keluar dari kamar. Menuju kamar mandi yang
ada di sebelah
kamarku. Berlanjut dengan membersihkan diriku. Lalu mengerjakan pekerjaan
rumah. Sesekali aku melihat ke arah taman itu.
Hari yang cukup
tenang. Semua berjalan lancar. Hingga malam tiba. Aku kembali terbangun oleh
nyanyian. Apakah wanita itu lagi? Entahlah.
Aku tak berani
beranjak. Namun,
malam ini bukan malam purnama. Aku terdiam, mencerna apa saja yang terjadi. Keheningan
terpecah ketika ada yang mengetuk
jendela kamarku.
Sangat terdengar
jelas. Tidak hanya sekali,
tetapi berkali-kali. Air mata membasahi pipiku. Sesekali
terdengar bisikan yang mengatakan “Darah...”. Aku menutupi diriku dengan selimut.
Berharap pagi segera tiba. Kini aku mengakui mitos itu benar adanya. Tanpa
sadar diriku tertidur.
Sang Surya telah
tiba. Burung-burung berkicau. Aku terbangun dari kasurku. Aku mengambil gadget yang tergeletak di atas laci. Lalu
membuka maps. Ya, aku mencari tempat orang yang mengerti dengan hal-hal gaib. Tak menunggu
lama. Aku mendapati bahwa ada dukun
di lingkungan sekitarku. Aku beranjak dan
bersiap-siap. Mandi lalu
ganti baju dan berangkat
menggunakan sepeda.
Sepeda hitam
pemberian almarhum ayahku
dulu. Terdapat keranjang di depannya. Kadang kugunakan untuk
menaruh barangku. Sepeda ini kugunakan untuk pergi sekolah. Namun, tidak sempat
kugunakan. Karena untuk beberapa saat ini aku libur.
Tibalah aku di rumah dukun itu. Aku
memarkirkan sepedaku di halaman
rumah itu. Rumahnya sepertinya sudah sangat lama. Bahkan rumah itu masih
menggunakan anyaman bambu. Ada beberapa tiang penyangga di teras rumahnya. Aku
berjalan dan berhenti di pintu rumah dukun itu.
Kuketuk sopan pintu itu.
Lalu tak lama pintu itu terbuka. Decitan pintu yang nyaring menampilkan kakek
berpakaian ala dukun. Tanpa sepatah kata dukun itu menyuruhku masuk. Lalu ia
menyuruhku duduk. “Ada apa?” kata dukun itu dengan suara yang serak dan berat. Aku
menceritakan segalanya. Mulai dari nyanyian. Hingga ketukan yang kemarin
malam kualami.
Dukun itu menghela
napasnya. Lalu bercerita padaku. Sebenarnya, rumah itu dulu ditinggali oleh
sepasang kekasih. Tetapi, mereka selalu bertengkar. Sang istri sangat menyukai
bunga mawar. Hingga dibuatlah taman mawar di belakang rumah itu. Dan
dibuat juga gazebo kecil agar sang istri bisa duduk menikmati bunga. Terkadang
dia juga menyanyikan sebuah lagu.
Mereka bertengkar
hampir setiap hari. Sampai sang suami berani untuk selingkuh. Hingga suatu saat,
sang istri mengetahui hal itu. Tidak kuat, ia menampar sang suami. Kemarahan
sang suami pun meluap. Hingga mencapai klimaks. Sang suami mengambil pisau. Lalu membunuh
istrinya sendiri.
Ia menyayat leher
sang istri. Menusuk jantungnya dengan pisau. Aroma mayat tersebar di seluruh
ruangan. Karena takut sang suami memikirkan cara. Akhirnya, ia menyeret mayat
istrinya menuju taman mawar. Darah masih mengucur keluar mewarnai gaun putih sang
istri.
Jalanan yang dilalui
penuh dengan darah. Mawar-mawar
semua bersimbah darah. Tragedi yang sangat mengerikan. Tragedi ini juga dikenal
dengan tragedi “Bunga Mawar Bersimbah Darah”. Perasaan tulus sang istri
dikhianati begitu saja. Ketidakadilan. Itulah yang ia rasakan sang istri. Semua bercampur
aduk. Hingga membuat arwah sang istri tak tenang.
Aku terdiam mendengar
perkataan sang dukun. Emosiku bercampur. Haruskah aku takut? Haruskah aku
kasihan? Aku juga tidak tahu. Namun, di pikiranku hanya satu. Cara agar bisa
lepas dari semua ini. Setelah diam beberapa saat, aku membuka mulutku. Aku menanyakan hal yang
sama kepada sang dukun.
Dukun itu menjawab. Ia mengatakan bahwa
solusinya hanya ada satu. Aku harus mengorbankan darahku di salah satu bunga mawar.
Bunga mawar itu harus berwarna putih dan kembang sempurna di malam purnama. Namun,
darah yang dikorbankan tidak hanya setetes atau dua tetes. Namun, harus cukup
menutupi mahkota yang kembang sempurna itu.
Aku tercengang mendengar
solusi itu. Namun, aku tidak bisa mengatakan apa apa. Karena hanya itu satu-satunya cara. Dengan
mental apa adanya, aku
mencoba menerima semua itu. Sangat tidak masuk akal. Aku berdiri lalu
mengucapkan terima kasih kepada sang dukun.
Sang dukun tersenyum.
Aku pun kembali beranjak pulang. Aku ambil sepedaku yang kuparkirkan tepat di halaman. Selama
perjalanan aku merasa dilema. Haruskah aku melakukan hal itu atau tidak. Rasanya
ingin menangis saja.
Ketika
tiba di rumah, aku langsung masuk
ke dalam.
Langit sudah mulai gelap. Aku menyalakan lampu lalu duduk di sofa ruang tamu. Sofa
yang berwarna cream. Pikiranku kacau.
Aku mencoba mendinginkan kepalaku hampir 30 menit. Kemudian, dengan segala
keberanian yang kupunya, kuputuskan
untuk melakukan hal itu.
Aku menyusun segala
yang aku perlukan hingga gelap
gulita bertahta di luar. Aku mengakhiri
kegiatanku hari ini. Berlanjut dengan mandi, makan, dan tidur. Aku kembali
terbangun dari tidurku di tengah malam. Sama seperti biasanya,
ada nyanyian yang berasal dari taman mawar. Aku mencoba mengabaikannya. Aku menutupi diriku
dengan selimut.
Pagi pun tiba. Kulalui
hal seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah. Sesekali aku mencari dimana bunga
mawar putih itu berada. Aku baru menyadari. Dari banyaknya bunga mawar di sini, hanya satu yang
berwarna putih. Namun, aku tetap pada pendirianku. Mengumpulkan keberanian
hingga purnama tiba.
Tak terasa hari yang
ditunggu pun tiba. Aku sudah menyusun semua yang kuperlukan. Malam sudah
muncul. Aku keluar dengan pisau dan senter di tanganku. Sangat
gelap hanya cahaya senter yang menerangi. Dingin dan sunyi. Aku berdiri tepat di depan bunga mawar
putih itu. Mawar yang kembang sempurna. Diterangi cahaya bulan. Mahkotanya
cukup besar dan mengkilap.
Aku menjatuhkan
senterku. Lalu mengangkat tanganku. Sebenarnya, aku sangat takut melakukan hal
ini. Namun, tidak ada cara lain. Aku menyayat tanganku hingga keluar darah.
Seperti kata dukun, darah itu harus menutupi semua bagian mawar. Perih dan
sangat sakit. Aku menahan isak tangisku. Beberapa kali aku meringis. Akhirnya,
selesai sudah ritual itu.
Ingin pingsan
rasanya. Tiba-tiba kulihat mawar itu lenyap begitu saja. Aku membalikkan badan
dan terkejut. Rupanya hantu itu ada di belakangku. Ia menyeringai seram.
Seperti ada arti di baliknya.
Ia pun perlahan ikut menghilang. Selesai sudah, pikirku. Sangat lega dan tenang.
Aku kembali masuk ke rumah dan mengobati
lukaku. Tidak ada nyanyian. Tidak ada ketukan seperti malam biasa. Biasanya, aku akan menutupi
diriku dengan selimut saat ini. Namun, sekarang sudah tidak perlu lagi. Kini
aku bisa tidur tenang. Sudah tidak kuat, aku merebahkan diriku. Aku menghela napasku hingga tertidur.
Hari-hari berjalan
dengan tenang dan aman. Tanpa gangguan sedikitpun. Semua berjalan seperti
biasa. Tak terasa malam purnama kembali tiba. Aku bangun di tengah malam
kembali. Mendengar nyanyian seorang wanita dari arah taman mawar. Aku beranjak
dari kasurku dan melihat ke arah luar jendela. Sangat kaget aku
dibuatnya. Wanita itu muncul kembali. “Daraaah…,” gumamnya sembari menyeringai ke arahku. (