Jumat, 31 Agustus 2018


Meretas Kegamangan Bertoleransi pada Kasus UAS

Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.

Upaya preventif yang dilakukan beberapa ormas di Bali terhadap Ustadz Abdul Somad (UAS) justru berujung blunder. Sejumlah ormas di Bali dilaporkan atas tindakan persekusi oleh kubu UAS. Citra persekusi ini langsung membawa sterotip bahwa masyarakat Bali jatuh pada predikat intoleransi. Sebuah predikat yang kurang realistis dengan “gelar daerah pariwisata dunia” yang disandang Bali selama ini. Dikatakan kurang realistis, karena faktanya hingga kini Bali sangat terbuka dengan semua tamu, termasuk dengan tokoh-tokoh dunia sekaliber Salman (raja Arab). Namun, perkecualian dengan UAS.
Penolakan UAS didasarkan pada kekhawatiran masyarakat Bali terhadap efek negatif dari khotbah-khotbahnya yang agresif, radikal, rasis, dan antipancasila serta NKRI. Beberapa jejak video ceramahnya yang viral di medsos, menimbulkan kontroversi di kalangan umat lain dan termasuk umat muslim  moderat. Pasalnya, ceramah-ceramah UAS sering menyinggung dan merendahkan keyakinan umat lain. Tidak hanya itu, UAS juga dengan gamblang menyatakan dirinya sebagai pendukung khilafah. Sayangnya, branding rasisme dan khilafah justru menjadikan UAS kian komoditif. Belakangan, rating ustads asal Riau ini kian melonjak. Kian banyak pengikutnya memberhalakan UAS. Jadi, wajarlah sejumlah ormas di Bali khawatir dengan kondisi real ini. Sejumlah ormas Bali (termasuk masyarakat) khawatir UAS menjadi penyulut api sara, radikalisme, menggoyak ideologi pancasila, dan disintegrasi bernegara di Bali. Prasangka ini mesti dimaklumi, mengingat pariwisata Bali pernah porak-poranda oleh tragedi Bom Bali I dan II, yang menyisakan trauma sejarah pada masyarakat Bali.
Sumber Kegamangan Toleransi
Apa pun alasannya, kubu UAS tetap memandang bahwa dirinya mempunyai hak untuk melakukan ceramah keagamaan di seluruh nusantara, termasuk di Bali. Jika ada pihak yang menghalangi (melarang), mereka cukup melontarkan statemen emosional yakni “intoleran”. Dari sinilah persoalan menjadi gamang. Kegamangan ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, belum adanya landasan yuridis (yang jelas) untuk menakar kadar kecintaan individual terhadap pancasila dan NKRI. Itulah sebabnya, UAS dengan jumawa menyatakan dirinya cinta pancasila dan NKRI karena sudah lulus tes P4 sewaktu lolos menjadi dosen. Lucunya lagi, ia menyatakan bahwa dirinya hapal pancasila. Pembelaan yang menurut penulis maaf “kekanak-kanakan”. Karena tes P4 yang kedaluarsa dan hapal pancasila hanya sebatas teori dan bibir. Begitu juga ketika mengetes UAS dengan mencium bendera dan menyanyikan lagu Indonenesia Raya. Sungguh tidak akurat dijadikan tolok ukur sebagai pribadi yang cinta pancasila dan NKRI secara integratif. Namun, sekali lagi sah-sah saja UAS mengatakan cinta pancasila dan NKRI dengan pembelaan modelnya sendiri. Karena belum ada kriteria yuridis untuk menakar kecintaan seseorang terhadap ideologi pancasila dan NKRI.
Kedua, belum adanya standar kredibilitas dan integritas seorang penceramah (pemuka agama). Hal ini membuat seseorang bisa sembarangan menyandang predikat sebagai pemuka agama (baca: penceramah). Cukup dengan mengubah penampilan fisik, bisa mengutip ayat-ayat suci, lancar berkomunikasi di depan publik dan punya pendukung, maka seseorang bisa mendapatkan hak untuk berceramah. Tidak penting konten ceramahnya bernilai universal, bermanfaat, menyejukkan, rasional dan lain sebagainya. Sebaliknya, yang terpenting bisa menyanjung keyakinan sendiri, sedikit meremehkan keyakinan lain, dan menyentuh emosional pendengar walaupun dengan cara provokatif. Fenomena ini masih menggejala di tengah-tengah masyarakat sekarang.
Ketiga, terjadi pemelintiran fakta untuk kepentingan tertentu. Baik ormas maupun masyarakat Bali boleh saja mengklaim diri sebagai pribadi yang toleran. Sebab negosiasi toleransi berakhir pada jaminan keselamatan UAS hingga dapat menggelar ceramah dengan aman dan lancar di Bali. Namun, pihak UAS tidak mengapresiasi ini sebagai sebuah sikap toleransi. Bahkan pihak UAS sengaja menyembunyikan deretan fakta ini kepada publik untuk mendongkrak kredibilitas dan popularitasnya. Pihak UAS lebih mengedepankan aksi pemaksaan penciuman bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tongkat komando dari salah satu ormas di Bali. Peristiwa inilah yang mungkin dianggap sebagai sebuah tindakan persekusi. Padahal, bentuk perisitiwa ini merupakan model testing kecintaan berideologi dan bernegara model ormas di Bali.
Keempat, masih banyak penganut yang kurang rasional. Penganut kurang rasional sering bergerak atas keyakinan yang bersifat emosional. Mereka tidak memiliki kemampuan memfilterisasi informasi yang diperolehnya. Rasionalnya digerakkan oleh seorang yang ditokohkan. Jadi, kalau ada seseorang yang disegani (dihormati) dipuja, diikuti, dan dibela secara membabi buta (tanpa cacat). Model penganut ini relatif mudah dicuci otaknya dan menjadi sumber kerawanan bertoleransi, karena gampang tersinggung, radikal, dan merasa paling benar.
Meretas Kegamangan Toleransi
Kegamangan bertoleransi berdampak pada gesekan antara umat, termasuk gangguan integrasi bernegara. Tanggung jawab kita untuk meretas kasus ini dengan standar toleransi yang jelas, terukur, dan akuntabel. Toleransi harus dirumuskan mendekati universal, bisa diterima oleh pihak mana pun secara proposional, sehingga tidak melenceng dari makna hakikinya. Dalam konteks inilah, pemerintah harus hadir. Pihak pemerintah dapat menggandeng berbagai elemen masyarakat untuk berani merumuskan rancangan (format yuridis) tentang kecintaan berideologi, berbangsa dan bernegara. Produk yuridis ini dapat dijadikan dasar legal untuk menolak atau menerima seseorang menggelar ceramah di bumi nusantara.
Menolak atau menerima penceramah juga dapat ditimbang dari kredibilitas seorang penceramah. Sebagai publik figur, seorang penceramah wajib memiliki legalitas berceramah di depan publik. Oleh karena itulah, penceramah harus memiliki sertifikasi yang dikeluarkan oleh pihak yang kompeten (misalnya, departemen keagamaan RI). Sertifikasi ini berlaku untuk semua penceramah atau pemuka agama. Sebelum lulus sertifikasi, seorang penceramah (pemuka agama) tidak boleh menggelar ceramah di depan publik. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan produk penceramah yang dewasa, humanis, matang wawasan dan keilmuannya, serta berintegritas. Efeknya, umat betul-betul mendapatkan isi ceramah yang bernilai dan bermanfaat bagi kehidupannya sehari-hari.
Pemuka agama (penceramah) yang berkualitas (sudah tersertifikasi) akan mengurangi jumlah penganut yang irasional. Sebab, penceramah yang berkualitas lebih mengedepankan rasionalitas berkeyakinan (agama) daripada menggoreng isu sara murahan. Kematangan berkeyakinan yang rasional lebih mudah dicapai apabila didukung dengan budaya literasi yang tinggi di kalangan penganut agama. Artinya, sebelum mendengarkan ceramah, penganut sudah membekali diri dengan membaca dan menggali tema yang diceramahkan. Budaya literasi ini juga membentuk otoritas diri sehingga dapat selektif dalam menangkap konten ceramah dari sang penceramah.
Untuk kepastian toleransi, semua pihak harus satu tekad mewujudkannya. Kita dukung semua komponen yang kompeten untuk merealisasikan rancangan yuridus tentang toleransi yang proposional. Semoga toleransi tidak mengalami cedera akibat sering dimonopoli oleh kelompok tertentu dengan berbagai dalil. Kita tidak ingin, pasca Bali, cerita kegamangan bertoleransi masih  berlanjut di daerah lain. Penulis, guru swasta (SMP Cipta Dharma) di Denpasar.




Oleh

I Ketut Serawan


Pendidikan dasar agama hindu diajarkan secara resmi sejak anak duduk di bangku SD Kelas I. Fase di mana anak masih tertatih-tatih di dunia bacalistung (baca, tulis, menghitung). Fase ini tentu menjadi tantangan berat bagi pelaku pendidikan terutama guru, karena mereka dituntut dapat membangun dasar keilmuan agama hindu yang kuat sesuai dengan usia si anak. Sebuah tuntutan ideal di tengah publik dihantui rasa pesimis atas temuan fakta-fakta pembelajaran yang skeptis di lapangan.

Skeptis Publik
            Munculnya rasa pesimis publik didasarkan oleh beberapa fakta pembelajaran yang cukup mengkhawatirkan. Fakta-fakta itu, antara lain: materi, konten, dan bahasa pembelajaran agama hindu kelas I masih terlalu berat (dewasa).
Coba perhatikan penggalan kutipan materi tri kaya parisudha (kelas I semester I) berikut. “Pikiran adalah hal yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya segala sesuatu bermula dari pikiran…. “ (materi manacika, halaman 7, buku Pendamping Materi Dharma Sesana Agama Hindu dan Budi Pekerti untuk Kelas I Semester I, Penyusun IKAPI No.014/BAI/09). Materi yang lain misalnya, “Sesuai dengan dengan siklus ‘rwabhineda’ perbuatan manusia dapat ditinjau dari 2 sisi yang berbeda, yaitu antara lain perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak baik/ buruk (asubha karma)…” (materi subha dan asubha karma, halaman 13, buku Pendamping Materi Dharma Sesana Agama Hindu dan Budi Pekerti untuk Kelas I Semester I, Penyusun IKAPI No.014/BAI/09).  
            Kedewasaan materi itu terlihat karena uraian materinya sangat padat (seperti rangkuman materi). Ditambah lagi, menggunakan bahasa (kalimat) yang dewasa, tak terjangkau oleh rasionalitas anak-anak.
Fakta skeptis lainnya adalah guru dengan latar belakang, cara pandang, dan strategi pembelajarannya. Kebanyakan yang mengajarkan mata pelajaran agama hindu di kelas dasar adalah wali kelas yang tidak berlatar belakang pendidikan agama hindu. Mereka mengajar apa adanya berdasarkan materi yang ada di buku paket/ LKS.
Di beberapa SD, ada guru spesialisasi atau berlatar pendidikan agama hindu tetapi akta mengajarnya level menengah ke atas. Efeknya, guru terbawa dan memaksakan polarisasi pembelajaran remaja kepada anak-anak. Anak-anak dijejali pola-pola teoritis, pengetahuan abstrak, dan kemandirian dalam belajar. Padahal, anak-anak membutuhkan metode pembelajaran yang konkret, sederhana, dan totalitas pembimbingan.
Faktor lainnya ialah pengalaman guru ketika menjadi siswa. Bisa jadi guru (sekarang) menggunakan standar pembelajaran gurunya terdahulu. Artinya, ketika menjadi siswa, mereka diperlakukan seperti sekarang. Mereka beranggapan bahwa cara guru agama hindu sebelumnya masih relevan dengan usia ketika mereka menjadi guru sekarang.
Kemungkinan lain adalah belum ditemukannya standar model pembelajaran agama hindu untuk SD kelas dasar. Pasalnya, sampai sekarang belum ada khusus Pendidikan Guru Agama Hindu Sekolah Dasar (PGAHSD). Yang ada adalah pendidikan guru agama hindu menengah ke atas produk dari STAH, IHDN, dan lain sebagainya. Produk kampus ini biasanya siap diterjunkan untuk siswa SMP ke atas.
Namun, mereka belum siap diterjunkan ke SD. Mungkin pemerintah beranggapan bahwa lulusan PGSD dapat mengakomodir persoalan ini. Pemerintah berkeyakinan bahwa produk PGSD dapat mengajarkan dasar-dasar agama hindu dengan optimal. Padahal, kenyataannya (di Bali), mapel hindu banyak diajarkan oleh guru yang berlatar belakang S-1 Pendidikan Agama Hindu dan S-1 Pendidikan Bahasa Bali. Hal ini membuktikan bahwa lulusan PGSD kurang percaya diri dalam mengampu mapel agama hindu.
Di samping latar belakang dan cara pandang, rasa skeptis publik juga diperkuat oleh strategi guru dalam pembelajaran. Publik menemukan polarisasi pembelajaran agama hindu yang masih bersifat tradisional yaitu teoritis dan teks book. Anak-anak diberikan teori-teori berdasarkan buku-buku yang ada. Karena guru seolah-olah percaya bahwa tafsir penyusun buku dianggap sudah sempurna (sesuai dengan yang diniatkan kurikulum).
Itulah sebabnya, kebanyakan guru agama hindu (di Denpasar misalnya) mengajarkan materi-materi kelas dasar tanpa mengambil peran mediasi. Mereka menyerahkan anak-anak secara mandiri membaca materi dengan tolok ukur pemahaman soal-soal yang ada di dalam buku. Mental memanjakan ini membuat para guru nyaman mengajar dengan hanya menggunakan buku LKS.
Buku LKS dengan ringkasan materi yang padat-merayap dan berisi latihan soal-soal telah memposisikan guru bak seorang raja. Guru cukup memerintahkan siswa mengerjakan soal-soal LKS (entah di sekolah/ rumah). Setelah itu, diperiksa, diberi nilai, dan diulang untuk pembelajaran berikutnya.
Begitulah eksistensi buku LKS. Kehadirannya kerapkali menjadi candu bagi guru. Guru menjadi malas mengembangkan kreativitas pembelajaran. Perencanaan pembelajaran, psikologi anak didik, dan metode pembelajaran menjadi terabaikan.
Pembelajaran agama hindu di SD seperti kehilangan kebermaknaannya. Pun kehilangan dasar-dasar keilmuannya. Para siswa dikalahkan oleh otoritas guru. Otoritas yang sering memabukan guru, lalu berimbas pada memiskinkan pembelajaran. Sehingga jangan heran, jika dunia pembelajaran anak SD kelas dasar tidak luput dari serangan PR-PR yang sering kurang bermakna dan tak manusiawi (jumlahnya melebihi kemampuan anak). Akibatnya, anak-anak menjadi jenuh. Hasil pembelajaran pun ikut-ikutan jenuh. Jadi, wajar publik merasa skeptis terhadap bangunan dasar ilmu agama hindu yang diperoleh di sekolah dasar.

Ekspektasi Publik
Untuk membangun kepercayaan publik, fakta-fakta pembelajaran skeptis harus diminimalisir. Upaya mendasar yang perlu dilakukan adalah mengkaji bobot materi, kepadatan materi, dan aspek kebahasaan materi. Materi dan konten pembahasan harus disederhanakan, sehingga mudah dicerna oleh kemampuan si anak. Penyederhanaan ini harus didukung oleh diksi-diksi (bahasa) yang mudah dipahami oleh anak-anak.
Pembahasan tentang tri kaya parisudha (misalnya) akan lebih mudah rasanya kalau dimulai dengan ilustrasi yang bersifat kasus. Penulis buku dan guru bisa memulainya dengan cerita, drama, dan fakta-fakta kejadian yang berkaitan dengan aspek berpikir, berkata, dan berbuat. Misalnya, sajikan cerita yang mengandung kontras unsur kebaikan (sabar, santun, berpikir positif) dan keburukan (mengejek, sedikit kasar, berpikir negatif, dsb) yang dekat dengan dunia anak-anak.
Libatkan anak dalam memutuskan pandangan-pandangan (penilaian) mereka terhadap kebaikan dan keburukan dalam cerita. Kemudian, hubungkan kasus dalam cerita dengan sudut pandang tri kaya parisudha. Jadi, bukan membahas materi-materi tri kaya parisudha secara padat, mendalam, dan definitif.
Kesederhanaan pola penyajian materi dan ulasan akan menjadi mendalam serta bermakna, apabila dibarengi dengan penggunaan kalimat (bahasa) yang mudah dimengerti oleh si anak. Hindari kosakata yang biasa dikonsumsi oleh orang dewasa. Hindari pula menulis/ menempel kutipan-kutipan dari sumber aslinya, yang apa adanya. Interpretasi lagi kutipan-kutipan itu dalam bahasa yang mudah dipahami  oleh si anak.
Aspek pemahaman psikologi pembelajaran juga penting dipahami oleh penyusun kurikulum, penyusun buku, dan guru. Pembelajaran yang bersifat teoritis dan definitif sesungguhnya melenceng dari esensi psikologi pendidikan anak. Karena hakikat pembelajaran anak SD bersifat sederhana dan konkret.
Menurut ahli psikolog, perkembangan kognitif anak ditandai dengan beberapa gejala, yaitu (1) senang mendengarkan cerita meskipun sudah dapat membaca, (2) cara berpikirnya berdasarkan hal yang konkret, dan (3) belum mengerti hal yang abstrak. Gejala ini memberikan sinyal bahwa guru agama hindu SD harus sebisa mungkin dapat menghadirkan pembelajaran yang konkret kepada anak, baik dengan cerita, drama, gambar, demonstrasi dan lain sebagainya.
Penggunaan metode pembelajaran berbasis konkret (kreatif) selaras dengan karakteristik anak SD yaitu (1) senang bergerak, (2) senang bermain, (3) senang melakukan sesuatu secara langsung, dan (4) senang bekerja dalam kelompok. Pemahaman karakteristik anak ini akan mengerem kesadaran guru agar masuk ke dunia anak. Dunia pembelajaran yang dominan bernuansa bermain, menyenangkan, ramah dan nyaman.
Untuk mewujudkan  pembelajaran konkret dan kreatif memang membutuhkan guru pekerja keras dan mandiri. Guru sebaiknya memiliki interpretasi mandiri terhadap kurikulum, psikologi pendidikan, psikologi anak, dan buku paket/ LKS. Kemampuan interpretasi ini berguna untuk membantu guru dalam membuat tafsir-tafsir dan kreasi-kreasi pembelajaran yang menarik. Sehingga, mood dan ketertarikan anak-anak dalam belajar tetap terjaga.
Sayangnya, jumlah guru yang kreatif seperti ini cukup minim di SD. Padahal, signifikan dalam membangun dasar-dasar ilmu agama hindu pada anak. Jika dasar-dasar ilmu ini bagus, publik pantas berharap akan tumbuh anak-anak dengan berkepribadian  hindu yang mantap, kuat, dan bernilai universal.
Ekspektasi di atas harus didukung oleh semua kalangan. Kita membutuhkan sinergi dari berbagai pihak untuk dapat menghasilkan guru agama hindu yang ideal, sesuai dengan harapan publik. Pemerintah, departemen agama, PHDI, dan masyarakat sebaiknya bersinergi positif untuk mendukung kebijakan memproduksi guru agama hindu SD yang diinginkan publik sekarang. Penyuluhan, pelatihan, lomba-lomba antar guru agama hindu mungkin dapat terus ditingkatkan frekuensinya. Gagasan membentuk PGAHSD (Pendidikan Guru Agama Hindu Sekolah Dasar) juga pantas dipertimbangkan untuk membentuk standar/ pakem pembelajaran yang cocok untuk anak SD. Sehingga, ke depan rasa skeptis publik pelan tapi pasti dapat diminimalisir. (Penulis, guru swasta di Denpasar)