Oleh
I
Ketut Serawan
Pendidikan dasar agama
hindu diajarkan secara resmi sejak anak duduk di bangku SD Kelas I. Fase di
mana anak masih tertatih-tatih di dunia bacalistung (baca, tulis, menghitung).
Fase ini tentu menjadi tantangan berat bagi pelaku pendidikan terutama guru, karena
mereka dituntut dapat membangun dasar keilmuan agama hindu yang kuat sesuai
dengan usia si anak. Sebuah tuntutan ideal di tengah publik dihantui rasa
pesimis atas temuan fakta-fakta pembelajaran yang skeptis di lapangan.
Skeptis
Publik
Munculnya rasa
pesimis publik didasarkan oleh beberapa fakta pembelajaran yang cukup mengkhawatirkan.
Fakta-fakta itu, antara lain: materi, konten, dan bahasa pembelajaran agama
hindu kelas I masih terlalu berat (dewasa).
Coba perhatikan
penggalan kutipan materi tri kaya parisudha (kelas I semester I) berikut.
“Pikiran adalah hal yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya segala
sesuatu bermula dari pikiran…. “ (materi manacika, halaman 7, buku Pendamping
Materi Dharma Sesana Agama Hindu dan Budi Pekerti untuk Kelas I Semester I,
Penyusun IKAPI No.014/BAI/09). Materi yang lain misalnya, “Sesuai dengan dengan
siklus ‘rwabhineda’ perbuatan manusia dapat ditinjau dari 2 sisi yang berbeda,
yaitu antara lain perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak
baik/ buruk (asubha karma)…” (materi subha dan asubha karma, halaman 13, buku
Pendamping Materi Dharma Sesana Agama Hindu dan Budi Pekerti untuk Kelas I Semester
I, Penyusun IKAPI No.014/BAI/09).
Kedewasaan
materi itu terlihat karena uraian materinya sangat padat (seperti rangkuman
materi). Ditambah lagi, menggunakan bahasa (kalimat) yang dewasa, tak
terjangkau oleh rasionalitas anak-anak.
Fakta skeptis lainnya
adalah guru dengan latar belakang, cara pandang, dan strategi pembelajarannya.
Kebanyakan yang mengajarkan mata pelajaran agama hindu di kelas dasar adalah
wali kelas yang tidak berlatar belakang pendidikan agama hindu. Mereka mengajar
apa adanya berdasarkan materi yang ada di buku paket/ LKS.
Di beberapa SD, ada
guru spesialisasi atau berlatar pendidikan agama hindu tetapi akta mengajarnya level
menengah ke atas. Efeknya, guru terbawa dan memaksakan polarisasi pembelajaran
remaja kepada anak-anak. Anak-anak dijejali pola-pola teoritis, pengetahuan
abstrak, dan kemandirian dalam belajar. Padahal, anak-anak membutuhkan metode pembelajaran
yang konkret, sederhana, dan totalitas pembimbingan.
Faktor lainnya ialah
pengalaman guru ketika menjadi siswa. Bisa jadi guru (sekarang) menggunakan standar
pembelajaran gurunya terdahulu. Artinya, ketika menjadi siswa, mereka
diperlakukan seperti sekarang. Mereka beranggapan bahwa cara guru agama hindu
sebelumnya masih relevan dengan usia ketika mereka menjadi guru sekarang.
Kemungkinan lain adalah
belum ditemukannya standar model pembelajaran agama hindu untuk SD kelas dasar.
Pasalnya, sampai sekarang belum ada khusus Pendidikan Guru Agama Hindu Sekolah
Dasar (PGAHSD). Yang ada adalah pendidikan guru agama hindu menengah ke atas
produk dari STAH, IHDN, dan lain sebagainya. Produk kampus ini biasanya siap
diterjunkan untuk siswa SMP ke atas.
Namun, mereka belum
siap diterjunkan ke SD. Mungkin pemerintah beranggapan bahwa lulusan PGSD dapat
mengakomodir persoalan ini. Pemerintah berkeyakinan bahwa produk PGSD dapat
mengajarkan dasar-dasar agama hindu dengan optimal. Padahal, kenyataannya (di
Bali), mapel hindu banyak diajarkan oleh guru yang berlatar belakang S-1
Pendidikan Agama Hindu dan S-1 Pendidikan Bahasa Bali. Hal ini membuktikan
bahwa lulusan PGSD kurang percaya diri dalam mengampu mapel agama hindu.
Di samping latar
belakang dan cara pandang, rasa skeptis publik juga diperkuat oleh strategi
guru dalam pembelajaran. Publik menemukan polarisasi pembelajaran agama hindu yang
masih bersifat tradisional yaitu teoritis dan teks book. Anak-anak diberikan
teori-teori berdasarkan buku-buku yang ada. Karena guru seolah-olah percaya
bahwa tafsir penyusun buku dianggap sudah sempurna (sesuai dengan yang
diniatkan kurikulum).
Itulah sebabnya,
kebanyakan guru agama hindu (di Denpasar misalnya) mengajarkan materi-materi
kelas dasar tanpa mengambil peran mediasi. Mereka menyerahkan anak-anak secara
mandiri membaca materi dengan tolok ukur pemahaman soal-soal yang ada di dalam
buku. Mental memanjakan ini membuat para guru nyaman mengajar dengan hanya
menggunakan buku LKS.
Buku LKS dengan
ringkasan materi yang padat-merayap dan berisi latihan soal-soal telah
memposisikan guru bak seorang raja. Guru cukup memerintahkan siswa mengerjakan
soal-soal LKS (entah di sekolah/ rumah). Setelah itu, diperiksa, diberi nilai,
dan diulang untuk pembelajaran berikutnya.
Begitulah eksistensi
buku LKS. Kehadirannya kerapkali menjadi candu bagi guru. Guru menjadi malas
mengembangkan kreativitas pembelajaran. Perencanaan pembelajaran, psikologi
anak didik, dan metode pembelajaran menjadi terabaikan.
Pembelajaran agama
hindu di SD seperti kehilangan kebermaknaannya. Pun kehilangan dasar-dasar
keilmuannya. Para siswa dikalahkan oleh otoritas guru. Otoritas yang sering
memabukan guru, lalu berimbas pada memiskinkan pembelajaran. Sehingga jangan
heran, jika dunia pembelajaran anak SD kelas dasar tidak luput dari serangan
PR-PR yang sering kurang bermakna dan tak manusiawi (jumlahnya melebihi
kemampuan anak). Akibatnya, anak-anak menjadi jenuh. Hasil pembelajaran pun
ikut-ikutan jenuh. Jadi, wajar publik merasa skeptis terhadap bangunan dasar
ilmu agama hindu yang diperoleh di sekolah dasar.
Ekspektasi
Publik
Untuk membangun
kepercayaan publik, fakta-fakta pembelajaran skeptis harus diminimalisir. Upaya
mendasar yang perlu dilakukan adalah mengkaji bobot materi, kepadatan materi,
dan aspek kebahasaan materi. Materi dan konten pembahasan harus disederhanakan,
sehingga mudah dicerna oleh kemampuan si anak. Penyederhanaan ini harus didukung
oleh diksi-diksi (bahasa) yang mudah dipahami oleh anak-anak.
Pembahasan tentang tri
kaya parisudha (misalnya) akan lebih mudah rasanya kalau dimulai dengan
ilustrasi yang bersifat kasus. Penulis buku dan guru bisa memulainya dengan
cerita, drama, dan fakta-fakta kejadian yang berkaitan dengan aspek berpikir,
berkata, dan berbuat. Misalnya, sajikan cerita yang mengandung kontras unsur
kebaikan (sabar, santun, berpikir positif) dan keburukan (mengejek, sedikit
kasar, berpikir negatif, dsb) yang dekat dengan dunia anak-anak.
Libatkan anak dalam memutuskan
pandangan-pandangan (penilaian) mereka terhadap kebaikan dan keburukan dalam
cerita. Kemudian, hubungkan kasus dalam cerita dengan sudut pandang tri kaya
parisudha. Jadi, bukan membahas materi-materi tri kaya parisudha secara padat,
mendalam, dan definitif.
Kesederhanaan pola
penyajian materi dan ulasan akan menjadi mendalam serta bermakna, apabila
dibarengi dengan penggunaan kalimat (bahasa) yang mudah dimengerti oleh si anak.
Hindari kosakata yang biasa dikonsumsi oleh orang dewasa. Hindari pula menulis/
menempel kutipan-kutipan dari sumber aslinya, yang apa adanya. Interpretasi
lagi kutipan-kutipan itu dalam bahasa yang mudah dipahami oleh si anak.
Aspek pemahaman psikologi
pembelajaran juga penting dipahami oleh penyusun kurikulum, penyusun buku, dan
guru. Pembelajaran yang bersifat teoritis dan definitif sesungguhnya melenceng
dari esensi psikologi pendidikan anak. Karena hakikat pembelajaran anak SD
bersifat sederhana dan konkret.
Menurut ahli psikolog,
perkembangan kognitif anak ditandai dengan beberapa gejala, yaitu (1) senang
mendengarkan cerita meskipun sudah dapat membaca, (2) cara berpikirnya
berdasarkan hal yang konkret, dan (3) belum mengerti hal yang abstrak. Gejala
ini memberikan sinyal bahwa guru agama hindu SD harus sebisa mungkin dapat
menghadirkan pembelajaran yang konkret kepada anak, baik dengan cerita, drama,
gambar, demonstrasi dan lain sebagainya.
Penggunaan metode
pembelajaran berbasis konkret (kreatif) selaras dengan karakteristik anak SD
yaitu (1) senang bergerak, (2) senang bermain, (3) senang melakukan sesuatu
secara langsung, dan (4) senang bekerja dalam kelompok. Pemahaman karakteristik
anak ini akan mengerem kesadaran guru agar masuk ke dunia anak. Dunia
pembelajaran yang dominan bernuansa bermain, menyenangkan, ramah dan nyaman.
Untuk mewujudkan pembelajaran konkret dan kreatif memang
membutuhkan guru pekerja keras dan mandiri. Guru sebaiknya memiliki
interpretasi mandiri terhadap kurikulum, psikologi pendidikan, psikologi anak,
dan buku paket/ LKS. Kemampuan interpretasi ini berguna untuk membantu guru
dalam membuat tafsir-tafsir dan kreasi-kreasi pembelajaran yang menarik.
Sehingga, mood dan ketertarikan
anak-anak dalam belajar tetap terjaga.
Sayangnya, jumlah guru
yang kreatif seperti ini cukup minim di SD. Padahal, signifikan dalam membangun
dasar-dasar ilmu agama hindu pada anak. Jika dasar-dasar ilmu ini bagus, publik
pantas berharap akan tumbuh anak-anak dengan berkepribadian hindu yang mantap, kuat, dan bernilai
universal.
Ekspektasi di atas
harus didukung oleh semua kalangan. Kita membutuhkan sinergi dari berbagai
pihak untuk dapat menghasilkan guru agama hindu yang ideal, sesuai dengan harapan
publik. Pemerintah, departemen agama, PHDI, dan masyarakat sebaiknya bersinergi
positif untuk mendukung kebijakan memproduksi guru agama hindu SD yang
diinginkan publik sekarang. Penyuluhan, pelatihan, lomba-lomba antar guru agama
hindu mungkin dapat terus ditingkatkan frekuensinya. Gagasan membentuk PGAHSD
(Pendidikan Guru Agama Hindu Sekolah Dasar) juga pantas dipertimbangkan untuk
membentuk standar/ pakem pembelajaran yang cocok untuk anak SD. Sehingga, ke
depan rasa skeptis publik pelan tapi pasti dapat diminimalisir. (Penulis, guru swasta di Denpasar)
0 komentar:
Posting Komentar