Minggu, 25 Agustus 2019


Mengantisipasi Pengaruh Tayangan Negatif Televisi pada Anak-anak
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.

Sejak budaya audio visual semakin fenomenal, televisi kian menyedot perhatian anak-anak. Berbagai tayangan yang memikat sering membuat anak lupa diri. Jangankan belajar, untuk makan saja anak kadang enggan jika sudah berada di depan televisi.
Kedekatan anak-anak dengan televisi makin dipertajam lagi oleh tuntutan kebutuhan yang kian kompleks di keluarga. Sementara orang tua sibuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, di satu sisi anak-anak terbengkalai tinggal sendiri di rumah. Kesempatan inilah yang menjebak anak untuk setia menghabiskan waktu di depan televisi. Sebaliknya, perhatian dengan orang tua mereka justru menjadi berjarak.
Berbeda dengan dulu, ketika tradisi lisan begitu kuat, orang tua mampu memposisikan diri sebagai pusat perhatian anak-anak. Dulu, misalnya pernah dikenal istilah “pelipur lara”. Biasanya yang menjadi “pelipur lara” adalah orang tua. Di luar sebagai tukang cerita, ia merupakan guru sekaligus teman bagi anak dalam memahami konsep, etika, moral, nilai, norma, sopan santun dan lain sebagainya.
Meskipun bersifat oral, budaya lisan ini memiliki keunggulan tersendiri. Karena sifat hubungannya yang dialogis, budaya lisan mampu menciptakan kedekatan emosional di antara anak dan orang tuanya. Kedekatan ini sekaligus menghasilkan produk fungsi sosial yaitu menanamkan dan menumbuhkan spirit kebersamaan pada anak sehingga bingkai kekeluargaan bisa terpelihara dengan baik.
Namun kini ketika budaya audio visual berkembang pesat, anak-anak mulai melupakan “si pelipur lara”—orang tua itu. Anak-anak telah menjatuhkan pilihannya pada “si pelipur lara” yang lebih modern dan canggih, yaitu televisi. Pemilihan ini bukan tanpa alasan. Jika tradisi lisan menjadikan bahasa sebagai satu-satunya alat transmisi informasi, maka dalam budaya audio visual bahasa telah disandingkan dengan media gambar dengan performa yang lebih menarik dan variatif.

Absolutkan Simbol
            Aspek performa merupakan magnet bagi televisi dalam meraup pemirsa. Hal ini mengingat televisi merupakan industri. Sebagai industri, ia ingin menggaet penonton sebanyak mungkin. Caranya, dengan menonjolkan unsur entertainment, kemudian mengukurnya dengan rating.
Terfokusnya televisi pada unsur hiburan dan rating menyebabkan nilai edukasi menjadi terabaikan. Iip (2006) menyebutkan, penonjolan hiburan dan rating menjadikan acara televisi tidak baik dikonsumsi anak-anak. Menurutnya, televisi sering menayangkan unsur negatif seperti penonjolan unsur seksualitas dan kekerasan. Hal ini jelas berbahaya bagi anak-anak.
Di satu sisi, anak punya daya pikir terbatas. Di sisi lain televisi berkemampuan mengabsolutkan simbol-simbol tertentu. Yang terjadi adalah anak akan terjebak pada pola kebenaran simbol-simbol televisi. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilihatnya di televisi merupakan kebenaran yang niscaya. Benar dan begitulah seharusnya. Bahayanya tentu ketika anak meyakini bahwa tayangan seksualitas dan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang benar.
Kekhawatiran ini sangat mungkin terjadi pada anak. Pasalnya, televisi merupakan medium pasif. Ia tak mampu menjelaskan dan memang tak bisa memberikan penjelasan dari kejadian yang telah ditayangkan. Sehingga, meminjam istilah Sugihastuti, anak pun menjadi boneka mati di atas sofa.
Pengaruh negatif televisi tidak hanya berasal dari acara yang ditayangkan saja. Menurut Iip lagi, jeda iklan pun memberikan efek negatif yaitu menanamkan nilai konsumtif, hedonis dan komersialisasi pada anak. Karenanya, dianjurkan perlunya kepekaan khusus dari orang tua untuk menyadari dan mengantisipasi efek negatif dari tayangan televisi.

Upaya Antisipasi
            Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantisipasi efek negatif tayangan televisi. Pertama, diet menonton televisi. Orang tua harus bisa mengatur jam menonton anak. Jangan sampai anak seharian berada di depan televisi. Biarkan anak menonton pada acara-acara yang memang layak ditonton kalangan anak-anak.
            Kedua, dampingi anak ketika menonton televisi. Berikan penjelasan (jika perlu) pada kejadian-kejadian yang ditonton oleh anak-anak. Tidak hanya sekadar menjelaskan, bukalah ruang dialog dengan anak. Berilah ruang bagi anak untuk bertanya jawab. Hal ini berguna untuk memelihara kedekatan hubungan emosional di antara orang tua dan anak. Di samping itu, ruang tanya jawab sekaligus berfungsi untuk mencairkan absolut simbol yang diciptakan televisi pada anak-anak.
            Ketiga, diet televisi menuntut orang tua harus kreatif mencarikan alternatif kegiatan lain. Kegiatan-kegiatan itu nantinya bisa menggantikan acara televisi. Namun perlu diingat, kegiatan-kegiatan ini harus lebih menarik atau setidaknya sama menariknya dengan acara di televisi.
            Pilihannya bisa dengan membaca buku anak-anak dan mendongeng. Membaca buku bermanfaat membuka ruang berpikir, merenung dan berkontemplasi bagi anak. Begitu juga mendongeng dapat mendekatkan emosional anak dengan orang tuanya. Sayangnya, kedua aktivitas ini tidak mendapat perhatian serius di kalangan keluarga.
            Sebagai substitusi, kegiatan membaca harus melibatkan orang tua di dalamnya. Orang tua dapat membuat taman bacaan di rumah. Anak tetangga juga dapat dilibatkan untuk meningkatkan kegairahan membaca pada anak. Jika menginginkan anak rajin membaca, orang tua harus menyediakan bahan bacaan yang cukup. Yang terpenting lagi adalah orang tua harus menjadi teladan dengan menjadi pembaca yang baik.
            Aktivitas mendongeng juga penting diterapkan di keluarga. Apalagi jika format mendongeng bisa dikemas lebih modern, variatif dan inovatif. Hal ini tentu akan lebih menarik perhatian anak sehingga anak bisa diselamatkan dari konsep, etika, nilai dan pendidikan moral yang keliru dari televisi. (Penulis adalah guru SMP Cipta Dharma Denpasar. Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Keluarga, Bali Post Minggu Pon, 25 Januari 2009)


Foto: Fimela.com











Kegiatan literasi mulai menggeliat di sekolah-sekolah. Geliat ini bermula dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) per tahun 2016 sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Konkretnya, para siswa diwajibkan membaca buku non-mapel setiap hari 15 menit sebelum pembelajaran dimulai di kelas.

Kontrak Literasi

Walaupun singkat, pembiasaan tersebut cukup membangunkan kesadaran siswa dari belenggu budaya “kontrak literasi” yang sudah mendarah daging pada diri siswa. Budaya “kontrak literasi” merupakan aktivitas belajar (membaca-menulis) untuk memperoleh (jangka pendek) apresiasi nilai atau angka. Keinginan memperoleh angka-angka inilah yang mendorong siswa untuk belajar. Itulah sebabnya, siswa baru belajar apabila ada tes ulangan atau ujian. Mereka belajar untuk mendapatkan angka yang baik. Selanjutnya, angka-angka ini didokumentasikan dalam raport atau ijazah untuk dibanggakan di kemudian hari.

Segi kepraktisan atau efek ilmu yang dipelajari dari aktivitas belajar, tidak menjadi persoalan. Habis belajar dan siswa memperoleh angka, maka kontrak sudah berakhir. Apakah ilmu yang dipelajari berguna atau tidak dalam kehidupan sehari-hari? Tidak penting.

Belajar menjadi semacam proyek (kontrak). Kontrak untuk menjawab soal-soal sesaat. Setelah menghadapi ulangan atau ujian, siswa merasa bebas. Mereka merasa bebas dari aktivitas belajar (membaca/menulis). Membaca pasca tes dianggap tindakan sia-sia.

Selanjutnya, dari “kontrak literasi” inilah menumbuhkan anggapan bahwa belajar (membaca) dikhususkan untuk status siswa atau mahasiswa. Istilah belajar adalah kontrak ketika menjadi siswa atau mahasiswa. Lepas dari dua status ini, berarti bebas dari aktivitas membaca dan menulis.

Oleh karena itu, banyak masyarakat (orang tua) merasa tak berdosa ketika menyuruh anaknya belajar. Para orang tua sering menceramahi, memaksa, memarahi, mengancam hingga pasrah. Karena beberapa anak malah memilih diam menutup pintu, lalu komunikasi menjadi buntu. Mereka mengurung diri di kamar entah untuk kondisi ancaman belajar atau pura-pura belajar.

Daripada kukuh merasa benar dan menjadikan anak sebagai “pesakitan belajar”, lebih baik orang tua menjadi panutan literasi di rumah. Orang tua membiasakan diri membaca di rumah. Berusaha terus menjadi contoh pembaca yang baik di keluarga. Lakukan berulang-ulang. Setiap saat. Kalau bisa, setiap hari. Karena sesungguhnya anak membutuhkan contoh-contoh konkret di lingkungan keluarga. Apa yang sering dilihatnya, dialaminya, dan dirasakannya di rumah akan membentuk kebiasaan pada diri siswa. Di sinilah, pentingnya orang tua tampil menjadi contoh bukan sekadar memberikan contoh-contoh. Orang tua harus bisa menjadi panutan literasi di rumah.

Begitu juga di lingkungan sekolah. Guru harus dapat menjadi panutan literasi bagi anak didiknya. Namun kenyataannya, kadangkala guru gagal menjadi teladan. Mereka meminta para siswa rajin dan tekun belajar. Pun ketika siswa membaca 15 menit sebelum pembelajaran di kelas. Semangatnya bak juru kampanye. Suara para guru lantang. Sayangnya, guru lebih sering memanfaatkan waktu senggang untuk ngerumpi di ruang guru. Mereka enggan mengupgrade diri dengan membaca (walaupun tidak semua). Beberapa guru merasa nyaman dengan ilmu yang serba berkecukupan sewaktu di bangku kuliah.

Kontrak literasi yang membudaya, menyebabkan ortu atau guru sering gagal menjadi panutan. Celakanya, sering ortu dan guru tetap merasa benar. Mereka membela diri dengan alasan faktor usia, kesibukan, lelah dan lain sebagainya. Alasan ini seolah-olah sudah menjadi legitimasi bahwa usia tua harus dibebaskan dari aktivitas belajar.

Sejujurnya, literasi merupakan budaya baru bagi masyarakat. Ia baru menggema ditengah kuatnya pengaruh tradisi lisan dalam masyarakat. Bahkan, usianya tidak tanggung-tanggung. Sudah berabad-abad lalu. Masyarakat kita besar dari polarisasi penutur (kemampuan berbicara) dan pendengar (kemampuan menyimak).

Jadi, untuk mengalihkan budaya lisan ke budaya belajar (baca-tulis), dibutuhkan proses dan kemampuan adaptasi yang baik. Semakin tinggi kemampuan adaptasi kita, maka semakin cepat dapat menyesuaikan diri dengan budaya literasi. Sebaliknya, semakin rendah maka budaya literasi kita bergerak lambat.

Ortu/ guru (old) merupakan korban hegemoni trans budaya lisan. Mereka lahir dari lingkungan dominasi tradisi lisan yang begitu kuat dan (dengan) perspektif membaca sebagai kontrak literasi. Ditambah dengan kemampuan adaptasi yang minim, maka wajar ortu/ guru belum mampu menjadi panutan literasi.

Meskipun demikian, tidak semua ortu/ guru (old) digolongkan sebagai generasi minus literasi. Ada beberapa ortu/ guru (old) yang memiliki kemampuan adaptasi literasi yang tinggi, sehingga mereka tetap tampil sebagai panutan berliterasi. Namun, jumlahnya sangat sedikit.

Panutan Literasi

Saat ini, anak-anak membutuhkan panutan literasi terutama di keluarga. Keluarga sangat efektif dalam membentuk karakter anak. Lingkungan keluargalah yang paling banyak menyita waktu anak-anak. Keluarga juga menjadi lingkungan pribadi (psikologi) yang paling dekat dan akrab. Bibit karakter bermula dari lingkungan keluarga. Keseharian di keluarga akan otomatis membentuk nilai (karakter) termasuk kebiasaan literasi. Jika ortu dapat menciptakan iklim literasi yang kondusif di rumah, maka anak-anak relatif lebih mudah tertular virus literasi. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi ortu kecuali berusaha membiasakan diri menjadi contoh literasi di keluarga.

Karakter literasi yang tumbuh di keluarga akan memudahkan budaya baca-tulis anak berkembang di sekolah. Dengan catatan, sekolah harus mendorong iklim literasi yang baik, terutama mulai dari guru. Guru harus menjadi model/ panutan literasi dengan memanfaatkan waktu untuk membaca dan menulis. Selain itu, sekolah dapat menjadi fasilitator literasi dengan menyediakan bahan bacaan (tulis) baik cetak, digital, dan lain sebagainya.

Pembelajaran literasi mirip dengan pembelajaran agama dan budi pekerti. Mapel ini dimasukkan dalam korikuler dan diajarkan secara rutin di sekolah. Namun, hasilnya dianggap mengecewakan. Etika dan moral generasi muda kita dikatakan tumbuh tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Pun generasi tuanya. Salah satu indikatornya ialah menjamurnya budaya korupsi di segala sektor justru ketika mapel ini digemakan di sekolah-sekolah.

Metodologi dituding sebagai salah satu faktor kekurangoptimalan pembelajaran agama dan budi pekerti. Publik menilai bahwa pembelajarannya masih menggunakan metodologi konvensional. Sekolah membelajarkan mapel ini sebagai “proyek penghabisan materi”. Hasilnya, tentu teoritis, bukan unjuk keterampilan berbuat baik—dengan panutan di sekelilingnya. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan baik hanya pada kemampuan kognitif (konsep) moralnya, tetapi miskin pada tataran implementasinya. Ditambah lagi, lingkungan sosial yang cenderung kurang baik, karena dominan memamerkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan teori moral.

Penumbuhan (pembiasaan) literasi juga sama. Ia tidak cukup dintegrasikan dalam mapel dan berakhir dengan angka-angka. Ia harus terus distimulus dan dibiasakan oleh pihak sekolah (guru) dengan menjadi panutan utama. Untuk mengikat guru menjadi panutan literasi, barangkali diperlukan tuntutan administrasi. Misalnya, dengan memasukan bukti fisik literasi sebagai kelengkapan administrasi dalam kenaikan pangkat/ golongan. Persyaratan administratif ini akan mendorong guru untuk terus membaca. Lama-kelamaan, diharapkan dapat menulis buku dan dijadikan stimulus berkarya (literasi) kepada siswa.

Gerakan literasi juga dapat digemakan di sekolah-sekolah dengan menggelar acara-acara yang berbau literasi. Misalnya, sekolah menyelenggarakan pameran literasi, seminar, dan bedah buku dengan mengundang ortu siswa sebagai pesertanya. Partisipasi ortu ini diharapkan dapat menyadarkan mereka melek dan menjadi panutan literasi di keluarga. Di tangan ortu yang melek inilah, mimpi berliterasi anak bisa terwujud.

Jika literasi sudah bertumbuh  pada anak-anak baik dirumah maupun di sekolah, maka belajar tidak akan lagi menjadi “kontrak literasi”. Anak-anak tidak terikat lagi dengan angka-angka dari jerih payah membaca. Mereka akan terbebas dari tekanan “kontrak literasi” yang mementingkan traksasional nilai. Karena mereka akan menyadari bahwa kegiatan literasi merupakan kebiasaan intelek yang bermanfaat, menyenangkan, dan patut dilakoni setiap hari. (Artikel ini pernah dimuat di Harian Bali Post dan Tabloid Tokoh)         


UN Tak Menentukan, Untuk Apa Belajar?


Oleh
I Ketut Serawan

Foto: ujiansekolahsmectra.blospot.com
Tahun ini (2019) barisan peraih nilai UN tinggi tentu merasa sakit hati. Pasalnya, angka-angka fantastis UN hanya menjadi arsip sejarah. Tidak dapat dijadikan arah untuk mencari sekolah. Karena sistem zonasi tidak lagi mempertimbangkan nilai UN, seperti tahun 2018 yang lalu. Sistem zonasi sekarang, murni mengandalkan power jarak, kartu keluarga, kecepatan, dan domisili—yang tak perlu jerih payah. Lalu, “Untuk apa belajar dengan susah-susah?”

Pertanyaan retorik ini mencuat mengingat UN dianggap sebagai klimaks belajar. Masyarakat, orangtua, guru dan (terutama) siswa pasti sepakat bahwa UN adalah momen yang penuh dengan perjuangan. Momen yang menguras ekstra energi, pikiran, waktu, dan biaya. Guru dan siswa menghabiskan hampir seluruh waktu dan tenaganya untuk menghadapi UN. Semuanya demi raihan angka-angka UN yang tinggi. Karena itulah, orangtua rela mengeluarkan biaya besar untuk jam tambahan anak-anaknya, mulai dari sekolah, les di bimbingan belajar, bahkan les privat di rumah. Wajar saja fase-fase persiapan hingga waktu menghadapi UN, orangtua, guru dan siswa merasa lelah, stres hingga depresi.

Jika muncul kebijakan zonasi seperti sekarang, maka sangat wajar (terutama) siswa merasa shock berat. Mereka bukan hanya merasa tidak mendapat apresiasi. Lebih dari itu. Mereka merasa dihianati oleh sistem. Ke depan, penghianatan ini dikhawatirkan menimbulkan “trauma” belajar di kalangan siswa.

Bukan hanya siswa, para guru pun merasa emosional. Mereka merasa kecolongan dan kehilangan semangat mengajar. Sebab, selama ini hasil UN dijadikan barometer kualitas. Angka-angka UN dianggap sebagai cermin (representasi) mutu dari sebuah sekolah. Karena itulah, sekolah tidak main-main menghadapi proyek UN. Keseriusan ini tampak ketika sekolah menyelenggarakan jam tambahan, try out (uji coba), hingga (konon) membentuk tim sukses. Segala strategi dijalankan demi meraih hasil UN dengan sukses. Karena kesuksesan UN akan mendongkrak martabat sekolah, termasuk disdikpora, bupati/ wali kota dan gubernur setempat.

Proyek UN bukan hanya melibatkan siswa dan guru, melainkan para politisi daerah untuk merebut (pencitraan) panggung nasional. Namun kini, panggung UN oleng diterjang badai zonasi. Para siswa dan guru menjadi panik. Konsistensi belajar-mengajar menjadi goyang. Bahkan, banyak dari mereka merasa kehilangan semangat belajar. Lalu, apa jadinya pembelajaran tanpa didukung oleh spirit belajar-mengajar dari pihak siswa dan guru?

Publik pasti membayangkan pembelajaran menjadi asal-asalan. Ujung-ujungnya, pendidikan kita menjadi terpuruk (kelam). Kedengarannya sangat mengerikan. Namun, sekilas halusinasi itu sangat wajar dan rasional. Karena kita lahir, dibesarkan, dan menjadi bagian dari kebijakan UN. Kemudian, tanpa kita sadari (pada diri kita) telah terbangun kultur berpikir bahwa kebijakan UN merupakan sistem penyelamat mutu pendidikan. Solusi jitu atas kompleksitas persoalan yang melanda pendidikan kita.

Kenyataannya,  angka-angka UN tidak mampu menjelaskan kenyataan, kesulitan dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Nilai UN tidak dapat menjelaskan sama sekali apa yang terjadi di lapangan. Nilai UN tidak dapat menjelaskan bagaimana hancurnya sarana pra sarana pendidikan. Pun tidak dapat menjelaskan bagaimana kualitas guru di lapangan (Koesoema, 2008, Kompas, “UN Harus Dihentikan”).

Kebijakan UN mengajarkan kita bagaimana belajar untuk mengejar angka-angka semu sebagai alat transaksi. Transaksi untuk membeli kursi sekolah favorit yang prestisius. Inilah seting besar yang dibangun oleh proyek UN sejak lama. Kasta-kasta sekolah favorit diciptakan dan dipertajam untuk melanggengkan eksistensi proyek UN.

Selain menciptakan pola pikir praktis, instan, deskriminasi, dan transaksional,  kebijakan UN juga merendahkan makna belajar. Kegiatan belajar dijadikan budak untuk mencapai kepentingan (target) sesaat. Karena itulah, seringkali kegiatan pembelajaran digadaikan menjadi proyek kejar tayang. Guru dan siswa menjadi mesin penghabisan materi, dengan format pembelajaran yang gersang, dangkal, dan monoton.

Kegiatan belajar tidak menjadi kebutuhan. Belajar adalah kewajiban berbau pemaksaan dan penindasan. Para siswa terpaksa dan dipaksa belajar dalam suasana penuh tekanan (kekerasan) psikis. Alasan kejar tayang menyebabkan guru seringkali abai dengan pembelajaran yang humanis, kreatif, dan inovatif. Guru lebih berkonsentrasi dan mengutamakan menghabiskan materi dan latihan bank-bank soal. Para siswa dideril dengan materi dan soal-soal melalui cara-cara yang kilat. Mereka dilatih untuk dapat menjawab soal-soal opsi yang teoritis dan berwujud keterampilan semu. Karena imposibel ranah keterampilan konkret dapat dijangkau dari soal-soal opsi model UN.

Momen Otonomi

Bagi guru yang profesional dan berintegritas, lemahnya peran praktis UN justru menjadi kesempatan untuk mengembalikan kemurnian pembelajaran. Guru memiliki otonomi penuh dalam mengeksplorasi pembelajaran menjadi kreatif, inovatif, dan bermanfaat. Namun demikian, tanggung jawab guru justru menjadi lebih besar. Mereka tidak lagi membentuk pribadi siswa yang instan, transaksional, dan memuja angka-angka. Namun, guru harus membentuk pribadi siswa yang terampil (life skill). Ranah terampil inilah yang menjadi cikal bakal siswa untuk berkreativitas dan berproduksi (unjuk karya), walaupun tidak mesti luar biasa. Inilah impian lama yang didambakan oleh guru profesional dan berintegritas. Impian dan sekaligus tantangan bagi guru sekarang.

Dengan melemahkan peran UN, pemerintah sesungguhnya menginginkan guru-guru yang cakap (profesional) di bidangnya. Proyek portofolio, PLPG dan PPG (sekarang) merupakan wujud komitmen pemerintah untuk melahirkan guru-guru yang profesional. Kendati belum sempurna, kita pantas memberikan jempol kepada pemerintah. Karena  pemerintah telah menyadari bahwa bangsa kita sudah tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif. Kita gagal menjadi bangsa yang produktif. Karena selama ini, pendidikan kita berorientasi kepada pembentukan pribadi yang teoretis. Proyek UN merupakan salah satu sang tertuduh, karena mengabaikan aspek psikomotorik.

Jika pemerintah mengabaikan peran UN, berarti ada langkah maju. Ada kesadaran dari pemerintah untuk membangun aspek psikomotorik siswa melalui tangan-tangan guru profesional-berintegritas. Karena itulah, guru profesional pasti menyambut baik atas sikap pemerintah ini. Guru-guru  model ini akan terpacu untuk menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menarik sehingga menyenangkan bagi siswa.

Pembelajaran tidak lagi menjadi kewajiban dengan sejuta tekanan. Akan tetapi, pembelajaran berubah menjadi kebutuhan yang mesti dipenuhi dengan cara humanis (minim tekanan, ramah dan demokratis). Kondisi pembelajaran seperti ini akan didambakan oleh para siswa, karena memiliki daya tarik tinggi. Efeknya, pembelajaran berlangsung seru, tidak membosankan, dan berlalu tanpa terasa. Inilah tantangan menarik bagi guru profesional.

Sebaliknya, guru-guru yang kurang profesional menjadi bingung. Peluang otoritas tidak dapat dimaksimalkan, karena kurang mampu mengelola pembelajaran dengan kreatif dan mandiri. Panggung-panggung pembelajaran menjadi membosankan. Karena cerita penghabisan buku paket, LKS, dan ancaman angka akan selalu mewarnai pembelajaran. Akibatnya, para siswa kehilangan semangat belajar; para guru kehilangan semangat mengajar; dan pembelajaran menjadi hambar.

Jika tidak segera menggenjot diri, maka guru model ini akan menjadi pecundang otoritas. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi pemarah, cuek, dan putus asa sambil ngomel setiap hari, “Untuk apa ada pembelajaran lagi?” (Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar).


Sumber foto: id.depositphotos.com

Coba Anda bayangkan! Anda membaca buku di tengah kerumunan massa, misalnya di sebuah pelabuhan yang padat. Tak ada sisa tempat duduk. Kursi-kursi ruang tunggu penuh. Senderan pantai juga sesak. Lalu, massa calon penumpang rela duduk lesehan di atas lantai hingga tempat parkiran, tanpa alas apa pun. Kita pasti akan menjawab “Tidak”. Pasti tidak nyaman. Terganggu banget. Bahkan, yang agak keras akan mengatakan “Nggak punya kerjaan apa?”

Namun, tidak bagi dua bule yang tak sempat kutanyakan asalnya. Dua sejoli. Kira-kira berumur 20-an. Keduanya, asyik membaca buku sambil sesekali mengambil camilan di pangkuannya. Mereka seolah-olah tidak peduli dengan hiruk-pikuk dan lalu lalang calon (dan atau) penumpang. Pun tidak terpengaruh dengan tatapan mata aneh dari para penumpang domestik.

Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Mentigi, Nusa Penida. Waktu itu H+1 hari raya Saraswati. Puncaknya arus balik dari Pulau Nusa Penida ke Bali daratan. Ribuan calon penumpang, yang dominan domestik, menunggu diseberangkan dengan fast boat ke Pelabuhan Banjar Bias dan Pelabuhan Tribuana, Kusamba, Klungkung. Di antara ribuan calon penumpang itu termasuk aku, istri, dan anakku. Galau menunggu (dari pagi-pagi buta) karena tidak ada kepastian waktu diseberangkan.

Sebetulnya, boat memiliki jadwal pemberangkatan yang pasti. Namun, jika calon penumpang terlalu membludak, maka jadwal otomatis tidak berlaku. Perusahaan transportasi boat akan memberangkatkan begitu saja, tetapi sesuai dengan urutan pemesanan tiket. Entah mungkin lebih awal atau lambat. Tergantung situasi hari itu.

Di sela-sela menunggu itulah, kulihat 2 bule itu sibuk membaca buku. Sementara, aku dan calon penumpang lainnya ngobrol-ngobrol, main HP dan sesekali menatap laut. Sisanya, aku lihat merokok, ngopi, dan makan nasi bungkus untuk menghalau rasa jenuh menunggu.

Hingga pukul 11.30 wita, dua bule itu baru terusik konsentrasi membacanya. “Diberitahukan kepada calon penumpang yang memiliki tiket penyeberangan Boat Gangga No. 18, harap naik ke Boat Gangga 5. Boatnya berada di sebelah timur jembatan. Terima kasih.” Suara loudspeaker menggema dari loket penjualan tiket. Kedua bule itu beranjak menggendong tas rangselnya, jalan dan sambil tetap membaca buku menuju boat yang dimaksud.

Ini bukan kali pertama, aku melihat bule membaca di tempat umum. Sebelumnya, aku juga berkali-kali melihat calon penumpang bule membaca buku di beberapa pelabuhan tradisional fast boat di Nusa Penida maupun di Bali daratan. Pernah juga, aku melihat anak bule membaca buku dalam mobil di Sukawati. Persisnya, di Jalan Raya Sukawati, depan Pasar Sukawati. Waktu itu, kondisi sedang macet. Aku yang ikut terjebak, secara tak sengaja melihat seorang ibu (bule) sedang konsentrasi menyetir mobil. Di sampingnya, duduk seorang anak (usia SD) asik membaca buku. Kemudian, jangan tanya bule-bule yang berjemuran santai di pantai. Biasanya, mereka menikmatinya sambil membaca buku.

Bukan kebetulan apalagi mencari sensasi atau sok pamer. Memanfaatkan waktu sambil membaca bagi para bule tampaknya sudah menjadi kebiasaan. Tentu proses pembudayaan ini sudah berlangsung lama. Buktinya, anak kecil, remaja, dewasa bahkan kakek-nenek pun sudah biasa memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Rasanya, tidak mungkin kita meragukan budaya literasi mereka.

Oh, ya. Aku jadi ingat tahun 90-an. Waktu itu aku masih SMP dan SMA. Masa ketika GPS dan google map belum lahir dalam android. Aku pernah beberapa kali ditanyakan letak suatu daerah oleh bule melalui peta buta (manual) yang dibawanya. Mereka bepergian secara mandiri dengan pedoman membaca selembar peta buta. Kebiasaan ini juga membuktikan bahwa budaya literasinya begitu kuat.

Bagaimana dengan kita? Membaca (apalagi) di tempat umum dianggap tabu. Belum dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Kalau ada, mereka sering disudutkan sebagai kutu buku (culun), dianggap pencintraan, sok pintar, dan stigma miring lainnya.

Stigma-stigma semacam inilah yang mungkin menjadi faktor lemahnya iklim literasi kita. Menurut Program for International Student Asessessment (PISA) pada tahun 2015, peringkat literasi Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara yang disurvei. Sementara itu, ranking performa membaca orang Indonesia berada pada ranking 60 dari 61 negara yang disurvei (Maret 2016). Lebih khusus, UNESCO pernah merilis bahwa tingkat literasi membaca di Indonesia hanya 0,001 %. Artinya, dari 1000 orang hanya 1 orang dengan minat baca tinggi.

Masa Lalu Literasi

Kalau ditengok ke belakang, kita memang memiliki sejarah literasi yang kurang bagus. Dahulu, ketika zaman kerajaan literasi dimonopoli oleh kaum elit penjabat kerajaan, keluarga raja, dan terutama keluarga brahmana (di Bali). Literasi merupakan hal tabu bagi rakyat biasa. Literasi seolah-olah dikapling oleh kaum tertentu. Di Bali misalnya, literasi menjadi milik kaum brahmana. Ini dibuktikan dengan keberadaan (sumber literasi) lontar-lontar yang disimpan di griya (lingkungan rumah kaum brahmana).

Untuk membatasi gerak literasi rakyat biasa, lontar-lontar (sebagai referensi tertulis) tidak diperkenankan dibaca oleh orang sembarangan (maksudnya rakyat biasa). “Sing dadi ngawag-ngawag maca lontar, nyanan bisa buduh” (tidak boleh sembarangan baca lontar, nanti bisa gila). Statemen ini berkembang di intern rakyat biasa. Akibatnya, mereka menjadi takut dan menjauhkan diri dari kegiatan membaca lontar.

Dalam kondisi inilah, rakyat digantung dengan tradisi kelisanan. Mereka dibiarkan tumbuh dalam budaya tutur. Segala bentuk pengetahuan dilisankan atau dituturkan secara turun-temurun, tanpa ruang untuk membaca referensi tertulis (lontar). Di samping memang, banyak yang juga buta aksara.

Griya bukan hanya menjadi sumber literasi utama, tetapi menjadi ahli (ilmuwan) zaman itu. Griya menjadi tempat nunas tutur (nasihat, petunjuk, solusi persoalan hidup, dsb). Karena itulah, hampir semua persoalan sehari-hari (yang tak terpecahkan) dimintakan solusinya atau petunjuknya ke griya. Griya menjadi semacam multiprofesionalisme mulai dari psikiater, tim medis, spiritualis, ahli budaya, astronom, dan lain sebagainya. Karena rakyat jelata biasa menjadikan griya sebagai tempat memecahkan kejiwaan, masalah kesehatan (nunas tamba), upakara, padewasaan (petunjuk hari baik), dan lain-lainnya.

Pembatasan literasi berlanjut ketika memasuki zaman penjajahan. Kaum pribumi yang dominan buta aksara dibiarkan awam berliterasi. Hanya kaum ningrat dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang mengenyam pendidikan, tetapi sangat terbatas. Kebijakan ini tentu tendensius sebagai upaya pelanggengan penjajahan. Karena kaum penjajah sadar, kegiatan literasi menjadi sumber menumbuhkan pola pikir kritis dan analitis. Rawan memunculkan “kesadaran”.

Kaum pribumi dimarginalkan literasinya, sehingga tetap menjadi bodoh, miskin, dan derajat kebangsaannya di bawah kaum penjajah. Jangan-jangan pada zaman kerajaan juga demikian. Kesadaran rakyat sengaja dikerdilkan. Raja diterima sebagai titisan dewa. Posisinya hanya boleh diduduki oleh keturunan raja secara langgeng. Ini adalah anggapan kebenaran yang tidak bisa ditawar lagi. Semuanya, mungkin bermula dari minimnya literasi di kalangan rakyat biasa. Kesadaran rakyat biasa sengaja dijajah sehingga tetap menjadi kaum inferior seperti era penjajahan.
           
Gerakan Literasi Nasional
Untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia, pemerintah Indonesia terus berupaya menekan angka buta aksara. Hingga tahun 2017, Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud mengklaim telah berhasil memberaksarakan masyarakat 97,932 %. Sisanya, yang masih buta aksara mencapai 2,068 % (3,474 juta orang). Angka buta aksara ini menurun dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai 3,56 %.

Kita berharap tren penurunan buta aksara terus terjadi pada tahun-tahun mendatang. Ekspektasi ini tidak berlebihan. Pasalnya, pemerintah sangat serius terhadap persoalan ini, dengan mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (PBA). Diperkuat lagi dengan kebijakan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) pada tahun 2016, implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

GLN merupakan perpanjangan tangan dari gerakan pemberantasan buta aksara. Jika gerakan PBA terfokus pada memberaksarakan (baca-tulis) masyarakat, maka GLN memberdayakan keberaksaraan masyarakat menjadi sebuah kebudayaan. Faktanya, banyak lulusan sekolah formal, informal, dan nonformal belum mampu menjadikan kegiatan membaca (tulis) sebagai sebuah kebiasaan. Artinya, pasca sekolah/ kuliah, mereka tidak lagi menjaga keberlangsungan spirit membacanya. Karena belajar (membaca) sudah dianggap selesai. Dalam konteks inilah, GLN menjadi penting digalakkan.

GLN tidak hanya menjadi kompor membaca bagi siswa/ mahasiswa, termasuk masyarakat umum. GLN menghendaki bahwa membaca sebagai aktivitas sepanjang hayat, tanpa memandang usia dan tempat. Gerakan membaca harus dijaga kapan dan dimana pun. Anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan kakek-nenek harus bisa menjadi panutan literasi. Karena itulah, lingkungan keluarga, lembaga pendidikan termasuk masyarakat harus terus mengupayakan penggadaan fasilitas literasi.

Eksistensi panutan dan fasilitas literasi akan memudahkan kita menularkan virus literasi, sehingga makin hari jumlah pelaku dan panutan literasi kian bertambah. Jumlah ini penting untuk menciptakan iklim budaya literasi yang sehat. Jika demikian adanya, ke depan pemandangan membaca buku di tempat-tempat umum tidak lagi pelakunya didominasi oleh para bule, tetapi  juga dari kalangan masyarakat lokal (domestik).  (Artikel ini pernah dimuat di media online Tatkala.co)


Zonasi, Halusinasi, dan Sekolah Inklusi
Oleh
I Ketut Serawan

Kisruh penerimaan siswa baru seperti sinetron tanpa ujung. Seri kegaduhannya tak pernah habis dari tahun ke tahun baik di tingkat keluarga, masyarakat, sekolah, pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Karena itulah, pemerintah pusat terus dituntut responsif, cerdas, dan dinamis dalam menerbitkan kebijakan tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Belakangan, pemerintah pusat menerbitkan produk terbaru yaitu sistem zonasi dan kini berada dalam panggung “pementasan” publik.

Sistem Zonasi
Lahirnya sistem zonasi merupakan kajian panjang atas kasus-kasus PPDB sebelumnya. Melalui sistem zonasi, pemerintah ingin melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh. Reformasi yang dimaksud adalah pemerataan akses pada layanan pendidikan dan juga pemerataan kualitas pendidikan. Karena selama ini fenomena kastanisasi dan favoritisme dalam pendidikan kita masih kuat. Karena itu, sistem zonasi diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 2016, 2017 dan disempurnakan di tahun 2018 melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018. 

Sistem zonasi tidak serta merta dapat meredam kekisruhan PPDB. Sejumlah kasus kekisruhan tetap saja menggeliat, karena sistem zonasi masih menyimpan beberapa kelemahan yang bersifat elementer. Pertama, munculnya jalur SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) secara berlebihan. Padahal, pasal 16 ayat 1 sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018 [tentang PPDB] tidak ada istilah Jalur SKTM.

Kedua, muncul perpindahan tempat tinggal tiba-tiba, dengan cara menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya di sekolah terdekat. Ketiga, zonasi 90 % menyebabkan sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga, sepi peminat. Sebaliknya, yang dekat pemukiman padat peminatnya.

Akan tetapi, di balik kekurangannya, niat dari sistem zonasi untuk memeratakan layanan dan kualitas pendidikan pantas diacungi jempol. Karena ketimpangan-ketimpangan pendidikan sudah lama terpola. Lucunya, deskriminasi pendidikan ini dipolakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Hingga sekarang, ketimpangan-ketimpangan itu justru tetap diniatkan.

Bagi masyarakat yang meniatkan menganggap bahwa cap sekolah favorit merupakan wadah untuk memompa memotivasi belajar. Kita harus mengakui bahwa sekolah favorit menciptakan iklim persaingan prestasi belajar yang lebih ketat. Iklim persaingan ini dinilai positif mendongkrak disiplin, kerja keras, semangat kompetitif, dan spirit belajar siswa. Sehingga wajar, sekolah favorit telah banyak menciptakan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing.

Reputasi sekolah favorit rupanya tetap masih didambakan oleh masyarakat. Karena pada dasarnya, semua orang tua ingin anaknya mendapatkan layanan pendidikan dan kualitas yang optimal. Oleh karena itulah, sekolah favorit selalu menjadi perburuan bagi masyarakat.

Kastanisasi Sekolah

Kalau jujur, kekisruhan dalam penerimaan siswa baru justru bersumber pada ketimpangan layanan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah tertentu. Munculnya kastanisasi dan favoritisme telah mengubah pola pikir masyarakat sejak lama untuk saling sikut mencari sekolah dambaan (favorit). Mereka melakukan segala upaya demi menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkasta itu. Bahkan, cara-cara curang pun dihalalkan—misalnya, memburu sekolah berkasta dengan arogansi jabatan atau kekuasaan, dengan “surat sakti” (surat rekomendasi dari pejabat yang berpengaruh), membeli kursi dari makelar dengan harga puluhan juta, dan lain sebagainya.

Sistem kastanisasi telah merusak mental masyarakat sejak lama. Kastanisasi sekolah seolah-olah telah menciptakan ambisi, sikap curang, dan pretise yang keblablasan pada masyarakat. Akibatnya, semua sistem atau jalur penerimaan siswa yang dikeluarkan pemerintah selalu tampak lemah, salah, dan berujung pada kekisruhan. Padahal, sejatinya mental masyarakat justru lebih lemah daripada sistem itu sendiri. Namun, masyarakat enggan untuk mengintrospeksi diri. Mereka akan ribut jika merasa dirugikan (dicurangi), tetapi diam manis bila merasa diuntungkan.

Dalam konteks inilah, implemetasi sistem zonasi menjadi penting. Ia sangat diperlukan untuk menyadarkan halusinasi masyarakat tentang kastanisasi sekolah. Pelan-pelan halusinasi ini harus diruntuhkan untuk pendidikan yang berkeadilan dan merata. Bukan berarti sistem zonasi sangat mumpuni mencapai hal tersebut. Sebagai sebuah sistem, zonasi harus terus disempurnakan. Penyempurnakan ini bertujuan untuk meminimalisir kelemah-kelemahan yang ada, misalnya soal spirit belajar.

Alih-alih pemerataan, sistem zonasi justru dapat menciptakan mental malas belajar di kalangan siswa. Karena kesaktian KK seolah-olah meremehkan prestasi belajar siswa. Di sinilah, deskriminasi justru muncul menjadi lebih kuat. Anak-anak yang pintar secara akademik menjadi korban. Mereka harus kalah dengan siswa yang lebih lemah akademiknya, karena persoalan wilayah. Kasus ini mencerminkan nilai pendidikan yang kurang baik.

Sistem zonasi dianggap tidak menghargai kerja keras siswa, karena mengganjal deretan siswa yang rajin dan tekun belajar. Jangan lupa bahwa target jangka pendek siswa belajar (ekstra tekun) ialah meraih sekolah yang diidealkan. Jika sistem zonasi tidak mengapresiasi kondisi ini, ke depan berdampak kepada rendahnya motivasi belajar siswa. Ujung-ujungnya, tentu berpengaruh terhadap rendahnya mental berkompetisi di kalangan generasi muda nantinya.

Akan tetapi, jika sistem favoritisme ini terus dibiarkan maka pelanggaran terhadap pasal 31 UUD 1945 makin menjadi-jadi. Pasal ini menjamin setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak. Artinya, siapa pun orang itu memiliki kesempatan menikmati layanan pendidikan yang sama (atau standar). Selama ini, sistem kastanisasi telah menciptakan pendidikan menjadi kapitalis. Misi sekolah favorit mendidik para siswa menjadi kompetitif pelan-pelan terus mengalami pergeseran. Awalnya dihuni oleh siswa yang berjiwa kompetitif secara akademik, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi hunian siswa berduit. Kemudian, muncullah image sekolah favorit identik dengan siswa berduit.

Pasalnya, label favorit menyebabkan sekolah tersebut berlomba-lomba menaikan biaya pendidikan untuk  alasan kualitas. Di sinilah awal mula topeng kualitas itu diciptakan. Wajah sekolah favorit menjadi momok menakutkan bagi siswa yang lemah secara ekonomi, padahal kemampuan akademiknya sangat mumpuni. Mereka semakin dimarginalkan untuk menikmati pendidikan yang layak di sekolah favorit.

Tampaknya, pemerintah sudah belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu itu. Jadi, muncullah ide sekolah inklusi. Tidak ada lagi sekolah favorit dan tidak favorit. Semua sekolah dianggap standar (sama). Ide berkeadilan ini memang tidak mudah untuk diwujudkan. Karena kenyataannya, ada ketimpangan SDM (tenaga pendidik), sarana prasarana, dan lain-lain pada sekolah tertentu. Oleh karena itulah, ke depan sistem zonasi tidak hanya mengatur quota dan zona siswa saja. Ke depan, sistem zonasi harus mengatur secara merata peningkatan kualitas para pendidik  (guru) dan pemenuhan sarana prasarana, redistribusi dan pembinaan siswa sehingga dapat menghapus label favorit atau tidak favorit.

Publik tentu berharap ide sekolah inklusi ini segera direalisasikan, sehingga cerita kegaduhan-kegaduhan PPDB kian berkurang. Dukungan dari berbagai elemen tentu sangat diharapkan baik dari masyarakat, pengusaha dan terutama dari pemerintah. Pemerintah memiliki tanggung jawab tinggi mewujudkan sekolah inklusi itu dengan aksi nyata, bukan sekadar wacana-wacana yang justru berakhir pada lingkaran kegaduhan.

Mind set publik telanjur terkotak-kotak. Halusinasi publik tentang sekolah favorit telanjur kuat. Karena itulah, beban pemerintah menjadi makin berat. Di satu sisi, pemerintah dituntut ekstra keras untuk mewujudkan sekolah inklusi dengan segera. Di sisi lain, publik masih ingin bermanja-manja dengan halusinasi sekolah favorit.

Dalam konteks inilah, pemerintah mesti total dengan aksi nyata. Sudah waktunya, pemerintah melakukan pemerataan siswa dan sambil memeratakan SDM, sarana serta pra sarana sekolah. Kita harus optimis, pemerintah dapat merealisasikan impian sekolah inklusi itu sehingga publik tidak lagi berebutan sekolah. Kita berharap, publik dapat mengubur halusinasinya dan melambaikan tangan atas cerita-cerita kegaduhan PPDB. Karena pada akhirnya semua sekolah adalah favorit. (Penulis adalah guru swasta di SMP Cipta Dharma Denpasar)




Kreatif Merespon Kelulusan


Oleh
I Ketut Serawan


Foto: pontas.id
Aksi kelulusan yang dilakukan oleh pelajar SMAN 1 Amlapura tahun ini cukup unik. Mereka merayakannya dengan membagi-bagikan nasi bungkus di tiga titik yaitu pasar Karangasem, RSUD Karangasem, dan pertigaan Abang (13/5/19). Aksi yang diunggah oleh akun instagram milik Denny Pradana Putra ini langsung viral dan menuai apresiasi positif dari para nitizen.

Para nitizen menilai bahwa aksi tersebut sangat langka. Pasalnya, tidak banyak pelajar merespon kelulusan dengan aksi positif dan bermanfaat. Biasanya, pelajar merespon kelulusan sebagai sebuah pesta. Pesta dengan mencoret-coret seragam sekolah. Kemudian, melakukan konvoi di jalanan.

Tidak hanya menganggu pengguna jalan, aksi ini seringkali meresahkan warga. Sehingga wajar, tahun lalu (3/5/18) sejumlah warga di Sulteng menghadang dan menyiram rombongan konvoi pelajar dengan air comberan. Beberapa aparat keamanan (polisi) juga sering menangkap para konvoi ini, lalu memberikan berbagai sanksi. Sayangnya, para pelajar tidak pernah menunjukkan sinyal jera. Aksi corat-coret dan konvoi jalanan ini tetap saja menjadi seremonial wajib hingga sekarang.

Seremonial corat-coret seragam dan konvoi di jalanan sudah dianggap sebagai budaya. Ia sangat berpotensial mengalami proses pengulangan pada tahun-tahun mendatang. Bagi pelajar, corat-coret dan konvoi jalanan mungkin semacam “libido musiman” ketika menginjak usia kelulusan. Libido ini seperti wajib untuk diwujudkan (ekspresikan) sehingga telah menjadi ikon perayaan kelulusan.

Budaya Corat-coret Seragam

Mengapa harus dengan corat-coret seragam sekolah? Konon, sejak muncul pada awal tahun 1990-an, budaya corat-coret seragam sekolah ini lahir sebagai simbol kebebasan. Kebebasan atas produk kebijakan pemerintah pusat tentang pendidikan. Salah satunya ialah ebtanas (Evaluasasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Ebtanas dirasakan banyak merampas kebebasan para siswa zaman itu. Pasalnya, menjelang ebtanas para siswa dituntut ekstra persiapan belajar (ekstra stamina/ tenaga, pikiran, mental, waktu dan biaya) untuk mencapai target lulus ebtanas.

Waktu itu, pemerintah pusat berperan sebagai hakim dadakan karena tidak percaya dengan otoritas sekolah. Pemerintah tidak percaya dengan proses pembelajaran guru dan siswa selama 3 tahun di sekolah. Baginya, ada cara ajaib untuk menakar tingkat kemampuan (ilmu) siswa yaitu mengujinya dengan soal-soal versi pemerintah pusat dalam waktu jam-an. Berdasarkan skor yang diraih, simsalabin siswa dinyatakan lulus atau tidak lulus.

Pihak sekolah hanya bisa tunduk, menjadi robot kebijakan pemerintah pusat. Kalau toh ada perlawanan, sekolah hanya mampu mengkarbit semangat belajar siswa dengan berbagai teknik yang serba instan. Teknik-teknik instan ini dipaksakan hingga menimbulkan tekanan belajar berlapis-lapis. Akibatnya, para siswa menjadi lelah, stres, dan depresi.

Barangkali, situasi inilah yang dianggap sebagai penjajahan. Tirani penjajahan ini dianggap runtuh ketika mereka meraih kelulusan. Kelulusan menjadi semacam proklamasi kemerdekaan. Sedangkan, corat-coret pada seragam sekolah mungkin sejenis rumusan idiologi, UUD, bendera, dan lain sebagainya yang sulit dipahami oleh pakar ketatanegaraan sekalipun.

Meskipun demikian, aksi kemerdekaan itu harus tetap mendapat pengakuan dari lingkungan luar. Karena itu, jalanan menjadi pilihan. Pasca corat-coret, para siswa melakukan konvoi di jalanan. Mereka hendak mencari pengakuan (legalitas) dari masyarakat bahwa mereka telah mencapai kemerdekaan. Tamat dari berbagai tekanan kebijakan sekolah, pemerintah, dan ambisi orang tua.

Tampaknya tekanan-tekanan itu tidak hanya dirasakan oleh para siswa tempo dulu, termasuk siswa sekarang. Meskipun UN sudah tidak menentukan kelulusan (hanya sebagai pemetaan), bukan berarti tekanan-tekanan sekolah, pemerintah, dan orang tua sudah berakhir. Tekanan-tekanan itu tetap ada, dalam wujud dan varian yang berbeda. Barangkali inilah yang menguatkan budaya corat-coret seragam dan konvoi jalanan masih bertahan--meskipun sekarang sudah dianggap kurang relevan.

Publik menilai bahwa pesta corat-coret seragam dan konvoi jalanan tidak murni sebagai ekspresi kebebasan ala tahun 1990-an. Sekarang, interpretasi perayaannya sudah mengarah kepada pamer arogansi. Arogansi ini terlihat ketika mereka bergerombol memenuhi badan jalan, menerobos traffic light, dan kebut-kebutan (tanpa helm dan suara knalpot motor yang memekakan telinga).

Aksi konvoi tersebut sangat merugikan tidak hanya bagi pengendara umum, termasuk pelajar itu sendiri. Karena berisiko mengancam kenyamanan psikis hingga keselamatan (nyawa) seseorang. Di samping itu, aksi konvoi jalanan juga riskan menimbulkan benturan fisik atau perkelahian. Oleh karena itulah, publik menjadi kurang bersimpati terhadap perayaan kelulusan. Publik menilai bahwa perayaan kelulusan bersifat memaksakan (ego) kebebasan sepihak. Para pelajar puas melampiaskan kebebasan, tetapi merampas kebebasan orang lain.

Begitu juga dengan kasus coret-coret seragam sekolah. Mereka lebih mementingkan kepuasan sendiri, tanpa peduli lingkungan sekitar. Padahal, baju seragam itu dapat disumbangkan kepada orang yang membutuhkan. Namun, pelajar lebih senang mengumbar gaya hidup boros dengan mengecatnya dengan spidol atau cat pylox.

Kelulusan dan Kreativitas

Baik corat-coret maupun berkonvoi, sudah telanjur dipandang memiliki citra negatif sekarang. Tradisi perayaan ini hanya bersifat warisan dan dirasakan kurang relevan. Perspektif ini berkembang mengingat publik memiliki kesadaran lain tentang makna perayaan kelulusan. Publik beranggapan bahwa respon kebebasan tidak mesti tunggal dan bersifat ikut-ikutan. Artinya, perayaan kebebasan pada momen kelulusan tidak harus dengan aksi vandalisme dan konvoi di jalanan.

Ada banyak cara kreatif dalam merespon makna kebebasan atau kelulusan itu. Salah satunya ialah membagi-bagikan nasi bungkus kepada orang yang membutuhkan, seperti yang dilakukan oleh para pelajar asal SMAN 1 Amlapura kemarin.

Aksi sosial pelajar SMAN 1 Amlapura ini mengandung beberapa tafsir modern tentang memaknai kelulusan. Pertama, perayaan kelulusan (kebebasan) tidak boleh dimaknai sebagai pesta yang sepihak. Ketika para pelajar merayakan kesenangan/ kebebasan, tidak boleh mengabaikan kebebasan orang lain. Kalau bisa, libatkan orang lain untuk ikut merasakan kesenangan itu.

Kedua, pelajar memiliki respon kreatif terhadap perayaan yang monoton. Mereka beranggapan bahwa ide-ide kreatif sangat dibutuhkan untuk melahirkan nuansa perayaan yang berbeda dari sebelumnya. Bentuk-bentuk kreatif itu sekaligus akan mencerminkan kualitas karakter SDM pelajar itu sendiri.

Ketiga, pelajar memiliki idealisme. Mereka memiliki konsep-konsep atau nilai kebenaran yang berdaya guna. Sayangnya, idealisme-idealisme ini jarang dikembangkan di dalam kelas. Sekolah sering mengerdilkannya dengan ruang dan iklim yang kurang kondusif.

Keempat, pelajar memiliki keberanian dan komitmen untuk berbuat baik. Bertindak berbeda (walaupun baik/ benar) dari biasanya membutuhkan keberanian, karena seringkali akan mendapat cemooh, cibiran, cap pencitraan dan lain sebagainya. Risiko ini pasti sudah dipikirkan oleh para pelajar SMAN 1 Amlapura kemarin. Mereka membuktikan bahwa remaja berani memberi atau menjadi contoh positif dengan segala konsekuensinya.

Kelima, menghapus image negatif perayaan kelulusan. Kesan hura-hura, brutal, tidak tahu aturan, ikut-ikutan dan tidak kreatif menjadi cair ketika sekelompok pelajar dari SMAN 1 Amlapura mampu merayakannya dengan ramah dan humanis. Artinya, tidak benar image negatif itu ditujukan kepada para pelajar. Ada sekelompok pelajar yang memiliki karakter positif dalam merespon perayaan kelulusan (kebebasan) itu.

Agar semakin banyak jumlahnya, mereka membutuhkan stimulus dan dukungan dari berbagai pihak baik dari sekolah, dinas pendidikan, masyarakat, para nitizen, dan media massa. Elemen-elemen ini harus saling mendukung baik secara material maupun moral, sehingga perayaan yang bersifat positif dijadikan tren di kalangan pelajar.

Para nitizen dan media massa harus berperan aktif menyebarluaskan bentuk-bentuk kegiatan kelulusan yang positif untuk menenggelamkan informasi-informasi perayaan yang bersifat negatif. Jika dibiasakan, kita yakin para pelajar akan terpacu untuk merancang (merespon) perayaan-perayaan kelulusan yang lebih kreatif dan berdaya guna.

Dalam konteks inilah, peran sekolah, pemerintah, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Ketiga komponen ini dapat dijadikan mitra diskusi oleh pelajar untuk merancang format kegiatan kelulusan yang lebih kreatif dan inovatif. Hal ini bertujuan untuk menemukan “bentuk-bentuk ekspresi” yang relevan, sehingga ke depan seremonial kelulusan kian mendapat simpati dari masyarakat. Penulis adalah guru swasta di Denpasar.