Zonasi, Halusinasi, dan Sekolah Inklusi
Oleh
I Ketut Serawan
Kisruh
penerimaan siswa baru seperti sinetron tanpa ujung. Seri kegaduhannya tak
pernah habis dari tahun ke tahun baik di tingkat keluarga, masyarakat, sekolah,
pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Karena itulah, pemerintah pusat terus
dituntut responsif, cerdas, dan dinamis dalam menerbitkan kebijakan tentang Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB). Belakangan, pemerintah pusat menerbitkan produk
terbaru yaitu sistem zonasi dan kini berada dalam panggung “pementasan” publik.
Sistem Zonasi
Lahirnya sistem zonasi merupakan kajian
panjang atas kasus-kasus PPDB sebelumnya. Melalui sistem zonasi, pemerintah ingin melakukan reformasi
sekolah secara menyeluruh. Reformasi yang dimaksud adalah pemerataan akses pada
layanan pendidikan dan juga pemerataan kualitas pendidikan. Karena selama ini
fenomena kastanisasi dan favoritisme dalam pendidikan kita masih kuat. Karena
itu, sistem zonasi diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 2016, 2017 dan
disempurnakan di tahun 2018 melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018.
Sistem zonasi tidak serta merta
dapat meredam kekisruhan PPDB. Sejumlah kasus kekisruhan tetap saja menggeliat,
karena sistem zonasi masih menyimpan beberapa kelemahan yang bersifat elementer. Pertama, munculnya jalur
SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) secara berlebihan. Padahal, pasal 16 ayat 1
sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018 [tentang PPDB] tidak ada istilah Jalur
SKTM.
Kedua, muncul perpindahan tempat tinggal
tiba-tiba, dengan cara menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya di sekolah
terdekat. Ketiga, zonasi 90 % menyebabkan sekolah yang jauh dari konsentrasi
pemukiman warga, sepi peminat. Sebaliknya, yang dekat pemukiman padat
peminatnya.
Akan tetapi,
di balik kekurangannya, niat dari sistem zonasi untuk memeratakan layanan dan
kualitas pendidikan pantas diacungi jempol. Karena ketimpangan-ketimpangan
pendidikan sudah lama terpola. Lucunya, deskriminasi pendidikan ini dipolakan oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Hingga sekarang,
ketimpangan-ketimpangan itu justru tetap diniatkan.
Bagi
masyarakat yang meniatkan menganggap bahwa cap sekolah favorit merupakan wadah
untuk memompa memotivasi belajar. Kita harus mengakui bahwa sekolah favorit
menciptakan iklim persaingan prestasi belajar yang lebih ketat. Iklim
persaingan ini dinilai positif mendongkrak disiplin, kerja keras, semangat
kompetitif, dan spirit belajar siswa. Sehingga wajar, sekolah favorit telah
banyak menciptakan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing.
Reputasi
sekolah favorit rupanya tetap masih didambakan oleh masyarakat. Karena pada
dasarnya, semua orang tua ingin anaknya mendapatkan layanan pendidikan dan
kualitas yang optimal. Oleh karena itulah, sekolah favorit selalu menjadi perburuan
bagi masyarakat.
Kastanisasi Sekolah
Kalau jujur, kekisruhan dalam penerimaan
siswa baru justru bersumber pada ketimpangan layanan dan kualitas pendidikan di
sekolah-sekolah tertentu. Munculnya kastanisasi dan favoritisme telah mengubah
pola pikir masyarakat sejak lama untuk saling sikut mencari sekolah dambaan
(favorit). Mereka melakukan segala upaya demi menyekolahkan anaknya di sekolah
yang berkasta itu. Bahkan, cara-cara curang pun dihalalkan—misalnya, memburu
sekolah berkasta dengan arogansi jabatan atau kekuasaan, dengan “surat sakti”
(surat rekomendasi dari pejabat yang berpengaruh), membeli kursi dari makelar
dengan harga puluhan juta, dan lain sebagainya.
Sistem
kastanisasi telah merusak mental masyarakat sejak lama. Kastanisasi sekolah
seolah-olah telah menciptakan ambisi, sikap curang, dan pretise yang
keblablasan pada masyarakat. Akibatnya, semua sistem atau jalur penerimaan
siswa yang dikeluarkan pemerintah selalu tampak lemah, salah, dan berujung pada
kekisruhan. Padahal, sejatinya mental masyarakat justru lebih lemah daripada
sistem itu sendiri. Namun, masyarakat enggan untuk mengintrospeksi diri. Mereka
akan ribut jika merasa dirugikan (dicurangi), tetapi diam manis bila merasa
diuntungkan.
Dalam
konteks inilah, implemetasi sistem zonasi menjadi penting. Ia sangat diperlukan
untuk menyadarkan halusinasi masyarakat tentang kastanisasi sekolah.
Pelan-pelan halusinasi ini harus diruntuhkan untuk pendidikan yang berkeadilan
dan merata. Bukan berarti sistem zonasi sangat mumpuni mencapai hal tersebut.
Sebagai sebuah sistem, zonasi harus terus disempurnakan. Penyempurnakan ini
bertujuan untuk meminimalisir kelemah-kelemahan yang ada, misalnya soal spirit
belajar.
Alih-alih pemerataan, sistem zonasi justru
dapat menciptakan mental malas belajar di kalangan siswa. Karena kesaktian KK
seolah-olah meremehkan prestasi belajar siswa. Di sinilah, deskriminasi justru
muncul menjadi lebih kuat. Anak-anak yang pintar secara akademik menjadi
korban. Mereka harus kalah dengan siswa yang lebih lemah akademiknya, karena
persoalan wilayah. Kasus ini mencerminkan nilai pendidikan yang kurang baik.
Sistem zonasi dianggap tidak menghargai
kerja keras siswa, karena mengganjal deretan siswa yang rajin dan tekun
belajar. Jangan lupa bahwa target jangka pendek siswa belajar (ekstra tekun)
ialah meraih sekolah yang diidealkan. Jika sistem zonasi tidak mengapresiasi
kondisi ini, ke depan berdampak kepada rendahnya motivasi belajar siswa. Ujung-ujungnya,
tentu berpengaruh terhadap rendahnya mental berkompetisi di kalangan generasi
muda nantinya.
Akan tetapi,
jika sistem favoritisme ini terus dibiarkan maka pelanggaran terhadap pasal 31
UUD 1945 makin menjadi-jadi. Pasal ini menjamin setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan yang layak. Artinya, siapa pun orang itu memiliki
kesempatan menikmati layanan pendidikan yang sama (atau standar). Selama ini, sistem
kastanisasi telah menciptakan pendidikan menjadi kapitalis. Misi sekolah
favorit mendidik para siswa menjadi kompetitif pelan-pelan terus mengalami
pergeseran. Awalnya dihuni oleh siswa yang berjiwa kompetitif secara akademik,
tetapi lama-kelamaan berubah menjadi hunian siswa berduit. Kemudian, muncullah image sekolah favorit identik dengan
siswa berduit.
Pasalnya, label favorit menyebabkan sekolah
tersebut berlomba-lomba menaikan biaya pendidikan untuk alasan kualitas. Di sinilah awal mula topeng
kualitas itu diciptakan. Wajah sekolah favorit menjadi momok menakutkan bagi
siswa yang lemah secara ekonomi, padahal kemampuan akademiknya sangat mumpuni. Mereka
semakin dimarginalkan untuk menikmati pendidikan yang layak di sekolah favorit.
Tampaknya,
pemerintah sudah belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu itu. Jadi,
muncullah ide sekolah inklusi. Tidak ada lagi sekolah favorit dan tidak
favorit. Semua sekolah dianggap standar (sama). Ide berkeadilan ini memang
tidak mudah untuk diwujudkan. Karena kenyataannya, ada ketimpangan SDM (tenaga
pendidik), sarana prasarana, dan lain-lain pada sekolah tertentu. Oleh karena
itulah, ke depan sistem zonasi tidak hanya mengatur quota dan zona siswa saja.
Ke depan, sistem zonasi harus mengatur secara merata peningkatan kualitas
para pendidik (guru) dan pemenuhan sarana
prasarana, redistribusi dan pembinaan siswa sehingga dapat menghapus label
favorit atau tidak favorit.
Publik tentu berharap
ide sekolah inklusi ini segera direalisasikan, sehingga cerita
kegaduhan-kegaduhan PPDB kian berkurang. Dukungan dari berbagai elemen tentu
sangat diharapkan baik dari masyarakat, pengusaha dan terutama dari pemerintah.
Pemerintah memiliki tanggung jawab tinggi mewujudkan sekolah inklusi itu dengan
aksi nyata, bukan sekadar wacana-wacana yang justru berakhir pada lingkaran kegaduhan.
Mind set publik telanjur
terkotak-kotak. Halusinasi publik tentang sekolah favorit telanjur kuat. Karena
itulah, beban pemerintah menjadi makin berat. Di satu sisi, pemerintah dituntut
ekstra keras untuk mewujudkan sekolah inklusi dengan segera. Di sisi lain,
publik masih ingin bermanja-manja dengan halusinasi sekolah favorit.
Dalam konteks inilah, pemerintah mesti total
dengan aksi nyata. Sudah waktunya, pemerintah melakukan pemerataan siswa dan
sambil memeratakan SDM, sarana serta pra sarana sekolah. Kita harus optimis,
pemerintah dapat merealisasikan impian sekolah inklusi itu sehingga publik
tidak lagi berebutan sekolah. Kita berharap, publik dapat mengubur
halusinasinya dan melambaikan tangan atas cerita-cerita kegaduhan PPDB. Karena pada
akhirnya semua sekolah adalah favorit. (Penulis
adalah guru swasta di SMP Cipta Dharma Denpasar)
Bagus pak Tut...lanjutkan berkreativitas dan berinovasi.
BalasHapusSuksma apresiasi, motivasi dan supportnya, Pak.
HapusKeren, Pak Tut👍
BalasHapus