UN
Tak Menentukan, Untuk Apa Belajar?
Oleh
I
Ketut Serawan
Foto: ujiansekolahsmectra.blospot.com |
Pertanyaan
retorik ini mencuat mengingat UN dianggap sebagai klimaks belajar. Masyarakat, orangtua,
guru dan (terutama) siswa pasti sepakat bahwa UN adalah momen yang penuh dengan
perjuangan. Momen yang menguras ekstra energi, pikiran, waktu, dan biaya. Guru
dan siswa menghabiskan hampir seluruh waktu dan tenaganya untuk menghadapi UN. Semuanya
demi raihan angka-angka UN yang tinggi. Karena itulah, orangtua rela
mengeluarkan biaya besar untuk jam tambahan anak-anaknya, mulai dari sekolah,
les di bimbingan belajar, bahkan les privat di rumah. Wajar saja fase-fase
persiapan hingga waktu menghadapi UN, orangtua, guru dan siswa merasa lelah, stres
hingga depresi.
Jika
muncul kebijakan zonasi seperti sekarang, maka sangat wajar (terutama) siswa
merasa shock berat. Mereka bukan
hanya merasa tidak mendapat apresiasi. Lebih dari itu. Mereka merasa dihianati
oleh sistem. Ke depan, penghianatan ini dikhawatirkan menimbulkan “trauma”
belajar di kalangan siswa.
Bukan
hanya siswa, para guru pun merasa emosional. Mereka merasa kecolongan dan
kehilangan semangat mengajar. Sebab, selama ini hasil UN dijadikan barometer
kualitas. Angka-angka UN dianggap sebagai cermin (representasi) mutu dari
sebuah sekolah. Karena itulah, sekolah tidak main-main menghadapi proyek UN.
Keseriusan ini tampak ketika sekolah menyelenggarakan jam tambahan, try out (uji coba), hingga (konon)
membentuk tim sukses. Segala strategi dijalankan demi meraih hasil UN dengan
sukses. Karena kesuksesan UN akan mendongkrak martabat sekolah, termasuk
disdikpora, bupati/ wali kota dan gubernur setempat.
Proyek
UN bukan hanya melibatkan siswa dan guru, melainkan para politisi daerah untuk
merebut (pencitraan) panggung nasional. Namun kini, panggung UN oleng diterjang
badai zonasi. Para siswa dan guru menjadi panik. Konsistensi belajar-mengajar
menjadi goyang. Bahkan, banyak dari mereka merasa kehilangan semangat belajar.
Lalu, apa jadinya pembelajaran tanpa didukung oleh spirit belajar-mengajar dari
pihak siswa dan guru?
Publik
pasti membayangkan pembelajaran menjadi asal-asalan. Ujung-ujungnya, pendidikan
kita menjadi terpuruk (kelam). Kedengarannya sangat mengerikan. Namun, sekilas
halusinasi itu sangat wajar dan rasional. Karena kita lahir, dibesarkan, dan
menjadi bagian dari kebijakan UN. Kemudian, tanpa kita sadari (pada diri kita)
telah terbangun kultur berpikir bahwa kebijakan UN merupakan sistem penyelamat
mutu pendidikan. Solusi jitu atas kompleksitas persoalan yang melanda
pendidikan kita.
Kenyataannya,
angka-angka UN tidak mampu menjelaskan
kenyataan, kesulitan dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Nilai
UN tidak dapat menjelaskan sama sekali apa yang terjadi di lapangan. Nilai UN tidak
dapat menjelaskan bagaimana hancurnya sarana pra sarana pendidikan. Pun tidak
dapat menjelaskan bagaimana kualitas guru di lapangan (Koesoema, 2008, Kompas,
“UN Harus Dihentikan”).
Kebijakan
UN mengajarkan kita bagaimana belajar untuk mengejar angka-angka semu sebagai
alat transaksi. Transaksi untuk membeli kursi sekolah favorit yang prestisius. Inilah
seting besar yang dibangun oleh proyek UN sejak lama. Kasta-kasta sekolah
favorit diciptakan dan dipertajam untuk melanggengkan eksistensi proyek UN.
Selain
menciptakan pola pikir praktis, instan, deskriminasi, dan transaksional, kebijakan UN juga merendahkan makna belajar.
Kegiatan belajar dijadikan budak untuk mencapai kepentingan (target) sesaat.
Karena itulah, seringkali kegiatan pembelajaran digadaikan menjadi proyek kejar
tayang. Guru dan siswa menjadi mesin penghabisan materi, dengan format
pembelajaran yang gersang, dangkal, dan monoton.
Kegiatan
belajar tidak menjadi kebutuhan. Belajar adalah kewajiban berbau pemaksaan dan
penindasan. Para siswa terpaksa dan dipaksa belajar dalam suasana penuh tekanan
(kekerasan) psikis. Alasan kejar tayang menyebabkan guru seringkali abai dengan
pembelajaran yang humanis, kreatif, dan inovatif. Guru lebih berkonsentrasi dan
mengutamakan menghabiskan materi dan latihan bank-bank soal. Para siswa dideril
dengan materi dan soal-soal melalui cara-cara yang kilat. Mereka dilatih untuk
dapat menjawab soal-soal opsi yang teoritis dan berwujud keterampilan semu.
Karena imposibel ranah keterampilan konkret dapat dijangkau dari soal-soal opsi
model UN.
Momen
Otonomi
Bagi guru yang profesional
dan berintegritas, lemahnya peran praktis UN justru menjadi kesempatan untuk
mengembalikan kemurnian pembelajaran. Guru memiliki otonomi penuh dalam mengeksplorasi
pembelajaran menjadi kreatif, inovatif, dan bermanfaat. Namun demikian, tanggung
jawab guru justru menjadi lebih besar. Mereka tidak lagi membentuk pribadi
siswa yang instan, transaksional, dan memuja angka-angka. Namun, guru harus
membentuk pribadi siswa yang terampil (life skill). Ranah terampil inilah yang
menjadi cikal bakal siswa untuk berkreativitas dan berproduksi (unjuk karya),
walaupun tidak mesti luar biasa. Inilah impian lama yang didambakan oleh guru
profesional dan berintegritas. Impian dan sekaligus tantangan bagi guru
sekarang.
Dengan
melemahkan peran UN, pemerintah sesungguhnya menginginkan guru-guru yang cakap
(profesional) di bidangnya. Proyek portofolio, PLPG dan PPG (sekarang)
merupakan wujud komitmen pemerintah untuk melahirkan guru-guru yang
profesional. Kendati belum sempurna, kita pantas memberikan jempol kepada
pemerintah. Karena pemerintah telah
menyadari bahwa bangsa kita sudah tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif. Kita
gagal menjadi bangsa yang produktif. Karena selama ini, pendidikan kita
berorientasi kepada pembentukan pribadi yang teoretis. Proyek UN merupakan
salah satu sang tertuduh, karena mengabaikan aspek psikomotorik.
Jika
pemerintah mengabaikan peran UN, berarti ada langkah maju. Ada kesadaran dari
pemerintah untuk membangun aspek psikomotorik siswa melalui tangan-tangan guru
profesional-berintegritas. Karena itulah, guru profesional pasti menyambut baik
atas sikap pemerintah ini. Guru-guru
model ini akan terpacu untuk menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif,
inovatif dan menarik sehingga menyenangkan bagi siswa.
Pembelajaran
tidak lagi menjadi kewajiban dengan sejuta tekanan. Akan tetapi, pembelajaran
berubah menjadi kebutuhan yang mesti dipenuhi dengan cara humanis (minim
tekanan, ramah dan demokratis). Kondisi pembelajaran seperti ini akan
didambakan oleh para siswa, karena memiliki daya tarik tinggi. Efeknya,
pembelajaran berlangsung seru, tidak membosankan, dan berlalu tanpa terasa.
Inilah tantangan menarik bagi guru profesional.
Sebaliknya,
guru-guru yang kurang profesional menjadi bingung. Peluang otoritas tidak dapat
dimaksimalkan, karena kurang mampu mengelola pembelajaran dengan kreatif dan mandiri.
Panggung-panggung pembelajaran menjadi membosankan. Karena cerita penghabisan
buku paket, LKS, dan ancaman angka akan selalu mewarnai pembelajaran. Akibatnya,
para siswa kehilangan semangat belajar; para guru kehilangan semangat mengajar;
dan pembelajaran menjadi hambar.
Jika
tidak segera menggenjot diri, maka guru model ini akan menjadi pecundang
otoritas. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi pemarah, cuek, dan putus asa sambil ngomel
setiap hari, “Untuk apa ada pembelajaran lagi?” (Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma
Denpasar).
Setuju... Tiadakan UN. Kelulusan siswa jadi otoritas satuan pendidikan. Jangan lagi ada predikat "sekolah favorit".
BalasHapusWah, sama idenya, Pak. Terima kasih atas apresiasinya, Pak De. Semoga pendidikan kita makin berkembang lebih baik.
HapusSemoga kualitas pendidikan di Indonesia semakin stabil dan mantap untuk bisa menghasilkan input siswa yang handal dan berkualitas
BalasHapusAmin. Terima kasi atas apresiasinya, Bu guru hebat. Kita mesti optimis, pendidikan di Indonesia akan lebih baik pada masa mendatang.
HapusSebelum ujian Sekolah Tahun ini, ini yang saya pesankan ke anak-anak yang saya ajar:
BalasHapusUntuk Anak-Anak Cerdas IXA1 Tercinta!
Selamat menyiapkan Ujian Akhir Tahun Pelajaran!
Hari raya tetap kita rayakan, belajar tetap kita teruskan!
Mungkin kalian sering dengar omongan nyleneh : "Ngapain susah-susah belajar udah pasti lulus!"
Jangan termakan kata-kata seperti itu, saat ini kalian sedang merancang masa depan, jika diandaikan dengan membangun rumah, kalian sedang mengerjakan fondasinya saat ini. Kuat tidaknya rumah kalian sangat ditentukan oleh fondasi yang kalian buat, betapapun mewah dan bagusnya bagian atas (karna misalnya kalian anak orang kaya) maka rumah kalian akan rapuh dan siap ditertjang badai atau gempa di suatu saat!
Maka belajarlah sungguh-sungguh, lupakan ungkapan miring yang bisa menjerumuskan kalian.
Sekali lagi, bukan nilai yang berwujud angka-angka semata atau ijazah sekalipun yang sesungguhnya kalian perlukan, tapi ilmu, keterampilan dan sikap yang terbangun dalam memori otak Kalian, diri Kalian, yang akan membantu kalian memecahkan masalah hidup, melahirkan inovasi dari realitas kehidupan ini, bahkan puncaknya adalah berkreasi dari analogi hidup dan kehidupan ini. Masa remaja adalah puncak dari menyiapkan diri, tidak bisa diulang suatu saat nanti, ia akan menjadi angin lalu jika Kalian menyia-nyiakan. Dan penyesalan tak pernah bermanfaat banyak, selain akan megecilkan diri sendiri.
Bermain, berekreasi adalah juga bagian penting dari upaya membangun pribadi yang tangguh, teguh dan tahan uji.
Maka aturlah secara proporsional agar masa remajamu tetap indah dan bermanfaat bagi masa depan.
Kalian anak-anak cerdas kebanggaan kami. Tidak ada kebahagiaan yang istimewa melebihi kebahagiaan saat mendapati kalian meraih sukses.
Kami tidak pernah peduli kalian anak siapa, di mata kami, kalian adalah tunas bangsa milik kami yang akan mengisi dan membangun Inonesia yang lebih baik di masa datang, menjadi kebanggaan keluarga dan diri sendiri.
Hidup baru berarti jika Kalian bisa memberi manfaat bagi diri sendiri, lingkunan dan masyarakat.
"Kerasi dirimu dalam kenyataan saat ini, sebelum suatu saat kenyataan berlaku keras terhadap dirimu"
Selamat Berjuang Anak-anaku, doa kami selalu menyertaimu.
Ini baru top markotop. Sangat beruntung para siswa dapat guru begini, Pak. Pasti mereka senang dan bahagia. Terus memberi inspirasi kepada anak didik, pak!
Hapus