Minggu, 25 Agustus 2019


UN Tak Menentukan, Untuk Apa Belajar?


Oleh
I Ketut Serawan

Foto: ujiansekolahsmectra.blospot.com
Tahun ini (2019) barisan peraih nilai UN tinggi tentu merasa sakit hati. Pasalnya, angka-angka fantastis UN hanya menjadi arsip sejarah. Tidak dapat dijadikan arah untuk mencari sekolah. Karena sistem zonasi tidak lagi mempertimbangkan nilai UN, seperti tahun 2018 yang lalu. Sistem zonasi sekarang, murni mengandalkan power jarak, kartu keluarga, kecepatan, dan domisili—yang tak perlu jerih payah. Lalu, “Untuk apa belajar dengan susah-susah?”

Pertanyaan retorik ini mencuat mengingat UN dianggap sebagai klimaks belajar. Masyarakat, orangtua, guru dan (terutama) siswa pasti sepakat bahwa UN adalah momen yang penuh dengan perjuangan. Momen yang menguras ekstra energi, pikiran, waktu, dan biaya. Guru dan siswa menghabiskan hampir seluruh waktu dan tenaganya untuk menghadapi UN. Semuanya demi raihan angka-angka UN yang tinggi. Karena itulah, orangtua rela mengeluarkan biaya besar untuk jam tambahan anak-anaknya, mulai dari sekolah, les di bimbingan belajar, bahkan les privat di rumah. Wajar saja fase-fase persiapan hingga waktu menghadapi UN, orangtua, guru dan siswa merasa lelah, stres hingga depresi.

Jika muncul kebijakan zonasi seperti sekarang, maka sangat wajar (terutama) siswa merasa shock berat. Mereka bukan hanya merasa tidak mendapat apresiasi. Lebih dari itu. Mereka merasa dihianati oleh sistem. Ke depan, penghianatan ini dikhawatirkan menimbulkan “trauma” belajar di kalangan siswa.

Bukan hanya siswa, para guru pun merasa emosional. Mereka merasa kecolongan dan kehilangan semangat mengajar. Sebab, selama ini hasil UN dijadikan barometer kualitas. Angka-angka UN dianggap sebagai cermin (representasi) mutu dari sebuah sekolah. Karena itulah, sekolah tidak main-main menghadapi proyek UN. Keseriusan ini tampak ketika sekolah menyelenggarakan jam tambahan, try out (uji coba), hingga (konon) membentuk tim sukses. Segala strategi dijalankan demi meraih hasil UN dengan sukses. Karena kesuksesan UN akan mendongkrak martabat sekolah, termasuk disdikpora, bupati/ wali kota dan gubernur setempat.

Proyek UN bukan hanya melibatkan siswa dan guru, melainkan para politisi daerah untuk merebut (pencitraan) panggung nasional. Namun kini, panggung UN oleng diterjang badai zonasi. Para siswa dan guru menjadi panik. Konsistensi belajar-mengajar menjadi goyang. Bahkan, banyak dari mereka merasa kehilangan semangat belajar. Lalu, apa jadinya pembelajaran tanpa didukung oleh spirit belajar-mengajar dari pihak siswa dan guru?

Publik pasti membayangkan pembelajaran menjadi asal-asalan. Ujung-ujungnya, pendidikan kita menjadi terpuruk (kelam). Kedengarannya sangat mengerikan. Namun, sekilas halusinasi itu sangat wajar dan rasional. Karena kita lahir, dibesarkan, dan menjadi bagian dari kebijakan UN. Kemudian, tanpa kita sadari (pada diri kita) telah terbangun kultur berpikir bahwa kebijakan UN merupakan sistem penyelamat mutu pendidikan. Solusi jitu atas kompleksitas persoalan yang melanda pendidikan kita.

Kenyataannya,  angka-angka UN tidak mampu menjelaskan kenyataan, kesulitan dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Nilai UN tidak dapat menjelaskan sama sekali apa yang terjadi di lapangan. Nilai UN tidak dapat menjelaskan bagaimana hancurnya sarana pra sarana pendidikan. Pun tidak dapat menjelaskan bagaimana kualitas guru di lapangan (Koesoema, 2008, Kompas, “UN Harus Dihentikan”).

Kebijakan UN mengajarkan kita bagaimana belajar untuk mengejar angka-angka semu sebagai alat transaksi. Transaksi untuk membeli kursi sekolah favorit yang prestisius. Inilah seting besar yang dibangun oleh proyek UN sejak lama. Kasta-kasta sekolah favorit diciptakan dan dipertajam untuk melanggengkan eksistensi proyek UN.

Selain menciptakan pola pikir praktis, instan, deskriminasi, dan transaksional,  kebijakan UN juga merendahkan makna belajar. Kegiatan belajar dijadikan budak untuk mencapai kepentingan (target) sesaat. Karena itulah, seringkali kegiatan pembelajaran digadaikan menjadi proyek kejar tayang. Guru dan siswa menjadi mesin penghabisan materi, dengan format pembelajaran yang gersang, dangkal, dan monoton.

Kegiatan belajar tidak menjadi kebutuhan. Belajar adalah kewajiban berbau pemaksaan dan penindasan. Para siswa terpaksa dan dipaksa belajar dalam suasana penuh tekanan (kekerasan) psikis. Alasan kejar tayang menyebabkan guru seringkali abai dengan pembelajaran yang humanis, kreatif, dan inovatif. Guru lebih berkonsentrasi dan mengutamakan menghabiskan materi dan latihan bank-bank soal. Para siswa dideril dengan materi dan soal-soal melalui cara-cara yang kilat. Mereka dilatih untuk dapat menjawab soal-soal opsi yang teoritis dan berwujud keterampilan semu. Karena imposibel ranah keterampilan konkret dapat dijangkau dari soal-soal opsi model UN.

Momen Otonomi

Bagi guru yang profesional dan berintegritas, lemahnya peran praktis UN justru menjadi kesempatan untuk mengembalikan kemurnian pembelajaran. Guru memiliki otonomi penuh dalam mengeksplorasi pembelajaran menjadi kreatif, inovatif, dan bermanfaat. Namun demikian, tanggung jawab guru justru menjadi lebih besar. Mereka tidak lagi membentuk pribadi siswa yang instan, transaksional, dan memuja angka-angka. Namun, guru harus membentuk pribadi siswa yang terampil (life skill). Ranah terampil inilah yang menjadi cikal bakal siswa untuk berkreativitas dan berproduksi (unjuk karya), walaupun tidak mesti luar biasa. Inilah impian lama yang didambakan oleh guru profesional dan berintegritas. Impian dan sekaligus tantangan bagi guru sekarang.

Dengan melemahkan peran UN, pemerintah sesungguhnya menginginkan guru-guru yang cakap (profesional) di bidangnya. Proyek portofolio, PLPG dan PPG (sekarang) merupakan wujud komitmen pemerintah untuk melahirkan guru-guru yang profesional. Kendati belum sempurna, kita pantas memberikan jempol kepada pemerintah. Karena  pemerintah telah menyadari bahwa bangsa kita sudah tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif. Kita gagal menjadi bangsa yang produktif. Karena selama ini, pendidikan kita berorientasi kepada pembentukan pribadi yang teoretis. Proyek UN merupakan salah satu sang tertuduh, karena mengabaikan aspek psikomotorik.

Jika pemerintah mengabaikan peran UN, berarti ada langkah maju. Ada kesadaran dari pemerintah untuk membangun aspek psikomotorik siswa melalui tangan-tangan guru profesional-berintegritas. Karena itulah, guru profesional pasti menyambut baik atas sikap pemerintah ini. Guru-guru  model ini akan terpacu untuk menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menarik sehingga menyenangkan bagi siswa.

Pembelajaran tidak lagi menjadi kewajiban dengan sejuta tekanan. Akan tetapi, pembelajaran berubah menjadi kebutuhan yang mesti dipenuhi dengan cara humanis (minim tekanan, ramah dan demokratis). Kondisi pembelajaran seperti ini akan didambakan oleh para siswa, karena memiliki daya tarik tinggi. Efeknya, pembelajaran berlangsung seru, tidak membosankan, dan berlalu tanpa terasa. Inilah tantangan menarik bagi guru profesional.

Sebaliknya, guru-guru yang kurang profesional menjadi bingung. Peluang otoritas tidak dapat dimaksimalkan, karena kurang mampu mengelola pembelajaran dengan kreatif dan mandiri. Panggung-panggung pembelajaran menjadi membosankan. Karena cerita penghabisan buku paket, LKS, dan ancaman angka akan selalu mewarnai pembelajaran. Akibatnya, para siswa kehilangan semangat belajar; para guru kehilangan semangat mengajar; dan pembelajaran menjadi hambar.

Jika tidak segera menggenjot diri, maka guru model ini akan menjadi pecundang otoritas. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi pemarah, cuek, dan putus asa sambil ngomel setiap hari, “Untuk apa ada pembelajaran lagi?” (Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar).

6 komentar:

  1. Setuju... Tiadakan UN. Kelulusan siswa jadi otoritas satuan pendidikan. Jangan lagi ada predikat "sekolah favorit".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, sama idenya, Pak. Terima kasih atas apresiasinya, Pak De. Semoga pendidikan kita makin berkembang lebih baik.

      Hapus
  2. Semoga kualitas pendidikan di Indonesia semakin stabil dan mantap untuk bisa menghasilkan input siswa yang handal dan berkualitas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin. Terima kasi atas apresiasinya, Bu guru hebat. Kita mesti optimis, pendidikan di Indonesia akan lebih baik pada masa mendatang.

      Hapus
  3. Sebelum ujian Sekolah Tahun ini, ini yang saya pesankan ke anak-anak yang saya ajar:
    Untuk Anak-Anak Cerdas IXA1 Tercinta!

    Selamat menyiapkan Ujian Akhir Tahun Pelajaran!

    Hari raya tetap kita rayakan, belajar tetap kita teruskan!

    Mungkin kalian sering dengar omongan nyleneh : "Ngapain susah-susah belajar udah pasti lulus!"

    Jangan termakan kata-kata seperti itu, saat ini kalian sedang merancang masa depan, jika diandaikan dengan membangun rumah, kalian sedang mengerjakan fondasinya saat ini. Kuat tidaknya rumah kalian sangat ditentukan oleh fondasi yang kalian buat, betapapun mewah dan bagusnya bagian atas (karna misalnya kalian anak orang kaya) maka rumah kalian akan rapuh dan siap ditertjang badai atau gempa di suatu saat!

    Maka belajarlah sungguh-sungguh, lupakan ungkapan miring yang bisa menjerumuskan kalian.

    Sekali lagi, bukan nilai yang berwujud angka-angka semata atau ijazah sekalipun yang sesungguhnya kalian perlukan, tapi ilmu, keterampilan dan sikap yang terbangun dalam memori otak Kalian, diri Kalian, yang akan membantu kalian memecahkan masalah hidup, melahirkan inovasi dari realitas kehidupan ini, bahkan puncaknya adalah berkreasi dari analogi hidup dan kehidupan ini. Masa remaja adalah puncak dari menyiapkan diri, tidak bisa diulang suatu saat nanti, ia akan menjadi angin lalu jika Kalian menyia-nyiakan. Dan penyesalan tak pernah bermanfaat banyak, selain akan megecilkan diri sendiri.

    Bermain, berekreasi adalah juga bagian penting dari upaya membangun pribadi yang tangguh, teguh dan tahan uji.
    Maka aturlah secara proporsional agar masa remajamu tetap indah dan bermanfaat bagi masa depan.

    Kalian anak-anak cerdas kebanggaan kami. Tidak ada kebahagiaan yang istimewa melebihi kebahagiaan saat mendapati kalian meraih sukses.

    Kami tidak pernah peduli kalian anak siapa, di mata kami, kalian adalah tunas bangsa milik kami yang akan mengisi dan membangun Inonesia yang lebih baik di masa datang, menjadi kebanggaan keluarga dan diri sendiri.

    Hidup baru berarti jika Kalian bisa memberi manfaat bagi diri sendiri, lingkunan dan masyarakat.

    "Kerasi dirimu dalam kenyataan saat ini, sebelum suatu saat kenyataan berlaku keras terhadap dirimu"

    Selamat Berjuang Anak-anaku, doa kami selalu menyertaimu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini baru top markotop. Sangat beruntung para siswa dapat guru begini, Pak. Pasti mereka senang dan bahagia. Terus memberi inspirasi kepada anak didik, pak!

      Hapus