Minggu, 25 Agustus 2019



Sumber foto: id.depositphotos.com

Coba Anda bayangkan! Anda membaca buku di tengah kerumunan massa, misalnya di sebuah pelabuhan yang padat. Tak ada sisa tempat duduk. Kursi-kursi ruang tunggu penuh. Senderan pantai juga sesak. Lalu, massa calon penumpang rela duduk lesehan di atas lantai hingga tempat parkiran, tanpa alas apa pun. Kita pasti akan menjawab “Tidak”. Pasti tidak nyaman. Terganggu banget. Bahkan, yang agak keras akan mengatakan “Nggak punya kerjaan apa?”

Namun, tidak bagi dua bule yang tak sempat kutanyakan asalnya. Dua sejoli. Kira-kira berumur 20-an. Keduanya, asyik membaca buku sambil sesekali mengambil camilan di pangkuannya. Mereka seolah-olah tidak peduli dengan hiruk-pikuk dan lalu lalang calon (dan atau) penumpang. Pun tidak terpengaruh dengan tatapan mata aneh dari para penumpang domestik.

Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Mentigi, Nusa Penida. Waktu itu H+1 hari raya Saraswati. Puncaknya arus balik dari Pulau Nusa Penida ke Bali daratan. Ribuan calon penumpang, yang dominan domestik, menunggu diseberangkan dengan fast boat ke Pelabuhan Banjar Bias dan Pelabuhan Tribuana, Kusamba, Klungkung. Di antara ribuan calon penumpang itu termasuk aku, istri, dan anakku. Galau menunggu (dari pagi-pagi buta) karena tidak ada kepastian waktu diseberangkan.

Sebetulnya, boat memiliki jadwal pemberangkatan yang pasti. Namun, jika calon penumpang terlalu membludak, maka jadwal otomatis tidak berlaku. Perusahaan transportasi boat akan memberangkatkan begitu saja, tetapi sesuai dengan urutan pemesanan tiket. Entah mungkin lebih awal atau lambat. Tergantung situasi hari itu.

Di sela-sela menunggu itulah, kulihat 2 bule itu sibuk membaca buku. Sementara, aku dan calon penumpang lainnya ngobrol-ngobrol, main HP dan sesekali menatap laut. Sisanya, aku lihat merokok, ngopi, dan makan nasi bungkus untuk menghalau rasa jenuh menunggu.

Hingga pukul 11.30 wita, dua bule itu baru terusik konsentrasi membacanya. “Diberitahukan kepada calon penumpang yang memiliki tiket penyeberangan Boat Gangga No. 18, harap naik ke Boat Gangga 5. Boatnya berada di sebelah timur jembatan. Terima kasih.” Suara loudspeaker menggema dari loket penjualan tiket. Kedua bule itu beranjak menggendong tas rangselnya, jalan dan sambil tetap membaca buku menuju boat yang dimaksud.

Ini bukan kali pertama, aku melihat bule membaca di tempat umum. Sebelumnya, aku juga berkali-kali melihat calon penumpang bule membaca buku di beberapa pelabuhan tradisional fast boat di Nusa Penida maupun di Bali daratan. Pernah juga, aku melihat anak bule membaca buku dalam mobil di Sukawati. Persisnya, di Jalan Raya Sukawati, depan Pasar Sukawati. Waktu itu, kondisi sedang macet. Aku yang ikut terjebak, secara tak sengaja melihat seorang ibu (bule) sedang konsentrasi menyetir mobil. Di sampingnya, duduk seorang anak (usia SD) asik membaca buku. Kemudian, jangan tanya bule-bule yang berjemuran santai di pantai. Biasanya, mereka menikmatinya sambil membaca buku.

Bukan kebetulan apalagi mencari sensasi atau sok pamer. Memanfaatkan waktu sambil membaca bagi para bule tampaknya sudah menjadi kebiasaan. Tentu proses pembudayaan ini sudah berlangsung lama. Buktinya, anak kecil, remaja, dewasa bahkan kakek-nenek pun sudah biasa memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Rasanya, tidak mungkin kita meragukan budaya literasi mereka.

Oh, ya. Aku jadi ingat tahun 90-an. Waktu itu aku masih SMP dan SMA. Masa ketika GPS dan google map belum lahir dalam android. Aku pernah beberapa kali ditanyakan letak suatu daerah oleh bule melalui peta buta (manual) yang dibawanya. Mereka bepergian secara mandiri dengan pedoman membaca selembar peta buta. Kebiasaan ini juga membuktikan bahwa budaya literasinya begitu kuat.

Bagaimana dengan kita? Membaca (apalagi) di tempat umum dianggap tabu. Belum dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Kalau ada, mereka sering disudutkan sebagai kutu buku (culun), dianggap pencintraan, sok pintar, dan stigma miring lainnya.

Stigma-stigma semacam inilah yang mungkin menjadi faktor lemahnya iklim literasi kita. Menurut Program for International Student Asessessment (PISA) pada tahun 2015, peringkat literasi Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara yang disurvei. Sementara itu, ranking performa membaca orang Indonesia berada pada ranking 60 dari 61 negara yang disurvei (Maret 2016). Lebih khusus, UNESCO pernah merilis bahwa tingkat literasi membaca di Indonesia hanya 0,001 %. Artinya, dari 1000 orang hanya 1 orang dengan minat baca tinggi.

Masa Lalu Literasi

Kalau ditengok ke belakang, kita memang memiliki sejarah literasi yang kurang bagus. Dahulu, ketika zaman kerajaan literasi dimonopoli oleh kaum elit penjabat kerajaan, keluarga raja, dan terutama keluarga brahmana (di Bali). Literasi merupakan hal tabu bagi rakyat biasa. Literasi seolah-olah dikapling oleh kaum tertentu. Di Bali misalnya, literasi menjadi milik kaum brahmana. Ini dibuktikan dengan keberadaan (sumber literasi) lontar-lontar yang disimpan di griya (lingkungan rumah kaum brahmana).

Untuk membatasi gerak literasi rakyat biasa, lontar-lontar (sebagai referensi tertulis) tidak diperkenankan dibaca oleh orang sembarangan (maksudnya rakyat biasa). “Sing dadi ngawag-ngawag maca lontar, nyanan bisa buduh” (tidak boleh sembarangan baca lontar, nanti bisa gila). Statemen ini berkembang di intern rakyat biasa. Akibatnya, mereka menjadi takut dan menjauhkan diri dari kegiatan membaca lontar.

Dalam kondisi inilah, rakyat digantung dengan tradisi kelisanan. Mereka dibiarkan tumbuh dalam budaya tutur. Segala bentuk pengetahuan dilisankan atau dituturkan secara turun-temurun, tanpa ruang untuk membaca referensi tertulis (lontar). Di samping memang, banyak yang juga buta aksara.

Griya bukan hanya menjadi sumber literasi utama, tetapi menjadi ahli (ilmuwan) zaman itu. Griya menjadi tempat nunas tutur (nasihat, petunjuk, solusi persoalan hidup, dsb). Karena itulah, hampir semua persoalan sehari-hari (yang tak terpecahkan) dimintakan solusinya atau petunjuknya ke griya. Griya menjadi semacam multiprofesionalisme mulai dari psikiater, tim medis, spiritualis, ahli budaya, astronom, dan lain sebagainya. Karena rakyat jelata biasa menjadikan griya sebagai tempat memecahkan kejiwaan, masalah kesehatan (nunas tamba), upakara, padewasaan (petunjuk hari baik), dan lain-lainnya.

Pembatasan literasi berlanjut ketika memasuki zaman penjajahan. Kaum pribumi yang dominan buta aksara dibiarkan awam berliterasi. Hanya kaum ningrat dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang mengenyam pendidikan, tetapi sangat terbatas. Kebijakan ini tentu tendensius sebagai upaya pelanggengan penjajahan. Karena kaum penjajah sadar, kegiatan literasi menjadi sumber menumbuhkan pola pikir kritis dan analitis. Rawan memunculkan “kesadaran”.

Kaum pribumi dimarginalkan literasinya, sehingga tetap menjadi bodoh, miskin, dan derajat kebangsaannya di bawah kaum penjajah. Jangan-jangan pada zaman kerajaan juga demikian. Kesadaran rakyat sengaja dikerdilkan. Raja diterima sebagai titisan dewa. Posisinya hanya boleh diduduki oleh keturunan raja secara langgeng. Ini adalah anggapan kebenaran yang tidak bisa ditawar lagi. Semuanya, mungkin bermula dari minimnya literasi di kalangan rakyat biasa. Kesadaran rakyat biasa sengaja dijajah sehingga tetap menjadi kaum inferior seperti era penjajahan.
           
Gerakan Literasi Nasional
Untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia, pemerintah Indonesia terus berupaya menekan angka buta aksara. Hingga tahun 2017, Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud mengklaim telah berhasil memberaksarakan masyarakat 97,932 %. Sisanya, yang masih buta aksara mencapai 2,068 % (3,474 juta orang). Angka buta aksara ini menurun dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai 3,56 %.

Kita berharap tren penurunan buta aksara terus terjadi pada tahun-tahun mendatang. Ekspektasi ini tidak berlebihan. Pasalnya, pemerintah sangat serius terhadap persoalan ini, dengan mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (PBA). Diperkuat lagi dengan kebijakan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) pada tahun 2016, implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

GLN merupakan perpanjangan tangan dari gerakan pemberantasan buta aksara. Jika gerakan PBA terfokus pada memberaksarakan (baca-tulis) masyarakat, maka GLN memberdayakan keberaksaraan masyarakat menjadi sebuah kebudayaan. Faktanya, banyak lulusan sekolah formal, informal, dan nonformal belum mampu menjadikan kegiatan membaca (tulis) sebagai sebuah kebiasaan. Artinya, pasca sekolah/ kuliah, mereka tidak lagi menjaga keberlangsungan spirit membacanya. Karena belajar (membaca) sudah dianggap selesai. Dalam konteks inilah, GLN menjadi penting digalakkan.

GLN tidak hanya menjadi kompor membaca bagi siswa/ mahasiswa, termasuk masyarakat umum. GLN menghendaki bahwa membaca sebagai aktivitas sepanjang hayat, tanpa memandang usia dan tempat. Gerakan membaca harus dijaga kapan dan dimana pun. Anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan kakek-nenek harus bisa menjadi panutan literasi. Karena itulah, lingkungan keluarga, lembaga pendidikan termasuk masyarakat harus terus mengupayakan penggadaan fasilitas literasi.

Eksistensi panutan dan fasilitas literasi akan memudahkan kita menularkan virus literasi, sehingga makin hari jumlah pelaku dan panutan literasi kian bertambah. Jumlah ini penting untuk menciptakan iklim budaya literasi yang sehat. Jika demikian adanya, ke depan pemandangan membaca buku di tempat-tempat umum tidak lagi pelakunya didominasi oleh para bule, tetapi  juga dari kalangan masyarakat lokal (domestik).  (Artikel ini pernah dimuat di media online Tatkala.co)

17 komentar:

  1. Masalah : Stigma miring literasi ditempat umum.
    Solusi : Literasi dijadikan pengisi waktu luang/santai disegala kegiatan.
    Sesuatu Baru : Kalangan formal, informal, dan nonformal menjadikan literasi sebagai kebiasaan tanpa takut muncul stigma negatif.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeees...Anda layak dapat bintang. Analisis nya keren

      Hapus
  2. 1. Dari paragraf "Untuk membatasi gerak literasi rakyat biasa, lontar-lontar (sebagai referensi tertulis) tidak diperkenankan dibaca oleh orang sembarangan (maksudnya rakyat biasa). “Sing dadi ngawag-ngawag maca lontar, nyanan bisa buduh” (tidak boleh sembarangan baca lontar, nanti bisa gila). Statemen ini berkembang di intern rakyat biasa. Akibatnya, mereka menjadi takut dan menjauhkan diri dari kegiatan membaca lontar." saya pernah mengalami sendiri waktu itu SD kelas 6, di rumah di sanggah gede akan diadakan piodalan kemudian Pakyan saya ingin membaca lontar yang ada di Kawitan namun tiba-tiba Buyut (Kumpi) yang masih hidup tiba-tiba kerauhan (kesurupan) yang meminta agar lontar tersebut jangan dibaca dan dilarang. Kepercayaan saya dulu itu memang leluhur yang melarang, tapi ke belakang saya menyadari ini adalah ketakutan yang memang ditanamkan oleh elit penjajah dahulu untuk membodohkan masyarakat pribumi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeees....Anda layak dapat bintang. Komentar plus pengalaman pribadi. Tapi, larangan membaca juga ada hubungannya dengan ketidaksiapan pembaca.

      Hapus
  3. "Membaca dikerumuman masa" jauh dri harapan kita dizaman sekarang ini krn canggihnya teknologi yg sudah menyediakan banyak aplikasi...dengan membawa satu media kita sudah mendapat banyak informasi...jadi literasi masyarakat kita terabaikan...budaya barat berbeda dgn budaya timur tidak bs kita samakan dalam dasar pemikiran kita

    BalasHapus
  4. masalah utama : sebagian orang menganggap literasi tidak bisa di lukakan dimana saja
    solusi :perbanyak tempat literasi dimana pun jika kaitan sedang menunggu
    kesadaran baru dari tulisan : dimana saja bisa melakukan kegiatan literasi (membaca)

    BalasHapus
  5. 1. Membaca (apalagi) di tempat umum dianggap tabu. Belum dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar
    2. GLN tidak hanya menjadi kompor membaca bagi siswa/ mahasiswa, termasuk masyarakat umum. GLN menghendaki bahwa membaca sebagai aktivitas sepanjang hayat, tanpa memandang usia dan tempat. Gerakan membaca harus dijaga kapan dan dimana pun.
    3. Eksistensi panutan dan fasilitas literasi akan memudahkan kita menularkan virus literasi, sehingga makin hari jumlah pelaku dan panutan literasi kian bertambah. Jumlah ini penting untuk menciptakan iklim budaya literasi yang sehat.

    BalasHapus
  6. 1. permasalaham umumnya masyarkat indonesia sangat rendah budaya literasinya berdasarkan data UNESCO
    2. Solusi bisa mencontoh karakter bule yang selalu memanfaatkan waktu luang untuk bisa menbaca walau dalam situasi rame.
    3.Kesadaran baru yang bisa di munculkan dengan era digitalisasi kita bisa bangkit lagi untuk bisa ber literasi baik anak anak dan orang tua

    BalasHapus
  7. 1. Pada saat itu apakah semua keturunan griya gemar membaca? atau mungkin salah satu keturunan griya yang ditunjuk?
    2.Untuk mengatasi pembatasan belajar maka diadakan perpus disekolah dan perpus keliling ( sehingga semua kalangan terbiasa membaca)
    3. Ternyata banyak manfaat yang kita peroleh dengan banyak membaca berbagai buku.Ilmu kita dapatkan punya nilai lebih.

    BalasHapus
  8. Permasalahn utama yang diangkat dlm tulisan tsb adalah :
    membaca buku di tengah kerumunan massa, misalnya di sebuah pelabuhan yang padat. Tak ada sisa tempat duduk. Kursi-kursi ruang tunggu penuh.

    Solusi yang ditawarkan utk mengatasi permasalahan tsb yaitu :
    Pemerintah kita agar tidak henti-hentinya menggaungkan gerakan literasi membaca di kalangan masayarakat kita (Indonesia) agar sadar bahwa membaca itu merupakan sesuatu yang menyenangkan dan banyak menfaat yang didapatkan.

    Kesadaran baru yang tdk terpikirkan sebelumnya yaitu ;
    Gerakan literasi membaca tidak mengenal tempat, ruang dan waktu

    BalasHapus
  9. untuk membaca ini diperlukan kesenangan untuk membaca dan tidak memandang umur dan tidak diperlukan cerita yang bagus2 tetapi sekarang bagaimana caranya agar kita mau dan suka membaca

    BalasHapus
  10. Selamat datang di dunia +62....
    Kata ini sering terdengar belakangan ini, karena masyarakat/netijen melihat realita bahwa ada hal-hal yang memang seharusnya diketahui tetapi sengaja ditutupi karena ada oknum yang berkepentingan dibalik itu. Ada hak kita yang sengaja di cut, masyarakat sengaja dibungkam. Dimana lagi letak kebebasan berpendapat dan tempat menyampaikan aspirasi dari masyarakat jika semuanya dikekang?

    BalasHapus
  11. Negara Barat membaca sudah menjadi kerakter dan merupakan suatu kebiasaan setiap orang dan setiap detik waktu adalah membaca,sedangkan di indonesia kebiasaan membaca belum menjadi tren karena di indonesia kalau membaca di anggap kita orang pintar (di bully).sehingga orang indonesia enggan untuk membaca.

    BalasHapus
  12. Masalah: Lemahnya iklim literasi kita
    Budaya literasi dapat dilakukan dimana saja, tidak menutup kemungkinan di tempat umum.budaya literasi dijadikan untuk mengisi waktu luang.
    Gerakan literasi dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan bangsa-bangsa di dunia dengan berupaya menekan angka buta aksara.

    BalasHapus
  13. kita merasa malu sebagai bangsa indonesia yang mendudki pringkat 60 dari 61 negara. untuk itu mau tidak mau kita harus meniru si bule itu yang tidak mengenal waktu dan tempat . dan kita sebaiknya menyediakan waktu untuk membaca,serta peran serta ortu sangat penting

    BalasHapus
  14. 1Pada zaman kerajaan budaya literasi untuk kalangan rakyat biasa dibatasi,sehingga rendahnya budaya literasi
    2.literasi tidak memandang usia, tempat,status, dan waktu luang bisa kita manfaatkan untuk literasi
    3.kita sebaiknya membudidayakan literasi itu dimana saja, dan kapan saja,artinya literasi sepanjang masa,sepanjang hayat dan literasi harus dijadikan kebiasaan

    BalasHapus
  15. 1. permasalahan umum kesadaran literasi masih kurang, sedang orang bule tidak mengenal waktu tempat usia untuk berliterasi
    2. meningkatkan literasi melalui berbagai cara atau panutan dari orang tua
    3. indonesia masih berada pada peringkat literasi yang rendah berdasarkan catatan UNESCO.

    BalasHapus