Meretas
Kegamangan Bertoleransi pada Kasus UAS
Oleh
I
Ketut Serawan, S.Pd.
Upaya
preventif yang dilakukan beberapa ormas di Bali terhadap Ustadz Abdul Somad
(UAS) justru berujung blunder.
Sejumlah ormas di Bali dilaporkan atas tindakan persekusi oleh kubu UAS. Citra
persekusi ini langsung membawa sterotip bahwa masyarakat Bali jatuh pada
predikat intoleransi. Sebuah predikat yang kurang realistis dengan “gelar
daerah pariwisata dunia” yang disandang Bali selama ini. Dikatakan kurang
realistis, karena faktanya hingga kini Bali sangat terbuka dengan semua tamu,
termasuk dengan tokoh-tokoh dunia sekaliber Salman (raja Arab). Namun,
perkecualian dengan UAS.
Penolakan UAS didasarkan
pada kekhawatiran masyarakat Bali terhadap efek negatif dari khotbah-khotbahnya
yang agresif, radikal, rasis, dan antipancasila serta NKRI. Beberapa jejak
video ceramahnya yang viral di medsos, menimbulkan kontroversi di kalangan umat
lain dan termasuk umat muslim moderat.
Pasalnya, ceramah-ceramah UAS sering menyinggung dan merendahkan keyakinan umat
lain. Tidak hanya itu, UAS juga dengan gamblang menyatakan dirinya sebagai pendukung
khilafah. Sayangnya, branding rasisme
dan khilafah justru menjadikan UAS kian komoditif. Belakangan, rating ustads asal Riau ini kian
melonjak. Kian banyak pengikutnya memberhalakan UAS. Jadi, wajarlah sejumlah
ormas di Bali khawatir dengan kondisi real ini. Sejumlah ormas Bali (termasuk
masyarakat) khawatir UAS menjadi penyulut api sara, radikalisme, menggoyak
ideologi pancasila, dan disintegrasi bernegara di Bali. Prasangka ini mesti
dimaklumi, mengingat pariwisata Bali pernah porak-poranda oleh tragedi Bom Bali
I dan II, yang menyisakan trauma sejarah pada masyarakat Bali.
Sumber
Kegamangan Toleransi
Apa pun alasannya, kubu
UAS tetap memandang bahwa dirinya mempunyai hak untuk melakukan ceramah
keagamaan di seluruh nusantara, termasuk di Bali. Jika ada pihak yang
menghalangi (melarang), mereka cukup melontarkan statemen emosional yakni
“intoleran”. Dari sinilah persoalan menjadi gamang. Kegamangan ini disebabkan
oleh beberapa faktor.
Pertama, belum adanya
landasan yuridis (yang jelas) untuk menakar kadar kecintaan individual terhadap
pancasila dan NKRI. Itulah sebabnya, UAS dengan jumawa menyatakan dirinya cinta
pancasila dan NKRI karena sudah lulus tes P4 sewaktu lolos menjadi dosen.
Lucunya lagi, ia menyatakan bahwa dirinya hapal pancasila. Pembelaan yang
menurut penulis maaf “kekanak-kanakan”. Karena tes P4 yang kedaluarsa dan hapal
pancasila hanya sebatas teori dan bibir. Begitu juga ketika mengetes UAS dengan
mencium bendera dan menyanyikan lagu Indonenesia Raya. Sungguh tidak akurat
dijadikan tolok ukur sebagai pribadi yang cinta pancasila dan NKRI secara
integratif. Namun, sekali lagi sah-sah saja UAS mengatakan cinta pancasila dan
NKRI dengan pembelaan modelnya sendiri. Karena belum ada kriteria yuridis untuk
menakar kecintaan seseorang terhadap ideologi pancasila dan NKRI.
Kedua, belum adanya
standar kredibilitas dan integritas seorang penceramah (pemuka agama). Hal ini
membuat seseorang bisa sembarangan menyandang predikat sebagai pemuka agama
(baca: penceramah). Cukup dengan mengubah penampilan fisik, bisa mengutip
ayat-ayat suci, lancar berkomunikasi di depan publik dan punya pendukung, maka
seseorang bisa mendapatkan hak untuk berceramah. Tidak penting konten
ceramahnya bernilai universal, bermanfaat, menyejukkan, rasional dan lain
sebagainya. Sebaliknya, yang terpenting bisa menyanjung keyakinan sendiri,
sedikit meremehkan keyakinan lain, dan menyentuh emosional pendengar walaupun
dengan cara provokatif. Fenomena ini masih menggejala di tengah-tengah
masyarakat sekarang.
Ketiga, terjadi
pemelintiran fakta untuk kepentingan tertentu. Baik ormas maupun masyarakat Bali
boleh saja mengklaim diri sebagai pribadi yang toleran. Sebab negosiasi
toleransi berakhir pada jaminan keselamatan UAS hingga dapat menggelar ceramah
dengan aman dan lancar di Bali. Namun, pihak UAS tidak mengapresiasi ini
sebagai sebuah sikap toleransi. Bahkan pihak UAS sengaja menyembunyikan deretan
fakta ini kepada publik untuk mendongkrak kredibilitas dan popularitasnya. Pihak
UAS lebih mengedepankan aksi pemaksaan penciuman bendera, menyanyikan lagu
Indonesia Raya dan tongkat komando dari salah satu ormas di Bali. Peristiwa
inilah yang mungkin dianggap sebagai sebuah tindakan persekusi. Padahal, bentuk
perisitiwa ini merupakan model testing kecintaan berideologi dan bernegara
model ormas di Bali.
Keempat, masih banyak
penganut yang kurang rasional. Penganut kurang rasional sering bergerak atas
keyakinan yang bersifat emosional. Mereka tidak memiliki kemampuan memfilterisasi
informasi yang diperolehnya. Rasionalnya digerakkan oleh seorang yang
ditokohkan. Jadi, kalau ada seseorang yang disegani (dihormati) dipuja,
diikuti, dan dibela secara membabi buta (tanpa cacat). Model penganut ini
relatif mudah dicuci otaknya dan menjadi sumber kerawanan bertoleransi, karena
gampang tersinggung, radikal, dan merasa paling benar.
Meretas
Kegamangan Toleransi
Kegamangan bertoleransi
berdampak pada gesekan antara umat, termasuk gangguan integrasi bernegara.
Tanggung jawab kita untuk meretas kasus ini dengan standar toleransi yang
jelas, terukur, dan akuntabel. Toleransi harus dirumuskan mendekati universal,
bisa diterima oleh pihak mana pun secara proposional, sehingga tidak melenceng
dari makna hakikinya. Dalam konteks inilah, pemerintah harus hadir. Pihak
pemerintah dapat menggandeng berbagai elemen masyarakat untuk berani merumuskan
rancangan (format yuridis) tentang kecintaan berideologi, berbangsa dan
bernegara. Produk yuridis ini dapat dijadikan dasar legal untuk menolak atau
menerima seseorang menggelar ceramah di bumi nusantara.
Menolak atau menerima
penceramah juga dapat ditimbang dari kredibilitas seorang penceramah. Sebagai
publik figur, seorang penceramah wajib memiliki legalitas berceramah di depan
publik. Oleh karena itulah, penceramah harus memiliki sertifikasi yang
dikeluarkan oleh pihak yang kompeten (misalnya, departemen keagamaan RI).
Sertifikasi ini berlaku untuk semua penceramah atau pemuka agama. Sebelum lulus
sertifikasi, seorang penceramah (pemuka agama) tidak boleh menggelar ceramah di
depan publik. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan produk penceramah yang
dewasa, humanis, matang wawasan dan keilmuannya, serta berintegritas. Efeknya,
umat betul-betul mendapatkan isi ceramah yang bernilai dan bermanfaat bagi
kehidupannya sehari-hari.
Pemuka agama
(penceramah) yang berkualitas (sudah tersertifikasi) akan mengurangi jumlah
penganut yang irasional. Sebab, penceramah yang berkualitas lebih mengedepankan
rasionalitas berkeyakinan (agama) daripada menggoreng isu sara murahan.
Kematangan berkeyakinan yang rasional lebih mudah dicapai apabila didukung
dengan budaya literasi yang tinggi di kalangan penganut agama. Artinya, sebelum
mendengarkan ceramah, penganut sudah membekali diri dengan membaca dan menggali
tema yang diceramahkan. Budaya literasi ini juga membentuk otoritas diri
sehingga dapat selektif dalam menangkap konten ceramah dari sang penceramah.
Untuk kepastian
toleransi, semua pihak harus satu tekad mewujudkannya. Kita dukung semua
komponen yang kompeten untuk merealisasikan rancangan yuridus tentang toleransi
yang proposional. Semoga toleransi tidak mengalami cedera akibat sering
dimonopoli oleh kelompok tertentu dengan berbagai dalil. Kita tidak ingin, pasca
Bali, cerita kegamangan bertoleransi masih berlanjut di daerah lain. Penulis, guru swasta (SMP Cipta Dharma) di Denpasar.
0 komentar:
Posting Komentar