Pariwisata
dan Geliat Pebisnis Lokal di Nusa Penida
Oleh
I
Ketut Serawan
Pesatnya
perkembangan pariwisata di Pulau Nusa Penida membuat masyarakat lokal tidak
tinggal diam. Mereka berlomba-lomba membangun peluang usaha pariwisata mulai
dari jasa sewa kendaraan, travel agent,
jasa snorkeling, hingga bisnis akomodasi
seperti rumah makan dan penginapan. Respon ini merupakan langkah konkret
masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif menjadi pelaku pariwisata, bukan
sebagai penonton.
Maraknya
bisnis pariwisata ini sangat terlihat (secara kasat mata), terutama dalam
bidang perakomodasian. Pertumbuhannya kini sangat signifikan. Rumah makan dan
penginapan mulai bermunculan. Kian hari, jumlahnya terus bertambah. Tidak hanya
di daerah pesisir, termasuk sepanjang jalan utama, perbukitan, lahan pertanian
atau ladang-ladang bahkan di daerah pemukiman penduduk.
Peta pertumbuhannya pun
hampir merata di 3 belahan Pulau Nusa Penida yaitu wilayah timur, barat, dan selatan.
Ketiga wilayah ini dikepung oleh eksistensi rumah makan dan penginapan. Warung
makan, restoran, hotel, hostel, villa,
home stay, cottage dan lain-lainnya semakin bertambah. Namun, jumlahnya
belum dapat dipastikan, karena hingga kini penelitian-penelitian tentang keberadaan
jumlah akomodasi di Pulau Nusa Penida masih sangat langka.
Satu-satunya yang
pernah saya baca adalah penelitan (Tugas Akhir) yang dilakukan oleh Dwipayanti
dkk. pada tahun 2017. Penelitan ini menyinggung tentang keberadaan (jumlah)
akomodasi, tetapi subjeknya masih terbatas pada 4 (empat) desa yaitu Desa
Sakti, Desa Ped, Desa Kutampi Kaler, dan Desa Batununggul. Sedangkan, lokasi
penelitiannya tersebar di pantai, pelabuhan, daya tarik wisata, pusat desa, dan
sekitar area akomodasi.
Uraian hasil
penelitian ini berpijak dari temuan Nusa Penida Media (tahun 2017) yang
memaparkan bahwa jumlah akomodasi di Nusa Penida pada tahun 2016 masih sebanyak
30 akomodasi (villa, hotel, bungalow, resort, guest house, home stay) dengan
persebaran 10 akomodasi di Desa Sakti, 10 di Desa Ped, 3 di Desa Kutampi Kaler,
dan 7 akomodasi di Desa Batununggul. Lebih lanjut, Dwipayanti memaparkan bahwa tahun
2017 timnya menemukan beberapa pendirian akomodasi di 4 desa itu yang sedang
dalam proses penggarapan. Sayangnya, tidak dijelaskan jumlahnya secara pasti sebagai
gambaran jumlah pada tahun-tahun berikutnya.
Di luar akomodasi di
atas, hasil penelitian Dwipayanti juga menemukan bahwa sampai Juli 2017
terdapat 17 usaha rumah makan yang sudah beroperasi di Nusa Penida. Semua rumah
makan tersebut merupakan usaha milik masyarakat lokal.
Keterbatasan subjek,
lokasi, dan waktu penelitian yang dilakukan Dwipayanti dkk. tentu membuat data
temuannya menjadi kurang update
sekarang. Pasalnya, kondisi nyata pertumbuhan akomodasi di Pulau Nusa Penida
dalam kurun 2 tahun (2018-2019) terlihat begitu cepat dan marak. Bukan hanya
secara kasat mata (gedung fisik akomodasi), termasuk maraknya sirkulasi bahan
bangunan dari Bali daratan ke Nusa Penida. Ditambah belakangan, terjadi krisis
tukang bangunan di pulau ini (keberadaan jumlah tukang bangunan tak seimbang
dengan pembangunan akomodasi).
Namun kondisi ini tak
menyurutkan semangat masyarakat lokal dalam mengembangkan usaha akomodasi
pariwisata. Mereka tampak begitu semangat, sumringah, dan bangga dengan daerahnya
yang kini diserbu oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tidak
tanggung-tanggung, pulau yang berluas 202,84 km2 ini (termasuk Pulau Lembongan
dan Ceningan) rata-rata dikunjungi oleh ratusan ribu wisatawan per harinya.
Geliat
Pebisnis, Denyut Pinjaman, dan Denyut Jantung
Karena itulah, warga
lokal terus berbenah membangun bisnis akomodasi dengan berbagai cara. Pada
umumnya, masyarakat lokal membangun bisnis akomodasi dengan modal perseorangan atau
join modal (gotong royong). Mereka yang memilih perseorangan adalah kalangan
yang memang mampu, memiliki aset yang memadai. Kedua, ada pula dari modal jual
aset (tanah misalnya) atau mengontrakan tanah. Kemudian, uangnya diolah untuk
membangun penginapan. Ketiga, meminjam uang dengan jaminan tanah atau aset lainnya.
Sementara itu, yang
modalnya terbatas biasanya memilih join saham (gotong royong) dalam membangun
akomodasi. Join ini menggandeng keluarga terdekat misalnya saudara kandung,
sepupu, ipar, bibi, paman dan bapak. Join ini dirasakan meringankan pebisnis,
tetapi pemasukan tentu tidak sepenuh modal perseorangan.
Tidak hanya jumlah
bangunan fisik, geliat pebisnis lokal ini juga tampak dari denyut pinjaman di lembaga
perbankan, misalnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Belakangan, kantor LPD
lebih sibuk melayani nasabah yang meminjam uang untuk usaha penginapan atau
warung makan. Pasalnya, jumlah nasabah (peminjam) terus mengalami peningkatan hingga
lebih dari 50 %. Data ini dibenarkan oleh salah satu mantan pengawas LPD Desa
Pekraman Sebunibus (sekaligus salah satu owner
Batan Sabo Cottage), Pande Bagus Gde Guna Sesana.
Sebelumnya, menurut Guna,
jumlah peminjam biasanya sangat sedikit. Hampir tidak pernah mencapai target
standar minimal, karena jumlah peminjam bisa dihitung dengan jari. Berbeda
dengan sekarang, ketika bisnis penginapan ramai di wilayah Desa Pakraman
Sebunibus, LPD menjadi ramai dikerumuni nasabah (peminjam). Mereka rela antri
dan berdesak-desakan demi mendapatkan pinjaman.
Di samping LPD,
titik perburuan pinjaman juga terjadi di BRI dan BPD yang ada di Nusa Penida.
Kedua bank milik pemerintah ini menjadi ladang peminjaman dari para pebisnis
lokal sebagai modal. Hiruk-pikuk nasabahnya pun meningkat tajam. Kondisi ini
tentu sangat menarik jika dijadikan penelitian oleh calon-calon sarjana ekonomi.
Jika kita telesuri
kalangan pebisnis lokal di Nusa Penida, mereka merupakan SDM lokal yang cukup
andal. Kebanyakan berasal dari pelaku pariwisata yang pernah mengenyam asam
garam pariwisata (guide, karyawan/
staf hotel, restoran, villa, bungalow,
dsb.) baik di Bali daratan (lokal), nasional, hingga internasional (TKI-kapal
pesiar). Sepak terjangnya dalam dunia pariwisata cukup mumpuni dijadikan modal
dalam membangun usaha akomodasi di Nusa Penida. Sisanya, dari kalangan pebisnis
tulen, guru, dosen, dokter, pejabat pemerintahan, sopir, tukang, petani, dan
lain sebagainya.
Apa pun latar
belakangnya, meningkatnya geliat bisnis penginapan dan denyut pinjaman di perbankan
merupakan indikator bahwa pariwisata memberikan efek dan perspektif positif
bagi masyarakat lokal. Beberapa efek dan perspektif yang dimaksud, antara lain pariwisata
dapat menstimulus “spirit spekulan” kepada masyarakat lokal untuk berbisnis,
menjadi ruang belajar berbisnis secara konkret, dan memacu warga lokal menjadi boss/ owner untuk menciptakan lapangan
pekerjaan (tidak semata-mata menjadi karyawan/ tenaga kerja). Selain itu, pariwisata
juga dipandang dapat meningkatkan ekonomi, kesejahteraan, dan menghilangkan stereotip
terisolir bagi masyarakat lokal.
Dengan kata lain, maraknya
bisnis akomodasi merupakan realisasi atas efek dan perspektif masyarakat lokal
terhadap dunia pariwisata, yang melingkupinya. Respon ini patut kita acungi
jempol. Karena, kita memang berharap peran pebisnis lokal terus meningkat. Kita
berharap jiwa-jiwa spekulan dan keberaniannya terus bertumbuh, sehingga nanti
muncul pebisnis-pebisnis baru lainnya.
Semakin banyak
jumlah pebisnis lokal berperan aktif, semakin optimal masyarakat lokal
menikmati kue pariwisata daerahnya. Di samping itu, masyarakat akan lebih
leluasa bisa mengatur sosiokultural daerahnya. Yang tak kalah pentingnya pula
ialah masyarakat lokal akan memiliki prestise sosial, karena derajat individu
maupun kolektif masyarakat lokal dapat terangkat, sehingga tidak dipandang
remeh oleh masyarakat luar.
Namun, bukan berarti
kita anti dengan investor asing. Masyarakat Nusa Penida tentu membutuhkan
perannya. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika keberadaannya tidak terlalu
mendominasi dan mendikte masyarakat lokal. Karena itulah, diperlukan pula
dukungan dari pemerintah untuk terus menggenjot lahirnya pebisnis-pebisnis
lokal. Misalnya, lewat perlindungan regulasi bisnis pro masyarakat lokal, dukungan
dana (pinjaman lunak/ bunga ringan) dan pelatihan-pelatihan entrepreneur (wirausahawan) kepada
masyarakat lokal.
Regulasi, support dana, dan pelatihan-pelatihan
SDM lokal pasti akan menciptakan iklim bisnis yang menarik. Masyarakat lokal pasti
akan semakin banyak tertarik untuk terjun ke dunia bisnis pariwisata. Cepat dan
pasti, bisnis akomodasi akan berjamuran di Pulau Nusa Penida. Konsekuensinya,
persaingan tentu akan menjadi semakin kompetitif.
Kompetisi yang ketat
cenderung memunculkan iklim persaingan tidak sehat. Para owner biasanya berlomba-lomba menurunkan harga secara sepihak. Penurunan
harga ini akan menguntungkan pihak tertentu dalam jangka pendek. Sementara, pihak
lainnya akan mengalami gonjang-ganjing dan ujung-ujungnya bakal bangkrut. Konon,
cerita (kasus) ini pernah melanda pariwisata di daerah Kintamani dan Candidasa.
Karena itu, penting
para owner penginapan membentuk
semacam organisasi yang dapat bertugas mengatur harga. Organisasi yang legitimate inilah yang tugasnya
merumuskan, mengatur, dan mengontrol harga melalui regulasi yang ditetapkan.
Jika dilanggar, maka owner tersebut akan
dikenai sanksi sesuai regulasi yang disepakati.
Keberadaan
organisasi ini tentu akan membuat denyut pembangunan akomodasi berdetak stabil, denyut cicilan stabil, dan denyut
jantung pebisnis juga menjadi stabil.
Batan
Sabo Cottage, milik warga lokal (Guna, Apel, Kobers, dan Supradnya)
Batan
Sabo Cottage, milik warga lokal (Guna, Apel, Kober, dan Supradnya)
0 komentar:
Posting Komentar