Andai
Pariwisata Tak Merasuki,
Siapa
Yang Peduli Sampah Plastik di Nusa Penida?
I
Ketut Serawan
Andai
pariwisata tidak berkembang di Nusa Penida, saya yakin tidak akan ada yang
peduli dengan sampah plastik. Sampah-sampah itu pasti berserakan baik di tegalan, sungai kering, tambak-tambak, di
pinggir jalan raya, pantai maupun di lautan. Syukurnya, pariwisata cepat
merasuki pulau ini. Edukasi dan kesadaran tentang sampah plastik dari warga
Nusa Penida mulai sedikit menggeliat. Pasalnya, isu lingkungan (sampah
plastik)berdampak langsung dengan citra daerah destinasi.
Karena itu, belakangan
mulai muncul (komunitas) gerakan-gerakan peduli sampah plastik. Gerakan ini
masih bersifat sporadis, dilakukan oleh segelintir praktisi pariwisata, kalangan
milenial. Jumlahnya pun tidak begitu banyak.
Dari akun-akun
pribadi maupun grup tentang Nusa Penida yang saya ikuti, isu sampah plastik kurang
menyedot perhatian orang banyak. Boleh dikatakan, hampir tidak mendapat respon
serius dari masyarakat Nusa Penida. Coba kalau menyangkut isu tentang minimnya
infrastruktur, maka respon netizen mendadak sengit. Seluruh pelosok-pelosok
sosmed (ketog semprong) mengeluarkan
diri untuk unjuk komentar. Komentar-komentarnya pun sangat bervariatif. Ada
yang serius memberi solusi, ada yang sekadar nyeleneh, ngumpat-ngumpat
(memaki-maki), provokatif, hingga membully
pemda.
Jika kita buka
kembali halaman-halaman akun pribadi (atau grup Nusa Penida), maka lebih banyak
kita jumpai tentang keluhan air, listrik, dan kondisi jalan. Kedua, tentang sopir
yang ugal-ugalan, kemacetan, situasi keramaian wisatawan. Sisanya, tentang
status “ngetrip”, promo akomodasi, ribut soal retribusi, dan belakangan kontroversi
soal rencana pemda Klungkung dalam penataan sertifikat tanah pinggir pantai di
Nusa Penida.
Sementara itu, halaman-halaman
tentang peduli sampah plastik kurang mendapat respon dari masyarakat. Kalau toh
ada yang mengunggah status bersih-bersih sampah plastik, biasanya sepi komentar.
Jarang para netizen mau keluar dari sarang persembunyiannya. Mereka lebih
nyaman memilih diam. Yaa, mungkin karena diam adalah emas (Aah, bercanda kali).
Di samping sering
“dikacangin”, unggahan bersih-bersih sampah plastik tak jarang dianggap sebagai
pencintraan. Mungkin dari beberapa komunitas itu, memang ada yang sekadar
pencintraan (kali, ya). Akan tetapi, menurut saya pencintraan atau murni,
mereka telah nyata berbuat. Merekalah yang pantas kita jadikan teladan atau
inspirasi untuk berbuat nyata. Atau setidaknya, para peduli lingkungan ini akan
dapat menginspirasi lahirnya komunitas-komunitas sosial lingkungan yang baru.
Untuk saat ini,
komunitas-komunitas pencinta lingkungan masih stagnan. Masih dihuni oleh segelintir
anak milenial. Sisanya, lebih memilih apatis sama seperti masyarakat umum (old). Mereka pura-pura tidak peduli dan
benar-benar tidak peduli.
Bagi masyarakat Nusa
Penida, peduli (bermusuhan) dengan sampah plastik merupakan budaya baru. Budaya
yang sulit dilakukan, karena mereka telanjur bersahabat dengan plastik puluhan
tahun. Mereka memanfaatkan plastik dalam berbagai keperluan sehari-hari,
termasuk dalam ritual adat dan keagamaan. Pemanfaatannya cukup masif. Akan
tetapi, limbahnya (sampah) dibuang begitu saja.
Sampah plastik
menciptakan masalah baru. Namun, belum menimbulkan gagasan, kesadaran, dan solusi
kreatif dari kalangan masyarakat. Di Nusa Penida misalnya, belum ada budaya
memilah-milah sampah, proses daur ulang apalagi solusi baru lainnya. Penanganan
sampah plastik masih konvensional yakni dibakar di lahan yang kosong. Bagi
petani, biasanya sampah plastik dibakar bersama sampah organik lainnya di
ladang kosong, ketika musim kemarau. Di samping mengurangi, pembakaran sampah
plastik sekaligus dimanfaatkan sebagai pupuk.
TOSS,
No List, dan Nyawa Pariwisata
Hingga sekarang,
cara-cara konvensional ini masih diterapkan oleh masyarakat di Nusa Penida.
Padahal, pemda Klungkung sudah merintis pengolahan sampah dengan
sistem TOSS (Tempat Olah Sampah Sementara) pada penghujung tahun 2017. Program
kerjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik
Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan PLN (STT-PLN) Jakarta dan Indonesia Power
ini dipercaya menjadi solusi modern dalam menangani sampah, terutama sampah
plastik. Karena sistem TOSS dapat mengolah sampah (kecuali besi dan kaca)
secara langsung menjadi briket dan pelet yang dapat digunakan sebagai bahan
bakar untuk proses memasak dan energi listrik.
Sistem TOSS mengolah
sampah secara langsung melalui proses peuyeumisasi, briketisasi/peletisasi, dan
gasifikasi dengan menggunakan bio activator. Mekanisme pengolahan TOSS ini
dapat menghilangkan bau sampah dalam waktu tiga hari dan dapat mengurangi
volume sampah dalam waktu 10 hari. Selanjutnya, hasil olahan (briket dan pelet)
nantinya dijual sebagai bahan bakar/pembangkit listrik ke pihak Indonesia
Power. (bali.tribunnews.com).
Rencananya, pemda
Klungkung akan menerapkan konsep TOSS ini di setiap desa/kelurahan. Namun, hingga
saat ini program TOSS masih berkutat di tempat terbatas di TPA Sente dan
Lepang, di Klungkung daratan. Belum terdengar kabar melebar ke Pulau Nusa
Penida. Padahal, sebagai daerah yang melejit pariwisatanya, Nusa Penida sangat
membutuhkan terobosan sistem TOSS ini, sebagai solusi alternatif atas keberadaan
sampah plastik yang sangat sensitif dengan daerah pariwisata.
Saya pikir, pemda
Klungkung pasti menyadari bahwa isu lingkungan sangat besar pengaruhnya
terhadap citra daerah pariwisata, karena akan berimbas langsung pada jumlah
kunjungan wisatawan. Lebih parah lagi, isu lingkungan bisa menjadi sandungan suatu
daerah wisata tidak layak untuk dikunjungi. Situasi inilah yang melanda
pariwisata Bali sekarang.
Baru-baru ini media ternama asal Amerika Serikat, Fodor's Travel,
merilis daftar destinasi yang tak
layak dikunjungi pada 2020. Dari daftar Fodor’s No List 2020 itu, Bali masuk
dalam 13 destinasi yang dipertimbangkan untuk tidak dikunjungi. Salah satu
pertimbangannya ialah soal isu sampah. Bali dinyatakan sebagai kawasan darurat
sampah lantaran banyaknya sampah plastik di perairan dan pantai. Dikutip dari
Fodor’s Travel, Badan Lingkungan Hidup di Bali mencatat bahwa pulau Bali menghasilkan
3.800 ton sampah setiap hari, dengan hanya 60 persen berakhir di tempat
pembuangan sampah (travel.kompas.com).
Apa pun kepentingan Fodor’s Travel, kita
harus menanggapi positif, sebagai catatan introspeksi diri. Catatan untuk bebas
dari kasus sampah yang melilit Bali. Karena faktanya, persoalan sampah plastik
di Bali, khususnya Nusa Penida, memang belum ada solusinya.
Sampah plastik tidak cukup hanya
diselesaikan dengan regulasi-regulasi formal seperti pergub, perda atau
“per-per” lainnya. Apalagi “per-per” yang lahir hanya bersifat himbauan, tidak ada sikap tegas dari pemerintah.
Padahal, ketegasan, konsistensi, dan kontinyuitas dari pemerintah dibutuhkan
sebelum Bali benar-benar ditimbun oleh sampah plastik.
Selain itu, regulasi-regulasi formal
tersebut dianjurkan tidak berdiri sendiri. Optimalisasi pelaksanaan harus
menggandeng desa pekraman, sebab masyarakat Bali masih dominan bermental desa
pekraman. Regulasi-regulasi formal (dinas) biasanya berjarak dengan krama Bali,
terutama yang tua-tua. Masyarakat Bali cenderung lebih percaya dan tunduk
dengan awig-awig desa pekraman. Sanksi-sanksi desa pekraman dirasakan lebih
mengikat dan “meranen” bagi masyarakat Bali.
Karena itu, ada baiknya pemerintah
merangkul desa pekraman di Nusa Penida dalam memerangi sampah plastik. Regulasi
penanggulangan sampak plastik produk pemerintah dipresentasikan dan
disinkronkan ke desa pekraman. Kemudian, dampingi desa pekraman menerjemahkannya
ke dalam awig-awig. Misalnya, desa pekraman membuat awig-awig pembatasan (tidak
boleh) secara bertahap tentang penggunaan plastik sehari-hari di rumah maupun
dalam ritual upacara adat dan keagamaan di wilayah desa pekraman.
Untuk memotivasi desa pekraman konsisten
dalam memerangi sampah plastik, pemerintah juga dapat membuat lomba-lomba desa
pekraman bebas sampah plastik. Lomba ini dilaksanakan secara kontinyu untuk
menstimulus krama dalam memerangi sampah plastik. Di samping itu, pemerintah
juga bisa merancang penghargaan desa pekraman dan tokoh lingkungan krama peduli
sampah plastik. Siapa tahu dari gagasan ini, masyarakat termotivasi untuk
menjadi semakin peduli dengan sampah plastik (palemahan) secara mandiri.
Namun demikian, pemerintah tetap harus
aktif mendorong program peduli sampah plastik dengan menjadi teladan,
fasilitator, dan mediator bagi krama desa pekraman—sehingga pelan tapi pasti
masyarakat terus teredukasi. Harapannya ke depan, akan tumbuh kesadaran krama
tentang lingkungan (peduli sampah plastik), yang menjadi tabungan untuk
memperpanjang nyawa pariwisata di Nusa Penida.
0 komentar:
Posting Komentar