Ulangan
Sejarah Krisis Air di Nusa Penida
Oleh
I
Ketut Serawan
Ketika
pariwisata berkembang pesat di Nusa Penida (NP), keberadaan air bersih justru
diambang krisis yang mengkhawatirkan. Wilayah paling lancar (barat), seminggu
hampir 2-3 kali air PDAM milik pemda Klungkung ini harus mengalami kematian. Sedangkan
wilayah ngadat (timur), air PDAM mengalami kematian hingga berbulan-bulan.Ya,
ampun! Kondisi ini menyebabkan masyarakat Nusa Penida (terutama pemilik usaha
akomodasi pariwisata) sering menjadi gusar. Akibatnya, hampir setiap hari pemda
Klungkung (Bupati dan Dirut PDAM) diserang kritikan, cacian, dan bully dari para nitizen.
Namun, serangan para
nitizen ini tidak serta merta membuat air mengalir lancar pada kran-kran
masyarakat. Air tetap menunggu “dewasa ayu” untuk keluar dari mulut kran
masyarakat. Sementara, kesehariannya lebih sering mengeluarkan angin, alias
kosong. Masyarakat mengatakannya dengan sebutan keluar kentut. Gas yang tentu
saja tidak berbau (ada-ada saja).
Entah kenapa, momen
krisis air justru muncul beriringan dengan melejitnya pariwisata di Nusa
Penida. Mungkin karena jumlah pelanggan airnya kian meningkat tajam. Pasalnya,
pemanfaatan air tidak semata-mata untuk konsumsi rumahan. Belakangan, semakin
banyak dimanfaatkan oleh kaum bisnisan,
seperti penginapan, rumah makan, cuci motor, dan lain sebagainya. Ah, ini pasti
logika murahan dan awam, kan? Kalau ingin tahu kepastiannya, ya, tentu pemda
Klungkung (terutama pihak PDAM setempat) yang lebih persis mengerti kasus
tersebut.
Tidak hanya di
medsos, isu air selalu menjadi perbincangan publik baik di pasar, banjar,
perkantoran dan lain sebagainya. Saking boomingnya, isu air bersih sering
dijadikan dagelan-dagelan dan anekdot dalam berbagai kesempatan oleh
masyarakat. Dagelan-dagelan yang tidak hanya menggelikan, tetapi sekaligus
mengibur. Pasalnya, ketika masyarakat Nusa Penida dilanda krisis air bersih,
PDAM Klungkung justru menerima penghargaan dari pusat. Hal yang paradoks,
bukan?
Namun, ini kenyataan, lho! PDAM Tirta Mahottama Klungkung mendapat
penghargaan TOP BUMD kategori operasional usaha terbaik nasional dari Bussiness
News dan Asia Bussiness Research Center. Penghargaan ini diserahkan langsung
oleh ketua tim penyelenggara M. Lutfi Handayani kepada Dirut PDAM Klungkung,
Nyoman Renin Suyasa, (Kamis, 3/ 5/ 2018) di gedung Kartini Kuningan, Jakarta
Selatan (balipuspanews.com).
Penghargaan ini tentu mengganjal hati masyarakat Nusa Penida.
Karena kinerja sesungguhnya belum dirasakan oleh masyarakat NP. Krisis air
bersih tetap saja melanda NP secara berkelanjutan. Konon, beberapa masyarakat
NP (wilayah timur) harus rela mengeluarkan isi kantong pribadi hingga mencapai
jutaan rupiah per bulan hanya untuk membeli air bersih.
Sementara itu, PDAM seolah-olah kurang responsif. Hingga
sekarang belum ada sosialisasi terobosan-terobosan, inovasi, dan solusi prediktif
untuk memuluskan air bersih mengalir melalui kran-kran masyarakat. Akibatnya,
rasa galau masyarakat terus mengambang. Mereka tidak tahu persis, entah sampai
kapan krisis air akan berakhir di wilayah NP.
Air
Bersih Sebelum Pariwisata
Dulu, sebelum
pariwisata berkembang (tahun 200-an), air kran di Nusa Penida mengalir lancar
setiap hari. Daerah-daerah yang dialiri air PDAM tidak pernah mengeluh. Mereka
merasa aman-aman saja, karena sangat jarang mati.
Namun kini,
keberadaan air bersih begitu berharga. Kondisi ini seperti mengulang masa kecil
saya pada tahun 80-an. Masa ketika air PDAM belum menyentuh wilayah NP. Kala
itu, masyarakat NP mengandalkan sumber air bersih dari cubang-cubang (sumur tadah hujan) milik pribadi.
Air bersih dari cubang ini biasanya difokuskan untuk keperluan
minum dan memasak. Sementara untuk keperluan mandi, mencuci, memandikan ternak
dan lain-lain biasanya menggunakan sumber air dari semer (sumur dari air bawah tanah).
Keberadaan semer
harus dekat dengan pantai/ lautan, dengan kondisi permukaan tanah yang datar (landai).
Artinya, keadaan permukaan tanah itu harus serendah mungkin dari permukaan laut.
Kondisi inilah yang menyebabkan air akan mudah muncul dari dalam tanah. Hanya
saja, air akan terasa agak asin. Karena, air yang muncul dalam tanah itu
mungkin bersumber dari air laut. Meski agak asin, tetapi kandungan garamnya
tidak seutuh air laut.
Dari segi
kepemilikan, semer dapat dibedakan
menjadi dua jenis. Pertama, semer milik
pribadi untuk konsumsi sendiri. Kedua, semer
milik umum untuk kelompok (pengempon) tertentu. Semer pribadi biasanya dimiliki oleh orang-orang pesisir pantai.
Sedangkan, semer umum dimiliki oleh
orang-orang yang tinggal di ketinggian (perbukitan). Dulu, para tetua
mereka bergotong-royong membangun semer, kemudian airnya dinikmati oleh
generasi berikutnya.
Jika dilihat dari
kadar airnya, semer juga dibedakan
menjadi dua yaitu semer yang airnya
asin dan tawar. Semer tawar inilah
yang dikonsumsi (untuk minum dan masak) oleh masyarakat. Namun, keberadaan semer ini agak jauh dari laut dan lebih
dalam. Ukurannya, saya tidak tahu persis. Dari contoh yang ada, misalnya Semer
Gamat Teben, jaraknya dari laut tidak lebih dari satu km. Dalamnya, berkisaran
15 m ke atas, sedangkan semer air asin tidak lebih dari 5 m.
Awalnya, keberadaan semer (asin maupun tawar) menjadi
tumpuan utama ketika masyarakat belum memiliki sumur tadah hujan. Masyarakat
sangat bergantung pada air yang ada di semer.
Mereka harus menyediakan waktu setiap hari untuk mengambil air (warga di
tempat saya menyebutnya dengan istilah kayeh)
di semer. Biasanya, setiap
dini hari yaitu pukul 03.00-04.00, dalam kondisi yang gelap gulita dan medan
jalan yang terjal.
Begitu warga bisa
membuat cubang sendiri, frekuensi
aktivitas kayeh mulai berkurang.
Dalam stok air yang aman, mereka bahkan tidak melakukan aktivitas kayeh ke semer air tawar. Sedangkan, untuk memberi minum dan memandikan
sapi-sapi tetap seperti biasa (sekali dalam dua hari).
Kemudian, tahun
80-an, beberapa daerah di wilayah NP mendapat bantuan bak penampungan air dari
pemerintah. Kondisi ini membuat aktivitas kayeh
semakin sepi, kecuali yang dekat dengan lokasi semer. Semer-semer makin
kehilangan pengempon atau massa.
Namun demikian,
ketika musim kemarau berkepanjangan, yang tak bisa ditebak ujungnya, masyarakat
tetap merasa was-was. Seringkali, stok air cubang dan bak penampungan
pemerintah kering kerontang. Dalam situasi beginilah, saya ingat masyarakat di
daerah saya mengadakan ritual memohon hujan. Ritual ini dilakukan setiap tahun,
tidak hanya karena krisis stok air cubang, tetapi berkaitan pula dengan kegiatan
bercocok tanam palawija di kampung saya.
Seingat saya, pasca
ritual memohon hujan, selang beberapa hari atau minggu, hujan pasti turun di
kampung saya. Gaung tradisi ritual memohon hujan ini berlangsung hingga saya
tamat SMA (tahun 1998). Ketika air PDAM masuk-masuk ke kampung saya (tahun
200-an), gaungnya kian memudar.
Orang-orang mulai
tak peduli dengan ritual ini. Masyarakat perlahan-lahan putus hubungan dengan semer-semer. Bak-bak penampungan air milik
pemerintah roboh, tak terurus. Bahkan, cubang
di rumah pun dibiarkan terbengkelai. Segala keperluan berkaitan dengan air
sepenuhnya diakomodir oleh air kran, mulai dari masak, mencuci, mandi, dan termasuk
keperluan ternak. Untuk keperluan minum, masyarakat beralih ke air mineral
kemasan. Namun, ada pula beberapa masyarakat masih mengkonsumsi air tadah hujan
dengan cara dimasak terlebih dahulu.
Sekarang, ketika
ketergantungan masyarakat telanjur total kepada PDAM, air bersih justru
mengalami krisis di NP. Untuk mengantisipasi persoalan ini, pemda Klungkung
mewacanakan akan mengecek desa-desa yang belum terjangkau air bersih di NP,
dengan menggunakan teknik geolistrik. Rencananya, pemda akan membuat beberapa
titik sumur bor
(nusabali.com).
Pemda juga meminta PDAM Klungkung melakukan
inventarisir, menyelesaikan perencanaan dan biaya yang diperlukan untuk
merealisasikan 100 persen air bersih bagi masyarakat Nusa Penida. Setelah
berkantor selama kurang lebih dua minggu, Dirut PDAM Klungkung (Renin Suyasa) berencana melakukan pemasangan pipa induk dengan diameter 6
inchi dari Batumulapan sampai Desa Suana. Kemudian, dilanjutkan dengan
pemasangan pipa GWI 2 inchi sepanjang 700 meter di Dusun Pengaud untuk suplay
air dari mata air Guyangan. Sambungan ini untuk pelayanan di zona Karangsari
dan Suana yang bersumber dari mata air Penida dengan kapasitas debit yang belum
maksimal.
Setelah pemasangan pipa tersebut, Renin Suyasa
berencana melakukan identifikasi sambungan rumah (SR) yang terpasang. Selanjutnya,
uji coba pengaliran air (news.beritabali.com).
Wacana dan rencana ini tentu tidak main-main,
karena pemda Klungkung berharap dapat mewujudkan 100 persen air bagi masyarakat
NP pada tahun 2020. Sebuah optimisme yang pantas kita dukung dan patut diberi
acungi jempol.
Namun, sebagai sebuah wacana dan rencana, masyarakat
NP diharapkan untuk bersabar. Sambil menunggu realisasinya, masyarakat NP tentu
harus kreatif dalam mengatasi krisis air bersih. Sebab, air bersih merupakan
kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda-tunda.
Karena itu, gagasan masyarakat
untuk memanfaatkan cubang patut kita
dukung. Belakangan, beberapa masyarakat sudah merevitalisasi cubang untuk dimanfaatkan tidak hanya sebagai
keperluan minum, tetapi untuk mandi, mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Langkah
konkret ini merupakan bentuk responsif masyarakat atas ketakberdayaan PDAM
untuk memenuhi keperluan sehari-hari
masyarakat terhadap air.
Meski demikian, kita
tetap berdoa dan berharap pemda Klungkung dapat segera merealisasikan
rencana-rencananya untuk mencapai target yang diharapkan. Semoga penghargaan
TOP BUMND menjadi pemantik bagi PDAM Klungkung untuk bekerja lebih optimal,
sehingga kasus air bersih di NP dapat diselesaikan dengan tepat dan cepat.
Sekarang, masyarakat NP sedang menunggu, sambil
diganggu halusinasi tentang cubang-cubang,
semer-semer, dan ritual memohon hujan—bukan
ritual menurunkan Dirut PDAM, ya. Ngawur (bercanda dikit, ya). Yeeh…semoga
semua pihak insaf, ya!
0 komentar:
Posting Komentar