Kamis, 16 Januari 2020


Ulangan Sejarah Krisis Air di Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan

Ketika pariwisata berkembang pesat di Nusa Penida (NP), keberadaan air bersih justru diambang krisis yang mengkhawatirkan. Wilayah paling lancar (barat), seminggu hampir 2-3 kali air PDAM milik pemda Klungkung ini harus mengalami kematian. Sedangkan wilayah ngadat (timur), air PDAM mengalami kematian hingga berbulan-bulan.Ya, ampun! Kondisi ini menyebabkan masyarakat Nusa Penida (terutama pemilik usaha akomodasi pariwisata) sering menjadi gusar. Akibatnya, hampir setiap hari pemda Klungkung (Bupati dan Dirut PDAM) diserang kritikan, cacian, dan bully dari para nitizen.
Namun, serangan para nitizen ini tidak serta merta membuat air mengalir lancar pada kran-kran masyarakat. Air tetap menunggu “dewasa ayu” untuk keluar dari mulut kran masyarakat. Sementara, kesehariannya lebih sering mengeluarkan angin, alias kosong. Masyarakat mengatakannya dengan sebutan keluar kentut. Gas yang tentu saja tidak berbau (ada-ada saja).
Entah kenapa, momen krisis air justru muncul beriringan dengan melejitnya pariwisata di Nusa Penida. Mungkin karena jumlah pelanggan airnya kian meningkat tajam. Pasalnya, pemanfaatan air tidak semata-mata untuk konsumsi rumahan. Belakangan, semakin banyak dimanfaatkan oleh kaum bisnisan, seperti penginapan, rumah makan, cuci motor, dan lain sebagainya. Ah, ini pasti logika murahan dan awam, kan? Kalau ingin tahu kepastiannya, ya, tentu pemda Klungkung (terutama pihak PDAM setempat) yang lebih persis mengerti kasus tersebut.
Tidak hanya di medsos, isu air selalu menjadi perbincangan publik baik di pasar, banjar, perkantoran dan lain sebagainya. Saking boomingnya, isu air bersih sering dijadikan dagelan-dagelan dan anekdot dalam berbagai kesempatan oleh masyarakat. Dagelan-dagelan yang tidak hanya menggelikan, tetapi sekaligus mengibur. Pasalnya, ketika masyarakat Nusa Penida dilanda krisis air bersih, PDAM Klungkung justru menerima penghargaan dari pusat. Hal yang paradoks, bukan?
Namun, ini kenyataan, lho! PDAM Tirta Mahottama Klungkung mendapat penghargaan TOP BUMD kategori operasional usaha terbaik nasional dari Bussiness News dan Asia Bussiness Research Center. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh ketua tim penyelenggara M. Lutfi Handayani kepada Dirut PDAM Klungkung, Nyoman Renin Suyasa, (Kamis, 3/ 5/ 2018) di gedung Kartini Kuningan, Jakarta Selatan (balipuspanews.com).
Penghargaan ini tentu mengganjal hati masyarakat Nusa Penida. Karena kinerja sesungguhnya belum dirasakan oleh masyarakat NP. Krisis air bersih tetap saja melanda NP secara berkelanjutan. Konon, beberapa masyarakat NP (wilayah timur) harus rela mengeluarkan isi kantong pribadi hingga mencapai jutaan rupiah per bulan hanya untuk membeli air bersih.
Sementara itu, PDAM seolah-olah kurang responsif. Hingga sekarang belum ada sosialisasi terobosan-terobosan, inovasi, dan solusi prediktif untuk memuluskan air bersih mengalir melalui kran-kran masyarakat. Akibatnya, rasa galau masyarakat terus mengambang. Mereka tidak tahu persis, entah sampai kapan krisis air akan berakhir di wilayah NP.

Air Bersih Sebelum Pariwisata
Dulu, sebelum pariwisata berkembang (tahun 200-an), air kran di Nusa Penida mengalir lancar setiap hari. Daerah-daerah yang dialiri air PDAM tidak pernah mengeluh. Mereka merasa aman-aman saja, karena sangat jarang mati.
Namun kini, keberadaan air bersih begitu berharga. Kondisi ini seperti mengulang masa kecil saya pada tahun 80-an. Masa ketika air PDAM belum menyentuh wilayah NP. Kala itu, masyarakat NP mengandalkan sumber air bersih dari cubang-cubang (sumur tadah hujan) milik pribadi.
Air bersih dari cubang ini biasanya difokuskan untuk keperluan minum dan memasak. Sementara untuk keperluan mandi, mencuci, memandikan ternak dan lain-lain biasanya menggunakan sumber air dari semer (sumur dari air bawah tanah).
 Keberadaan semer harus dekat dengan pantai/ lautan, dengan kondisi permukaan tanah yang datar (landai). Artinya, keadaan permukaan tanah itu harus serendah mungkin dari permukaan laut. Kondisi inilah yang menyebabkan air akan mudah muncul dari dalam tanah. Hanya saja, air akan terasa agak asin. Karena, air yang muncul dalam tanah itu mungkin bersumber dari air laut. Meski agak asin, tetapi kandungan garamnya tidak seutuh air laut.
Dari segi kepemilikan, semer dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, semer milik pribadi untuk konsumsi sendiri. Kedua, semer milik umum untuk kelompok (pengempon) tertentu. Semer pribadi biasanya dimiliki oleh orang-orang pesisir pantai. Sedangkan, semer umum dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di ketinggian (perbukitan). Dulu, para tetua mereka  bergotong-royong membangun semer, kemudian airnya dinikmati oleh generasi berikutnya.
Jika dilihat dari kadar airnya, semer juga dibedakan menjadi dua yaitu semer yang airnya asin dan tawar. Semer tawar inilah yang dikonsumsi (untuk minum dan masak) oleh masyarakat. Namun, keberadaan semer ini agak jauh dari laut dan lebih dalam. Ukurannya, saya tidak tahu persis. Dari contoh yang ada, misalnya Semer Gamat Teben, jaraknya dari laut tidak lebih dari satu km. Dalamnya, berkisaran 15 m ke atas, sedangkan semer air asin tidak lebih dari 5 m.
Awalnya, keberadaan semer (asin maupun tawar) menjadi tumpuan utama ketika masyarakat belum memiliki sumur tadah hujan. Masyarakat sangat bergantung pada air yang ada di semer. Mereka harus menyediakan waktu setiap hari untuk mengambil air (warga di tempat saya menyebutnya dengan istilah kayeh) di semer. Biasanya,  setiap dini hari yaitu pukul 03.00-04.00, dalam kondisi yang gelap gulita dan medan jalan yang terjal.
Begitu warga bisa membuat cubang sendiri, frekuensi aktivitas kayeh mulai berkurang. Dalam stok air yang aman, mereka bahkan tidak melakukan aktivitas kayeh ke semer air tawar. Sedangkan, untuk memberi minum dan memandikan sapi-sapi tetap seperti biasa (sekali dalam dua hari).
Kemudian, tahun 80-an, beberapa daerah di wilayah NP mendapat bantuan bak penampungan air dari pemerintah. Kondisi ini membuat aktivitas kayeh semakin sepi, kecuali yang dekat dengan lokasi semer. Semer-semer makin kehilangan pengempon atau massa.
Namun demikian, ketika musim kemarau berkepanjangan, yang tak bisa ditebak ujungnya, masyarakat tetap merasa was-was. Seringkali, stok air cubang dan bak penampungan pemerintah kering kerontang. Dalam situasi beginilah, saya ingat masyarakat di daerah saya mengadakan ritual memohon hujan. Ritual ini dilakukan setiap tahun, tidak hanya karena krisis stok air cubang, tetapi berkaitan pula dengan kegiatan bercocok tanam palawija di kampung saya.
Seingat saya, pasca ritual memohon hujan, selang beberapa hari atau minggu, hujan pasti turun di kampung saya. Gaung tradisi ritual memohon hujan ini berlangsung hingga saya tamat SMA (tahun 1998). Ketika air PDAM masuk-masuk ke kampung saya (tahun 200-an), gaungnya kian memudar.
Orang-orang mulai tak peduli dengan ritual ini. Masyarakat perlahan-lahan putus hubungan dengan semer-semer. Bak-bak penampungan air milik pemerintah roboh, tak terurus. Bahkan, cubang di rumah pun dibiarkan terbengkelai. Segala keperluan berkaitan dengan air sepenuhnya diakomodir oleh air kran, mulai dari masak, mencuci, mandi, dan termasuk keperluan ternak. Untuk keperluan minum, masyarakat beralih ke air mineral kemasan. Namun, ada pula beberapa masyarakat masih mengkonsumsi air tadah hujan dengan cara dimasak terlebih dahulu.
Sekarang, ketika ketergantungan masyarakat telanjur total kepada PDAM, air bersih justru mengalami krisis di NP. Untuk mengantisipasi persoalan ini, pemda Klungkung mewacanakan akan mengecek desa-desa yang belum terjangkau air bersih di NP, dengan menggunakan teknik geolistrik. Rencananya, pemda akan membuat beberapa titik sumur bor (nusabali.com).
Pemda juga meminta PDAM Klungkung melakukan inventarisir, menyelesaikan perencanaan dan biaya yang diperlukan untuk merealisasikan 100 persen air bersih bagi masyarakat Nusa Penida. Setelah berkantor selama kurang lebih dua minggu, Dirut PDAM Klungkung (Renin Suyasa) berencana melakukan pemasangan pipa induk dengan diameter 6 inchi dari Batumulapan sampai Desa Suana. Kemudian, dilanjutkan dengan pemasangan pipa GWI 2 inchi sepanjang 700 meter di Dusun Pengaud untuk suplay air dari mata air Guyangan. Sambungan ini untuk pelayanan di zona Karangsari dan Suana yang bersumber dari mata air Penida dengan kapasitas debit yang belum maksimal. 
Setelah pemasangan pipa tersebut, Renin Suyasa berencana melakukan identifikasi sambungan rumah (SR) yang terpasang. Selanjutnya, uji coba pengaliran air (news.beritabali.com).
Wacana dan rencana ini tentu tidak main-main, karena pemda Klungkung berharap dapat mewujudkan 100 persen air bagi masyarakat NP pada tahun 2020. Sebuah optimisme yang pantas kita dukung dan patut diberi acungi jempol.
Namun, sebagai sebuah wacana dan rencana, masyarakat NP diharapkan untuk bersabar. Sambil menunggu realisasinya, masyarakat NP tentu harus kreatif dalam mengatasi krisis air bersih. Sebab, air bersih merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda-tunda.
Karena itu, gagasan masyarakat untuk memanfaatkan cubang patut kita dukung. Belakangan, beberapa masyarakat sudah merevitalisasi cubang untuk dimanfaatkan tidak hanya sebagai keperluan minum, tetapi untuk mandi, mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Langkah konkret ini merupakan bentuk responsif masyarakat atas ketakberdayaan PDAM untuk memenuhi keperluan sehari-hari  masyarakat terhadap air.
Meski demikian, kita tetap berdoa dan berharap pemda Klungkung dapat segera merealisasikan rencana-rencananya untuk mencapai target yang diharapkan. Semoga penghargaan TOP BUMND menjadi pemantik bagi PDAM Klungkung untuk bekerja lebih optimal, sehingga kasus air bersih di NP dapat diselesaikan dengan tepat dan cepat.
 Sekarang, masyarakat NP sedang menunggu, sambil diganggu halusinasi tentang cubang-cubang, semer-semer, dan ritual memohon hujan—bukan ritual menurunkan Dirut PDAM, ya. Ngawur (bercanda dikit, ya). Yeeh…semoga semua pihak insaf, ya!




0 komentar:

Posting Komentar