Teli Sempi Nyengket, Canda Rasis, dan Taruhan Inferior
Orang Nusa Penida
Oleh
Ketut
Serawan
Jika
Anda, orang Nusa Penida (NP), pernah tinggal di Klungkung daratan pada tahun
90-an ke bawah, mungkin pernah diwalek
dengan candaan “teli sempi nyengket”. Kalimat bermakna “alat kelamin sapi (betina) tersangkut” ini merupakan plesetan dari kalimat
aslinya yaitu “talin sampi nyangket” (tali sampi tersangkut). Kemudian,
plesetan ini berkembang menjadi canda rasis untuk (maaf) merendahkan atau
mengolok-olok orang NP di mata teman-teman Klungkung daratan.
Candaan tersebut
mengalir begitu saja. Entah siapa yang menghembuskan pertama kali. Tahu-tahu
berkembang estafet, dari generasi ke generasi. Mengusutnya secara tuntas,
apalagi melakukan penelitian tentang silsilah canda tersebut akan menjadi
tampak serius dan serem. Untungnya apa coba?
Ya, nggak ada. Di
mana-mana canda rasis hanya berujung pada “unjuk rasa” antara superior (pihak yang
membully) dan inferior (pihak yang dibully). Dalam konteks canda “teli sempi
nyengket” juga demikian. Masyarakat Klungkung daratan merasa lebih superior
dari segala lini. Misalnya, soal kedudukan politik, kemajuan ekonomi,
infrastruktur, pendidikan, dan lain sebagainya.
Sebaliknya,
orang-orang NP ditempatkan sebagai stereotip yang terisolir, tertinggal,
miskin, pendidikan kurang, kolot, dan stigma negatif lainnya. Stigma ini berlangsung
cukup lama dan sulit dihilangkan. Pasalnya, orang-orang NP kurang mampu
mengambil peran-peran penting untuk meminimalisir image inferior itu. Salah satunya ialah sektor politik. Padahal,
sektor ini sangat strategis dimanfaatkan untuk mengatur kebijakan publik, agar
masyarakat NP dapat keluar dari citra rendahan itu.
Bagi masyarakat NP,
sektor politik merupakan aspek yang efektif digunakan untuk mengatur kesenjangan
rasis itu. Karena lewat politik, masyarakat NP dapat dibebaskan (diminimalisir)
dari kebijakan rasis dan diskriminatif. Sayangnya, selama ini sistem politik (demokrasi)
Klungkung tidak mendukung. Sistem perwakilan menyebabkan masyarakat NP tidak
mampu berbuat banyak.
Klungkung hanya melahirkan
bupati dan pejabat-pejabat strategis asal Klungkung daratan. Lalu dapat
ditebak, kebijakannya tidak menguntungkan masyarakat NP. Diskriminasi tetap
saja menghantui masyarakat NP. Mereka tetap bercongkol di zona inferior, dengan
daya tawar politik yang sangat rendah.
Ketika demokrasi Klungkung
mengalami kemajuan, salah satunya pemilihan bupati (pilkada) secara langsung
(tahun 2007), masyarakat NP memiliki impian keluar dari belenggu rasisme yang
melilitnya. Prof. Dr. Kinog (alm.) muncul menjadi calon bupati asal NP, bersaing
melawan calon petahana, I Wayan Chandra.
Kondisi politik
masyarakat NP mulai bergairah. Masyarakat NP dari berbagai kalangan muda dan
tua mendadak melek politik. Sayangnya, di injury
time muncul balon lain (asal NP) yakni Prof. Jinar sebagai pemecah belah
suara di NP. Strategi ini diduga kuat hasil rekayasa calon petahana.
Akhirnya, Chandra
sukses naik untuk kedua kalinya (dan sekaligus menjadi bupati pertama produk
demokrasi langsung) di Klungkung. Chandra memimpin Klungkung (2007-2013),
dengan berbagai kasus korupsi yang melilitnya dan berujung pada penjara di
akhir masa jabatannya.
Suwirta
Taruhan Inferior
Kesempatan kedua
muncul, ketika I Nyoman Suwirta (asal NP) menjadi balon bupati tahun 2013. Ia
bersaing ketat dengan tokoh berpengaruh asal puri (Klungkung). Untungnya,
kalangan puri pecah menjadi dua. Puri mengusung dua balon bupati yang tak mau
mengalah yakni Tjok Bagus dan Tjok Raka. Buntutnya, Suwirta menang. Ia
mencatatkan dirinya sebagai bupati pertama asal NP di Klungkung.
Semenjak Suwirta
menjadi orang nomor satu di Klungkung, ketajaman isu canda rasis “teli sempi
nyengket” mulai meredup. Setidaknya, Suwirta dipandang sebagai ikon (bukti)
bahwa orang NP memiliki kemampuan setara dengan masyarakat Klungkung daratan.
Bahkan, dapat dikatakan melebihi kemampuan bupati-bupati (asal Klungkung
daratan) sebelumnya.
Di bawah kepimpinan
Suwirta, Kabupaten Klungkung yang kecil dan miskin berubah signifikan.
Pembangunan dan termasuk tata pemerintahan mengalami kemajuan. Tidak hanya di
Klungkung daratan, pembangunan berkembang pesat di Kecamatan NP terutama sektor
pariwisatanya.
Era Suwirta, Klungkung
tidak hanya dilirik oleh provinsi termasuk nasional. Terobosan-terobosan
kebijakan politik yang dilakukan Suwirta (entah pencintraan/ tidak) setidaknya
membuat Klungkung yang dulu tenggelam mencuat ke permukaan. Klungkung masuk
peta politik yang diperhitungkan di Bali dan nasional.
Suwirta merupakan
jawaban ganda atas keraguan masyarakat Klungkung daratan terhadap stereotip
negatif yang melekat pada masyarakat NP. Pertama, dia mampu merobohkan tembok rasisme yang begitu lama dan kuat. Kini,
masyarakat NP memiliki derajat dan daya tawar politik yang sejajar serta tidak bisa
diremehkan dalam kehidupan bermasyarakat di Klungkung.
Kedua, kesempatan
menjadi bupati adalah ujian bagi Suwirta untuk membawa dan menunjukkan representasi kualitas
orang-orang NP. Dia merupakan juri kunci (sebagai) taruhan atas image inferior yang melekat pada
masyarakat NP. Jika dia hanya mampu menjadi bupati minimal biasa saja (sama
kualitasnya dengan bupati-bupati sebelumnya), maka masyarakat Klungkung daratan
tidak akan respek terhadap orang NP.
Syukurnya, Suwirta
sangat memahami perannya. Sebagai pionir, ia memang harus menunjukkan
kualitasnya di atas rata-rata bupati asal Klungkung daratan. Ekspektasi itu dapat
tercapai dengan mulus. Buktinya, selama memimpin satu periode, respon
masyarakat Klungkung daratan terhadap kepimpinan Suwirta sangat baik.
Suwirta mampu menjadi
bupati bukan hanya untuk orang NP, melainkan juga untuk kesejahteraan
masyarakat Klungkung daratan. Inilah yang memuluskan Suwirta melenggang untuk
kedua kalinya (2018-2023) menjadi bupati di Klungkung, dengan perolehan suara
yang sangat telak dengan lawannya Tjokorda Bagus Oka-Ketut Mandia (Bagia).
Faktor kualitas
inilah yang menguatkan bahwa orang-orang NP (sekarang) memang pantas
disejajarkan (bahkan lebih) dengan masyarakat Klungkung daratan. Suwirta telah
membuktikan bahwa orang NP (berikutnya) layak duduk untuk menyandang gelar
bupati di Klungkung.
Suwirta menguatkan
bahwa canda rasisme (teli sempi nyengket) sudah tidak relevan sekarang. Di
samping taruhan kualitas bupati, NP juga mengalami kemajuan pesat dalam bidang
ekonomi sekarang. Kemajuan ekonomi ini tidak lepas dari kebijakan pemda
(Suwirta) yang pro masyarakat NP. Dialah yang memulai, menggali dan
mengembangkan sektor pariwisata hingga melejit seperti sekarang.
Imbasnya dirasakan
nyata oleh masyarakat NP. Sektor ekonomi dan pembangunan infrastruktur di NP mengalami
perkembangan pesat belakangan ini. Kalau kita jujur, pencapaian ini tidak
pernah ada pada era bupati-bupati sebelumnya. Suwirta mampu mendongkrak
pariwisata bahkan melebihi pariwisata Klungkung daratan yang hanya mengandalkan
objek Kerta Gosa dan Goa Lawah.
Sementara NP
memiliki banyak titik-titik objek wisata menarik hingga berkelas internasional.
Inilah yang menyebabkan jumlah kunjungan mencapai ratusan ribu per harinya.
Jumlah kunjungan ini tentu berdampak signifikan terhadap pendapatan pemda
Klungkung. Artinya, peran NP sangat dibutuhkan oleh pemda Klungkung sekarang.
Terlepas dari pro
dan kontra, Klungkung dan khususnya masyarakat NP tentu tidak bisa melupakan
peran penting Suwirta. Dialah yang meletakkan fondasi pariwisata, ekonomi
masyarakat NP, dan PAD Klungkung.
Selain peran
ketokohan, kasus rasisme atau inferior orang NP sudah kian tak relevan karena
sistem demokrasi langsung. Semenjak berlaku sistem demokrasi langsung di
Klungkung, orang-orang NP memiliki daya tawar politik cukup tinggi. Pasalnya,
Kecamatan NP merupakan distrik yang memiliki jumlah pemilih terbanyak di
Klungkung. Jadi, jika ingin memenangi kompetisi politik di Klungkung, maka
jangan lagi meremehkan peran aktif politik masyarakat NP. Mereka harus menjadi
prioritas. Artinya, masyarakat NP memiliki nilai penting dan menentukan dalam
ajang perpolitikan di Klungkung.
Jika demikian
adanya, buat apa lagi mengungkit-ngungkit eksistensi “teli sempi nyengket”. Karena
sekarang, plesetan ini akan bermakna ganda. Mungkin menjadi celaan yang tetap ingin
merendahkan atau semacam kesirikan atas kemajuan berbagai sektor kehidupan yang
dicapai oleh masyarakat NP sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar