Sabtu, 08 Februari 2020

Orang Nusa Penida Menyebut “ke Bali”, Kekeliruan Geografis Atau Merasa Tak Bagian dari Bali?
Oleh
I Ketut Serawan
Apa respon Anda jika ditanya “Pidan lakar ke Bali (kapan akan pergi ke Bali)?” Padahal, Anda berada di wilayah Bali. Anda mungkin bingung dan berpikir itu lucu, bukan? Akan tetapi, bagi masyarakat Nusa Penida (NP) pertanyaan itu sudah biasa diucapkan dari dulu hingga sekarang. Mereka merujuk nama Bali pada wilayah Bali daratan. Tidak terhitung Pulau Nusa Penida (Lembongan, Ceningan, dan Nusa Penida). Terus, NP masuk wilayah mana?
Ketika belum sekolah, saya tidak mempersoalan kasus ini. Gara-gara saya belajar IPS waktu SD (kira-kira) kelas VI, ditambah belajar geografi waktu SMP-SMA, saya menjadi bingung. Apa gerangan yang menyebabkan orang NP (terutama generasi tua) bertanya demikian.
Kesombongan akademik saya langsung muncul. Ya, mungkin karena banyak generasi tua di tempat saya (dulu) tidak mengenyam pendidikan. Pastilah mereka kurang mengerti tentang ilmu geografi khususnya masalah peta wilayah Bali. Begitu, kira-kira kesimpulan awal saya.
Akan tetapi, meskipun saya memiliki kesadaran geografi, tetap saja saya ikut-ikutan latah mengucapkan “ke Bali” jika balik ke rantauan (Gianyar). Seolah-olah saya sudah terkena latah yang amat akut. Sampai sekarang pun, otak bawah sadar saya merujuk Bali pada wilayah daratan di luar Pulau NP. Entah apa yang merasuki saya?
Pokoknya otomatis. Setiap saya pulang kampung dan akan balik ke rantuan, saya menyebutnya “ke Bali”. Saya tidak peduli, apakah konsep geografinya benar atau salah. Namun, begitulah jawaban paling simpel. Jawaban yang diulang secara turun-temurun. Ya, ke Bali. Entah ke Klungkung daratan, Gianyar, Denpasar dan lain-lainnya.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan masyarakat NP terus mengalami peningkatan. Banyak generasi mudanya sudah mulai melek geografi. Pada konteks inilah, saya kadang-kadang merasa malu menyebut kata “ke Bali”. Di samping takut dosa, saya juga takut dicap kolot oleh generasi milenial. Maklumlah, anak-anak milenial kan terkenal dengan keberanian dan kekritisannya. Takutnya, saya dianggap sengaja menciptakan kesalahan (geografi) melegenda pada regenerasi NP. Menjadi dosa, kan?
Selain itu, saya semestinya malu ikut-ikutan dengan generasi tua. Masak sudah tamat kuliah (sarjana lagi),  tetapi kok tidak bisa menjadi teladan “bergeografi” yang baik. Nanti, pasti ilmu geografi saya akan digugat. Wah, celakalah saya!
Karena itu, saya berusaha (kadang-kadang) meluruskan kekeliruan geografi itu dengan kata “ngajanan”. Kata “ngajanan” berasal dari kata “kaja” (utara). Karena posisi geografi NP berada di sebelah selatan (agak tenggara) dari Bali daratan. Kata ini kurang begitu laku (tidak populer). Masih metaksu (sreg, berwibawa) menggunakan kata “ke Bali”.
Biasalah. Mungkin karena belum terbiasa. Butuh waktu dan perjuangan lebih untuk mempopulerkan kata “ngajanan”. Suatu saat, pasti generasi milenial akan memperbaiki kekeliruan geografi tersebut dengan kata “ngajanan”. Eh, rupanya saya keliru! Anak-anak milenial di lingkungan saya justru masih nyaman menggunakan kata “ke Bali” daripada “ngajanan”.
Lalu, otak saya bekerja seperti seorang profesor. Pura-pura berpikir keras untuk mencari jawaban, kenapa generasi milenial NP ketularan nyaman menggunakan kata “ke Bali”. Pertama, mungkin generasi milenial ikut arus. Pasalnya, dukungan lingkungan “ngajanan” masih terlalu sedikit. Sebaliknya, dukungan “ke Bali” masih kuat.
Kedua, mungkin kata “ke Bali” sangat simpel. Kata ini dapat merujuk kota atau desa yang berada di Bali daratan. Tak perlu harus detail tahu tentang nama kota atau desanya. “Kapan kamu balik ke Denpasar?” Eh, ternyata orang yang ditanya tinggalnya di Ubud. Malu, kan? Namun, jika kita bertanya kapan ke Bali. Maka, di daerah manapun di Bali daratan ia tinggal, pertanyaan itu bisa mewakili. Hemat dan tidak boros. Cukup mengatakan “ke Bali”, maka seluruh wilayah Bali daratan dapat terjangkau. Kayak iklan telkom, saja!
Bisa jadi faktor inilah yang menjadi pertimbangan leluhur NP dulu nyaman menggunakan kata “ke Bali”. Sekali lagi, mungkin saja. Akan tetapi, namanya seorang profesor, saya tetap saja tidak puas dengan asumsi tersebut.
Kalau memang karena faktor efisiensi, kenapa harus menggunakan kata “ke Bali”. Bukankah ada kata-kata alternatif yang sebenarnya dapat digunakan untuk menghindari kekeliruan geografi tersebut. “Ngajanan” salah satunya. Dilihat dari suku katanya sama, kan? Terdiri atas 3 suku kata. Pengucapannya juga sama-sama mudah. Lalu, kenapa harus menggunakan kata “ke Bali”? Bukankah itu terlalu arogan? Berani-beraninya tidak menyebut diri (NP) sebagai bagian dari Bali?
Kira-kira begitulah hantu-hantu pertanyaan yang berseliweran di kepala saya. Hantu yang membuat saya sering menjadi galau. Akhirnya, iseng-isenglah saya membuka google. Saya mencoba mencari histori tentang NP. Siapa tahu histori-histori yang saya baca menyimpan jawaban atas hantu-hantu pertanyaan tadi.
Saya mulai membaca pelan-pelan dan pura-pura intensif. Sampailah saya pada informasi bahwa dalam sebuah prasasti batu bertahun saka 835 (913 M) yang ditemukan di desa Blanjong, NP konon menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa pimpinan Raja Sri Wira Kesari Warmadewa. Kemudian, sejarawan Ida Bagus Sidemen mempertegas bahwa Kesari Warmadewa menggunakan NP sebagai simbol kemenangan atas musuhnya di Gurun–diyakini para ahli sebagai Lombok–yang tengah berkonflik dengan Bali (https://historia.id).
Lebih lanjut, sumber ini menjelaskan bahwa orang-orang dari Lombok (dulu) pernah membangun sebuah pemerintahan di NP. Namun, dapat ditundukan oleh Bali. Lalu, Bali segera menunjuk orang-orangnya menempati pemerintahan di NP. Digunakanlah pulau ini sebagai salah satu basis perdagangan daerah Bali hingga berlanjut pada abad ke-11. Salah satu bandar di Bali yang melayani pelayaran antara Bali dengan NP adalah Bandar Ujung di Desa Ujung Hayang, Karangasem.
Wah, saya semakin penasaran! Saya melanjutkan membaca pada paragraf berikutnya. Ketemulah saya dengan Prasasti Bali. Konon, dalam transkripsi Prasasti Bali yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia ini terdapat informasi yang menyebutkan bahwa hingga dekade pertama abad ke-17, NP tetap menjadi penyangga perdagangan kerajaan-kerajaan di Bali.
Namun, ketika Bali dikuasai dinasti Kresna Kepakisan (abad ke-14), para penguasa NP mulai menunjukkan itikad memerdekakan diri. Beberapa sumber lokal (misalnya Lontar Sawangan) menyebutkan bahwa NP sempat mendirikan negeri merdeka pada permulaan abad ke-16. Di bawah pimpinan Ratu Sawang, NP membangun pusat pemerintahan di Bukit Mundi.
Mendengar kabar tersebut, Dalem Waturenggong mengirim pasukannya untuk menyerang Ratu Sawang. Dikomandoi Dukut Petak, laskar Bali berhasil menaklukan NP. Namun, pada pertengahan abad ke-17, NP kembali bergolak. Di bawah pimpinan I Dewa Bungkut, NP melakukan pemberontakan. Mereka menyerang pemerintahan Dalem Di Made asal kerajaan Gelgel Bali yang kekuasaannya mulai goyah di NP. Pemberontakan ini gagal karena kekuatannya masih lemah. Pasukan Ki Gusti Jelantik yang dikirim raja Bali pun dapat menguasai kembali NP.
Membaca histori tersebut, mulai ada titik terang di kepala saya. Jangan-jangan “ke Bali” merupakan spirit lampau orang NP. Spirit leluhur (para tetua) yang merasa merdeka atau keinginan kuat untuk tetap ingin merdeka, lepas dari wilayah Bali daratan.
Saya mencurigai bahwa spirit merdeka (masa lampau) itu terlalu kuat. “Ke Bali” merupakan acuan yang jelas kepada daerah (Bali daratan), di luar wilayah NP. Karena itulah, orang NP biasa menyebut “ke Bali” atau “ke Nusa”. Penyebutan ini mengindikasikan secara tegas bahwa di benak orang NP, wilayahnya sebagai satu kesatuan, terpisah dari teritorial Bali.
Apa dasarnya mengatakan orang NP memiliki spirit kemerdekaan yang kuat? Jawaban sederhana. Dari analisis kilasan sejarah di atas, masyarakat NP tidak pernah menerima tulus penaklukan dari raja-raja Bali. NP memang menjadi bagian Bali, khususnya Klungkung. Namun, ketertundukan itu disebabkan oleh cara-cara kekerasan, melalui adu senjata dan kekuatan pasukan. Artinya, mayarakat NP terpaksa takluk secara fisik. Akan tetapi, secara psikis mungkin mereka tak pernah tunduk atau tak mau mengakui bahwa NP berada dalam wilayah Bali.
Oleh karena itu, bisa jadi “ke Bali” merupakan simbol penolakan atas ketaklukan terhadap Bali. Masyarakat NP seolah-olah belum bisa menerima NP menjadi bagian dari (kerajaan) Bali. Masyarakat NP ingin mengatakan kepada dunia bahwa mereka (selamanya) tidak rela menjadi bagian dari Bali.
Begitulah, kira-kira analisis saya. Analisis yang cukup ngawur. Namun, setidaknya bisa meredam hantu-hantu pertanyaan di kepala saya. Sekali lagi, sebutan (konsep) “ke Bali” merupakan spirit masa lampau, spirit kerajaan, dan spirit kemerdekaan dari masyarakat NP.

0 komentar:

Posting Komentar