Pura Dalem Ped. Foto: ww.flickr.com
Apakah Anda mengenal “Pura Dalem Nusa” di Nusa Penida? Ah, Anda mungkin geleng-geleng kepala. Bagaimana dengan Pura Dalem Ped? Pasti sangat familiar-lah. Bukan hanya umat se-dharma, beberapa penekun spiritual (dari berbagai lintas agama) pun banyak yang mengenalnya. Padahal, Pura Dalem Nusa adalah nama lampau dari Pura Dalem Ped yang sekarang. Mengapa “Pura Dalem Nusa” berubah nama menjadi Pura Dalem Ped?
Sangat
minim sumber yang menjelaskan latar belakang perubahan nama tersebut. Salah
satu sumber yang menyinggung pergantian nama itu ialah buku Sejarah Nusa dan
Sejarah Pura Dalem Ped karangan Drs. Wayan Putera Prata. Buku ini dijadikan sumber
utama dari beberapa tulisan yang bertebaran di dunia maya.
Merujuk
pada buku Sejarah Nusa dan Sejarah Dalem Ped, pergantian nama baru Pura Dalem
Ped dilakukan oleh tokoh puri Klungkung pada zaman Dewa Agung. Namun, tidak
dituliskan secara rinci pada pemerintahan siapa dan nama detail tokoh puri
tersebut. Pun tidak disebutkan persis waktu pergantian nama itu.
Buku
ini hanya menyebutkan bahwa pergantian nama “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped
dilatarbelakangi oleh peristiwa sederhana. Peristiwa yang bersifat historis dan
berbau mistis. Cerita bermula dari Ida Pedanda Abiansemal yang kehilangan tiga
buah tapel. Ketiga tapel itu menghilang secara misterius.
Suatu
hari, Ida Pedanda mendengar kabar bahwa ketiga tapelnya berada di Pura Dalem
Nusa. Untuk membuktikan kepastian kabar ini, maka Ida bersama pepatih
dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa. Perjalanan Ida tidak
sia-sia. Di luar dugaan, 3 tapel beliau muncul secara gaib di Pura Dalem Nusa.
Namun,
Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu. Entah apa dasar
pertimbangannya. Beliau hanya berpesan kepada warga Nusa agar menjaga
tapel-tapel itu dengan baik, dan secara kontinyu melakukan ritual (upacara)
sebagaimana mestinya.
Pasca
penemuan dan proses ritual, muncul kabar bahwa tapel-tapel itu memiliki kekuatan
magis atau kesaktian. Konon, tapel-tapel itu mampu menyembuhkan berbagai
penyakit baik yang diderita oleh manusia maupun tumbuhan. Kabar ini menyebar hingga
ke seluruh pelosok Bali, termasuk kepada
warga Subak Sampalan.
Warga
Subak Sampalan yang sedang dirundung serangan hama, mengutus kliannya untuk
memohon anugerah (mesesangi) ke Pura
Dalem Nusa. Intinya, memohon agar warga Subak Sampalan terhindar dari berbagai
hama yang menyerang tanaman mereka.
Tak
lama kemudian, serangan hama mulai mereda. Sesuai sesanginya, warga Subak Sampalan kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah-langkah ini diikuti oleh
subak-subak lain di sekitar Sampalan.
Kabar
tentang pelaksanaan upacara mapeed
itu terdengar hingga ke seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah, Dewa Agung
Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Tafsir Cerita
Lalu,
adakah efek skala atau niskala dari pergantian nama ini? Adakah riak-riak
tanggapan dari masyarakat Nusa Penida kala itu? Saya belum pernah mendengar secara
lisan ataupun membaca catatan tertulis terkait hal ini.
Namun,
saya menduga bahwa besar kemungkinan tidak ada celah tanggapan (pengingkaran)
dari masyarakat Nusa kala itu. Pertama, dilihat dari aspek historis, Nusa
termasuk wilayah taklukan dari kerajaan Klungkung. Jadi, keputusan dari kerajaan
Klungkung adalah realitas yang mesti diterima oleh masyarakat Nusa. Apalagi,
keputusan ini datang dari seorang tokoh puri. Keluarga yang sangat disegani dan
dihormati oleh seluruh masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya, termasuk
Nusa kala itu.
Kedua,
pergantian nama pura itu dikemas dalam bingkai mistis. Biasanya, unsur mistis
menjeruji daya nalar pengingkaran. Celah-celah rasional berpikir seolah-olah
dimatikan. Semua peristiwa mistis harus diterima apa adanya. Kalau tidak, akan
muncul ancaman efek niskala. Siapa yang berani melawan efek niskala?
Begitulah
power cerita mistis. Ia akan menciptakan rasa ketakutan. Ketakutan untuk melawan.
Mirip titah seorang raja kepada masyarakat kecil. Hanya ada satu kata yakni
menerima, tunduk atau menjalankan. Entah benar atau salah. Itu urusan nanti.
Kalau
kita mau merenung, jangan-jangan unsur mistis sudah menjadi semacam strategi
“penjinakan” logika. Strategi untuk menyampingkan logika. Sebaliknya, selalu
menjaga keintiman dengan rasa. Umumnya, rasa menerima. Rasa tunduk.
Ujung-ujungnya, tumbuh kepercayaan dan keyakinan.
Karena
itu, modal power (kekuasaan) dan mistis merupakan senjata yang sangat kuat
untuk menundukkan mind set orang
zaman dulu. Jangan-jangan kondisi ini masih berlaku hingga sekarang. Para
penguasa memanfaatkan kolaborasi unsur power dan mistik untuk menundukkan
pemikiran massa.
Saya
tidak berniat meragukan atau membantah cerita di atas. Apalagi mengusik
keyakinan/ kepercayaan orang. Akan tetapi, jika sebuah keputusan datang dari
puri Klungkung (sebagai penguasa tertinggi) kepada wilayah bawahan (Nusa),
tentu menarik ditelisik dari aspek politiknya.
Artinya,
patut dicurigai bahwa cerita itu mungkin saja mengandung muatan politik. Ada
maksud-maksud tertentu (pesan politis) yang tersembunyi dalam cerita tersebut
untuk menguatkan keputusan mengubah “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped.
Dari
segi semantis, kata “Dalem Nusa” mungkin menimbulkan citraan konfrontasi.
Seolah-olah dua kata ini lebih menonjolkan maaf “perlawanan”. “Dalem” berarti
raja, sedangkan “Nusa” adalah sebutan asal wilayah. Jadi, “Dalem Nusa” kurang
lebih bermakna raja asal Nusa (raja Nusa).
Dari
sisi politik, imaji yang ditimbulkan dari kata tersebut sangat sensitif.
Pasalnya, tercatat dua kali raja Nusa melakukan pemberontakan terhadap kerajaan
Bali (Klungkung). Pemberontakan I Dewa Bungkut pada masa pemerintahan dinasti
Kresna Kepakisan dan Ratu Sawang pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong
(sebelum Bali pecah menjadi 9 kerajaan kecil). Setidaknya, dua peristiwa ini
menimbulkan luka sejarah (bagi masyarakat Nusa) dan trauma sejarah bagi
kerajaan Klungkung.
Agar
tidak terjadi pemberontakan ulangan, zaman dulu para penguasa kerajaan Bali
menerapkan politik akulturasi dengan masyarakat Nusa. Caranya, menempatkan beberapa
pejabat Klungkung dan sebagian laskarnya di Nusa Penida (Sidemen, 1984). Secara
tidak langsung, pembuangan di NP juga menjadi semacam misi untuk mempercepat
proses akulturasi.
Dalam
konteks inilah, puri Klungkung memandang penting meredam efek imaji yang
ditimbulkan dari kata “Dalem Nusa”. Kata ini mungkin dirasakan menyimpan spirit
bahaya laten. Karena itu, mengganti “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped bisa jadi
semacam tindakan politis yang sangat halus. Tujuannya, untuk mengurangi unsur
penonjolan aroma raja Nusa. Hadirnya kata “Ped” di belakang “Dalem” terdengar
lebih halus tetapi penuh tafsir.
Ped
(peed) bermakna kurang lebih “beriringan”. Kesan yang tercintrakan menjadi
tidak kontras. Beriringan mungkin mirip dengan makna seiring, berjalan ke arah
yang sama. Lebih spesifik, melakukan perjalanan bersama-sama ke arah yang sama.
Ya, bersatu mencapai tujuan yang sama.
Ada
pesan persatuan dan perdamaian yang hendak dicitrakan dalam makna kata “Ped”. Barangkali,
kerajaan Klungkung ingin mengajak masyarakat Nusa untuk melupakan luka dan
trauma sejarah. Ketika tapel-tapel itu (dalam cerita) bisa menyembuhkan
berbagai penyakit, pun diharapkan (secara simbolis) dapat mengobati luka-luka
sejarah masyarakat Nusa. Selanjutnya, masyarakat Nusa diajak mapeed
(bergandengan) untuk menciptakan hubungan yang harmonis—menuju kerajaan Klungkung
yang lebih maju.
Pesan
politis itu dikemas begitu rapi dalam cerita. Tapel-tapel (topeng) dapat
disimbolkan sebagai maksud-maksud tersembunyi. Ada pesan politik yang hendak
disembunyikan. Kemudian, tapel-tapel diabsurdkan bisa menyembuhkan berbagai
penyakit. Dalam konteks hubungan politik antara kerajaan Klungkung-Nusa, luka
dianggap paling fenomenal ialah luka/ dendam sejarah (pemberontakan).
Kerajaan
Klungkung sangat memahami masa lalu kedua belah pihak. Karena itu, muncul
peristiwa mapeed dalam cerita.
Peristiwa mapeed dapat disimbolkan
atau ditafsirkan sebagai “ajakan beriringan atau bergandengan” menuju satu
tujuan yang dikonsepkan oleh pemerintah kerajaan Klungkung.
Dalam
konteks“mengajak bergandengan” dari simbol mapeed,
juga menimbulkan tafsir lain. Bisa jadi, mapeed
mengandung maksud bahwa raja Nusa sudah takluk di bawah kekuasaan kerajaan
Klungkung. Ada semacam ego politik untuk menonjolkan kekuasaan. Kerajaan Klungkung
hendak memberikan kesadaran bahwa masyarakat Nusa sudah “ngiring” atau ikut
kerajaan Klungkung.
Dua
tafsir terakhir sangat berkolerasi dengan karakter raja yang memerintah di
Klungkung zaman itu. Jika raja yang berkuasa memiliki karakter visioner, bijak
dan rendah hati—maka besar kemungkinan mengarah kepada tafsir pertama. Ada
pesan perdamaian dan persatuan yang hendak disampaikan dalam pergantian “Dalem
Nusa” menjadi Dalem Ped.
Sebaliknya,
jika raja yang berkuasa memiliki karakter arogan, ego dan suka dipuji-puji—bisa
jadi mengarah kepada tafsir kedua. Kerajaan Klungkung hendak memamerkan power/
kekuasaan. Ada pesan superior dan inferior yang hendak disampaikan dalam
pergantian “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped.
Di
luar kepentingan politik, pergantian “Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped mungkin
mempertimbangkan aspek historis-silsilah. Aspek historis-silsilah yang dimaksud
ialah berkaitan dengan (tabik pekulun) sesuhunan
Ratu Gede Mecaling yang melinggih di
Pura Dalem Ped.
Dalam
beberapa sumber menyebutkan Ratu Gede Mecaling merupakan patih yang sakti
mandraguna. Sedikit sumber yang menyebutkan bahwa beliau pernah menjabat
sebagai seorang raja. Buku Babad Nusa Penida (Budha, 2007) misalnya, hanya
menjelaskan bahwa I Mecaling adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian
yang luar biasa (kanda sanga dan panca taksu)—pemimpin/penguasa wong samar.
Kuasa
magisnya memang tidak diragukan lagi. Terbukti, pelinggih penyimpangan beliau bertebaran tidak hanya di Bali,
tetapi hingga ke nusantara. Bahkan, mungkin hingga ke tingkat internasional.
Karena Dalem Ped juga dipuja oleh beberapa penekun spiritual dari belahan dunia
internasional.
Begitu
juga dalam Geguritan Ratu Gede Mecaling, Karangasem I milik I Ketut Kari Br.
Bias, Abang, Karangasem (2007) juga mendeskripsikan beliau seorang patih. Tidak
ada deskripsi yang mengambarkan beliau seorang raja.
Mungkin
atas dasar histori-silsilah inilah, nama “Dalem Nusa” (raja Nusa) dianggap
kurang pas oleh pihak kerajaan Klungkung—meskipun beliau memiliki power (kuasa)
magis (kesaktian) yang terkenal hingga ke seluruh Bali (waktu itu).
Namun,
perlu diingat bahwa aspek apapun yang menjadi dasar pertimbangan pergantian
“Dalem Nusa” menjadi Dalem Ped, rasanya sulit menihilkan muatan politisnya. Bagaimanapun,
itu adalah keputusan kerajaan induk kepada pecahan daerah kekuasaannya.
0 komentar:
Posting Komentar