Kamis, 30 Desember 2021

 

Dermaga Banjar Nyuh. Foto: Ketut Serawan


Jika Anda masih SD pada awal tahun 90-an di Nusa Penida, pasti tidak lupa dengan isu teror dagang punggalan. Dagang punggalan adalah spesialis tukang penggal kepala anak kecil tetapi berkedok menjadi pedagang. Konon, kepala ini akan dijual kepada pemborong proyek untuk memperkuat bangunan dermaga yang sedang dibangun.

Dalam menjalankan aksinya, mereka memanggul karung (kaping). Karung ini berisi barang dagangan, seperti sarung/ kamen, baju dan lain sebagainya. Ia menjajakan barang dagangan itu door to door (ke rumah-rumah warga). Mereka sangat ramah pada setiap penduduk lokal.

Namun, Anda jangan terkecoh. Jika mereka menjumpai anak kecil keluar seorang diri, di jalan sunyi—maka cerita akan berubah. Ia akan memenggal kepala si anak, lalu memasukkan ke dalam karung.

Kepala itulah yang akan dijual kepada pemborong proyek dermaga. Kemudian, pemborong proyek akan menamamnya (pakelem) di dasar laut, pada salah satu pilar dermaga Banjar Nyuh yang memang sedang proses penggarapan waktu itu. Lewat ritual mengubur kepala itu, bangunan dermaga konon akan menjadi lebih kukuh, kuat dan tahan lama.

Entah siapa yang pertama kali menghembuskannya. Isu teror dagang punggalan ini bak virus, menyebar begitu cepat dan meluas di kalangan para warga. Padahal, waktu itu belum ada HP android (tidak ada medsos). Akan tetapi, isu tersebut merembes tak terbendung ke telinga para orang tua, remaja hingga ke telinga anak-anak.

Terang saja membuat anak-anak menjadi ngeri termasuk saya. Waktu itu, kira-kira saya duduk di bangku kelas 5 SD. Setiap hendak pergi sekolah, terasa ada yang mengganjal kaki saya. Kengerian tiba-tiba saja melintas di kepala. Saya membayangkan dagang punggalan itu menghadang kami di tengah jalan setapak. Lalu, ia menghunus pedang.

Selanjutnya, ia memenggal kepala kami mirip aksi pembunuh darah dingin dalam sandiwara radio yang kami dengar lewat radio 2 band. Seiring perjalanan waktu, kisah (peristiwa) fiktif sandiwara radio itu seolah-olah menjadi kenyataan. Ketakutan bermula dari indera telinga, merembes ke saraf-saraf otak, dan akhirnya memompa jantung kami.

Detaknya kencang tak beraturan. Detak ketakutan yang hanya bisa dipahami oleh anak-anak seusia kami. Detak ketakutan ini awalnya imajinasi. Selanjutnya, melompat keluar menjadi realitas. Akibatnya, tidur kami menjadi terganggu. Kadang ia menjelma menjadi mimpi menyeramkan dalam tidur kami. Sering pula, menjelma igauan-igauan yang tidak kami sadari.

Tidak hanya ketika berangkat sekolah, momen pulang sekolah lebih mengerikan lagi. Konon, waktu paling rawan kasus pemenggalan itu ialah siang bolong. Entah apa yang mendasarinya. Mungkin, pagi jalanan masih ramai oleh lalu lalang orang untuk beraktivitas. Akan tetapi, siang hari, sepulang sekolah, jalan setapak yang kami lalui sangat sepi.

Sepinya terasa karena jalan setapak membelah ladang-ladang warga. Pun sesekali melintasi bataran-bataran ladang warga. Sementara, kiri-kanan jalan tumbuh pepohonan seperti gamal, bunut, bila, dan mangga. Disela-selanya, tumbuh pula pohon prasi, padang merdeka, bekul, kom, dan jambu monyet.

Beda lagi kalau memasuki musim hujan, tumbuhan jagung akan mendominasi. Tumbuhan penghasil makanan pokok ini tumbuh memenuhi ladang-ladang warga. Jika besarnya setinggi tubuh orang dewasa—maka jalanan dikerumuni pohon jagung. Efeknya, beberapa bagian tubuh jalan akan menghilang ditelan keramaian dan ketinggian pohon jagung tersebut.

Situasi itu semakin menguatkan rasa sepi kami. Di tambah keberadaan rumah warga yang terpencar tak beraturan. Maklum, kami tidak tinggal di jumah desa (pusat desa) tetapi di mel (di sekitar ladang-ladang warga). Jadi, rumah warga masih sangat jarang dan jauh dari jalan setapak utama yang kami lalui.

Siang hari, jalanan seperti mati. Ia akan menggeliat ketika kami pulang dari sekolah. Sementara, para orang tua sibuk dengan rutinitas bertani di ladang masing-masing. Mereka menunggu senja untuk kembali ke rumah.

Karena itu, ketakutan lebih kuat kami rasakan ketika pulang dari sekolah. Untuk mengantisipasinya, kami mengubah strategi pulang dan termasuk ketika berangkat ke sekolah. Awalnya, kami terbagi menjadi beberapa kelompok pejalan kaki. Namun, semenjak isu dagang punggalan itu merebak, kami lebur menjadi satu rombongan. Kami berjalan bersamaan, memenuhi jalanan, sambil mata kami waspada.

Waspada jika sewaktu-waktu dagang punggalan itu muncul di hadapan kami dan menghunus pedang. Apa yang bisa kami lakukan? Mengeroyoknya dengan tangan kosong? Ah, tidak mungkin. Atau melemparinya dengan hujan batu?

Ya, semua teman kami sepakat membawa pecah-pecahan batu kapur (segenggam) yang melimpah di sepanjang jalan. Jika benar ada dagang punggalan menghadang kami, setidak-setidaknya kami bisa bersatu melawan mereka, seperti para pejuang mengusir penjajah Belanda, yang kami baca dalam buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa).

Namun, sekuat-kuatnya kami memeram ketakutan, kami tetaplah anak-anak. Tidak bisa membendung rasa takut itu. Akhirnya, suatu hari kami diantar oleh orang dewasa. Dia ialah paman saya. Ia mengantar kami pergi sekolah. Pun mendampingi kami ketika pulang sekolah.

Sebetulnya, jarak antara rumah ke sekolah tidak begitu jauh. Bisa ditempuh kurang lebih 30 menit dengan menyusuri jalan setapak. Zaman itu, waktu tempuh di bawah satu jam-an tergolong sangat dekat. Saya dan kawan-kawan termasuk generasi beruntung. Bisa mengenyam pendidikan formal dengan jarak sekolah yang sangat dekat.

Sebelumnya, orang-orang di kampung saya pergi ke sekolah dengan menghabiskan waktu hingga berjam-jam karena harus melewati bukit, sungai dan lembah. Sebab keberadaan sekolah (SD) sangat jarang. Faktor ini pula yang menyebabkan orang-orang menjadi malas sekolah—di samping karena faktor ekonomi dan lingkungan. Akibatnya, banyak orang di kampung saya tidak sekolah dan putus sekolah.

Pada penghujung tahun 70-an, pembangunan gedung-gedung Inpres (terutama) SD di kampung saya mulai menjamur. Zaman ketika pemerintah Soeharto sedang berkuasa. Mungkin karena gencarnya pembangunan Inpres masuk desa ini pula yang menyebabkan Presiden Soeharto mendapat predikat sebagai bapak Pembangunan.

Selain itu, Soeharto juga dikenal dunia dengan predikat “The Smiling General” (Sang Jenderal yang Tersenyum). Senyumnya yang khas ini sesekali kami tonton lewat Dunia Dalam Berita atau acara Klompencapir (semacam cerdas cermat untuk petani berprestasi) di TVRI. Satu-satunya saluran televisi yang ada waktu itu.

Betapa senangnya kami menonton senyum beliau lewat TV milik tetangga sebelah. Di balik layar hitam putih, senyumnya terlihat begitu berwibawa dan meneduhkan. Sayangnya, kadangkala senyum itu tidak sempurna terlihat pada layar televisi. Tiba-tiba layar TV mengecil. Bagian kiri-kanan dan atas-bawah layar keluar garis hitam. Pelan tapi pasti, garis hitam itu mengepung sisa layar putih (ditengah)—yang tak sempurna menampilkan gambar. Buntutnya, layar TV total menjadi hitam. Itulah pertanda aki TV sempurna mati.

Meskipun senyum khas itu menguasai TVRI, powernya tidak sampai ke batin kami. Batin kami ketakutan. Karena itu, kami harus diantar-jemput bersekolah oleh paman. Padahal, sebelumnya kami berangkat ke dan pulang dari sekolah secara mandiri. Tidak ada keluarga yang menjemput apalagi mengawal kami.

Namun, ketika proyek penggarapan dermaga di Banjar Nyuh, yang jaraknya kurang lebih 1,5 km dari kampung kami, keadaan menjadi kurang aman. Hari-hari kami menjadi penuh ketakutan. Mirip mungkin dengan suasana Gestok (Gestapu tahun 1965).

Konon, harga kepala tidak berharga waktu itu. Orang-orang bisa saja memenggal kepala orang (PKI) kapan dan di manapun—tanpa rasa kemanusiaan dan tanpa proses hukum. Orang PKI adalah manusia haram/ terlarang. Tak pantas eksis di permukaan bumi. Mereka harus dihabisi sampai ke akar-akarnya.  

“Sadis sekali!” Itulah kalimat terakhir yang biasa diucapkan oleh kakek saya ketika menceritakan peristiwa berdarah itu. Sambil mengusap-usap bagian leher belakangnya, ia seperti merinding membayangkan tragedi penggal kepala itu. Tragedi politik yang konon (justru) memuluskan Soeharto naik menjadi presiden hingga mencapai waktu kurang lebih 32 tahun (1967-1998).

Lalu, apa dosa kami, anak-anak kecil? Apakah kami termasuk anak-anak “terlarang”? Dilarang bertumbuh kembang seperti yang dituduhkan kepada orang-orang PKI? Entahlah.

Yang jelas peristiwa menakut-nakuti dan sadisme sejak momen G30S PKI sukses membawa Soeharto bertahan kurang lebih 6 periode menjadi presiden RI—tanpa kritik, tanpa saingan dan tanpa perlawanan. Jika ada riak kritik dari masyarakat, cukup menuduhkan cap PKI— maka hitungan jam bisa lenyap tanpa jejak.

Jadi, referensi PKI zaman Orba bukan lagi mengacu kepada partisan (orang) atau simpatisan partai PKI. PKI adalah semua orang yang hendak mengkritisi pemerintah rezim Orba. PKI adalah makhluk yang diciptakan rezim Orba untuk melegalisasikan tindakan pemerintah dalam meniadakan pengkritik (oposisi). Tujuanya sangat jelas yakni menjaga kelanggengan untuk berkuasa.

Teror dan Karakter Penakut

Adakah dalam teror dagang punggalan kami sedang disiapkan untuk menjadi generasi penakut? Mungkin saja. Bisa jadi kami hendak disiapkan menjadi generasi berkarakter patuh dan tunduk. Kami disiapkan untuk selalu hormat dan menyanjung apa pun kebijakan penguasa. Karena penguasa adalah raja, titisan dewa. Dialah penguasa kebenaran yang tak membutuhkan celah pengingkaran/ kritik.

Begitulah mungkin cara rezim Orba melanggengkan kekuasaan. Sejak kecil, kami dididik secara sistematis menjadi penakut. Sejujurnya, ada niat kami untuk melihat pembangunan dermaga dari jarak yang dekat, tetapi kami tidak punya nyali. Kami hanya berani melihat dari kejauhan, di titik lereng Abasan, tempat kami menyabit rumput untuk sapi peliharaan kami.

Samar-samar kami melihat seperti ada gerakan menghantam besi ke bawah laut. Suaranya terdengar hingga radius 1,5 km. Sambil menyabit rumput, kami mendengar suara pukulan besi itu seperti menghantam jantung kami. Lalu, imajinasi kami liar. “Adakah dalam hantaman suara itu terkubur kepala anak kecil?”

Tanya ini terus menganga hingga kami remaja. Pada tahun 1992, tersiar kabar dermaga Banjar Nyuh diresmikan. Waktu itu, kami baru menginjak SMP kelas 1 di SMPN 2 Nusa Penida. Sekolah ini hanya berjarak beberapa meter dari jembatan.

Peresmian dermaga Banjar Nyuh menjadi kebanggaan masyarakat Nusa Penida. Karena dianggap sebagai tonggak kemajuan (modernisasi) transportasi laut pulau Nusa Penida, guna meretas ketertinggalan Nusa Penida sebagai wilayah kepulauan.

Nyatanya, hingga kami tamat SMP dan melanjutkan SMA ke Klungkung daratan (tahun 1995), jembatan itu tidak difungsikan untuk melabuhkan kapal laut. Ketika kami menyebrang ke Klungkung daratan, kami tetap naik jukung tradisional (perahu bermesin). Duduk di atas perahu ala be pindang (berdesak-desakan) dan siap naik-turun perahu dalam kondisi basah-basahan.

Dermaga Banjar Nyuh tetap menjulur ke tengah laut dengan gagah. Namun, kami tak menemui kapal laut berlabuh di situ. Tak ada lalu lintas penyeberangan seperti pelabuhan modern pada umumnya. Ia malah digunakan sebagai tempat melabuhkan cinta oleh anak muda tahun 90-an. Pun menjadi tempat untuk melabuhkan sensasi strike bagi warga yang hobi mancing.

Ingin kami menanyakan prihal penyimpangan fungsi dermaga Banjar Nyuh itu. Namun, kami takut dipenggal oleh dagang punggalan itu.

0 komentar:

Posting Komentar