Pura
Dalem Dukut di Sukun, NP. Foto: I Komang Windia |
Salah satu raja Nusa yang populer dan disegani oleh masyarakat Nusa Penida ialah Dalem Dukut. Beliau dikenal sebagai raja yang bijaksana. Di bawah pemerintahnnya, masyarakat Nusa merasa aman, tentram dan sejahtera. Padahal, raja Dalem Dukut tidak berdarah Nusa.
Jika
merujuk pada buku Babad Nusa Penida yang ditulis oleh Mangku Budha (1997), nama
Dalem Dukut memang tidak masuk dalam hierarki (silsilah) Dukuh Jumpungan.
Begitu juga dengan versi-versi babad Nusa baik yang bertebaran di dunia maya maupun
yang berkembang di kalangan masyarakat. Tak satu pun yang menyebutkan bahwa Dalem
Dukut masuk dalam keluarga Ki Dukuh Jumpungan.
Lalu,
Dalem Dukut termasuk trah siapa? Terkait dengan pertanyaan ini, banyak versi
babad Nusa yang berkembang mengulas tentang kesejatian Dalem Dukut tetapi masih
samar. Sumber buku, sumber digital dan cerita lisan masyarakat lokal menyinggung
eksistensinya secara misterius. Hampir semuanya mengulas dalam kerangka mitologi.
Selama
ini, saya belum menemukan referensi historis yang memadai tentang kesejatian
raja Dalem Dukut. Referensi historis yang saya maksud ialah ada peristiwa atau
kronologi yang bernilai fakta sejarah—yang menjadi pedoman membaca kesejatian
raja Dalam Dukut. Mungkin yang paling kompeten mengungkap kasus ini nantinya ialah
para peneliti, pakar filologi dan sejarawan.
Jika
berbicara tentang kesejatian raja Dalem Dukut, kita pasti diarahkan ke sebuah dunia
yang sama. Baik versi (cerita lisan) masyarakat lokal maupun referensi tertulis
menggiring kita pada satu jalur yakni mitos.
Mitos
dengan variasi versi, tetapi ujung pangkal kisahnya sama. Pusat mitosnya ada
pada tiga tokoh yaitu Bathara Tohlangkir, Dalem Dukut dan raja Dalem Sawang. Dalem
Sawang adalah orang yang berkuasa di Nusa Penida. Ia dikenal sebagai raja yang kanibal.
Raja ini senang memakan rakyat Bali dan rakyatnya sendiri.
Konon,
Dalem Sawang memiliki anak buah wong samar yang dipastu dari bekas pasukan I
Renggan. Anak buah wong samar ini tersebar hampir di seluruh pelosok desa di
Bali. Mereka menebar penyakit muntaber kepada rakyat Bali hingga meninggal.
Mayat inilah yang dipersembahkan kepada raja Dalem Sawang.
Deskripsi
kuat tentang kanibalisme ini dapat dilihat dalam Gaguritan Ratu Gede Mecaling,
Karangasem, I milik I Ketut Kari, Br. Bias, Abang, Karangasem 21 Juni 2007 (dalam
bentuk Pupuh Ginada) sebagai berikut: “Sambilang ngalungin basang, padha ngigel mangilehin, hapan
lega mangranayang, mabunga bahan paparu, masengkuhub (masekuub) jajaringan,
mahanting-hanting -/- ungsilané /63/ mahuttama”.
Terjemahan bebasnya kurang lebih
begini. Sembari berkalung usus, mereka (wong samar dan Dalem Sawang) menari
berputar-putar karena saking gembiranya, paru-paru dipakai bunga, jajaringan
dipakai kerudung, lever digunakan sebagai anting-anting.
Ulah kanibalismenya membuat Bhatara
Tohlangkir menjadi marah. Tohlangkir mengambil rumput kasna. Kemudian, rumput
itu dipuja dengan mantra-mantra. Dari ritual tersebut keluarlah anak laki-laki
yang tampan. Anak itu diberi nama Dalem Dukut. Dalam bahasa Jawa kuno, “dukut” berarti
rumput, sedangkan bahasa Balinya berarti padang.
Dalem Dukut inilah yang diutus untuk menumpas raja Dalem Sawang yang zolim.
Berbekal keris Pencok Sahang
(pemberian Tohlangkir), Dalem Dukut berhasil mengalahkan raja raksasa sakti, Dalem
Sawang. Kemenangan Dalem Dukut sekaligus menjadi momen bagi dirinya untuk
menjadi raja di Nusa Penida.
Dalem Dukut dipuja sebagai juru
selamat, pahlawan dan sekaligus raja baru. Di pihak lain, kekalahan Dalem
Sawang menimbulkan kekecewaan. Karena itu, ipar dari I Mecaling ini melenyapkan
sumber mata air (asta gangga) di puncak Mundi, salah satu ikon kemakmuran
masyarakat Nusa. Akibatnya, geografi Nusa Penida mendadak menjadi kering dan
tandus.
Dalem Dukut marah dengan tindakan
Dalem Sawang. Namun, ia tidak mampu membalikkan keadaan seperti semula. Ia harus
ikhlas menerima warisan kondisi alam yang tandus. Meski demikian, raja Dalem
Dukut tetap menjalankan pemerintahannya dengan baik. Ia mampu memimpin Nusa dengan
bijak, adil dan makmur.
Tafsir
Mitos Dalem Dukut
Dari cerita mitos di atas, maka kita
akan berkesimpulan bahwa Dalem Dukut
berasal Bali seberang. Apakah dari Karangasem? Dari keluarga siapa? Lalu, apa
kewenangan Tohlangkir (lewat utusan Dalem Dukut) mengintervensi kekuasaan di Nusa?
Semua masih serba misterius.
Sama misteriusnya dengan mitos itu
sendiri. Ketika mitos menjadi produk sastra masyarakat, ia sangat potensial
mengandung variasi tafsir. Karena dalam mitos tersembunyi fakta-fakta sejarah
(mungkin) yang dibungkus dengan simbol-simbol tertentu dalam cerita.
Begitu juga dengan mitos tentang
kesejatian Dalem Dukut. Sangat terbuka untuk dinterpretasikan ulang. Sangat
terbuka untuk diperdebatkan, termasuk tentang asal-usulnya.
Jika mencermati proses kelahiran
Dalem Dukut, orang akan mengatakan peristiwa itu irasional. Namun, sebagai
utusan dari Bali seberang mungkin bisa diterima sebagai fakta. Artinya, kuat
dugaan bahwa Dalem Dukut berasal dari luar Nusa (dari Bali daratan).
Mengapa harus dikaitkan dengan tokoh
Tohlangkir, Dewa (penguasa) yang berstana di Gunung Agung—puncak tertinggi di
Bali? Pertama, saya menduga bahwa tokoh Tohlangkir merupakan spirit posisi
tertinggi di Bali—simbol kekuasaan (power) tertinggi di Bali seberang. Penguasa
tertinggi di Bali. Bisa jadi referensinya adalah raja yang berkuasa di Bali
seberang saat itu.
Kedua, Sugi Lanus (Bali Post, 2020) pernah menulis bahwa zaman
dulu Bhatara Tohlangkir adalah dewa pujaan wajib bagi para penguasa tertinggi /
raja di Bali. Kalau tidak taat memuja Bhatara Tohlangkir, maka disebutkan akan “pendek
usia” (mungkin maksudnya usia pemerintahannya) dan nasibnya akan “terjungkal”
(gampang dikalahkan/ diturunkan). Dalam konteks ini, seolah-olah ada cap
legalitas super power agar dapat berkuasa lama dan disegani (mirib mungkin
dengan mitos hubungan raja-raja Jawa dengan Nyi Loro Kidul).
Karena itu, kuat dugaan bahwa Dalem
Dukut adalah utusan (ksatria) dari penguasa tertinggi (raja) Bali waktu itu.
Utusan untuk menyelamatkan dan sekaligus mengambil alih kekuasaan di Nusa. Kok,
bisa begitu?
Dari sinilah saya mencurigai bahwa
zaman itu Nusa berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dari kerajaan Bali
seberang. Artinya, kala itu Nusa belum sepenuhnya menjadi kerajaan yang
otonom.
Sebelum era Dalem Sawang, Tohlangkir
juga sukses mengalahkan (menundukkan) kekuasaan I Renggan. Misi I Renggan untuk
menabrakkan perahu saktinya ke gunung Agung ambyar
di tangan Tohlangkir. Perahu I Renggan dikoyak badai dan akhirnya tenggelam di
Pulau Nusa Ceningan-Lembongan.
Era I Renggan mungkin dapat dibaca
sebagai upaya ekspansi kekuasaan atau penundukkan terhadap Bali seberang.
Memang hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Namun terlepas dari hasil, saya
menafsirkan bahwa pada zaman I Renggan sudah ada gesekan power antara Nusa dan
Bali seberang.
Memang dalam mitos tidak disebutkan
secara eksplisit bahwa I Renggan seorang raja. Akan tetapi, fakta mitos
menyebutkan I Renggan diceritakan memiliki misi ingin menabrakkan perahu
saktinya ke Pulau Lombok dan Pulau Bali—setelah sukses menabrakkan Pulau Nusa
Gede. Secara tersembunyi, kita bisa berpikiran bahwa I Renggan punya kekuasaan
atau jangan-jangan ia adalah penguasa di Nusa.
Ketika I Renggan kalah dari
Tohlangkir, apakah ini berarti Nusa berada di bawah kekuasaan Tohlangkir (baca:
raja Bali)? Jika membaca skema silsilah Dukuh Jumpungan, Dalem Sawang adalah
generasi satu tingkat di bawah I Renggan. Dalem Sawang bukan keturunan langsung
dari Dukuh Jumpungan, tetapi masih punya hubungan keluarga dengan I Renggan
(menantunya).
Pasca kekalahan I Renggan, babad
Nusa Penida baru menyinggung soal raja Nusa yakni Dalem Sawang. Pada generasi
Dalem Sawang ada kata utusan dari Bali seberang. Apakah hal ini berarti pasca
kekalahan I Renggan menjadi tonggak bahwa Nusa berada di bawah kekuasaan Bali?
Jawabannya bisa jadi “ya”. Sebab, pada
masa pemerintahan Dalem Sawang sudah ada utusan dari Bali untuk mengambil alih
kekuasaan di Nusa. Hal ini berarti, raja Bali memiliki kewenangan mengontrol,
mengatur dan mengendalikan pemerintahan di Nusa.
Fakta lainnya yang diungkap dalam
mitos Dalem Dukut ialah soal rasa penerimaan dari masyarakat Nusa. Dalam mitos
disinggung bahwa kedatangan Dalem Dukut di Nusa disambut baik oleh masyarakat Nusa
kala itu. Momen kehadirannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Nusa.
Kondisi di atas memberikan gambaran
bahwa masyarakat Nusa tidak nyaman dengan pemerintahan dari Dalem Sawang. Bisa
jadi mereka sudah lama merasa ditelantarkan oleh raja Dalem Sawang. Karena
Dalem Sawang mungkin hanya memikirkan ego atau kesenangannya sendiri.
Klaim raja yang kanibal atau memakan
daging rakyat Nusa dan Bali seberang sangat dekat dengan perilaku egois.
Deskripsi kanibalisme bisa jadi berkonotasi dengan raja yang sewenang-wenang.
Atau kasarnya kejam. Dianggap kejam karena mungkin hanya memikirkan kesenangan
diri sendiri, membuat rakyat menderita dan tidak peduli dengan nasib kehidupan
rakyat.
Karena itu, masyarakat Nusa
menyambut Dalem Dukut bak pahlawan. Sebaliknya, Dalem Sawang sangat benci atas
kehadiran Dalem Dukut di Nusa. Dalem Sawang menganggap Dalem Dukut sebagai
musuh besar.
Seiring perkembangan waktu, rasa
permusuhan Dalem Sawang tidak hanya kepada Dalem Dukut tetapi meluber kepada
masyarakat Nusa sendiri. Tindakan melenyapkan asta gangga (danau/ sumber mata
air di Puncak Mundi) bukan hanya sebuah kutukan dari seorang Dalem Sawang, melainkan
permusuhan abadi nan misterius kepada masyarakat Nusa Penida. Apakah ini tindakan kanibalisme? Entahlah.
0 komentar:
Posting Komentar