![]() |
Foto: www.keepburger.com |
Nusa Penida (NP) memiliki mangga
yang khas. Orang NP lumrah menyebutnya dengan nama poh (mangga) lembongan. Sementara, orang Bali daratan menyebutnya
dengan nama poh nusa. Dibandingkan
dengan varietas mangga nusa lainnya, mangga lembongan lebih diminati di
pasaran. Sekitar tahun 2000-an ke bawah, mangga ini pernah mengalami kejayaan.
Setidaknya, mangga lembongan mampu menembus pasaran terutama di Klungkung
daratan. Namun, belakangan suplai buah mangga Lembongan ke Bali daratan kian
berkurang signifikan.
Entah
apa penyebabnya. Bisa jadi karena pasokan mangga di NP terlalu melimpah. Sedangkan, distribusi
(pengiriman) buah mangga ke Bali daratan sangat minim. Kondisi ini jelas
merugikan para pengepul. Karena itu, mereka (para pengepul) tidak berani
membeli mangga dalam jumlah (stok) yang banyak. Sebagai tindakan preventif,
mereka akhirnya membatasi diri dalam pembelian mangga-mangga yang ada di NP
termasuk mangga lembongan.
Kasus pendistribusian berkaitan erat dengan
moda transportasi laut, penghubung pulau NP dengan Bali daratan. Artinya,
keberadaan transportasi laut NP masih dianggap belum optimal sehingga
pendistribusian mengalami kendala (lambat). Kendala pendistribusian sangat berisiko
terhadap stok buah mangga yang dibeli oleh pengepul, karena mangga riskan
mengalami pembusukan.
Dugaan
lain, mungkin keberadaan mangga-mangga unggulan lainnya seperti manalagi,
arumanis, madu dll. bertumbuh di NP. Jangan-jangan keberadaan mangga-mangga
unggulan itu turut memberikan andil menggeser posisi mangga lembongan. Pasar
tampaknya lebih merespon mangga-mangga unggulan ini dibandingkan dengan mangga
lembongan. Padahal, secara kualitas mangga lembongan tidak kalah dengan mangga-mangga
unggulan tersebut.
Secara
fisik, mangga lembongan menyerupai mangga Gedong Gincu. Bulat dengan lekukan
sedikit. Berukuran sedang, tidak terlalu kecil atau besar. Memiliki kulit yang
tipis, daging buahnya berwarna kuning dan bertekstur agak kenyal dengan
kandungan air yang banyak. Jika dimakan dalam kondisi matang sekali, rasanya
manis total. Namun, dalam kondisi matang sedang, rasa manisnya bercampur dengan
rasa asem sedikit.
Ketika
masih mentah, mangga lembongan berwarna hijau dan memiliki beberapa bintik
kecil berwarna putih pada permukaan kulitnya. Saat matang sedang, permukaan
kulitnya berubah menjadi orange muda. Warna orange berubah lebih tua jika
mangga lembongan dalam kondisi matang tua. Pada saat inilah, mangga lembongan
mengeluarkan aroma harum. Sementara, kematangan mangga Gedong Gincu ditandai
dengan warna gradasi kuning dan merah.
Dengan
tampilan cantik dan kualitas yang tak beda jauh dengan mangga-mangga unggulan
lainnya, semestinya mangga lembongan tetap eksis dan dapat bersaing di pasaran.
Akan tetapi, kondisi di lapangan justru menunjukkan kenyataan yang berbeda. Semakin
ke depan, nasib mangga lembongan seolah-olah berada diambang mengkhawatirkan.
Reaksi
pasar sangat lesu. Jikalaupun pasar merespon, harga mangga lembongan jauh di
bawah harapan. Dari dulu hingga sekarang, pengepul membeli mangga lembongan (di
NP) dengan sistem transaksi tradisional yaitu menggunakan sistem angka 200
“nyaruk”. Mangga lembongan dihitung bijiannya sebanyak 200 butir dari berbagai
ukuran (besar, sedang, dan kecil). Harga sekarang berkisar Rp 30.000 hingga Rp
50.000. Jika panen mendahului (buah mangga matang masih langka), maka harga di
pasaran menjadi tinggi yaitu Rp 50.000 per 200 butir mangga lembongan. Namun,
pas musim panen per 200 butir dihargai Rp 30.000. Anda mungkin geleng-geleng
kepala, bukan?
Pasalnya,
proses memanen dan penjualan tergolong cukup rumit. Mangga lembongan termasuk
jenis mangga yang memiliki pohon yang sangat tinggi, lebih dari 5 m. Tidak
cukup memetik buahnya dari atas permukaan tanah. Kita perlu memanjat pohonnya
untuk mendapatkan buahnya. Belum lagi, rata-rata pohon mangga lembongan
disenangi oleh serangga sumangah
(sejenis semut merah).
Pemanen
berjuang memetik buah mangga dengan sumbul,
sambil berjuang mengatasi rasa sakit akibat gigitan sumangah. Sumbul merupakan alat panen yang terbuat dari bambu
(galah) panjang. Pada ujungnya, ada semacam mulut sumbul dilengkapi dengan gigi 2-3 yang agak renggang. Kerenggangan
ini bertujuan untuk menghimpit ujung tangkai mangga sehingga memudahkan lepas
dari tangkainya. Sementara itu, di ujung samping hingga ke belakang dilengkapi
dengan anyaman sejenis keranjang kecil—agar buah tidak jatuh ke tanah sehingga
tidak lecet dan tidak cepat mengalami pembusukan.
Harga
Rp 30.000- Rp 50.000 juga termasuk ongkos kirim. Setelah dipetik, petanilah (penjual)
yang mengangkut mangga lembongan ke tempat pengepul atau langsung dibawa ke
pasar. Jadi, harga tersebut sudah terhitung biaya petik dan ongkos kirim.
Pembeli tinggal menerima bersih di tempatnya.
Meski
tergolong murah, petani tetap semangat menjual kalau ada permintaan atau
penawaran. Celakanya, seringkali ketika panen mangga tiba, tidak ada seorang
pun yang membeli (menawar) mangga lembongan. Pengepul bungkam. Pembeli umum
juga tak merespon. Cerita ini sudah biasa terjadi hampir setiap tahun di NP.
Lantas, apa yang dilakukan oleh petani di NP?
Mangga-mangga
itu dibiarkan jatuh berguguran ke tanah dan menjadi pesta bagi
binatang-binatang seperti lalat, kupu-kupu, ulat, bekicot, muring dan lain sebagainya. Biasanya, para binatang tersebut
berpesta menindaklanjuti mangga hasil gigitan dari para kelelawar. Para
kelelawar berpesta buah mangga pada malam hari—namun tidak sempat menghabisi
buah mangga itu karena terburu jatuh ke tanah.
Keesokan
paginya, buah mangga hasil gigitan para kelelawar itulah yang menjadi incaran
para binatang lainnya. Sebab, gigitan kelelawar itu sudah merobek dan menembus
daging buah mangga. Hal inilah yang memudahkan para binatang lain untuk
langsung memakan dagingnya.
Bagaimana
dengan buah mangga yang jatuh tetapi masih utuh (cuma lecet)? Para petani
memungut dan mengumpulkannya untuk pakan tambahan ternak seperti ayam, babi,
dan sapi. Pemberian mangga kepada ternak ayam dan babi dengan cara dikupas
terlebih dahulu. Sementara, pemberian kepada ternak sapi biasanya dalam kondisi
utuh. Si sapi langsung menelan utuh dengan batunya. Beberapa menit kemudian, si
sapi mengeluarkan batu-batu mangga itu kembali melalui mulutnya.
Jika
memiliki ternak terbatas, maka banyak buah mangga lembongan terbuang percuma. Para
petani membiarkan mangga lembongan itu tergeletak, membusuk dan menyatu dengan
tanah.
Mengoptimalkan
Pemberdayaan Mangga Lembongan (Nusa)
Mangga
lembongan sudah menjadi ikon bagi NP sejak lama. Namun, siapa sangka ternyata
pemanfaatannya masih belum optimal. Cerita-cerita pembiaran dan pembuangan
mangga ini mungkin sudah menjadi kisah klasik. Berlangsung bertahun-tahun.
Namun, hingga kini belum ada solusi efektif untuk pemanfaatan mangga lembongan
dengan optimal.
Kasus
pembiaran atau pembuangan terhadap mangga lembongan tetap terbuka terulang pada
tahun-tahun mendatang. Karena setahu saya, belum pernah saya dengar ada olahan buah
mangga menjadi makanan atau minuman di NP. Selama ini, mangga hanya dikonsumsi
langsung oleh masyarakat NP.
Model
konsumsi tradisional ini jelas tidak sebanding dengan jumlah mangga yang ada di
NP. Pasalnya, NP memiliki varietas mangga tidak hanya lembongan. NP memiliki varietas
mangga lainnya seperti mangga golek, gedang, ijo, dodol, gender rasa, pelom dan
varian lainnya. Di antara varietas mangga nusa, keberadaan mangga lembongan memang
paling mendominasi di NP.
Berbeda
mungkin ceritanya, jika buah mangga (terutama mangga lembongan) di NP diolah
menjadi berbagai olahan kreatif. Misalnya, krupuk mangga, manisan, minuman, dan
lain sebagainya. Bisa jadi, kan?
Kemudian,
hasil olahan dipromosikan baik secara manual maupun lewat medsos. Promosi ini
tentu penting, apalagi sebagai produk pemula. Jadi, pembeli tinggal pesan lewat
online atau langsung mendatangi tempat-tempat yang menyediakan produk. Kalau
bisa, produk-produk olahan mangga khas nusa itu dibranding.
Sasaran
paling menjanjikan mungkin menjadi oleh-oleh khas NP. Sangat memungkinkan. Ya,
karena NP sudah menjadi daerah pariwisata. Apalagi, tingkat kunjungan pelancong
ke NP cukup tinggi. Ada peluang. Tinggal bagaimana membuat produk olahan mangga
nusa yang berkualitas dan menyentuh selera pasar. Mungkin tidak beda jauh
dengan olahan apel malang misalnya (krupuk apel Malang dan minuman sari apel
Malang). Setiap orang bertamasya ke Malang, setidak-setidaknya mereka pulang
membawa krupuk apel atau minuman sari apel.
Saya
pikir NP bisa meniru Malang misalnya. Pelancong tidak hanya menikmati objek
wisata Malang, tetapi sekaligus digiring berbelanja oleh-oleh khas Malang.
Begitu juga dengan NP. Para pelancong tidak hanya menikmati keindahan geografi
NP, tetapi juga berbelanja oleh-oleh khas NP yaitu olahan mangga terutama
mangga lembongan.
Jika
pengolahan mangga ini diformat dalam bentuk usaha, setidaknya akan menciptakan
lapangan pekerjaan baru, menyelamatkan ekonomi para petani di NP dan sekaligus memberdayakan
buah mangga yang terbuang percuma setiap tahunnya.
Saya
pikir para pebisnis di NP sudah memikirkan hal ini. Mungkin, mereka sedang
berhitung biaya produksi, pemasaran, distribusi dan lain sebagainya. Siapa tahu
suatu saat nanti ada pebisnis milenial yang bisa mewujudkan hal itu, sehingga
bisnis di NP menjadi semakin meriah. Harapannya, dapat mendongkrak perekonomian
di NP. Jadi, tidak melulu soal bisnis akomodasi penginapan saja.
Alangkah
eloknya jika sektor pariwisata dan bisnis olahan makanan/ minuman saling
bergandengan, terutama yang bahan bakunya tersedia di alam NP. Dalam konteks
ini, mangga lembongan. Masyarakat berbisnis, sambil melestarikan ikon mangga
khas NP.
Di
samping pengoptimalan olahan kreatif, kendala pendistribusian penting pula
dicarikan jalan keluar—agar pendistribusian mangga lembongan ke Bali daratan
dapat berjalan lebih lancar. Sehingga, para pengepul dapat membeli mangga nusa
dalam jumlah yang lebih banyak. Kelancaran pendistribusian ini diharapkan dapat
menjaga nilai mangga nusa (lembongan). Minimal ada tawaran dari pengepul untuk
terus membeli mangga nusa, sehingga kasus pembiaran dan pembuangan mangga kian
dapat diminalisasikan.
Ya,
mungkin kuantitas moda transportasi laut terutama untuk mengangkut barang
(termasuk mangga) mesti dimaksimalkan. Setidaknya, frekuensi trip penyeberangan
dioptimalkan lagi. Jika masih belum maksimal, mungkin keberadaan perahu khusus
mengangkut barang mesti diadakan lagi. Tentu dengan biaya yang terjangkau,
sehingga saling mensupport. Bisnis transportasi laut dapat bertumbuh, bisnis
mangga khas NP juga dapat berkembang dan ekonomi para petani tetap hidup.
Untuk
kesehatan transaksi, mungkin model pembelian pengepul dapat diadaptasikan
sehingga tidak terlalu merugikan petani. Misalnya, kurangi bermain sistem angka
200 nyaruk. Mungkin lebih bijak dengan
sistem kiloan misalnya. Pasti lebih murah dengan harga di pasar Bali daratan.
Akan tetapi, permainan sistem kiloan dirasakan lebih objektif.
Kita
berharap realisasi pengolahan kreatif mangga nusa dapat terwujud,
pendistribusiannya lebih lancar dan sistem transaksinya lebih modern sehingga
mangga lembongan (nusa) tidak hanya tinggal cerita. Jangan sampai poh lembongan
menjadi abadi dalam sebuah nama penginapan “Poh Manis Lembongan”. Akan tetapi,
tetap real eksis dalam segala perubahan yang melanda NP. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar