Nyanyi
Menggunakan Basa Nosa, Dapat Apa?
Oleh
I
Ketut Serawan
Bernyanyi menggunakan
bahasa nasional? Ah, biasa aja kali! Atau bernyanyi menggunakan bahasa daerah,
misalnya bahasa Bali? Itu pun mungkin dirasakan sudah biasa. Sudah banyak. Bagaimana
kalau bernyanyi menggunakan bahasa Bali dialek Nusa Penida (basa Nosa)? Nah, ini pasti tidak biasa
alias langka! Akan tetapi, kenyataannya memang ada, lho!
Sebut
saja Nanang Mekaplar dan Kalego Ajoesbedik. Hingga kini, keduanya sama-sama konsisten—kreatif
menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu berbasa
Nosa terutama di panggung medsos (youtube). Terus, mereka dapat apa, sih?
Setahu
saya, Nanang Mekaplar merupakan pionir penyanyi berbasa Nosa, sedangkan Kalego bisa disebut sebagai regenerasinya.
Sebagai pionir, setidaknya Nanang Mekaplar sudah menelurkan 2 album yaitu Ledok-Ledok
dan Gending Nusa Penida. Jika pada album pertama berbentuk keeping VCD, maka album
kedua beredar dalam bentuk cakram DVD dengan format audio MP3 dan digarap di EMP Studio Jakarta. Lagu-lagu Nanang juga
dapat dinikmati lewat medsos.
Tema-tema lagunya cukup beragam mulai dari soal cinta (romantisme),
kritik sosial, spiritual, kearifan lokal, alam (geografi) dan lain sebagainya.
Namun, dari beragam tema yang diusung oleh Nanang Mekaplar, sejatinya sangat
kental dengan spirit kecintaan terhadap tanah air NP. Hal ini diperkuat oleh
video klipnya yang hampir 98 persen berlatar belakang geografi NP—sehingga ada
kesan kuat bahwa menonton klip Nanang Mekaplar—kita seolah-olah digiring
berwisata menikmati pesona Pulau NP secara virtual.
Komitmen
bermusik (basa Nosa) Nanang Mekaplar pantas
mendapat acungan jempol. Meskipun bernaung di bawah payung indie label, tak
membuat Nanang bermusik asal-asalan. Pria yang bernama asli I Ketut Sudiarta
ini tampak serius mulai dari proses kreatif penciptaan lagu, pembuatan video
klip, hingga proses rekaman. Bukan hanya menguras pikiran, energi, waktu, melainkan
juga menghabiskan isi kantong (modal). Namun, semua dapat dilaluinya tanpa
alangan serius oleh Nanang Mekaplar, yang juga seorang doktor, dosen STAHN di
Palangkaraya ini.
Berbeda
dengan Kalego. Ia justru terjun ke dunia musik NP dengan modal nekat. Coba
tonton videonya di youtube! Terlihat sangat sederhana. Menonton Kalego di
youtube seperti menyaksikan penyanyi yang sedang live di satu tempat—dengan alat musik yang sangat sederhana yaitu
berupa gitar akustik saja.
Meskipun
demikian, Kalego bukan seniman kacangan. Lagu-lagunya di youtube mendapat
sambutan luar biasa dari pencinta lagu basa
Nosa. Hingga saat ini, ia berhasil mengantongi subscriber mencapai 15,5 ribu
(Nanang justru masih di angka 6 ratusan). Sebuah pencapaian angka yang cukup
spektakuler. Padahal, pria yang suka nyeleneh dan ngoceh ini baru dikenal oleh
pecinta lagu basa Nosa beberapa tahun
lalu.
Hingga
sekarang, Kalego belum melahirkan album. Lelaki slengehan dan terkenal humoris ini masih menciptakan lagu-lagu
secara sporadis, lalu mengunggah di chanel youtubenya. Tema-tema lagunya sangat
ringan dan simpel. Dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, ia mampu
mengemasnya ke dalam lirik-lirik lagu ala dirinya yang khas. Sederhana, kocak,
tetapi bobot kritik sosialnya “mekaplar” dan menyentuh.
Sama
halnya dengan Nanang Mekaplar, lagu-lagu Kalego juga dapat dinikmati oleh
hampir semua kalangan masyarakat baik kelas bawah, menengah maupun kelas atas.
Pun dari segala umur mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua. Karena
lirik lagunya tidak terlalu puitis, tetapi seperti bahasa komunikasi
sehari-hari, sehingga mudah dipahami oleh penutur basa Nosa.
Baik
Nanang Mekaplar maupun Kalego sama-sama mendapat respon yang luar biasa dari
masyarakat NP. Keduanya mendapat apresiasi dari penutur basa Nosa yang tinggal di Pulau NP, Bali daratan, daerah
trasmigrasi bahkan di luar negeri. Umumnya, mereka menyambut baik adanya
penyanyi berbasa Nosa. Lalu, Nanang
dan Kalego dapat apa?
Pertanyaan
ini pantas diajukan mengingat jumlah penutur basa Nosa terbatas. Rasionalnya, pendengar/ penikmatnya terbatas
pula, kan? Jumlah penutur setidaknya berpengaruh terhadap ruang lingkup
penikmatnya. Semakin luas jangkauan bahasa yang digunakan oleh sang penyanyi,
maka makin terbuka lebar untuk meraup penikmat (penggemar) lebih banyak.
Kalau
berpikir untung/ rugi, rasanya agak sulit memperoleh finansial yang menjanjikan
dari total menjadi seorang penyanyi (musisi) lagu berbasa Nosa. Realita bicara bahwa pangsa pasarnya sangat terbatas. Sehebatnya-sehebatnya
musisi NP, mereka tetap bergulir di seputaran penutur basa Nosa.
Persoalan
akan berbeda apabila status penyanyi lagu Nosa mereka jadikan sebagai batu
loncatan. Misalnya, setelah unjuk kualitas dan mimiliki massa, mereka
menggandeng musisi kelas lokal Bali. Bisa jadi popularitasnya kian melebar.
Lebih luas lagi misalnya, menggandeng musisi nasional atau internasional. Bisa
jadi, kan?
Jika
demikian adanya, semua pihak akan diuntungkan. Pertama, menguntungkan musisi
itu sendiri karena potensial mendatangkan profit. Ya, mereka akan memiliki
massa (penikmat) dan sekaligus pangsa pasar yang lebih luas. Artinya, potensi
untuk meraup finansial lebih terbuka. Kedua, menguntungkan masyarakat NP karena
berpeluang mempromosikan basa Nosa
lebih luas ke publik. Jika sudah dikenal oleh massa di luar penutur NP, tentu
lebih mudah menarik massa. Apalagi massa itu merupakan penggemar. Kok, bisa?
Anggaplah
mantan penyanyi Nosa sudah menjadi idola masyarakat Bali atau nasional
misalnya, maka lebih mudah mereka mempopulerkan basa Nosa. Lagu dalam bahasa apapun (termasuk basa Nosa) yang nantinya dibawakan, penggemar pasti akan berusaha menikmatinya. Dengan kata
lain, mereka (para penggemar) sesungguhnya sedang belajar basa Nosa.
Mungkinkah
Nanang Mekaplar atau Kalego akan melakukan lompatan itu? Biarkan waktu yang
menjawabnya nanti. Sekarang, coba ditimbang mereka dapat apa dari komitmen
bernyanyi basa Nosa di medsos. Ya,
mungkin orang-orang akan mengatakan bahwa mereka ingin ketenaran, follower atau
sekadar melampiaskan ekspresi berkreasi (seni). Menurut saya, misi tersebut
mungkin ada, tetapi persentasenya tidak besar.
Penyanyi Nosa dan
Soal Dedikasi
Kecenderungan
yang saya lihat justru kepada misi “memberi” (meyadnya), bukan berorientasi pada
materi atau finansial. Mereka (para penyanyi Nosa) mempertaruhkan dedikasinya demi
tanah kelahiran. Dedikasi untuk menunjukkan bahwa betapa mereka sangat bangga
dan cinta terhadap Pulau NP. Dedikasi inilah yang mendorong mereka berani
menyanyikan lagu berbasa Nosa di panggung youtube. Mengapa saya katakan
“berani”? Karena faktanya, basa Nosa
masih dianggap sebagai dialek ledekan, walekan
dan bullyan—walaupun sering dalam
konteks bercanda.
Saya
menangkap, ada komitmen dari seorang Nanang dan Kalego untuk mengangkat
martabat orang NP melalui bernyanyi dengan mengunakan media bahasa. Mereka
ingin menunjukkan ke publik bahwa orang NP dengan dialeknya tidak lagi relevan
dipandang sebagai stereotip terisolir (terbelakang)—yang selama ini mungkin
memberi efek minder kepada beberapa penutur NP. Sebaliknya, Nanang dan Kalego menginginkan
kesetaraan dialek, bukan “kasta dialek”. Basa Nosa adalah salah satu bentuk
dialek daerah, yang kelasnya sama dengan dialek-dialek daerah lainnya di Bali.
Selain
itu, saya juga melihat Nanang dan Kalego tak ubahnya seperti guru sekolah. Mereka
mendidik regenerasi NP untuk belajar basa Nosa. Sasarannya, terutama kepada
orang NP yang tidak menggunakan basa Nosa sebagai bahasa ibu. Lewat lirik-lirik
lagunya (yang tertulis), mereka hendak mengajarkan orang-orang belajar basa
Nosa secara tertulis. Setidaknya, membantu orang-orang ketika belajar mengeja
basa Nosa.
Kemudian,
dari rekaman audio, mereka ingin membelajarkan orang tentang pelafalan basa
Nosa dengan tepat. Selama ini, jarang ada basa Nosa dalam bentuk teks tertulis
maupun rekaman audio. Biasanya, hanya sebagai keperluan komunikasi lisan dan
berlalu begitu saja. Dengan adanya arsip bahasa dalam bentuk tulisan dan
rekaman audio, sangat membantu orang untuk mempelajari linguistik basa Nosa
lebih komprehensif.
Jadi,
bukan hanya menjadi guru, keberadaan lagu-lagu berbasa Nosa juga menjadi
referensi dan museum digital. Kondisi ini menyebabkan orang dengan praktis dan
mudah belajar basa Nosa hanya lewat jejak digital. Cukup terkoneksi dengan
internet, maka orang dapat dengan mudah belajar basa Nosa. Ke depan, referensi dan museum digital ini juga menjadi semacam
penyelamat budaya NP. Penyelamat seandainya penutur basa Nosa kian terpinggirkan
atau mungkin di ambang kepunahan misalnya. Di samping itu, tentu dapat membantu
para peneliti/ pakar linguistik yang tertarik untuk meneliti basa Nosa.
Di
luar guru sekolah dan arsip, Nanang dan Kalego juga merupakan duta gratis untuk
NP. Duta untuk mempromosikan secara ikhlas budaya lokal dan pariwisata NP. Lewat
tema-tema lagu garapannya, mereka ingin menyampaikan kepada publik bahwa NP
memiliki budaya yang unik dan adiluhung. Budaya yang tidak kalah beradabnya
dengan daerah-daerah lainnya di Bali. Budaya-budaya itulah yang mestinya terus
diekspos dan dipromosikan untuk menimbulkan kesadaran apresiasi kepada publik.
Kalego
dan terutama Nanang Mekaplar juga gencar mempromosikan pariwisata NP. Nanang
mempromosikan objek-objek wisata dengan menjadikanya sebagai latar dalam setiap
video klipnya. Bentuknya ada yang berupa foto-foto slide. Akan tetapi, lebih banyak menggunakan rekaman video langsung
di objek-objek wisata di NP. Nanang sangat menyadari bahwa panggung bermusik
(di medsos) merupakan media efektif untuk mempromosikan berbagai aspek
sekaligus. Karena itulah, ia memasukan aspek budaya, bahasa, dan termasuk
pariwisata dalam sekali tindakan.
Banyak
hal yang didedikasikan seorang Nanang dan Kalego. Ia tidak hanya menghibur,
tetapi “ngayah” membantu mempromosikan sosio-kultural dan pariwisata NP. Namun,
endingnya mereka adalah alarm identitas bagi orang NP. Alarm agar orang NP
tidak gampang tergerus identitas ke-nusa-annya. Sebaliknya, orang NP harus tetap
eksis dengan identitasnya. Apalagi, mereka menyadari bahwa NP terdampak
pariwisata yang siap mempengaruhi bahkan mungkin menggerus identitas orang NP.
Namun,
bukan berarti orang NP menutup diri terhadap perubahan global. Orang NP tetap
terbuka, tetapi jangan sampai tercerabut dari akar identitas ke-nusa-annya.
Mereka (musisi Nosa) mendedikasikan dirinya terhadap hal itu. Sesungguhnya,
mereka sudah memiliki “kesadaran awal” tentang identitas sebelum masyarakat umum
NP menyadari hal tersebut. Karena itu, jangan lagi bertanya mereka mendapatkan
apa? Akan tetapi, cobalah berhitung jumlah dedikasi yang disumbangkannya kepada
pulau tercinta, NP.
0 komentar:
Posting Komentar